Anda di halaman 1dari 7

Patroli KKP Menangkap satu Kapal Illegal Fishing Thailan

Kapal Patroli KP. Hiu Macan 005 yang dinahkodai oleh Yatmono Sutrisno menangkap satu
kapal illegal fishing asal Thailan KM. POKA GT. 60 yang melakukan penangkapan ikan
secara illegal dan menggunakan alat tangkap terlarang Trawl di perairan ZEE Indonesia Selat
Malaka yaitu sekitar perbatasan Aceh dan Sumut dini hari tanggal 6 Februari 2012.
Kapal Thailand tersebut ditangkap karena tidak memiliki Suart Izin Usaha Perikanan dan
Surat Izin Penangkapan Ikan saat memasuki perairan Indonesia, kata Kepala Stasiun
Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan, Mukhtar, A.Pi, M.Si.

Mukhtar, A.Pi Kepala Stasiun PSDKP Belawan Saat Melihat Dari Dekat Kapal Illegal
Fishing
Saat akan ditangkap di sekitar perairan Jambo Aye, Aceh oleh petugas kapal patroli milik
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kapal nelayan Thailand tersebut diduga kuat
sedang melakukan penangkapan ikan secara illegal. Kapal tersebut di adhock ke Dermaga
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan untuk proses lebih lanjut.

Menurut laporan yang disampaiakn oleh Penyidik PNS Stasiun PSDKP Belawan bapak
Suhartono, SH dari hasil pemeriksaan terhadap Nahkoda Kammeng (Thailan) dan beberapa
ABK, bahwa kapal tersebut sudah melakukan penangkapan ikan secara illegal di perairan
ZEE Indonesia dengan bukti adannnya ikan hasil tangkapan sebanyak 200 Kg. Lebih lanjut
Bapak Suhartono mengatakan bahwa barang bukti berupa 1 buah kapal KM. POKA, 1 unit
alat tangkap trawl, ikan campur lebih kurang 200 Kg, satu GPS, satu echosounder dan satu
kompas.

Jumlah ABK sebanyak 10 orang terdiri dari 3 orang Thailan yaitu Nahkoda Kammeng, KKM
Undo Thongdee, ABK Sorasak Saeaong dan 7 orang Myanmar yaitu Abk semua Yau, Tha,
Chiu, Tachiu, Hoji dan Mee. Nahkoda dan ABK sementara di tempatkan di Kantor Stasiun
PSDKP Belawan untuk proses lebih lanjut.
Lebih lanjut bapak Mukhtar, A.Pi, M.Si Kepala Stasiun PSDKP Belawan mengatakan bahwa
Nahkoda KM. POKA Kammen melanggar Pasal 5 ayat 1, Pasal 26 jo pasal 92, pasal 27 ayat
2 jo pasal 93 ayat 2 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan ancaman Kapl dirampas untuk
Negara.
Selain itu sebelumnnya tanggal 2 Februari 2012 pukul 12.00 WiB kapal patroli KKP KP. Hiu
009 yang dinahkodai oleh Margono Eko Hari Susanto menangkap KM. SLFA 5045
berbendera Malaysia menangkap ikan secara illegal di perairan ZEEI Selat Malaka disekirat
Pulau Jemur Riau.
Penulis : Mukhtar, A.Pi Kepala Stasiun PSDKP Belawan

Hukum Perikanan dalam Qanun Nomor 7 tahun 2010


Rate This

Mulyadi Nurdin
oleh Mulyadi Nurdin, Lc
Kandungan Qanun nomor 7 tahun 2010 tentang perikanan tergolong lengkap karena
mengatur semua hal terkait pengelolaan perikanan dari awal hingga akhir, yang dalam Qanun
tersebut dikatakan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengaturan, pembuatan keputusan,
konservasi, alokasi dan peremajaan sumber daya perikanan, implementasi, dan pengawasan
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktifitas sumber daya hayati perairan demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat. [1]
Di samping itu secara substansi kehadiran Qanun tersebut juga diyakini dapat meningkatkan
ekonomi nelayan, dengan tetap memelihara ekosistem ikan dan sumber daya ikan. Dalam
Qanun disebutkan bahwa tujuan pengelolaan perikanan di Aceh adalah:
1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya skala kecil
2. Meningkatkan penerimaan daerah
3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja
4. Meningkatkan ketersediaan sumber daya ikan
5. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan
6. Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing
7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
8. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan,
serta lingkungan.

9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan, serta


lingkungan. [2]

Sebagaimana juga Qanun menegaskan kewenangan pemerintah Aceh dan pemerintah


kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya ikan atas wilayah laut Aceh, perairan
kepulauan dan perairan pedalaman, sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya
yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial dalam wilayah Aceh.
Hal itu sesuai dengan keistimewaan yang dimiliki Aceh menurut UUPA.
Walaupun Qanun memberikan kewenangan yang sangat luas bagi Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota untuk mengurus perikanan, namun yang menjadi fokus
pembahasan kita dalam makalah ini terbatas pada pengaturan di sektor; ruang lingkup
pengelolaan perikanan, perizinan, pengolahan dan pengawetan, Pemasaran, penanaman
modal, Pemberdayaan ekonomi nelayan, Konservasi sumber daya ikan, Pajak dan retribusi.

1. 1.

Ruang Lingkup Pengelolaan Perikanan

Dalam pengelolaan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 Qanun nomor 7
tahun 2010, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan yang sangat luas dalam menetapkan
ruang lingkup pengelolaan perikanan yang nantinya harus ditetapkan dengan peraturan
gubernur, kewenangan tersebut adalah:
1. Rencana pengelolaan sumber daya ikan
2. Potensi dan alokasi sumber daya ikan
3. Jumlah, jenis, dan ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap
4. Potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan
5. Potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu
6. Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan
7. Jenis, jumlah, ukuran, dan alat bantu penangkapan ikan lainnya
8. Wilayah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan
9. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan
10.Pusat pendaratan ikan, sistim informasi dan pemantauan kapal perikanan
11.Pos pemeriksaan distribusi dan baku mutu hasil ikan
12.Jenis ikan dan biota perairan lainnya yang akan dibudidayakan

m. Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya

1. Pembudidayaan dan perlindungan sumber daya ikan


2. Pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan sumberdaya
ikan serta lingkungan
3. Rahabilitasi, pelestarian dan peningkatan sumberdaya ikan serta
lingkungannya
4. Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap
5. Suaka perikanan (kawasan perlindungan ikan)
6. Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan
7. Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Aceh
8. Jenis ikan yang dilindungi[3]

1. 2.

Perizinan

Pada prinsipnya Qanun mewajibkan semua pihak yang bergerak di bidang budidaya
perikanan untuk memiliki izin dari pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota, namun
ada perbedaan antara usaha kecil dan usaha sedang dan besar dalam proses perizinan tersebut.
Bagi usaha kecil perizinan cukup dengan mendaftarkan kegiatan usahanya kepada dinas
kelautan dan perikanan setempat, dan pendaftaran tersebut sudah dianggap sebagai izin.
Sedangkan bagi usaha sedang dan besar perizinan harus dengan memiliki Surat izin Usaha
perikanan (SIUP) bidang budidaya, yang mana syarat-syarat dan ketentuan dalam penerbitan
izin tersebut akan diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur[4] .

Kewajiban memiliki izin


Dalam Pasal 37 ditegaskan bahwa setiap usaha penangkapan ikan wajib mengantongi izin
sesuai dengan sub bidang masing-masing, baik sebagai pengangkap ikan atau pengangkut
ikan, sebagaimana disebutkan berikut:
1. Setiap usaha penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36
wajib memiliki Surat izin usaha Perikanan (SIUP)
2. Setiap usahah budidaya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 wajib
memiliki SIUP bidang budidaya.
3. Berdasarkan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat 1 maka dapat
diberikan izin:

1. Surat izin penangkapan ikan (SIPI)


2. Surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI)

Dalam pasal 43 dibagikan juga kewenangan pemberian izin antara gubernur dan
bupati/walikota. Dimana ada izin yang harus dikeluarkan oleh gubernur dan ada juga yang
bisa dikeluarkan oleh bupati/walikota.
kewenangan gubernur dalam memberikan izin meliputi:
1. memberikan SIUP pada usaha perikanan laut Aceh di atas 4 mil laut
2. memberikan SIPI untuk kapal yang berbobot di atas 30 GT
3. memberikan SIKPI untuk kapal yang berbobot di atas 10 GT
4. memberikan izin usaha budidaya ikan air tawar, payau dan laut untuk
skala menengah dan besar
5. memberikan izin usaha pengumpulan penyimpanan, pemasaran
interinsulair, ekspor dan impor hasil perikanan
6. memberikan izin usaha pengolahan ikan skala menengah dan besar
7. memberikan izin terhadap kapal asing dalam segala jenis dan ukuran

kewenangan bupati/walikota dalam memberikan izin meliputi:


1. menerima pendaftaran kapal yang berbobot di bawah 5 GT
2. memberikan SIPI untuk kapal yang berbobot sampai dengan 30 GT
3. memberikan SIKPI untuk kapal yang berbobot 5 sampai dengan 10 GT
4. memberikan izin pengumpulan, penyimpanan, pengolahan, pengangkutn
dan pemasaran ikan antar kabupaten/kota
5. memberikan izin pengolahan ikan skala kecil

semua ketentuan teknis tentang tata cara pemberian izin tersebut diatur dengan peraturan
gubernur.[5]
Selanjutnya untuk semua kapal yang berlayar dalam rangka menangkap ikan juga diwajibkan
memiliki izin sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 39 bahwa:
1. Setiap kapal yang diperuntukkan untuk penangkapan ikan wajib memiliki
SIPI, dan untuk kapal pengangkut ikan wajib memiliki SIKPI.
2. Kapal perikanan yang diberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditentukan nomor penandaan kapal.

3. Penentuan nomor penandaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat 2


didasarkan pada bobot kapal dan zona tangkap.
4. Kapal yang berbobot 5-10 GT diberi nomor 1, 10-30 GT diberi nomor 2 dan
lebih dari 30 GT diberi nomor 3.

Sedangkan izin berlayar diberikan oleh Syahbandar sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 40 ayat 1:
Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan wajib memiliki Surat Izin
Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan oleh syahbandar di
pelabuhan perikanan.

1. 3.

Pengolahan dan Pengawetan

Untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi pada ikan diperlukan pengolahan dan pengawetan
supaya ikan tidak busuk ketika disimpan, ketentuan tentang itu diatur dalam Pasal 23 Qanun
nomor 7 tahun 2010, yang menegaskan bahwa: Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota memberikan izin untuk usaha pengolahan dan pengawetan ikan.[6]
Qanun tersebut juga mewajibkan semua pihak yang mengolah dan mengawetkan ikan untuk
menjaga standar mutu supaya menjamin perlindungan konsumen, serta memiliki izin usaha:
1. Pengolahan dan pengawetan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23
harus memenuhi standar mutu dan menggunakan cara-cara yang islami,
bersih, terjamin kesehatan dan keamanan bagi konsumen
2. Kegiatan pengolahan dan pengawetan sebagaimana dimaksud pada ayat
1 harus memiliki:
3. Usaha skala menengah dan besar:
1. usaha perdaganan dalam negeri harus memiliki sertifikat
keterangan mutu yang hanya dapat diterbitkan terhadap produk
perikanan yang berasal dari Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang telah
memiliki sertifikat kelayakan pengolahan (SKP)
2. untuk perdagangan luar negeri harus memiliki sertifikat kesehatan
yang hanya dapat diterbitkan terhadap produk perikanan yang
berasal dari UPI yang telah meiliki SKP.
1. Usaha skala kecil harus memiliki penomoran industri rumah
tangga[7]

Anda mungkin juga menyukai