Anda di halaman 1dari 4

Prinsip-prinsip demokrasi

Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[41] Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari
pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".[42] Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:[42]
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Sentralisasi adalah pengaturan kewenangan dari pemerintah daerah kepada


pemerintah pusat untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan

prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia.

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada


daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

PENGERTIAN IUS SOLI DAN IUS SANGUINIS


Ada 2 asas dalam menentukan kewarganegaraan seorang anak yang dianut negara-negara
didunia,
yaitu:
- Asas Ius Soli atau jus soli (bahasa Latin untuk "hak untuk wilayah").
- Asas Ius Sanguinis atau jus sanguinis (bahasa Latin untuk "hak untuk darah").
Berikut saya akan mencoba menjelaskan prinsip dari kedua asas tersebut dan beberapa
permasalahan yang timbul dengan penerapan kedua asas tersebut.
Pengertian dari 2 asas di atas, yaitu:
1. Asas Ius Soli atau jus soli (bahasa Latin untuk "hak untuk wilayah")
adalah asas pemberian kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran (terbatas). Negara
yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak yang lahir sebagai
warganegaranya hanya apabila anak tersebut lahir di wilayah negaranya, tanpa melihat siapa dan
darimana orang tua anak tersebut. Asas ini memungkinkan adanya bangsa yang modern dan
multikultural tanpa dibatasi oleh ras, etnis, agama, dll.
Contoh beberapa negara yang menganut asas Ius Soli, yaitu:
- Argentina
- Brazil
- Jamaika
- Kanada
- Meksiko
- Amerika Serikat
2. Asas Ius Sanguinis atau jus sanguinis (bahasa Latin untuk "hak untuk darah")
adalah asas pemberian kewarganegaraan berdasarkan keturunan orang tuanya. Negara yang
menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak sebagai warga negaranya
apabila orang tua dari anak tersebut adalah memiliki status kewarganegaraan negara tersebut

(dilihat dari keturunannya). Asas ini akan berakibat munculnya suatu negara dengan etnis yang
majemuk.Contoh negara yang menganut asas ini adalah negara-negara yang memiliki sejarah
panjang seperti negara-negara Eropa dan Asia.
Contoh beberapa negara yang menganut asas ius sanguinis, yaitu:
- China
- Kroasia
- Jerman
- India
- Jepang
- Malaysia
Masalah yang timbul dari kedua asas ini, yaitu:
1. Bipatride
Yakni timbulnya 2 kewarganegaraan. Hal ini terjadi karena seorang Ibu berasal dari negara
yang menganut asas ius sanguinis melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius
soli. Sehingga kedua negara (negara asal dan negara tempat kelahiran) sama-sama memberikan
status kewarganegaraannya.
Misalnya:
Asep dan Nani adalah suami isteri yang bernegara B atau berasas Ius Sanguinis. Mereka
berdomisili di negara A yang berasas Ius Soli . Kemudian lahirlah anak mereka, Udin. Menurut
negara B yang menganut asas Ius Sanguinis, Udin adalah warga negaranya karena mengikuti
kewarganegaraan orang tuanya. Begitu pula menurut negara A yang menganut asas Ius Soli,
Udin juga warga negaranya, karena tempat kelahirannya di negara A yang menganut asas Ius
Soli. Dengan demikian Udin mempunyai status dua kewarganegaraan atau Bipatride.
2. Apatride
Yakni kasus dimana seorang anak tidak memiliki kewarganegaraan. Keadaan ini terjadi
karena seorang Ibu yang berasal dari negara yang menganut asas ius soli melahirkan seorang
anak di negara yang menganut asas ius sanguinis. Sehingga tidak ada negara baik itu negara asal
Ibunya ataupun negara kelahirannya yang mengakui kewarganegaraan anak tersebut.
Misalnya:
Alex dan Marie adalah suami isteri yang bernegara A atau berasas Ius Soli. Mereka berdomisili
di negara B yang berasas Ius Sanguinis. Kemudian lahirlah anak mereka, Amel. Menurut negara
A yang menganut asas Ius Soli, Amel tidak diakui sebagai warganegaranya, karena lahir di
negara lain. Begitu pula menurut negara B yang menganut asas Ius Sanguinis, Amel tidak diakui
sebagai warganegaranya, karena orang tuanya bukan warganegara. Dengan demikian Amel tidak
mempunyai kewarganegaraan atau Apatride.
Substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian Tuhan. Hampir
semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM. Tetapi memiliki perbedaan pandangan dan
cara pelaksanaan HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu
negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM
universal. Kekhususan tersebut bias saja bersumber pada kekhasan nilai budaya, agama, dan

tradisi setempat. Perbedaan antara universalitas dan particular HAM tercemin dalam dua teori
yang saling berlawanan yaitu teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori
relativisme kultural berpandangan bahwa tidak ada hak yang universal, semua tergantung pada
kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar bias diabaikan atau disesuaikan dengan
praktik-praktik sosial.
Para penganut relativisme Kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung
melihat universalitas HAM sebagai imperialism kebudayaan Barat. Hak asasi, sebagaimana di
tetapkan dalam DUHAM , dipandang sebagai produk politis Barat, sehingga tidak bias
diterapkan secara universal. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah
bersifat universal dan tidak bias dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan
sejarah suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai