Anda di halaman 1dari 31

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia,


sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tentang Kesehatan menyatakan bahwa derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dicapai melalui penyelenggaraan pembangunan
kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan
seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri
(mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 mengumpulkan 10 indikator tunggal
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang terdiri dari enam indikator individu
dan empat indikator rumah tangga. Indikator individu meliputi pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/Ketersediaan
jaminan Pemeliharaan kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup
beraktifitas fisik dan penduduk cukup mengkonsumsi sayur dan buah. Indikator
Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses
jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni (8m2/orang) dan
rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011).
Adapun manfaat PHBS adalah terwujudnya rumah tangga yang derajat
kesehatannya meningkat dan tidak mudah sakit serta meningkatnya produktivitas
kerja setiap anggota keluarga yang tinggal dalam lingkungan sehat dalam rangka
mencegah timbulnya penyakit dan masalah-masalah kesehatan lain, meningkatkan
derajat kesehatan, dan memanfaatkan pelayanan kesehatan, serta mengembangkan

dan menyelenggarakan upaya kesehatan bersumber masyarakat (Depkes, 2006).


Cakupan rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat di Sulawesi
Selatan berdasarkan data yang diperoleh dari profil data kesehatan Indonesia tahun
2011 yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan sebesar 46%, dari 932.133 rumah
tangga yang dipantau (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Hasil Riskesdas 2007 diketahui bahwa rumah tangga yang telah
mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baru mencapai 38,7%. Oleh
sebab itu, Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014
menetapkan target 70% rumah tangga sudah mempraktekkan PHBS pada tahun 2014.
Persentase rumah tangga Ber-PHBS memang merupakan salah satu Indikator Kinerja
Utama (IKU) dari Kementerian Kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011).
Hasil kegiatan program PHBS yang diukur melalui 10 indikator berdasarkan
Survey Kesehatan Nasional 2004 menunjukkan bahwa pencapaian PHBS secara
nasional masih jauh dari target, minimal 65%. Sedangkan pencapaian indikator PHBS
pada tahun 2010 secara rinci yaitu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 64%,
masyarakat yang mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan 19%, ketersediaan air
bersih 81%, ketersediaan jamban sehat 49%, kesesuaian lantai rumah dengan jumlah
penghuni 35%, lantai rumah bukan tanah 35%, tidak merokok dalam rumah 36%,
melakukan aktivitas fisik setiap hari 18%, dan makan buah serta sayur setiap hari
61% (Depkes RI, 2004).
Salah satu contoh perilaku sehat dalam PHBS, adalah menggunakan jamban
keluarga untuk membuang kotoran atau tinja manusia. Dengan menggunakan jamban
keluarga dalam pembuangan kotoran atau tinja manusia, maka akan melindungi
keluarga dan juga masyarakat dari ancaman penyakit menular berbasis lingkungan
seperti diare, penyakit kulit dan kecacingan, dimana penyakit berbasis lingkungan
tersebut merupakan salah satu penyebab cukup tingginya angka kesakitan dan
kematian di Indonesia. Hal ini terkait erat dengan kondisi lingkungan yang belum
memadai (Depkes RI, 2004).
Penggunaan jamban di berbagai daerah di Indonesia masih menggunakan

pembuangan air yang tidak sehat. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang
dilaksanakan antara lain oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dimana data yang tercatat
pada penduduk yang menggunakan jamban pada tahun 2002 memperlihatkan rumah
tangga (RT) yang memakai jamban leher angsa di daerah perkotaan sebesar 79,14%
dan tinggal di pedesaan sebesar 42,16%, yang menggunakan jamban plengsengan, di
daerah perkotaan sebesar 11,41% dan di daerah pedesaan sebesar 11,23%. Sedangkan
yang menggunakan jamban cemplung di daerah perkotaan sebesar 1,96% dan di
daerah pedesaan sebesar 10,56%. Bila dilihat secara keseluruhan (perkotaan dan
perdesaan), RT yang memakai jamban leher angsa sebesar 61,64%, jamban cemplung
21,01%, jamban plengsengan 11,32%, dan yang tidak memakai jamban 6,03%
(Depkes RI, 2004).
Dari data-data diatas penulis tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan
Ibu Rumah Tangga tentang kebersihan lingkungan yang berkaitan erat dengan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten
Labuhanbatu Utara

1.2

Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat pengetahuan Ibu Rumah Tangga mengenai kebersihan

lingkungan yang berkaitan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di lingkungan
Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara?
1.3
1.3.1

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Ibu mengenai kesehatan lingkungan

yang berkaitan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Kelurahan Gunting Saga,
Kabupaten Labuhanbatu Utara.
1.3 Tujuan Khusus
2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Ibu Rumah Tangga mengenai

penggunaan air bersih di lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten


Labuhanbatu Utara.
3. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Ibu Rumah Tangga mengenai
jamban sehat di lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten
Labuhanbatu Utara
4. Untuk menegetahui tingkat pengetahuan Ibu Rumah Tangga mengenai
pengelolaan sampah rumah tangga di lingkungan Kelurahan Gunting
Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara
5. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Ibu Rumah Tangga mengenai
kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni dan lantai rumah bukan
tanah di lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu
Utara
1.4

Manfaat Penelitian
1. Data atau informasi hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi
para Ibu Rumah Tangga di lingkungan Kelurahan Gunting Saga,
Kabupaten Labuhanbatu Utara.
2. Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai sumber informasi
data untuk penelitian ilmiah tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di
masa mendatang.
3. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan pembaca mini project dan
peneliti sendiri tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan

yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatankegiatan kesehatan di
masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah
tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat
serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di Rumah Tangga
dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat. Rumah tangga sehat berarti mampu
menjaga, meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari
gangguan ancaman penyakit dan lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat.
Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan untuk mewujudkan Rumah
Tangga Sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang memenuhi 7 indikator
PHBS Hidup Sehat. (Yulia Astuti, dr, 2013)
2.2

Air Bersih

2.2.1

Definisi
Menggunakan air bersih merupakan indikator PHBS yang ke-5.Air bersih

adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum
setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang
memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun persyaratan yang
dimaksud adalah persyaratan dari segikualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia,
biologi dan radiologis, sehinggaapabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping
(Ketentuan Umum Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990.)
2.2.2

Persyaratan Kualitatif.
Persyaratan kualitas menggambarkan mutu atau kualitas dari air baku air

bersih. Persyaratan ini meliputi persyaratan fisik, persyaratan kimia, persyaratan

biologis dan persyaratan radiologis. Syarat-syarat tersebut berdasarkan Permenkes


No.416/Menkes/PER/IX/1990dinyatakan bahwa persyaratan kualitas air bersih adalah
sebagai berikut:
1.

Syarat-syarat Fisik.
Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Selain itu

juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau kurang lebih 25oC, dan
apabila terjadi perbedaan maka batas yang diperbolehkan adalah 25oC 3oC.
2.
Syarat-syarat Kimia.
Air bersih tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam jumlah yang
melampaui batas. Beberapa persyaratan kimia antara lain adalah : pH, total solid, zat
organik, CO2 agresif, kesadahan, kalsium (Ca), besi (Fe), mangan (Mn), tembaga
(Cu), seng (Zn), chlorida (Cl), nitrit, flourida (F), serta logam berat.
3.
Syarat-syaratbakteriologis dan mikrobiologis.
Air bersih tidak boleh mengandung kuman patogen dan parasitik yang
mengganggu kesehatan. Persyaratan bakteriologis ini ditandai dengan tidak adanya
bakteri E. coli atau Fecal coli dalam air.
4.
Syarat-syarat Radiologis
Persyaratan radiologis mensyaratkan bahwa air bersih tidak boleh
mengandung zat yang menghasilkan bahan-bahan yang mengandung radioaktif,
seperti sinar alfa, beta dan gamma.
2.2.3

Persyaratan Kuantitatif (Debit)


Persyaratan kuantitas dalam penyediaan air bersih adalah ditinjau dari

banyaknya air baku yang tersedia. Artinya air baku tersebut dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan kebutuhan daerah dan jumlah penduduk yang
akan dilayani. Persyaratan kuantitas juga dapat ditinjau dari standar debit air bersih
yang dialirkan ke konsumen sesuai dengan jumlah kebutuhan air bersih.( Agustina
D.V, 2007)
2.2.4

Persyaratan Kontinuitas

Air baku untuk air bersih harus dapat diambil terus menerus dengan fluktuasi
debit yang relatif tetap, baik pada saat musim kemarau maupun musim hujan.
Kontinuitas juga dapat diartikan bahwa air bersih harus tersedia 24 jam per hari, atau
setiap saat diperlukan, kebutuhan air tersedia. Akan tetapi kondisi ideal tersebut
hampir tidak dapat dipenuhi pada setiap wilayah di Indonesia, sehingga untuk
menentukan tingkat kontinuitas pemakaian air dapat dilakukan dengan cara
pendekatan aktifitas konsumen terhadap prioritas pemakaian air. Prioritas pemakaian
air yaitu minimal selama 12 jam per hari, yaitu pada jam-jam aktifitas kehidupan,
yaitu pada pukul 06.00-18.00 WIB.
Kontinuitas aliran sangat penting ditinjau dari dua aspek.Pertama adalah
kebutuhan konsumen. Sebagian besar konsumen memerlukan air untuk kehidupan
dan pekerjaannya, dalam jumlah yang tidak ditentukan. Karena itu, diperlukan pada
waktu yang tidak ditentukan.Karena itu, diperlukan reservoir pelayanan dan fasilitas
energi yang siap setiap saat.
Sistem jaringan perpipaan didesain untuk membawa suatu kecepatan aliran
tertentu. Kecepatan dalam pipa tidak boleh melebihi 0,61,2 m/dt. Ukuran pipa harus
tidak melebihi dimensi yang diperlukan dan juga tekanan dalam sistem harus
tercukupi. Dengan analisis jaringan pipa distribusi, dapat ditentukan dimensi atau
ukuran pipa yang diperlukan sesuai dengan tekanan minimum yang diperbolehkan
agar kuantitas aliran terpenuhi. ( Agustina D.V, 2007)
2.2.5

Sistem Distribusi Air Bersih


Sistem distribusi adalah sistem yang langsung berhubungan dengan

konsumen, yang mempunyai fungsi pokok mendistribusikan air yang telah memenuhi
syarat ke seluruh daerah pelayanan.Sistem ini meliputi unsur sistem perpipaan dan
perlengkapannya, hidran kebakaran, tekanan tersedia, system pemompaan, dan
reservoir distribusi.

Sistem distribusi air minum terdiri atas perpipaan, katup-katup, dan pompa
yang membawa air yang telah diolah dari instalasi pengolahan menuju pemukiman,
perkantoran dan industri yang mengkonsumsi air. Juga termasuk dalam sistem ini
adalah fasilitas penampung air yang telah diolah (reservoirdistribusi), yang digunakan
saat kebutuhan air lebih besar dari suplai instalasi, meter air untuk menentukan
banyak air yang digunakan, dan keran kebakaran.
Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi adalah
tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinuitas
pelayanan), serta menjaga keamanan kualitas air yang berasal dari instalasi
pengolahan.( Ir. Abuzar S.S.)
Tugas pokok sistem distribusi air bersih adalah menghantarkan air bersih
kepada para pelanggan yang akan dilayani, dengan tetap memperhatikan faktor
kualitas, kuantitas dan tekanan air sesuai dengan perencanaan awal. Faktor yang
didambakan oleh para pelanggan adalah ketersedian air setiap waktu.

2.2.6

Sistem Penyediaan Air Bersih


Pendistribusian air minum kepada konsumen dengan kuantitas, kualitas dan

tekanan yang cukup memerlukan sistem perpipaan yang baik, reservoir, pompa dan
dan peralatan yang lain. Metode dari pendistribusian air tergantung pada kondisi
topografi dari sumber air dan posisi para konsumen berada. Sistem penyediaan air
bersih terdiri daripada( Ir. Abuzar S.S.):
1.

Sistem sambungan langsung


Dalam sistem ini, pipa distribusi dalam gedung disambung langsung dengan

pipa utama penyediaan air bersih Perusahaan Air Minum. Sistem ini terutama
diterapkan untuk perumahan dan bangunan gedung yang kecil dan rendah. Pemilihan
Sistem ini didasarkan kepada kapasitas dan tekanan air yang disuplai cukup.

2.

Sistem tangki atap


Apabila sistem sambungan langsung oleh berbagai alasan tidak dapat

diterapkan, sebagai gantinya banyak sekali digunakan sistem tangki atap. Dalam
sistem ini, air ditampung terlebih dahulu dalam tangki bawah (yang berada di lantai
terendah bangunan atau di bawah muka tanah) dan kemudian dipompakan ke suatu
tangki atas yang biasanya dipasang di atas atap atau di atas lantai tertinggi bangunan.
Dari tangki ini air dialirkan ke seluruh bangunan.
3.
Sistem tangki tekan
Fungsinya adalah untuk memberikan tekanan konstan pada sistem, mengatur
hidup mati pompa secara otomatis, menyimpan air. Prinsip kerja dari sistem ini yaitu
air yang telah ditampung di dalam tangki bawah dipompakan ke dalam suatu bejana
(tangki) tertutup, sehingga udara di dalamnya terkompresi dan air dapat dialirkan ke
dalam sistem distribusi bangunan. Pompanya bekerja secara otomatis.

4.

Sistem tanpa tangki


Dalam sistem ini tidak digunakan tangki apapun. Air dipompakan langsung ke

sistem distribusi bangunan dan pompa menghisap air langsung dari pipa utama
(PDAM). Sistem ini dilarang di Indonesia, baik oleh Perusahaan Air Minum maupun
pada pipapipa utama dalam pemukiman khusus.
2.3

Jamban Sehat
Menggunakan jamban sehat merupakan indikator ke-6 PHBS. Jamban

keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuan dan mengumpulkan
kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak
menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori permukaan (Kusnoputranto,
1997 dalam Enviromental Sanitation Journal).Sementara itu menurut Josep Soemardi
(1999) dalam Enviromental Sanitation Journal

pengertian jamban adalah

pengumpulan kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit


penyakit yang ada pada kotoran manusia dan mengganggu estetika. Jamban keluarga

10

sangat berguna bagi manusia dan merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena
jamban dapat mencegah berkembangnya berbagai penyakit saluran pencernaan yang
disebabkan oleh kotoran manusia yang tidak dikelola dengan baik.
Ditinjau dari kesehatan lingkungan membuang kotoran ke sembarang tempat
menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara yang menimbulkan bau. Dalam
peningkatan sanitasi jamban, kita harus mengetahui persyaratan pembuangan tinja.
Berdasarkan Kumoro, 1998 dalam Enviromental Sanitation Journal, ada bagianbagian dari sanitasi pembuangan tinja adalah sebagai berikut:

1.

Rumah Kakus
Rumah kakus mempunyai fungsi untuk tempat berlindung pemakainya dari

pengaruh sekitarnya aman. Baik ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika.
Konstruksinya disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.
2.

Lantai Kakus
Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus

baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga
disesuaikan dengan bentuk rumah kakus.
3.

Tempat Duduk Kakus


Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja

yang kuat dan mudah dibersihkan juga bisa mengisolir rumah kakus jaddi tempat
pembuangan tinja, serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah
diangkat
4.

Kecukupan Air Bersih

11

Untuk menjaga keindahan jamban dari pandangan estetika, jamban hendaklah


disiram minimal 4-5 gaayung sampai kotoran tidak mengapung di lubang jamban atau
closet.Tujuan menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap
bersih selain itu kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga mencegah penyakit
menular.
5.

Tersedia Alat Pembersih


Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakuss didekat jamban. Jenis

alat pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya. Tujuan alat pembersih ini
agar jamban tetap bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal
2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut dan licin.
6.

Tempat Penampungan Tinja


Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang fungsinya sebagai

tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksinya dapat berbentuk sederhan berupa


lobang tanah saja.
7.

Saluran Peresapan
Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap

untuk mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur kotoran/tinja.


2.3.1

Jenis-Jenis Jamban
Jamban keluarga yang didirikan mempunyai beberapa pilihan. Pilihan yang

terbaik ialah jamban yang tidak menimbulkan bau, dan memiliki kebutuhan air yang
tercukupi dan berada di dalam rumah. Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa
macam jamban menurut beberapa ahli. Menurut Azwar (1983) dalam The Indonesian
Public Health Portal, jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :
1.

Jamban cubluk (Pit Privy) adalah jamban yang tempat penampungan tinjanya

12

dibangun dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan jamban. Fungsi dari
lubang

adalah

mengisolasi

tinja

sedemikian

rupa

sehingga

tidak

dimungkinkan penyebaran dari bakteri secara langsung ke pejamu yang baru.


Jenis jamban ini, kotoran langsung masuk ke jamban dan tidak terlalu dalam
karena akan menotori air tanah, kedalamannya sekitar 1,5-3 meter.

2.

Jamban Empang (Overhung Latrine)


Adalah jamban yang dibangun diatas empang, sungai ataupun rawa. Jamban
model ini ada yang kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya dipakai

3.

untuk makanan ikan, ayam.


Jamban Kimia (Chemical Toilet)
Jamban model ini biasanya dibangun pada tempat-tempat rekreasi, pada
transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang dan lain-lain. Disini tinja
disenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda dan pembersihnya dipakai
kertas tissue (toilet paper). Jamban kimia ada dua macam, yaitu :
a. Tipe lemari (commode type)
b. Tipe tangki (tank type)
Jamban kimia sifatnya sementara, karena kotoran yang telah terkumpul perlu
di buang lagi.

4.

Jamban Leher Angsa (Angsa Trine)


Jamban leher angsa adalah jamban leher lubaang closet berbentuk
lengkungan, dengan demikian akan terisi air gunanya sebagai sumbat
sehingga dapat mencegah bau busuk serta masuknya binatang-binatang kecil.
Jamban model ini adalah model yang terbaik yang dianjurkan dalam
kesehatan lingkungan

2.3.2

Syarat Jamban Sehat


Dalam dalam Enviromental Sanitation Journal dinyatakan persyaratan jamban

keluarga sehat Depkes RI,2004 adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai

13

berikut :
1.

Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15

2.
3.

meter dari sumber air minum.


Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak

4.
5.
6.
7.
8.
9.

mencemari tanah di sekitarnya.


Mudah dibersihkan dan aman penggunannya.
Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.
Cukup penerangan
Lantai kedap air
Ventilasi cukup baik
Tersedia air dan alat pembersih.

2.3.3

Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga


Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik

dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu :


1.
2.
3.
4.

Melindungi kesehatan masyarkat dari penyakit


Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan saran yang aman
Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit
Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan

2.3.4

Pemeliharaan Jamban
Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara

pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI 2004 dalam Enviromental Sanitation


Journal adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering


Di sekeliling jamban tidak ada genangan air
Tidak ada sampah berserakanan
Rumah jamban dalam keadaan baik
Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat
Lalat, tikus dan kecoa tidak ada
Tersedia alat pembersih
Bila ada yang rusak segera diperbaiki

14

Selain itu ditambahkan juga pemeliharaan jamban keluarga dapat dilakukan dengan :
1.
2.

Air selalu tersedia dalam bak atau dalam ember


Sehabis digunakan, lantai dan lubang jongkok harus disiram bersiih agar tidak

3.

bau dan mengundang lalat.


Lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak

4.
5.

membahayakan pemakai.
Tidak memasukkan bahan kimia dan detergen pada lubang jamban.
Tidak ada aliran masuk kedalam lubang jamban selain untuk membilas tinja

2.4

Sampah

2.4.1

Sistem Pengelolaan Sampah


Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi

5 aspek yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling
berinteraksi untuk mencapai tujuan (Dept. Pekerjaan Umum, SNI 19-2454-2002).
Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan
manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek bembiayaan, aspek peran serta
masyarakat. Kelima aspek tersebut di atas ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1

15

Skema Manajemen Pengelolaan Sampah


(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, (SNI 19-2454-2002)
Dari gambar tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara
aspek teknis operasional, organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat
saling terkait, tidak dapat berdiri sendiri.
1. Aspek Teknik Operasional
Aspek Teknis Operasional merupakan komponen yang paling dekat dengan
obyek persampahan. Menurut Hartoyo (1998), perencanaan sistem persampahan
memerlukan suatu pola standar spesifikasi sebagai landasan yang jelas. Spesifikasi
yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-2454-2002
tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman. Teknis operasional
pengelolaan sampah bersifat integral dan terpadu secara berantai dengan urutan yang
berkesinambungan yaitu: penampungan/ pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, dan pembuangan/ pengolahan.

16

Gambar 2.2
Teknis Operasional Pengelolaan Sampah
(Sumber: Standar Nasional Indonesi(SNI 19-2454-2002)
a.

Penampungan sampah
Proses awal dalam penanganan sampah terkait langsung dengan sumber

sampah adalah penampungan. Penampungan sampah adalah suatu cara penampungan


sampah sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut, dan dibuang ke TPA.
Tujuannya adalah menghindari agar sampah tidak berserakan sehingga tidak
menggangu lingkungan. Faktor yang paling mempengaruhi efektifitas tingkat
pelayanan adalah kapasitas peralatan, pola penampungan, jenis dan sifat bahan, serta
lokasi penempatan (SNI 19-2454-2002)
b.
Pengumpulan sampah
Pengumpulan sampah adalah cara proses pengambilan sampah mulai dari
tempat penampungan sampah sampai ke tempat pembuangan sementara. Pola
pengumpulan sampah pada dasarnya dikempokkan dalam 2 yaitu pola individual dan
pola komunal.
c.
Pemindahan sampah
Proses pemindahan sampah adalah memindahkan sampah hasil pengumpulan
ke dalam alat pengangkutan untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tempat yang
digunakan untuk pemindahan sampah adalah depo pemindahan sampah yang
dilengkapi dengan container pengangkut dan atau ram dan atau kantor, bengkel (SNI
19-2454-2002). Pemindahan sampah yang telah terpilah dari sumbernya diusahakan
jangan sampai bercampur kembali (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29).
d.
Pengangkutan sampah
Pengangkutan sampah yang telah dikumpulkan di tempat penampungan
sementara atau dari tempat sumber sampah ke tempat pembuangan akhir. Berhasil
tidaknya penanganan sampah juga tergantung pada sistem pengangkutan yang
diterapkan. Pengangkutan sampah yang ideal adalah dengan truck container tertentu
yang dilengkapi alat pengepres, sehingga sampah dapat dipadatkan 2-4 kali lipat

17

(Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29). Tujuan pengangkutan sampah


adalah menjauhkan sampah dari perkotaan ke tempat pembuangan akhir yang
biasanya jauh dari kawasan perkotaan dan permukiman.
e.
Pembuangan akhir sampah
Pembuangan akhir merupakan tempat yang disediakan untuk membuang
sampah dari semua hasil pengangkutan sampah untuk diolah lebih lanjut. Prinsip
pembuang akhir sampah adalah memusnahkan sampah domestik di suatu lokasi
pembuangan akhir. Jadi tempat pembuangan akhir merupakan tempat pengolahan
sampah.
2. Aspek Kelembagaan
Organisasi dan manajemen mempunyai peran pokok dalam menggerakkan,
mengaktifkan, dan mengarahkan sistem pengelolaan sampah dengan ruang lingkup
bentuk institusi, pola organisasi personalia, serta manajemen. Institusi dalam sistem
pengelolaan sampah memegang peranan yang sangat penting meliputi: struktur
organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang, serta koordinasi baik vertikal
maupun horizontal dari badan pengelola (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko,
2002:29).
Jumlah personil pengelola persampahan harus cukup memadai sesuai dengan
lingkup tugasnya. Untuk sistem pengumpulan, jumlah personil minimal 1 orang per
1.000 penduduk yang dilayani, sedangkan sistem pengangkutan, sistem pembuangan
akhir minimal 1 orang per 1.000 penduduk (SNI 19-2454-2002).
3. Aspek Pembiayaan
Aspek pembiayaan berfungsi untuk membiayai operasional pengelolaan
sampah yang dimulai dari sumber sampah/ penyapuan, pengumpulan, transfer dan
pengangkutan, pengolahan dan pembuangan ahkir. Selama ini dalam pengelolaan
sampah perkotaan memerlukan subsidi yang cukup besar, kemudian diharapkan
sistem pengelolaan sampah ini dapat memenuhi kebutuhan dana sendiri dari retribusi
(Dit.Jend. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003).
4. Aspek Peraturan/ Hukum
Prinsip aspek peraturan pengelolaan persampahan berupa peraturan-peraturan
daerah yang merupakan dasar hukum pengelolaan persampahan yang meliputi
(Hartoyo, 1998:8) :

18

a. Perda yang dikaitkan dengan ketentuan umum pengelolaan kebersihan.


b. Perda mengenai bentuk institusi formal pengelolaan kebersihan.
c. Perda yang khusus menentukan struktur tarif dan tarif dasar pengelolaan
kebersihan
Peraturanperaturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab
pengelola kebersihan serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan
pembayaran retribusi.

5. Aspek Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat sangat mendukung program pengelolaan sampah suatu
wilayah. Peran serta masyarakat dalam bidang persampahan adalah proses dimana
orang sebagai konsumen sekaligus produsen pelayanan persampahan dan sebagai
warga mempengaruhi kualitas dan kelancaran prasarana yang tersedia untuk mereka.
Peran serta masyarakat penting karena peran serta merupakan alat guna memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, masyarakat
lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses
persiapan dan perencanaan (LP3B Buleleng-Clean Up Bali, 2003).
Bentuk peran serta masyarakat dalam penanganan atau pembuangan sampah
antara lain: pengetahuan tentang sampah/ kebersihan, rutinitas pembayaran retribusi
sampah, adanya iuran sampah RT/ RW/ Kelurahan, kegiatan kerja bakti, dan
penyediaan tempat sampah.
2.4.2

Dampak Sampah yang Tidak Diolah


Menurut Gelbert dkk (1996), jika sampah tidak dikelola dengan baik akan

menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, yaitu:


1.

Dampak terhadap Kesehatan


Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai merupakan tempat

19

yang cocok bagi beberapa organisme yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi
bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut (Gelbert dkk
1996:46-48):
a. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari
sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
b. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini
sebelumnnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya
yang berupa sisa makanan/ sampah.
d. Sampah beracun. Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg).
Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
2.

memproduksi baterai dan akumulator.


Dampak terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan

mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa
spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis
(Gelbert dkk., 1996). Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan
menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metana. Selain berbau
kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak (Gelbert dkk., 1996).
3.
Dampak terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
Dampak-dampak tersebut menurut Gelbert dkk, 1996 adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang
menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang
buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan
secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak
langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,

20

drainase, dan lain-lain.


e. Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak
memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air. Jika
sarana penampungan sampah yang kurang atau tidak efisien, orang akan
cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu
lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.
2.4.3

Pengelolaan Sampah
M Gempur Adnan, Deputi II Bidang Pengendalian Pencemaran Kementerian

Negara Lingkungan Hidup, mengatakan sebagai pengganti sistem penumpukan


sampah di tempat pembuangan akhir yang banyak diprotes masyarakat, pemerintah
kini mendorong penerapan pengelolaan sampah dengan sistem 3R (reuse, reduce, dan
recycle) pada skala kota. Program pengelolaan sampah terpadu dengan prinsip
pengunaan kembali, daur ulang dan pengurangan (reuse, recycle, reduce/ 3R) ini
bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan prinsip tersebut, jumlah sampah yang dibuang ke TPA tinggal 35
persen sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa
pemakaiannya. Undang-undang RI nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah

menegaskan

bahwa

pengelolaan

sampah

harus

dilakukan

secara

komprehensif sejak hulu sampai hilir. Pada tingkat perumahan atau kelurahan,
dilakukan kegiatan pengurangan sampah melalui program 3R.
Dalam pengelolaan menuju zero waste, proses pemilahan dan pengolahan
harus dilaksanakan di sumber sampah, baik bersamaan maupun secara berurutan
dengan pewadahan sampah. Pengelolaan sampah diawali dari lokasi timbulan sampah
atau produsen sampah. Sampah dipisah antara sampah organik dan sampah
anorganik, dan ditempatkan pada wadah sampah yang berbeda. Sampah organik
untuk diproses menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik biasanya dimanfaatkan
untuk didaur ulang maupun dimanfaatkan kembali. Proses selanjutnya baik

21

pengumpulan, pemindahan maupun pengangkutan sampah yang telah terpilah


diusahakan jangan tercampur kembali.
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah:
Baik
Pengetahuan Ibu Rumah Tangga
tentang Kesehatan Lingkungan
Gambar 1. Kerangka Konsep

Sedang
Kurang

3.2. Definisi Operasional


1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan
umumnya datang dari penginderaan yang terjadi melalui panca indra manusia,
yaitu : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmojo,
2003)
a. Cara Ukur

: Diukur dengan menjawab pertanyaan 1-19 yang telah

diberikan peneliti dalam bentuk kuesioner.


b. Alat Ukur : Kuesioner.
c. Cara Penilaian :
a) Benar : Mendapat nilai 1
b) Salah : Mendapat nilai 0
d. Kategori Pengukuran :

22

a) Tingkat Pengetahuan Baik : Apabila responden mendapat skor 75


-100 %, dengan menjawab benar 15 - 19
b) Tingkat Pengetahuan Sedang : Apabila responden mendapat skor
60 75 %, dengan menjawab benar 9 - 14
c) Tingkat Pengetahuan Kurang : Apabila responden mendapat skor <
60 %, dengan menjawab benar 3 - 8
e. Skala Ukur : Ordinal

2. Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus
ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari
manusia (WHO, 2014).

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1

Jenis Penelitian

23

Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan atau area populasi tertentu
yang bersifat faktual secara objektif, sistematis dan akurat.(Sulistyaningsih, 2011).
4.2

Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1

Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016

4.2.2

Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Kelurahan Gunting Saga,

Kabupaten Labuhanbatu Utara


4.3

Populasi dan Sampel

4.3.1

Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Ibu Rumah Tangga yang berada di

lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara.


4.3.2

Sampel
Pengambilan sampel secara simple random sampling dilakukan secara acak

tanpa memperhatikan strata yang ada, setiap subjek/unit dari populasi yang sama
sehingga memiliki peluang yang sama dan independen untuk terpilih ke dalam
sampel dan waktu yang relative singkat. Sampel pada penelitian ini diambil dari
populasi yang berarti ibu rumah tangga yang berada di lingkungan Kelurahan
Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Dimana populasi dari penelitian ini
sebanyak 300 rumah, sampel diambil secara acak yaitu diambil setiap 6 rumah satu
sampel sehingga sampel menjadi 50 orang.
4.3.3

Kriteria Inklusi

24

Responden yang bersedia menjadi sampel penelitian


4.3.4

Kriteria Eksklusi
Responden yang tidak mempunyai kartu keluarga

4.4

Teknik Pengumpulan Data


Data berasal dari sampel penelitian, pengumpulan data dilakukan dengan

memberikan kuesioner kepada responden secara wawancara. Dimana, respodennnya


adalah ibu rumah tangga yang memenuhi kriteria. Kuesioner berupa pertanyaan
sehubungan pengetahuan ibu rumah tangga mengenai kesehatan lingkungan.
4.5

Pengolahan dan Analisis Data


Menurut Wahyuni (2007), pengolahan data adalah suatu proses dalam

memperoleh data ringkasan atau angka dengan menggunakan cara-cara tertentu:


a. Editing
Dilakukan unuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila data
belum lengkap ataupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mewawancarai
ulang responden.

b. Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi keteatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
computer
c. Entri
Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program
computer
d. Cleaning Data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
e. Saving

25

Peyimpanan data untuk dianalisis


f. Analisis Data
Variabel akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dimana
bersifat statistik deskriptif. Dimana, pada penelitian ini akan dibicarakan
bagaimana mendeskripsikan data yang diolah atau dikumpulkan untuk
mendapatkan informasi yang terkandung.(Wahyuni, 2007).

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1

Hasil Penelitian

5.1.1

Deskripsi Karakteristik Responden


Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mereka yang

tercatat sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan Kelurahan Gunting


Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Karakteristik responden yang diamati adalah
berdasarkan usia dan pendidikan.

26

5.1.1.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia


Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Resonden Berdasarkan Usia
Usia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Produktif
43
86,0
Nonproduktif
7
14,0
Total
50
100,0
Dari tabel di atas di dapatkan bahwa responden terbanyak pada kelompok usia
produktif yaitu sebanyak 43 responden (86%) dan sedikit pada kelompok usia non
produktif yaitu sebanyak 7 responden (14%).
5.1.2.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Resonden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
Frekuensi (n)
Persentase (%)
SD
37
74,0
SMP
13
26,0
Total
50
100,0
Dari tabel di atas didapatkan bahwa responden rata-rata responden
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 37 responden (74%) dan sisanya
sedikit yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebanyak 13
responden (26%).

5.1.2.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


Mengenai Kesehatan Lingkungan

27

Tabel 5.2 Tingkat Pengetahuan Ibu mengenai Kesehatan Lingkungan


Pengetahuan
Frekuensi (n)
Kurang
3
Sedang
34
Baik
13
Total
50
Dari tabel di atas maka didapatkan bahwa tingkat

Persentase (%)
6,0
68,0
26,0
100,0
pengetahuan Ibu mengenai

kesehatan lingkungan di lingkungan Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten


Labuhanbatu Utara terbanyak memiliki nilai tingkat pengetahuan sedang yaitu
sebanyak 34 responden (68%), kemudian diikuti oleh tingkat pengetahuan baik yaitu
sebanyak 13 responden (26%), dan yang terakhir adalah tingkat pengetahuan kurang
yaitu sebanyak 3 orang (6,0%).
5.2

Pembahasan
Distribusi berdasarkan kelompok usia ibu rumah tangga di lingkungan

Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara terbanyak didapatkan pada


usia produktif yaitu sebanyak 43 responden (86%) dan paling sedikit yang berusia
non produktif didapatkan sebanyak 7 responden (14%). Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2010) bahwa usia produktif adalah usia 15-64 tahun dan usia non
produktif adalah usia 65 tahun keatas.
Distribusi berdasarkan tingkat pendidikan ibu rumah tangga di lingkungan
Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara didapatkan pada yang
berpendidikan SD yaitu sebanyak 37 responden (74%) dan berpendidikan SMP
sebanyak 13 responden (26%). Menurut Erfandi (2009), faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang ialah taraf pendidikan. Diharapkan seseorang dengan taraf
pendidikan yang lumayan tinggi mempunyai ilmu pengetahuan yang lumayan luas.
Walaupun tingkat pendidikan rendah,belum tentu tingkat pengetahuan seseorang
jelek.
Distribusi berdasarkan tingkat pengetahuan ibu rumah tangga tentang

28

kesehatan lingkungan di Kelurahan Gunting Saga, Kabupaten Labuhanbatu Utara di


dapatkan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 13 responden (26%),
pengetahuan sedang sebanyak 34 responden (68%), dan pengetahuan kurang
sebanyak 3 responden (6%). Didapati mayoritas responden berada dalam kategori
pengetahuan sedang. Menurut Notoatmodjo(2010), pengetahuan merupakan hasil
tahu pengingderaan manusia terhadap suatu obyek tertentu. Proses pengindraan
terjadi

melalui

panca

,pendengaran,penciuman,rasa

indra
dan

manusia,
melalui

kulit.

yakni

indra

Pengetahuan

penglihatan
atau

kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

BAB 6

29

KESIMPULAN DAN SARAN


6.1

Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan di lingkungan Kelurahan Gunting Saga,

Kabupaten Labuhanbatu Utara:


1.

Berdasarkan kelompok usia didapatkan ibu rumah tangga di Kelurahan Gunting Saga
terbanyak berusia produktif yaitu sebanyak 43 responden (86%).

2.

Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan ibu rumah tangga di Kelurahan Gunting


Saga terbanyak berpendidikan SD yaitu sebanyak 37 responden (74%).

3.

Berdasarkan tingkat pengetahuan didapatkan terbanyak berpengetahuan sedang yaitu


sebanyak 34 responden (68%).
6.2

Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani, peneliti menyadari bahwa

dalam penelitian ini masih banyak kekurangan. Untuk itu ada beberapa saran yang
bermanfaat. Adapun saran tersebut yaitu:
1. Sebaiknya generasi muda harus terus melanjutkan pendidikannya hingga ke taraf
pendidikan yang tinggi agar terbentuk sumber daya manusia yang memiliki
tingkat pengetahuan yang baik.
2. Diperlukan berbagai penyuluhan tentang kesehatan lingkungan kepada para ibu
rumah tangga di Kelurahan Gunting Saga agar pengetahuan ibu rumah tangga
mengenai kebersihan lingkungan menjadi baik.
3. Diperlukan penelitian selanjutnya untuk melihat tingkat pengetahuan ibu rumah
tangga mengenai kesehatan lingkungan di Kelurahan Gunting Saga.
DAFTAR PUSTAKA

30

1. Abuzar,Ir., S., M, Perancangan Sistem Penyediaan Air Bersih. Jurusan Teknik


Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Andalas.
2. Agustina D.V, 2007, Analisa Kinerja Sistem Distribusi Air Bersih PDAM
Kecamatan Banyumanik Di Perumnas Banyumanik.
3. Departemen Kesehatan RI. 2004. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan,
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta: Depkes RI
4. Departemen Kesehatan RI, 2006. Laporan Tahunan Promkes Tahun 2006.
Jakarta: Depkes RI.
5. Enviromental Sanitation Journal, di aksess pada 18 Februari 2014.
http://environmentalsanitation.wordpress.com/2012/11/05/jamban-sehat-2/
6. Gelbert, M., et. al., 1996, Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan Wall
Chart, Buku Panduan Pendidikan Lingkungan Hidup, PPPGT/ VEDC,
Malang.
7. Hartoyo, 1998. Pemanfaatan Pengelolaan Sampah Kota Jawa Timur, Bahan
Seminar Nasional Penanganan Sampah Kota, Fakultas Teknik Brawijaya,
Malang.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Profil Data Kesehatan
Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
9. Ketentuan Umum Permenkes No.416/ Menkes/ PER/IX/1990. Syarat-syarat
Dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta, Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
10. LP3B Buleleng-Clean Up Bali, 2003, Sistem Pengelolaan Sampah Berbasis
pada Masyarakat, USAID, Jakarta
11. Notoadmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta : Rineka Cipta.
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2269/ MENKES/
PER/ XI/ 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Jakarta: Kementrerian Kesehatan RI, 1-4.
13. Sulistyaningsih. 2011. Metodologi Penelitian

Kebidanan

Kuantitatif-

Kualitatif. Yogakarta: Graha Ilmu. Hal 81.


14. The Indonesian Public Health Portal, di aksess pada 18 Februari 2014.
http://www.indonesian-publichealth.com/2013/01/syarat-jambankeluarga.html

31

15. Wahyuni, Arlinda Sari. 2007. Statistika Kedokteran. Jakarta: Bambodoea


Communication. Hal 8-9.
16. Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002, Menghindari, Mengolah, dan
Menyingkirkan Sampah, Abadi Tandur, Jakarta.
17. World Health Organization (WHO). Environmental Health. Disitasi dari :
http://www.WHO.int. Last Update : Februari 2014
18. Yulia Astuti,dr,2013, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Modul Field
Lab Semester V, Fakultas Kedokteran UNS

Anda mungkin juga menyukai