Anda di halaman 1dari 104

ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF

Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli TOP ONE
Periode Tahun 2004 di Majalah Swa

OUTLINE SKRIPSI
PERIKLANAN

Disusun Oleh :
NAMA

: AFFAN RAHMANA

NIM

: 04301 111

JURUSAN

: PERIKLANAN

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MERCU BUANA
2008

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MERCU BUANA
TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI

Nama

AFFAN RAHMANA

Nim

04301-111

Jurusan

Marketing communication/Periklanan

Fakultas

Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi

ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF


Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli
TOP ONE Periode Tahun 2004 di Majalah Swa

Jakarta, Agustus 2008

Ketua Sidang

( Farid Hamid M.si )

Penguji Ahli

( Achmad Mulyana M.si )

Pembimbing I

( Endah Murwani M.si )

Pembimbing II

( A G Eka Wenats M.si )

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI

Nama

AFFAN RAHMANA

Nim

04301-111

Jurusan

Marketing communication/Periklanan

Fakultas

Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi

ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF


Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli
TOP ONE Periode Tahun 2004 di Majalah Swa

Mengetahui

Jakarta, Agustus 2008

Pembimbing I

( Endah Murwani M.si )

Pembimbing II

( A G Eka Wenats M.si )

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MERCU BUANA
PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI

Nama

AFFAN RAHMANA

Nim

04301-111

Jurusan

Marketing communication/Periklanan

Fakultas

Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi

ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF


Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli
TOP ONE Periode Tahun 2004 di Majalah Swa

Jakarta, Agustus 2008


Disetujui dan diterima oleh,
Pembimbing I

Pembimbing II

( Endah Murwani M.si )

( A G Eka Wenats M.si )


Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi

( Dra. Diah Wardhani M.si )

Ketua Bidang Studi Periklanan

( Tri Diah M.si )

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
Nama

: AFFAN RAHMANA

NIM

: 04301 111

Fakultas

: Ilmu Komunikasi

Program Studi : Periklanan


Judul Skripsi :
ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF
Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli TOP ONE
Periode Tahun 2004 di Majalah Swa

Mengetahui

Pembimbing I

Pembimbing II

()

(.)

UNIVERSITAS MERCU BUANA


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI PERIKLANAN

ABSTRAKSI
AFFAN RAHMANA [ 04301 111 ]
ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF
Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli TOP ONE
Periode Tahun 2004 di Majalah Swa
viii + 74 halaman + Lampiran
Bibliografi : 21 buku (1961-2002)

Salah satu produk otomotif seperti oli Top One menggunakan banyak jenis
media promosi untuk mengkomunikasikan produk ini kepada masyarakat luas,
mengingat oli Top One ini merupakan salah satu brand yang cukup besar di
Indonesia. Media promosi yang digunakan oli Top One salah satunya adalah
majalah Swa.
Pemakaian majalah Swa oleh oli Top One sebagai media sarana promosi
dinilai sebagian kalangan isinya melanggar etika periklanan. Salah satu yang
menganggap demikian adalah dari salah satu pesaing produk sejenis, yaitu Penzoil
melalui Advertising Agency nya PT. Wiraswasta Gemilang Indonesia telah
menyampaikan keberatannya atas iklan cetak oli Top One di majalah Swa kepada
Badan Pengawas Periklanan.
Berdasarkan hal tersebut maka masalah pokok yang diteliti adalah
bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004
di majalah Swa.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis studi kasus
(case study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan wawancara mendalam
(indepth interview) dengan empat orang key informan dari PPPI dan praktisi
periklanan.
Dari penelitian ini berhasil ditarik suatu kesimpulan bahwa Iklan otomotif
oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa melanggar etika periklanan yang
mencakup lima hal yang tercantum dalam Tata Cara dan Tata Krama Periklanan
Indonesia. Kelima pelanggaran tersebut adalah Tata Krama nomor 1.2 sub 1.2.2
tentang Bahasa, nomor 1.4 Penggunaan Kata "Satu-satunya", nomor 1.19 tentang
Perbandingan, nomor 1.21 tentang Merendahkan, dan nomor 1.21 tentang Istilah
Ilmiah dan Statistik.

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena


atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas yang berat ini.
Dan dalam kesempatan ini, adalah penghargaan yang besar bagi saya
untuk dapat menyampaikan ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan:
1. Kepada ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat sehat dn Iman kepada
penulis.
2. Ibu Dra Endah Murwani M.si, selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing tanpa letih, mengorbankan waktu, mencurahkan ilmu dan
mengingatkan penulis dengan penuh kesabaran.
3. Bapak A G Eka Wenats M.si, selaku dosen pembimbing II, terima kasih
untuk sabar menunggu penulis menyelesaikan skripsi ini yang selalu tertunda,
yang lebih sering ditegur untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Tri Diah C M.si, selaku ketua jurusan Bidang Studi Periklanan
5. Ibu Niken SM , Selaku pembimbing akademis penulis yang tidak pernah
bosan selalu mengingatkan setiap bertemu untuk penyelesaian skripsinya.
6. Bapak Mulyana, M.si, Selaku penguj ahli penulis dalam ujian skripsi dan
selaku teman diluar kampus yang sering di tegur utuk skripsinya
7. Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
8. Para dosen jurusan Advertising dan staf TU Universitas Mercu Buana yang
telah memberikan bimbingan, pengalaman dan ilmu yang bermanfaat selama
penulis mengikuti perkuliahan di FIKOM Universitas Mercu Buana.

iii

9. Kepada Bojong (Agus S) yang sangat berjasa dalam penulisan skripsi ini,
yang telah memberikan pengalaman dan ilmunya serta waktunya untuk
membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. without you I will not make
to the final . thanks alot
10. Istriku Dewi Handayani dan anakku Zahwa Afifah Rahmana, yang selalu
memberikan dukungan penuh untuk menyelesaikan skripsi. I love you both
very very much.
11.Kepada Mamah, papah dan kak ibnu adn adik-adikku neng, pipit, ayu yang
selalu mendukung moril dan materil untuk skripsi ini.
12.teman-teman A bocor, special to Jody, tile, andre,wahyu, anjas, bopak,arip
mimin, firman LG, baguk dan semuanya yang selalu menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, and laptop yang sering dipinjem, and last but not
least warung KArso untuk tempat istirahat penulis.
13.Teman-teman angkatan 2000
14.Seluruh keluarga dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu
atas bantuan dan doa yang diberikan kepada penulis selama ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan namun,
penulis berharap agar skripsi ini bisa berguna bagi penulis maupun pembaca.
Akhirnya, penulis hanya dapat berdoa semoga kebaikan semua pihak dibalas oleh
Allah SWT dengan balasan yang sebaik-baiknya. Amien.

Jakarta, Agustus 2008

Affan Rahmana

iv

DAFTAR ISIISI
Hn
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
LEMBAR TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI
KATA PENGANTAR ..iii
ABSTRAKSI ... iv
DAFTAR ISI ..............v
DAFTAR TABEL. ..vii
DAFTAR BAGAN..............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1. 2. Rumusan Masalah ........................................................................ 9
1. 3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
1. 4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
1. 4. 1. Manfaat Akademis .......................................................... 9
1. 4. 2. Manfaat Praktis ............................................................... 10
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2. 1. Periklanan Sebagai Proses Komunikasi ........................................ 11
2. 2. Periklanan dan Iklan ..................................................................... 14
2. 3. Iklan sebagai Industri ................................................................... 17
2. 4. Etika Periklanan ........................................................................... 19
2. 5. Kode Etik Periklanan dan Pelanggaran Etika Periklanan ............. 26
2. 5. 1. Kode Etik Periklanan ...................................................... 26
2. 5. 2. Pelanggaran Etika Periklanan ......................................... 29
2. 6. Media Periklanan .......................................................................... 31

BAB III METODOLOGI


3. 1. Sifat Penelitian .............................................................................. 35
3. 2. Metode Penelitian ......................................................................... 36
3. 3. Nara Sumber ................................................................................. 37
3. 4. Fokus Penelitian ............................................................................. 39
3. 5. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 39
3. 5. 1. Menggunakan Multisumber Bukti .................................. 37
3. 5. 2. Menciptakan Data Dasar Studi Kasus............................. 37
3. 5. 3. Memelihara Rangkaian Bukti ......................................... 37
3. 6. Tehnik Analisis Data..41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4. 1. Kasus-kasus Pelanggaran Etika Periklanan .................................. 42
4. 2. Iklan Oli Top One ......................................................................... 50
4. 3. Pelanggaran Etika Periklanan pada Iklan Oli Top One di majalah
Swa................................................................................................. 52
4. 4. Jajak Rekam Industri...................................................................... 64
4. 5. Pembahasan.................................................................................... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan ................................................................................... 72
5. 2. Saran-saran .................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1. Belanja Iklan Tahun 1997-2003 ........................................................65


Tabel 4. 2. Penyertaan pada Citra Pariwara .........................................................65
Tabel 4. 3. Keanggotaan PPPI .............................................................................66

vii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Proses komunikasi.....................................................................................10


Bagan 2. Skema Etika...............................................................................................19

viii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dalam beberapa tahun belakangan ini, tantangan yang dihadapi
perusahaan semakin berat karena ketatnya persaingan yang dihadapi antara
perusahaan sendiri dengan perusahaan lain. Contohnya pada tahun 1980-an secara
hiperbolik dilukiskan tentang situasi periklanan indonesia sebagai the wild, wild
west. Dalam suasana semacam itu, pastilah terjadi antara benturan lama dan
yang baru, antara yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan kebingungan. Dengan kata lain mengiklankan
sesuatu produk bukan semata-mata menjalankan produk tersebut, melainkan juga
berkomunikasi dengan sejumlah besar orang yang patut dihormati, yang pada
akhirnya terdapat sikap kritis publik terhadap segala pesan iklan yang mereka
terima dan temukan dari berbagai media.
Abdul Moeid Chandra, mantan ketua umum Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI), juga mengeluhkan situasi itu. Seperti dikutip dalam
sebuah artikel dalam berkala Warta Konsumen, Februari 1982, dia menilai pesanpesan iklan yang tersebar luas saat itu kacau balau, tidak tentu pijakan dan
arahnya. Dalam kongres IV, PPPI mengeluarkan memorandum yang isinya antara
lain mengkhawatirkan kemungkinan timbulnya dampak buruk periklanan
terhadap nilai-nilai hidup dalam kultur masyarakat Indonesia. Di kalangan praktisi
periklanan terhadap peran mereka dalam mengemas dan menyebar luaskan pesan-

pesan iklan kepada khalayak ramai. Periklanan bukanlah pekerjaan yang asalasalan, tapi pekerjaan yang dilandasi dengan berbagai pertimbangan baikburuknya, jadi kekhawatiran tersebut akan ditepis jika para praktisi periklanan
mengiklankan suatu produk bukan semata-mata menjajakan produk tersebut,
melainkan juga berkomunikasi dengan sejumlah besar orang yang patut dihormati.
Oleh karena itu sikap sadar diri kalangan praktisi periklanan dan sikap kritis
publik muncul keinginan untuk merumuskan dan menerapkan etika periklanan.
Bagi praktisi periklanan, kepedulian terhadap etika kian jadi bagian
integral dari sikap profesionalisme. Bagian integral dan sikap profesionalisme
termasuk kedalam etika periklanan yang seharusnya dijalankan oleh para praktisi
periklanan yang merupakan keutuhan iklan tersebut jika dipandang oleh khalayak
yang berusaha mengerti arti pesan yang disampaikan tersebut.
Sementara bagi masyarakat, etika periklanan dapat dijadikan semacam
jaminan kepastian bahwa pesan-pesan iklan yang sampai kepada mereka benarbenar sejalan dengan apa yang diharapkan oleh mereka sebagai konsumen. Dari
waktu ke waktu selalu saja timbul aneka persoalan periklanan yang bertalian
dengan problem etis seiring dengan terus bermunculan produk-produk baru dan
perkembangan kreativitas di bidang komunikasi massa. Tidak jarang pula muncul
kontroversi ditengah-tengah kehidupan khalayak ramai. Selain problem etis, ada
juga nilai-nilai yang secara spesifik berlaku di masyarakat tertentu yang tidak
dapat diabaikan. Indonesia memiliki kode etik yang dikenal dengan tata krama
dan tata cara periklanan Indonesia (TKTCPI) yang mulai berlaku pada tahun
1981.

Dalam tulisannya di Kompas, sebagaimana dikutip Soebagijo I.N dalam


Sejarah Pers Indonesia, Christianto Wibisono menyoroti masalah periklanan yang
belum digarap serius, (contohnya, iklan steambath,permainan jackpot, film, dan
iklan night club), sementara problem-problem periklanan Indonesia makin
menumpuk. Mulai dari kemunculan iklan berbau porno sampai dengan iklan-iklan
palsu tentang barang atau obat, pemanfaatan seseorang (yang berpakaian atau
menyamar sebagai) dokter yang dilarang kode etik internasional, serta
petualangan biro-biro

iklan

yang tidak

bonafid dan

menyalahgunakan

kepercayaan media massa.1


Persoalan etika ini kemudian meluas. Berbagai pihak menyatakan
keprihatinan atas semakin marak kehadiran iklan-iklan yang dianggap
bertentangan dari norma-norma moral, keyakinan dan tradisi umum masyarakat.
Sebab lain yang memicu timbulnya keprihatinan adalah persaingan antar
perusahaan dalam berpromosi, sehingga timbul tindakan-tindakan yang dinilai
kurang memperhatikan tenggang rasa antar praktisi periklanan nasional.
Oleh sebab itu para produsen berlomba-lomba untuk menciptakan iklaniklan yang lebih kreatif dan menarik untuk memikat khalayak tanpa
memperdulikan etika dan kode etik periklanan yang ada, agar dapat membeli
produk yang diiklannkan.
Masyarakat periklanan mendefinisikan iklan sebagai;

Segala bentuk

pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui media, ditujukan kepada

Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
146

sebagian atau seluruh masyarakat 2, jadi iklan adalah suatu pesan mengenai suatu
produk dan dalam proses penyampaian pesan tersebut dapat menggunakan
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik yang ditujukan kepada
masyarakat yang spesifik atau untuk masyarakat umum.
Dalam kaitan itu, iklan mempunyai andil yang sangat besar dalam
menciptakan citra bisnis baik secara positif maupun negatif. Iklan ikut
menentukan penilaian masyarakat mengenai baik buruknya kegiatan bisnis.
Sayangnya, lebih banyak iklan justru menciptakan citra negatif tentang bisnis,
seakan bisnis adalah kegiatan tipu-menipu, kegiatan yang menghalalkan segala
cara demi mencapai tujuan, yaitu keuntungan. Ini karena iklan sering atau lebih
banyak memberi kesan dan informasi yang berlebihan, kalau bukan palsu dan
terang-terangan menipu, tentang produk tertentu yang dalam kenyataanya hanya
akan mengecoh dan mengecewakan masyarakat dan konsumen. Karena
kecenderungan yang berlebihan untuk menarik konsumen agar membeli produk
tertentu dengan memberi kesan dan pesan yang berlebihan tanpa memperhatikan
berbagai norma dan nilai moral, iklan sering menyebabkan citra bisnis tercemar
sebagai kegiatan tipu-menipu, dan karena itu seakan antara bisnis dan etika ada
jurang yang tak terjembatani.
Periklanan mendapat sorotan tajam ketika aspek informasi menjadi
wacana penting dalam bisnis. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu
mempengaruhi kecendrungan mengkonsumsi dalam masyarakat.3 Iklan yang

Rhenald Kasali. Manajemen periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta. PT.
Temprint,1992) hal 9
3
Darmadi Durianto et al., Invasi pasar dengan iklan yang efektif : Strategi, Program dan teknik
pengukuran. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Umum, 2003) hal 1

efektif dapat mempengaruhi kecendrungan konsumsi didalam masyarakat dengan


menciptakan kebutuhan tertentu sehingga konsumen merasa perlu untuk membeli
produk yang diiklankan. Contoh kongkret iklan yang terlalu sering dalam
menabrak Etika periklanan adalah iklan obat-obatan yang menampilkan endoser
yang berpakaian medis. Dan masih banyak yang lain yang disengaja ataupun tidak
disengaja.
Lebih dari itu, dalam masyarakat modern iklan berperan besar dalam
menciptakan budaya masyarakat modern. Kebudayaan masyarakat modern adalah
kebudayaan massa, kebudayaan serba instan, kebudayaan serba tiruan, dan
akhirnya kebudayaan serba polesan kalau bukan palsu penuh tipuan sebagaimana
iklan yang penuh dengan tipuan mata dan kata-kata. Manusia lalu kehilangan
identitas, keunikan, ke-aku-annya, dan tunduk dibawah perintah dan manipulasi
iklan. Manusia seakan menjadi robot yang didikte oleh iklan dan menjadi
kehilangan jati dirinya. Ia melebur dalam kebudayaan massa yang diukur oleh
mode pakaian dan rambut yang sama, penggunaan produk yang sama, seakan
tanpa itu ia bukan apa-apa.
Dua bentuk pelanggaran ternyata paling sering terjadi, yaitu yang
merendahkan produk pesaing, dan penggunaan atribut profesi atau "setting"
tertentu yang menyesatkan atau mengelabui khalayak. (contoh iklan yaitu pada
Majalah TEMPO, 21 Agustus 1993, Perbandingan dengan Iklan perusahaan
penerbangan Garuda dengan Malaysia Air System). Beberapa iklan mengolah
temuan-temuan riset tanpa menyinggung sumber, metode dan waktunya, sehingga
seolah-olah mengesankan suatu kebenaran. Dalam hal kategori produk,

pelanggaran paling banyak ditemui pada iklan-iklan obat-obatan dan makanan.


Padahal, beberapa produk seperti obat-obatan (OTC), obat tradisional, makanan
dan minuman sudah mempunyai aturan baku dalam beriklan. Meskipun hal ini
sering dianggap menghambat kreativitas, namun sebenarnya di sinilah
tantangannya. Karena menciptakan sebuah iklan yang dapat diterima semua
kalangan tanpa dianggap menyesatkan atau membodohi masyarakat, memang
tidak mudah.
Banyak sekali karya-karya anak negeri, baik di media elektronik maupun
media cetak yang membuat kita tercengang, bangga dengan kreativitas mereka.
Tapi jika kita mencermati lebih lanjut, dari karya-karya tersebut, masih banyak
juga iklan-iklan yang melanggar tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia,
baik yang disengaja maupun tidak. Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan
mempunyai potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam
masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu
elite kecil. Jelas terasa adanya pergulatan antara etika di satu pihak dan
kepentingan bisnis di pihak lain. Kondisi ini bagian besar akibat masih awamnya
para pelaku periklanan maupun masyarakat sendiri dalam etika beriklan, dan
diperparah oleh masih rendahnya tingkat kreativitas dari kebanyakan praktisi
periklanan kita, sehingga sering harus mengambil jalan pintas.
Kalau memang ditinjau dari segi tujuannya mungkin akan terlihat cukup
jelas, iklan merupakan tuturan verbal dan atau visual yang diarahkan untuk
membangkitkan

transaksi,

tetapi

dalam

kebiasaannya

periklanan

selalu

dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa

dengan cara tertentu disajikan iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati dan
sering kali tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat tersebut.
Kurang sehatnya periklanan di Indonesia saat ini adalah yang
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang etika periklanan dalam
iklan Otomotif/Oli Top One. Hal tersebut dikarenakan diperolehnya informasi
dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tentang iklan yang
selama 2 tahun terakhir menjadi sorotan dari pengawas etika periklanan yang ada
pada organisasi PPPI tersebut adalah perusahaan atau produsen iklan otomotif/Oli
yang sebagian besar melanggar etika periklanan yang sebelumnya telah disepakati
oleh produsen dan pengawas periklanan yang setiap tahun selalu di perbaharui
untuk kenyamanan dan kepentingan konsumen

dalam menjaga kepercayaan

konsumen tentang iklan yang ditayangkan dan yang seharusnya diketahui oleh
masyarakat tentang tata cara dan tata krama periklanan Indonesia saat
sebelumnya, sekarang dan masa yang akan datang.
Peneliti tertarik meneliti pelanggaran etika periklanan pada iklan
Otomotif/Oli Top One, dikarenakan banyaknya pengaduan yang diterima Badan
Pengawas Periklanan (BPP) terhadap iklan tersebut. Pengaduan itu diantaranya
dilayangkan oleh PT Wira Pamungkas Pariwara (JWT Force), yang melayangkan
surat keberatan atas iklan cetak Top 1 kepada BPP, selain itu Unit Pelumas
Pemasaran dan Niaga PT PERTAMINA yang diwakili oleh agen periklanannya,
Avicom Airvertising, juga menyampaikan keberatan atas iklan cetak Top1
tersebut.

Dari banyaknya penelitian atas terpaan iklan, ternyata di tudingan itu


keliru, karena yang terjadi malah kebalikannya. Iklan ternyata tidak efektif
merubah kebiasaan orang untuk mengkonsumsi sesuatu yang baru. Artinya kalau
kita terbiasa makan nasi, iklan sedahsyat apapun sulit merubah kebiasaan itu
menjadi makan roti.4
Sasaran di atas tidak mungkin tercapai jika tidak didukung oleh para mitra
usaha seperti media, baik media elektronik maupun media cetak, karena segala
sesuatu di sini saling terkait dan menunjang satu sama lain.
Salah satu produk otomotif seperti oli Top One menggunakan banyak jenis
media promosi untuk mengkomunikasikan produk ini kepada masyarakat luas di
Indonesia, mengingat oli Top One ini merupakan salah satu brand yang cukup
besar di Indonesia. Media promosi yang digunakan oli Top One salah satunya
adalah media cetak , khususnya majalah Swa.
Pemakaian majalah Swa oleh oli Top One sebagai media sarana promosi
dinilai sebagian kalangan isinya melanggar etika periklanan. Salah satu yang
menganggap demikian adalah dari salah satu pesaing produk sejenis, yaitu Penzoil
melalui Advertising Agency nya PT. Wiraswasta Gemilang Indonesia telah
menyampaikan keberatannya atas iklan cetak oli Top One di majalah Swa kepada
Badan Pengawas Periklanan. Mereka menilai iklan cetak oli Top One di majalah
Swa merendahkan produk sejenis secara menggunakan perbandingan langsung
dengan menampilkan merek dari produk pesaing.

Ari R. Maricar, (Anggota pengurus Pusat PRSSNI),.Catatan dari Diskusi Besar Etika Periklanan
(Bulletin PRSSNI no. 4)

Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mempelajari dan meneliti etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
Bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode
tahun 2004 di majalah Swa ?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis adalah :
Untuk mengetahui bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli
Top One periode tahun 2004 di majalah Swa?

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian penulis mengenai kecendrungan
iklan yang melanggar etika periklanan pada iklan-iklan Otomotif/Oli adalah
1.4.1

Manfaat Akademis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada bidang ilmu

periklanan mengenai gambaran atau pandangan tentang pelanggaran etika


periklanan dalam iklan TVC dan atau print Ad

10

1.4.2

Manfaat Praktis
Untuk bahan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan dunia

periklanan

khususnya

pada

produsen

iklan

agar

dapat

memperhatikan kode etik dan etika periklanan yang ada di Indonesia

lebih

11

BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Periklanan Sebagai Proses Komunikasi


Suatu pemahaman popular mengenai komunikasi adalah penyampaian
pesan searah dari seseorang atau suatu lembaga kepada seseorang atau
sekelompok orang lainnya, baik secara langsung ataupun melalui media. Dalam
konteks ini, komunikasi denggap suatu tindakan yang disengaja (intentional act)
untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti
menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuknya melakukan sesuatu5.
Salah satu bentuk komunikasi adalah kegiatan periklanan. Periklanan
merupakan salah satu cara dalam berkomunikasi terutama dalam mengenalkan
suatu produk atau jasa kepada masyarakat. Periklanan harus mampu membujuk
khalayak agar khalayak dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
Sekarang ini dengan sangat majunya dunia periklanan, banyak ahli/pakar
periklanan mengembangkan teoriteori periklanan yang sudah ada menjadi lebih
luas sehingga dapat memberi masukan yang lebih banyak. Masyarakat Periklanan
Indonesia mendefinisikan iklan sebagai berikut: Segala bentuk pesan tentang
suatu produk yang disampaikan melalui media, ditujukan kepada sebagian atau
seluruh masyarakat.6 Berbagai hal mengenai dimensi iklan seperti bagaimana
merancang pesan, membujuk, memilih media, dan lain-lain.

Dedy Mulyana, M.A., Ph.D. Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar, (Bandung, PT Remaja


Rosdakarya, 2001) hal 61.
6
Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Op.Cit., hal 6

11

12

Institut Praktisi Periklanan Inggris mendefinisikan istilah periklanan


sebagai berikut: Periklanan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling
persuasive yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas
produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya.7
Periklanan juga merupakan isi media yang bisa mempengaruhi pikiran
masyarakat. Tabel berikut menunjukkan proses bagaimana isi media dapat
mempengaruhi khalayak: 8
Tabel II.1
Pengaruh Isi Media

content influence studies

process and effects studies

influences on

mass media content as

effects of

mass media content

transmitted to the

mass media

audience

on people and society

Bagan di atas menunjukkan bagimana pengaruh isi media dikirimkan


kepada khalayak melalui media massa yang kemudian menimbulkan efek.
Diketahui bahwa isi media dapat memberikan pengaruh yang besar di masyarakat,
7

Frank Jefkins. Periklanan edisi ketiga Bisnis E + R. (Jakarta. Penerbit Erlangga. 1997) hal 5
Pamela J.Shoemaker, Stephen D.Reese, Mediating the Message: Theories of influences on mass
media content, (New York, Longman Group, 1991) hal 23
8

13

dimana dalam penelitian ini adalah iklan oli Top One yang dikirim kepada
khalayak melalui majalah Swa.
Pemahaman isi media mampu membantu kita memprediksi akibat yang
akan terjadi pada khalayak. Dengan menentukan pesan apa yang diinginkan
khalayak, juga pesan apa yang mampu memberikan efek kepada khalayak.
Lain halnya periklanan sebagai proses komunikasi yang dijelaskan oleh
David Berstein, dimana ia menjelaskan perlunya penerapan prinsip VIPS. Prinsip
ini terdiri dari Visibilitas, Identitas, Promise (janji), dan Single Mindedness
(Pikiran yang terarah). Jadi sebuah iklan haruslah Visibel, yaitu mudah dilihat dan
mudah memikat perhatian. Identitas produk harus sejelas mungkin, janji
perusahaan yang jelas, dengan adanya tujuan utama yang terkonsentrasi.9 Ketika
seseorang melihat iklan, iklan itu harus menarik atau eye catching sehingga orang
mau untuk melihat kemudian membaca iklan tersebut, dan Identitas si pengiklan
harus jelas hingga khalayak yang melihat iklan tersebut tidak dibingungkan oleh
iklan tersebut, mengenai Promise (janji) yang diberikan oleh sebuah iklan
seharusnya tidak terlalu berlebih-lebihan atau mengada-ada. Dan yang pasti iklan
harus Single Mindedness yaitu terarah jadi iklan tersebut tidak membingungkan
khalayak yang membacanya.
Sehingga periklanan tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada
khalayak. Lebih dari itu, periklanan harus mampu membujuk khalayak ramai agar
berprilaku sedemikian rupa sehingga selain dapat mencetak penjualan dan

Frank Jefkins. Periklanan edisi ketiga Bisnis E + R. (Jakarta. Penerbit Erlangga. 1997) hal 16

14

keuntungan bagi perusahaan, sekaligus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan


pembeli.

2.2. Periklanan dan Iklan


Periklanan adalah suatu sarana informasi dari produsen kepada konsumen
dan digunakan sebagai salah satu kekuatan untuk mencapai tujuan pemasaran
produk. Selain itu juga untuk memperkenalkan suatu produk atau membangkitkan
kesadaran akan merek, citra merek, citra perusahaan, membujuk khalayak untuk
membeli produk yang ditawarkan, memberikan informasi dan lain-lain.10
Periklanan juga dapat dikatakan sebagai suatu proses komunikasi yang
mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu
menjual barang, memberi layanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran
tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif.11 Dapat dikatakan iklan adalah
salah satu bentuk komunikasi, karena iklan menyampaikan informasi tentang
sesuatu produk kepada konsumen melalui media.
Dari pengertian di atas penulis memahami dan menyimpulkan bahwa
periklanan adalah segala bentuk kegiatan dalam menyebarluaskan pesan
komunikasi yang bersifat persuasif yang ditujukan kepada khalayak atau calon
pembeli yang berpotensial untuk memberitahu atau memperkenalkan suatu barang
atau jasa dengan melalui suatu media dan dimanfaatkan guna tercapainya program
tertentu.

10

Dendi Sudiana, Komunikasi Periklanan Cetak, (Bandung: Remajda Karya CV, 1996), hal 6
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Periklanan, cetakan pertama, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1992), hal 17
11

15

Dalam mengartikulasi apa yang membuat proses periklanan tersebut


berjalan dengan baik dalam dunia periklanan merupakan ilmu yang berkembang
dan didalamnya terdapat unsur-unsur yang terkait dalam sebuah iklan. Yaitu :
Iklan adalah segala bentuk pesan tentang produk yang disampaikan
melalui suatu media, dibiayai oleh produsen serta ditujukan kepada sebagian atau
seluruh masyarakat.12
Iklan memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Iklan memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi dengan sangat cepat. Iklan juga memberikan
kemungkinan untuk melaksanakan jenis kreatif yang sangat banyak, dapat dengan
menggunakan gambar visual, suara, audio visual bahkan teknologi scratch and
sniff. Kekuatan iklan yang lainnya adalah iklan dapat pula mengatur pesanpesan dan proposisi-proposisi yang kompleks.
Komunikasi

yang

disampaikan

melalui

media

merupakan

suatu

perwujudan yang ada pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang media


khususnya perusahaan periklanan. Sudah berbagai macam bentuk komunikasi
yang disampaikan oleh perusahaan iklan dan dalam berbagai bentuk media
khususnya media periklanan, perusahaan periklanan hanya memberikan
kesimpulan akhir ketika produsen mempercayakan kepada perusahaan iklan
untuik mengelola iklan yang ingin disampaikan melalui media tersebut.
Terkadang memang penyampaian komunikasi atau informasi tersebut secara tidak
sengaja membentur etika periklanan yang ada dan dianggap wajar oleh produsen

12

Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, (Jakarta : Pustaka Utama graffiti, 1995) hal 9

16

karena para praktisi iklan lah yang memikirkan ide-ide tersebut dan di
komunikasikan melalui media yang ada.
Ini dimulai ketika pemberlakuan undang-undang Penanaman modal Asing
tahun 1967 dan UU penanaman Modal dalam negeri tahun 1968. Sejak saat itulah
perusahaan-perusahaan multi nasional merambah pasar lokal. Terlebih lagi
pertumbuhan ekonomi yang cerah sejak orde baru yang membuat pasar Indonesia
menjadi penting bagi produk-produk mancanegara, yang menjadikan sekitar 73 %
dari produk yang diiklanankan adalah produk import.13
Kemunculan

perusahaan-perusahaan

multi

nasional

tersebut

ikut

mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia, dan dampaknya juga dirasakan


perusahaan periklanan nasional. Apalagi setelah pascakrisis ekonomi melanda
Asia, termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi kembali membaik, ditambah
setelah belanja iklan menunjukkan peningkatan positif. Pada tahun 2000 belanja
iklan nasional mencapai Rp. 7,9 trilliun, dan mengalami peningkatan di tahun
2001 menjadi Rp. 9,717 triliun dan membengkak pada tahun berikutnya menjadi
12 trilliun.14
Dari dampak tersebut bermunculan iklan-iklan cetak dan billboard yang
merajai pasar periklanan, sampai pada akhirnya pada tahun 1980, penayangan
iklan di TV dalam hal ini TVRI dilarang untuk diiklankan di TV.

13

Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
42
14
Hasil lengkap Simposium Nasional:Pendidikan Periklan, Komisi Periklanan Indonesia, 24-26
September 1998

17

Kondisi kondusif terjadi ketika pemerintah melakukan deregulasi yang


memungkinkan berdirinya TV swasta. Kehadiran TV swasta itu mendongkrak
belanja iklan nasional hingga mencapai Rp.639 miliar.
Karena perekonomian Indonesia membaik banyak perusahaan-perusahaan
iklan yang berada didaerah pun turut merasakan kesuksesannya. Meski kue iklan
yang diperebutkan relatif kecil, persaingan perusahaan periklanan didaerah
sangatlah ketat. Sejak pemberlakuan otonomi daerah, beberapa daerah
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan, dan ini merupakan
potensi yang bisa digarap oleh perusahaan periklanan didaerah. Ini bisa dilihat
dari produk-produk lokal yang mulai membanjiri pasar dan melakukan promosi
secara besar-besaran. Tinggal bagaimana upaya pengembangan perusahaan
periklanan didaerah juga diimbangi dengan peningkatan profesioanalisme dan
etika periklanan yang berlaku.

2.3. Iklan sebagai Industri


Dari berbagai cara promosi, periklanan merupakan cara promosi paling
banyak dibahas, khususnya dari aspek industri periklanan itu sendiri. Industri
periklanan merupakan bisa dikatakan industri yang sudah lama berkembang dan
baru beberapa tahun terakhir ini dapat dikatakan banyak dilirik oleh para
pengusaha karena industri yang cukup menguntungkan dari segi bisnis dan
investasi yang cukup bernilai. Akan tetapi banyak pula yang berpendapat industri
periklanan merupakan industri yng penuh dengan resiko, contohnya dengan kritik-

18

kritik bahwa iklan merupakan pemborosan, pendapat ini meragukan manfaat dari
iklan dalam pemasaran produk didasarkan pada biaya penjualan.15
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa periklanan memungkinkan
produsen untuk mencapai dan mempertahankan kekuatan monopoli atau oligopoli
dalam pasar dan memang ada hubungan antara iklan dengan kekuasaan pasar.
Maka seharusnya ada hubungan statistik antara jumlah pengeluaran biaya
periklanan suatu industri dengan derajat konsentrasi industri tersebut. Industri
yang kurang kompetitif akan tidak banyak mengeluarkan biaya iklan,sedangkan
industri yang sangat kompetitif akan banyak mengeluarkan biaya tersebut. Fakta
ternyata tidak menunjukkkan adanya hubungan ataupun kesimpulan bahwa
memang periklanan mendorong terciptanya monopoli ataupun oligopoli.16
Dalam

dampaknya

pada

keinginan

konsumen,maka

dikemukakan

pendapat bahwa iklan sesungguhnya bersifat manipulatif, yaitu menimbulkan


keinginan pada konsumen hanya dengan tujuan untuk menyerap output dari
industri. Dengan demikian untuk dapat meningkatkan output dari industri, maka
kebutuhan harus ditimbulkan dengan manipulasi faktor-faktor psikologis tersebut
melalui iklan. Dampak dari pengendalian kebutuhan oleh iklan tersebut adalah
memindahkan keputusan untuk pembelian produk dari konsumen kepada
produsen. Produksi dari industri dengan demikian tidak dibuat untuk memenuhi
keinginan manusia, akan tetapi lebih bahwa keinginan manusia dibentuk untuk
melayani kebutuhan produksi.

15

Heru Satyanugraha,Etika Bisnis:Prinsip dan Aplikasi (Lembaga Penerbit FE Trisakti,2003) hal


162
16
De George,Richard T,Business Ethics,5th edition.(New Jersey Prentice Hall,1999)

19

2.4. Etika Periklanan


Etika berasal dari kata Yunani Ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat17.
Etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan
moralitas. Dalam hal ini etika mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari
moralitas dan etika dalam pengertian sebelumnya. Yaitu etika dimengerti sebagai
filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang
diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian sebelumnya.18
Dalam kaitan dengan itu, ketika Magnis-Suseno mengatakan bahwa etika
adalah sebuah ilmu dan bukan ajaran, yang ia maksudkan adalah sebuah ilmu
yang terutama menitik beratkan refleksi kritis dan rasional, etika dalam pengertian
ini bahkan mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus
dilaksanakan dalam situasi kongkret tertentu yang dihadapi seseorang. Atau juga
etika mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan
nilai dan norma moral tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis
dan karena itu dikutuk atau justru sebaliknya.19
Lain halnya, dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran
manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika
bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat
17

DR.A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta, Kanisius 1998), hal
14
18
ibid, hal 15
19
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.(Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hal 14

20

dipertanggungjawabkan. Kebebasan dan tanggungjawab adalah unsur-unsur


pokok dari otonom moral yang merupakan satu prinsip utama moralitas, termasuk
etika periklanan.20
Secara umum etika terbagi menjadi dua bagian yaitu etika Umum dan
etika khusus. Etika umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisikondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis bagaimana manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif.
Sedangkan etika khusus adalah

penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma

moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus21


Etika khusus dibagi lagi menjadi tiga, yaitu etika individual, etika sosial,
dan etika lingkungan hidup. Etika individual lebih menyangkut kewajiban dan
sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban
dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam
interaksinya dengan sesamanya. Karena kewajiban seseorang terhadap dirinya
berkaitan langsung dan dalam banyak hal mempengaruhi pula kewajiban terhadap
orang lain. Sedangkan etika Lingkungan hidup merupakan cabang etika khusus
yang berbicara mengenai hubungan antara manusia baik individu maupun sebagai
kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang berdampak
langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Dengan demikian, secara umum kita dapat membuat sebuah skema etika
sebagai berikut :
20

Immanuel Kant, Foundationsof Metaphysics of Morals, (Indianapolis: Bobbs-Merrill Educations


Pub, 1980)
21
Loc cit, hal 32

21

Sikap thd sesama

Bio Medis

Etika Individual
Etika Umum
Etika Sosial

Etika

Etika Keluarga

Bisnis

Etika Gender

Hukum

Etika Profesi

Periklanan

Etika Politik

Pendidikan

Kritik ideologi

Dsb

Etika Khusus
Etika
Lingkungan

Dari sitematika diatas, kita bisa melihat bahwa etika periklanan adalah
bidang etika khusus, yang menyangkut etika sosial, khususnya etika profesi.22
Meskipun etika juga merupakan kesepakatan dari suatu masyarakat,
namun ia langsung berkaitan dengan nurani orang per orang, sedangkan hukum
lebih pada pencapaian ketentraman bermasyarakat. Etika tertinggi adalah naluri
untuk melanjutkan kehidupan, sehingga segala daya-upaya harus dilakukan untuk
mendukung kebutuhan ini. Etika sering terlanggar manakala ia melalui menyentuh
kebutuhan fisik dasar manusia, harga diri, ataupun menjadi gaya hidup. Etika
hanya bisa dibentuk dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang langsung terlibat di
dalamnya.
Begitu pula etika periklanan yang merupakan suatu cabang profesi dan
bisnis yang lebih diketahui oleh masyarakat periklanan sendiri. Etika bukanlah
produk hukum, sehingga penerapannya tidak dapat dilakukan oleh pihak-pihak
luar, tidak terkecuali Pemerintah. Swakrama bukan hanya menyangkut moralitas
dan tatanan, namun juga standar-standar profesi. Swakrama hanya efektif jika sisi
22

DR.A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta, Kanisius 1998), hal
34

22

pengendaliannya diikuti secara seimbang dengan sisi penegakkannya (law


enforcement).23
Dalam kaitan ini, iklan mempunyai andil yang sangat besar dalam
menciptakan citra bisnis baik secara positif maupun negatif. Iklan ikut
menentukan penilaian masyarakat mengenai baik buruknya kegiatan bisnis. Oleh
karena itu banyak orang yang berpendapat iklan adalah merupakan bisnis. Dan
bisnis biasanya tidak dicampuradukan dengan etika begitu halnya juga periklanan
jangan

dicampuradukan

dengan

etika.

Ungkapan

atau

mitos

tersebut

menggambarkan dengan jelas anggapan atau keyakinan para praktisi iklan, sejauh
mereka menerima mitos seperti itu, tentang dirinya, kegiatannya, dan lingkungan
kerjanya. Yang mau digambarkan disini adalah bahwa kerja para praktisi
periklanan adalah membuat iklan dan bukan beretika.24
Dalam proses mencipta iklan, para praktisi memilah dan memilih
informasi

yang

diberikan

oleh

Pengiklan.

Kemudian

secara

optimal

mendayagunakan kreativitas mereka untuk menyampaikan pesan-pesan penjualan


yang persuasif. Seringkali, tanpa disadari, mereka melanggar rambu-rambu yang
sudah ditentukan.
Pada umumnya, pesan-pesan iklan ditujukan hanya kepada sebagian
anggota masyarakat. Karena itu, seringkali timbul perbedaan persepsi dari
kelompok masyarakat lainnya, yang sebenarnya tidak dituju oleh iklan tersebut.
Pengiklan memiliki tanggung jawab atas kebenaran informasi tentang
produk yang diiklankan. Termasuk ikut memberikan arah, batasan, dan masukan
23

www.pppi.co.id (Konsepsi Etika Dan Swakrama) 2005


DR.A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta, Kanisius 1998), hal
56
24

23

pada iklan agar tidak terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata sesuatu
produk. Seberapa jauh tanggung jawab pengiklan pada pesan-pesan iklan yang
melanggar etika, akibat kesalahan informasi yang diberikan kepada perusahaan
periklanannya. Tingginya tingkat pelanggaran etika iklan obat bebas, obat
tradisional dan suplemen makanan saat ini sudah sangat memprihatinkan.25
Padahal ketiga kategori produk tersebut termasuk memiliki teknis medis yang
membahayakan masyarakat bila digunakan secara tidak benar atau tidak wajar.
Apakah kecenderungan pelanggaran etika periklanan tersebut disebabkan karena
ketidaktahuan, atau pada ketentuan yang berlaku, atau akibat kuatnya tekanan
persaingan.
Akan tetapi periklanan itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu
strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak
dijual kepada konsumen. Dengan ini iklan berfungsi mendekatkan konsumen
dengan produsen. Untuk melihat persoalan iklan dari segi etika bisnis, penulis
menyoroti 2 (dua) hal fungsi iklan yang merupakan persoalan etis yang
berhubungan dengan periklanan. Yaitu :26
a. Iklan sebagai Pemberi Informasi
Iklan terutama sebagai pemberi informasi. Iklan merupakan media
untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat
tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan dalam pasar. Yang
ditekankan disini adalah bahwa iklan berfungsi untuk membeberkan

25
26

www.pppi.co.id (Dampak Sosial-Budaya pesan Iklan terhadap Khalayak)


op.cit. hal 198

24

dan menggambarkan seluruh kenyataan yang serinci mungkin tentang


suatu produk
b. Iklan sebagai pembentuk pendapat Umum
Disini terlihat sebagai suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum
masyarakat tentang sebuah produk. Fungsi ini mirip dengan fungsi
propaganda politik yang berusaha mempengaruhi massa pemilih.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penelitian periklanan menjadi metode
evaluasi yang banyak diminati (berbeda dengan yang sudah ada). Periklanan
tentang keadaan sebelum-sesudah suatu perlakuan bisa digunakan untuk
mengukur dampak dari suatu kampanye tentang bagaimana suatu organisasi dan
produk-produk atau kegiatan-kegiatan dipandang oleh masyarakat. Terdapat
banyak cara untuk mengevaluasi media.
Seorang praktisi periklanan perorangan jarang meneliti waktu dan keahlian
untuk melakukan analisis secara detail, juga tidak memiliki sumber-sumber dari
semua bentuk media yang memuat pesan tentang klien mereka. 27
Sama halnya dengan hukum, dalam media juga di berlakukan kode etik
atau suatu penerapan etika. Namun bagi mereka yang telah berpengalaman dalam
dunia majalah atau tabloid tidak akan merasakan bahwa kode etik atau penerapan
etika tersebut memiliki banyak pengaruh.
Dalam masalah periklanan tampaknya tetap menyimpan misteri, mistis
dan kontradiktif. Selama bertahun-tahun dilema pemasang iklan di ekspresikan

27

Michael B, Alison T, David W, Hubungan Media yang Efektif, Edisi ke 2, (Erlangga Jakarta)
hal 37

25

dengan ungkapan berikut ini : saya tahu separuh iklan saya sia-sia, tapi saya
tidak tahu dimana yang separuh itu !28
Namun perkembangan riset pasar menjadi titik awal sebuah perubahan
secara menyeluruh sehingga memungkinkan para pemasang iklan mampu
mengidentifikasikan mana iklan yang berhasil dan mana yang gagal.
Iklan dengan keefektifannya saat ini sudah terlalu berlebihan. Pada saat
yang sama, efektifitas ini di dasarkan pada apa yang tampaknya menjadi
mekanisme psikologis yang kuat. Belajar tanpa kesadaran, mengubah merk
menjadi simbol, membuat orang melihat merk dengan cara yang berbeda-beda,
pengaruh konformitas dan pengguna merk untuk mengekspresikan identitas.
Dijelaskan banyak faktor yang sangat mendesak dan sering membuat
frustasi pada pemasang iklan untuk mempengaruhi kita. Hal ini menunjukkan
betapa sulitnya bagi pemasang iklan untuk membuat mekanisme psikologis ini
mampu bekerja. Sementara menggunakan manipulasi penjualan sangatlah tidak
mungkin. Seperti sistem politik demokrasi yang memiliki mekanisme cek dan
balance untuk membatasi kekuasaan pemerintah yang terpilih. Karena itu
mekanisme ini juga berlaku bagi para pemasang iklan dalam lingkungan yang
sangat kompetitif. Jadi kekuatan iklan sebenarnya dibatasi oleh batasan praktis
dan absolut.29
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi yang baik sebagai
pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerapkali iklan terkesan suka
membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori
28

David Ogilvy, Confessions of an Advertising Man, (Atheneum, New York 1963 and 1984) hal
96
29
Max S & Alice K.S, Advertising and The Mine of The Consumer, London 2004, hal 164

26

disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Dalam konteks periklanan, jauh lebih
penting adalah maksud agar orang lain percaya. Disini terdapat perbedaan antara
iklan normatif dengan iklan persuasif, atau antara unsur informasi dan unsur
promosi dalam iklan. Unsur informasi selalu benar, karena informasi selalu
diberikan agar orang percaya. Informasi yang tidak benar akan menipu publik
yang dituju.30 Namun demikian, tidak dapat dituntut juga bahwa dalam iklan
disajikan informasi lengkap tentang produk bersangkutan. Sulit untuk ditarik garis
perbatasan yang tajam antara melebih-lebihkan dan berbohong.

2.5. Kode Etik Periklanan dan Pelanggaran Etika Periklanan


2.5.1 Kode Etik Periklanan
Kode etik itu bisa dibilang sebagai sebuah adikarya. Kode etik itu
memiliki cakupan yang amat luas, dan saat itu tidak ada satu negara di Asia,
termasuk Jepang yang memiliki kode etik semacam itu. Ia memiliki dua pokok
substansi kode etik, yakni Tata Krama untuk Code of Practice dan Tata Cara
untuk Code of Conducts. Sedangkan Indonesia sendiri memiliki kode etik yang
dikenal Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang berlaku pada
1981.31
Perangkat kode etik tersebut disusun dengan kesadaran bahwa iklan tidak
sesederhana seperti yang dibayangkan orang awam. Masyarakat memandang
bahwa iklan hanya soal bagaimana menarik minat orang untuk membeli.
Kenyataan lebih dari itu. Kode etik dirumuskan sesingkat dan sejelas mungkin
30

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Kanisius, Yogyakarta, 2000) hal 267


Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
143

31

27

agar memberi kepastian apa saja yang mesti di taati oleh mereka yang
berkepentingan.
Pada hakekatnya kode etik itu sebenarnya ingin mengatakan apa saja yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam menyelenggarakan sebuah
aktivitras periklanan. Dasar pemikiran itu kemudian dijabarkan menjadi dua
bagian. Pertama dikenal dengan sebutan tata krama (code of practice), dan
kedua dikenal dengan sebutan tata cara (code of conducts). 32
Orang seringkali berpendapat, bahwa karena kode etik bersifat normatif,
maka terhadap pelanggaran tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Mungkin ini
salah

satu

sebab

mengapa

tingkat

pelanggaran

etika

iklan

semakin

memprihatinkan. Orang pun menganggap, bahwa lembaga swakrama etika


periklanan tidak diperlukan, karena lembaga tersebut diduga tidak akan mampu
menerapkan sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran.
Penegakan hukum di bidang periklanan sering mengalami juga hambatan karena
belum adanya undang-undang dan peraturan pelaksana yang khusus mengatur
bidang periklanan. Di samping itu, aparat penegak hukum umumnya sangat awam
terhadap masalah periklanan.33
Ada tiga asas umum dalam Tata Krama Periklanan. Pertama, iklan harus
jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dari hukum yang berlaku.
Kedua, iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat

32
33

ibid, hal 152


www.ppi.co.id (Legitimasi Lembaga Swakrama Periklanan)

28

negara, agama, susila, adat, budaya, suku, dan golongan. Ketiga, iklan harus
dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.34
Asas-asas umum itu kemudian dijabarkan dalam Penerapan Umum dan
Penerapan Khusus. Penerapan Umum merupakan penjelasan detail mengenai
unsur-unsur dalam asas-asas umum. Ada 20 rambu untuk asas umum pertama,
lima rambu untuk asas umum kedua, dan empat rambu untuk asas umum ketiga.
Dalam penerapan ini dijelaskan bagaimana, misalnya, sebuah iklan tidak boleh
menyesatkan, atau iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
merugikan masyarakat. Sedangkan dalam Penerapan Khusus ada 13 rambu utama
yang menjadi patokan. Dari sejumlah rambu utama diturunkan rambu-rambu kecil
sebagai penjelas35. Seperti soal penampilan iklan yang berhubungan dengan anak,
penampilan tenaga profesional, minuman keras, real estat, makanan, suplemen,
hingga kosmetik.
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan itu harus dilaksanan oleh seluruh
pelaku periklanan, baik perorangan maupun kelompok. Pengawasannya dilakukan
oleh Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, yang kemudian
berubah menjadi Komisi Periklanan Indonesia. Walaupun terdapat pengawasan
dari Komisi Periklanan Indonesia tetapi semua pihak mulai dari produsen
pemasang iklan, perusahaan periklanan, maupun media massa ikut bertanggung
jawab.

34

Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003).Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
151
35
ibid, hal 152

29

2.5.2. Pelanggaran Etika Periklanan

Apa yang sebenarnya diinginkan konsumen atau masyarakat tidak cukup


dikenali dan dikaji hanya dari persepsi atau asuransi semata. Begitu pula
tanggapan-tanggapan masyarakat terhadap iklan-iklan tertentu, tidak pula
seluruhnya berkadar pelanggaran. Kesenjangan persepsi bukan hanya karena
substansi pesan iklan, namun dapat pula terjadi karena pola pikir masyarkat,
tingkat pendidikan, tekanan ekonomi, birokrasi, dan pengawasan / sanksi, maupun
kepentingan bisnis. Akar terjadinya pelanggaran etika pada dasarnya sama dengan
akar pelanggaran hukum positif, yaitu adanya kesenjangan yang besar antara "das
sollen" dengan "das sein".36
Secara umum terdapat tiga macam sifat pelanggaran etika periklanan,
yaitu:
1. Substansial (nyata),
Jika terdapat unsur-unsur yang tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan
atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, baik disengaja ataupun
tidak.
2. Profesional,
Jika Pelanggaran itu hanya terdeteksi oleh para praktisinya, namun luput
dari perhatian khalayak umum.
3. Situasional,
Jika terdapat keberatan dari masyarakat meskipun kebenaran iklan tesebut
tidak melanggar etika yang telah disepakati.
36

www.pppi.co.id (Pelanggaran Iklan)

30

Pelanggaran dapat juga terjadi karena iklan tidak hanya dimanfaatkan


dalam fungsi dasarnya yang berdampak informatif dan persuasif, namun karena
ditugaskan lebih untuk memberi nuansa menipulatif dan koersif. Pelanggaran
cenderung berulang, manakala konsumen atau khalayak enggan mengungkapkan
kekecewaannya.
Meskipun secara normatif ada tanggung jawab renteng dari pada pelaku
periklanan, namun tanggung jawab terbesar, adalah tetap pada pihak Pengiklan
atau Produsen. Sanksi terhadap pelanggaran etika periklanan saat ini, dinilai
masih sangat ringan
Dalam hal ini beberapa iklan sering ditemukan melanggar etika periklanan
yang terkadang iklan tersebut dapat membuat penulis susah sekali untuk dianggap
melanggar. Akan tetapi pelanggaran tersebut sering juga dibuat secara sengaja
dengan alasan akan menghambat kreativitas para praktisi periklanan.
Ini mengungkap satu fakta bahwa efek utama iklan adalah memperkuat
bukan membujuk. Artinya, iklan memperkuat keputusan yang kita buat untuk
membeli merek serta meningkatkan kesempatan pembelian kita diwaktu lain.
Penguatan (reinforcement) menjadi satu alasan mengapa sebagian kampanye
harus berbicara pada konsumen. Para pengguna sebuah merek hampir selalu
memiliki reaksi positif terhadap iklan merek itu daripada yang bukan pengguna.37
Hal ini seperti memikirkan beberapa aspek iklan pada saat kita menggunakan
merek itu sehingga kita lebih memperhatikan atribut yang diiklankan. Demikian
pula karena kita dapat mengarahkan perhatian konsumen terhadap keributan yang

37

M. Schlinger, Profil respons terhadap iklan, Journal of Advertising Research, 1979,Vol 1 no 2

31

terjadi disekitarnya. Maka iklan itu dapat menarik perhatian kita pada atribut yang
diiklankan. Sebagai hasil dari pengulangan iklan, ketika menggunakan merek
tertentu, kita mungkin berpikir merek itu memang sesuai atribut yang diiklankan.
Oleh karena itu penulis meneliti terdapat beberapa faktor yang membuat produsen
dan praktisi iklan itu sering melanggar etika periklanan, yaitu:38

Peraturan periklanan yang terkadang tidak jelas

Iklan yang kompetitif

Uang : Pembatasan Anggaran

Kenyataan bahwa iklan biasanya memiliki pengaruh lemah dibanding


apa yang kita ketahui atau apa yang telah ada dalam pikiran kita.

Keterbatasan kreatifitas pembuat iklan

Resitestensi terhadap perubahan

2.6. Media Periklanan


Media massa umumnya memiliki kebijakan masing-masing dalam
menentukan isi atau program, untuk memperoleh kekhasan profil khalayak
sasaran yang mereka inginkan. Kebijakan tersebut sekaligus menentukan mutu
media massa yang bersangkutan, termasuk iklan-iklan yang dimuat atau ditayang
oleh media massa tersebut.
Media penyampai pesan memegang peranan yang penting dalam
periklanan, media merujuk kepada suatu metode atau alat yang digunakan untuk

38

Max S & Alice K Sylvester, Advertising and the Mind of the Consumer, (Penerbit PPM, Jakarta
2004), hal 164

32

mentransmisikan pesan-pesan pengiklan, yang bentuknya dapat berupa radio,


televisi, koran, majalah dan lain-lain.
Dijelaskan oleh Rhenald Kasali dalam bukunya Manajemen Periklanan,
bahwasanya media periklanan dapat diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu:
1. Media lini atas, yang terdiri dari iklan-iklan yang dimuat di Media
Cetak (majalah, koran, tabloid), Media Elektronik (radio, televisi,
bioskop) dan Media Luar Ruang (billboard dan transportasi).
2. Media lini bawah, terdiri dari seluruh media selain media diatas seperti
pameran point of sale, display material, agenda, dan lain sebagainya.

Majalah sebagai Media Iklan


Penggunaan media komunikasi yang dipilih secara tepat, sesuai dengan
produk atau jasa yang ditawarkan akan memberi efek dapat menarik cukup
banyak perhatian khalayak. Penyajian iklan yang baik tentunya akan mampu
mengintimidasi, mempengaruhi dan mendominasi calon konsumennya. Penyajian
iklan pada hakikatnya adalah aktifitas menjual pesan (selling message) dengan
menggunakan keterampilan kreatif.39
Para produsen dalam melakukan komunikasi dengan konsumennya,
biasanya akan menggunakan sebuah media yang dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan khalayak. Salah satu media massa yang juga dinilai cukup efektif
dalam menyampaikan pesannya adalah majalah. Hal ini dikarenakan oleh salah
satu sifat majalah yang terekam.
39

Didik Siswantono, Sihir Iklan Dalam Peluncuran BNI Baru, GEMA SWADHARMA
No.63/VI Agustus 2004, hal46

33

Majalah merupakan salah satu media massa yang digolongkan sebagai


pers/media cetak yang banyak digunakan untuk melakukan komunikasi massa
disamping surat kabar.
Majalah memiliki format tampilan yang lebih baik daripada surat kabar.
Kelebihan majalah tersebut antara lain menggunakan kertas yang berkualitas lebih
baik dan terikat rapi [tak sekedar dilipat] dan mempunyai sampul kulit muka yang
bagus. Waktu terbit majalah yang lebih lama dibandingkan surat kabar yang
terbitnya tiap hari menjadikan majalah dapat menuturkan suatu isu atau
permasalahan dengan lebih teliti dan mendalam.
Majalah memiliki sifat dan cirinya sebagai media massa, berusaha
memenuhi kebutuhan info khalayaknya yaitu :

Majalah sebagai media massa memiliki sifat sifat khusus yang


membedakannya dengan jenis media massa lainnya seperti televisi dan
radio, yaitu terekam. Berita berita yang disiarkan majalah tersusun dalam
alinea, kalimat dan kata kata yang terdiri dari huruf huruf yang dicetak
pada kertas. Dengan demikian tiap peristiwa atau hal yang diberitakan
terekam sedemikian rupa sehingga dapat dibaca tiap saat dan dapat dikaji
ulang, bisa dijadikan dokumentasi dan bisa dipakai sebagai bukti untuk
keperluan tertentu.

Menimbulkan perangkat mental yang aktif, karena berita berita majalah


yang dikomunikasikan kepada khalayak menggunakan bahasa dengan
huruf yang tercetak mati di atas kertas, maka untuk dapat mengerti
maknanya pembaca harus menggunakan perangkat mentalnya secara aktif

34

Seperti yang telah dijelaskan bahwa majalah sebagai sebuah media iklan
dalam kegiatan promosi memiliki kelebihan dalam memuat berbagai informasi
dan gambaran tentang produk secara lengkap dan konkret. Akan tetapi iklan yang
terdapat dalam majalah itu sendiri seringkali melanggar etika periklanan, yang
pada akhirnya bagi sebagian khalayak iklan sekaligus majalah tersebut dinilai
menyesatkan.
Kritik khalayak tidak hanya terjadi pada segi redaksional (media pers) atau
program (media elektronik), tetapi seringkali juga pada iklan-iklan yang dimuat
atau ditayangkan media massa tersebut. Adakah upaya media massa selama ini
untuk menentukan kebijakan mutu iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh
mereka? Sebagai "pintu terakhir" untuk menyaring iklan yang melanggar etika,
apa upaya media massa untuk turut mewujudkan swakrama?40
Ada kesan, bahwa media massa lebih suka menyerahkan tugas
penyaringan etika iklan kepada pihak lain, misalnya; perusahaan periklanan,
pengiklan atau Lembaga Sensor Film, dsb. Padahal dalam Tata Krama Periklanan
Indonesia jelas-jelas dinyatakan, bahwa Media Periklanan bertanggung jawab atas
kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosialbudaya dari profil khalayak sasarannya.

40

www.ppi.co.id (Tanggung jawab media periklanan)

35

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan atau memaparkan suatu
objek, misalnya suatu gejala atau fenomena sosial.41 Hal tersebut dikarenakan
oleh sifatnya yang memaparkan keadaan realitas dilapangan.
Batasan penelitian ini hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan gejala
yang ada, mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, dan
menentukan apa yang dapat dilakukan orang lain jika menghadapi masalah yang
sama.Penelitian deskriptif menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk
mengembangkan teori atau mengidentifikasikan pertanyaan untuk diteliti lebih
lanjut karena metode itu metode penilitian deskriptif tidak bertujuan menguji
teori.
Berdasarkan sifat penelitian di atas maka dalam menjawab bagaimana
etika periklanan pada iklan otomotif oli Top 1 akan diperoleh melalui wawancara
mendalam kajian kepustakaan dan proses pengamatan.

41

Wawan Ruswanto dkk, Penelitian Komunikasi, PT Universiotas Terbuka, Jakarta. 1995. hal 23

35

36

3.2. Metode Penelitian


Metode dalam penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study)
dengan pendekatan kualitatif. Secara umum studi kasus merupakan strategi yang
lebih cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau whay.42
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus tunggal dengan unit
analisis tunggal. Karena studi kasus tunggal seringkali bisa digunakan untuk
mencapai tujuan dalam bentuk penjelasan atau tidak semata-mata penjelasan
(deskriptif).
Penelitian di sini masuk ke dalam desain untuk studi kasus tunggal, alasan
utama studi kasus tunggal yaitu :43
1.

Sebuah rasional untuk studi kasus tunggal, manakala kasus tersebut


menyatakan kasus penting dalam menguji suatu teori yang telah
disusun dengan baik.

2.

Kasus tersebut menyajikan suatu kasus ekstrem atau unik.

3.

Untuk studi kasus tunggal adalah penyikapan itu sendiri.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dilakukannya penelitian ini karena


telah terjadinya kasus yang termasuk ke dalam pendesainan studi kasus tunggal.
Data didapat melalui hasil wawancara yang diperoleh apa adanya (natural
conditions) dalam menginformasikan pemahaman etika periklanan pada iklan
otomotif oli Top 1.

42

Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo, Jakarta.
2002. hal 1
43
Robert K. Yin, Op.Cit., hal 6

37

3.3. Nara sumber (Key Informan)


Informan adalah orang dalam pada latar penelitian. Fungsinya jelas bukan
sebagai informan polisi yang biasa diambil dari bekas penjahat kemudian
diminatkan mengawasi sambil melaporkan perbuatan kriminal bekas rekanrekannya sehingga mereka secepatnya dapat ditangkap.
Menurut Lexy J.Moleong dalam bukunya metode penelitian Kulaitatif,
informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar penelitian.44
Kegunaan informan bagi penelitian ialah membantu agar secepatnya dan
tetap seteliti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat terutama
bagi penelitian yang belum mengalami latihan etnografi.
Dalam hal tertentu informan perlu direkrut seperlunya dan diberi tahu
tentang maksud dan tujuan penelitian jika hal itu mungkin dilakukan agar
penelitian memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan,
seyogyanya ia menyelidiki motivasinya dan bila perlu mengetes informasi yang
diberikannya apakah benar atau tidak.
Menurut Lexy J.Moleong dalam bukunya metode penelitian Kulaitatif,
persyaratan dalam memilih dan menentukan seorang informan yaitu ia harus jujur,
taat pada janji, patuh pada peraturan, suka berbicara, tidak termasuk anggota salah
satu kelompok yang bertentangan dalam penelitian, dan mempunyai pandangan
tertentu suatu hal atau tentang peristiwa yang terjadi.
Adapun para narasumber adalah sebagai berikut:
44

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
hal 7

38

1. Hery Margono, Ketua Hukum dan Perundang-undangan, Persatuan


Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
Penulis sengaja memilih Bpk Hery Margono, beliau merupakan pakar
periklanan yang berkerja disalah satu perusahaan iklan dijakarta yang
memahami kode etik, Hukum dan perundang-undangan dalam beriklan
yang seharusnya ditaati oleh para produsen iklan.
2. FX Ridwan Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan Indonesia
Penulis sengaja memilih Bpk FX Ridwan Handoyo, beliau tidak hanya
pakar periklanan tapi juga Ketua Badan Pengawas Periklanan Indonesia
yang memahami kode etik, Hukum dan preundang-undangan dalam
beriklan yang seharusnya ditaati oleh para produsen iklan.
3. Choky Sitohang, praktisi periklanan yang bekerja di Eltra studio meruya
Penulis sengaja memilih sdr choky karena beliau dikenal sebagai praktisi
dalam dunia periklanan yang sudah dipastikan mengerti akan kode etik
yang diterapkan pada iklan otomotiv khususnya.
4. Joe Astanto, praktisi periklanan yang bekerja di Albert & Smith Kelapa
Gading
Penulis sengaja memilih Joe Astanto, dikarenakan selain mengetahui
dunia periklanan dan berpengalaman karena telah belasan tahun bekerja
sebagai manager di Albert & Smith, ia juga dinilai oleh penulis sebagai
salah satu penunjang hasil penelitian penulis dalam meneliti persaingan
suatu produk dengan menggunakan sarana promosi melalui iklan.

39

3.4. Fokus Penelitian


Secara garis besar, tentunya penelitian ini difokuskan pada pembahasan
seputar etika periklanan yang dikenal dengan tata krama dan tata cara periklanan
Indonesia (TKTCPI) yang saat ini tercantum dalam Etika Pariwara Indonesia.
Dari fokus penelitian tersebut, selanjutnya akan menjadi acuan untuk
menguraikan etika periklanan pada iklan otomotif oli Top 1 melalui wawancara
dengan key informan.

3.5. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data sangat diperlukan didalam melakukan
penelitian karena merupakan prosedur yang sangat sistematis dan mempunyai
standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
Dalam bukunya Robert K Yin menegaskan setelah mendapatkan
keuntungan dari enam sumber bukti dapat dimaksimalkan dengan tiga prinsip
berikut.45
3.5.1. Menggunakan Multisumber Bukti
Penggunaan multi sumber bukti dalam studi kasus memberi peluang
kepada peneliti untuk mengarahkan diri pada isu-isu historis, sikap dan observasi
yang lebih luas. Tetapi, keuntungan paling penting yang dapat ditunjukkan oleh
multi sumber bukti adalah pengembangan kesatuan inkuiri, suatu proses
trianggulasi yang berulangkali disinggung dibagian sebelumnya. Karenanya

45

Prof.Dr.Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode (PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
2004) hal 118

40

temuan atau konklusi apa pun dalam studi kasus akan lebih menyakinkan dan
tepat jika didasarkan pada beberapa sumber informasi yang berlainan.
3.5.2. Menciptakan Data Dasar Studi Kasus
Prinsip

ini

berkenaan

dengan

cara

mengorganisasikan

dan

mendokumentasikan data yang telah terkumpul. Namun demikian, persoalan awal


dalam menetapkan data dasar studi kasus tidak disinggung oleh sebagian besar
buku-buku metodologi lapangan. Karena itu bagian-bagian dibawah ini akan
menyajikan perluasan pembahasan tentang hal tersebut. Persoalan pengembangan
data dasar digambarkan dalam kaitannya dengan empat komponen yaitu catatan,
dokumen, bahan tabulasi, dan narasi.
3.5.3. Memelihara Rangkaian Bukti
Prinsip ini didasarkan atas pemahaman yang mirip dengan yang digunakan
dalam penelitian kriminologi. Dan memungkinkan pengamat dalam lingkup yang
lebih luas.
Selain 3 prinsip diatas teknik pengumpulan data tidak terlepas dari datadata penunjang lainnya yaitu meliputi ;
a. Data Primer
Untuk mencari data primer akan dilakukan wawancara mendalam (In
depth interview) dengan Key Informan / Nara Sumber serta melakukan
pengamatan pada produsen iklan yang menjadi objek penelitian.

41

b. Data sekunder
Untuk memperoleh data sekunder ini dilakukan dengan riset pustaka
seperti buku, majalah, koran, makalah dan sumber-sumber lainnya yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

3.6.Tehnik Analisis Data


Penulis menggunakan tehnik Triangulasi dalam menganalisis data dalam
penelitian ini. Menurut Lexy J.Moleong dalam bukunya metode penelitian
Kulaitatif, Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembandingan terhadap data.46
Menurut patton (1987:331) yang dikutip Lexy J.Moleong dalam bukunya
metode penelitian Kulaitatif, triangulasi dapat dicapai dengan jalan sebagai
berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan
menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan
46

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
hal 178

42

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang


berkaitan.47
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan
dua pihak, yaitu pewawancara [interviewer], pihak yang mengajukan pertanyaan
dan yang diwawancara [interviewee], pihak yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut [Moleong, 1997: 135]. Wawancara merupakan bentuk teknik
komunikasi antara peneliti dan nara sumber. Cara yang paling efektif adalah
dengan wawancara pribadi, yang menuntut hubungan lancar antara peneliti dan
nara sumber. Wawancara ini harus menggunakan bahasa dan pengertian yang
sama, dapat menyampaikan dan menerima pertanyaan atau pendapat dengan jelas,
tanpa penekanan, bujukan atau gangguan.
Penelitian kualitatif bertumpu pada data hasil wawancara sebagai data
kunci. Karena itu wawancara harus benar benar menggali realitas, yang tidak
dapat diungkap dengan jawaban ya atau tidak atau jawaban dengan satu dua
patah kata. Penelitian kualitatif membutuhkan nuansa dinamis dan hidup dalam
menggambarkan data di lapangan. Itulah gunanya wawancara mendalam sebagai
teknik analisis data.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti sebaiknya membuat draft
pertanyaan / panduan wawancara (interview guide) yang akan diajukan agar
wawancara terfokus pada data yang dibutuhkan. Walau begitu, peneliti juga harus

47

ibid, hal 178

43

siap menghadapi berbagai jawaban dari responden. Peneliti juga harus siap
dengan pertanyaan susulan yang tidak terdapat di interview guide.

42

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian penulis mengenai hasil penelitian serta pembahasan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis studi kasus (case
study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan wawancara mendalam (indepth
interview) dengan empat orang key informan dari PPPI dan praktisi periklanan.
Key Informan tersebut adalah Hery Margono, Ketua Hukum dan Perundangundangan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), FX Ridwan
Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan Indonesia, Choky Sitohang, praktisi
periklanan yang bekerja di Eltra studio meruya, dan Joe Astanto, praktisi
periklanan yang bekerja di Albert & Smith Kelapa Gading.
Pemilihan key informan tersebut merupakan orang-orang yang berkaitan
serta memiliki peranan penting dan berkompeten dengan topik penelitian ini.
Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mengetahui bagaimana etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.

4.1.

Kasus-kasus Pelanggaran Etika Periklanan


Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia

(PPPI) menegur sedikitnya 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika selama


dua tahun terakhir.
Semakin banyaknya produk yang sejenis, maka semakin marak perang
yang dikibarkan untuk menjadikan salah satu produk menjadi unggulan.

43

Ketua Badan Pengawas FX Ridwan Handoyo mengatakan, pada


umumnya pelanggaran berupa tampilan iklan superlatif yakni memunculkan
produk sebagai yang terbaik atau termurah.
Iklan superlatif kadang dibumbui kecenderungan untuk menjatuhkan
pesaing di pasaran.
Berikut beberapa contoh pelanggaran etika periklanan :
Merendahkan Produk Pesaing

(TVC Obat Nyamuk Tiga Roda, AdWork)

Pada TVC Obat Nyamuk Tiga Roda yang diproduksi oleh AdWork, terjadi
pelanggaran yang berupa merendahkan, dan hal tersebut melanggar kode etik
periklanan yang menyatakan bahwa ; Iklan tidak boleh merendahkan produk
pesaing secara langsung maupun tidak langsung.

Iklan Mencontek/Meniru

(Contoh : iklan TVC Obat Nyamuk Garuda, Hotline)

Peniruan TVC Obat Nyamuk Garuda meliputi merek dagang, komposisi huruf
dan gambar serta slogan. Dan pada pedoman etika periklanan dicantumkan hal

44

yang menyangkut pelanggaran tersebut yang isinya, Iklan tidak boleh dengan
sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat
merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan
khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita,
setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk
model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi
huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut
khas lain, dan properti.
Dan masih dipertajam pada sub selanjutnya yang menerangkan bahwa :
Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu
digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun
dua tahun terakhir.
Bahkan peniruan atas hak cipta diatur pada awal Tata Cara dan Tata
Krama

Periklanan

Indonesia

yang

berisi

Penggunaan,

penyebaran,

penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi atau bagian dari materi
periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau
pemegang merek yang sah.
Kategori Minuman Keras

(Iklan Cetak Heineken/Patung Liberty, Bates Asia)

45

Untuk iklan kategori minuman keras diatur dalam Ragam Iklan, yang
mengatur bahwa iklan minuman keras maupun gerainya hanya boleh disiarkan di
media nonmassa.
Melebih-lebihkan

(TVC Yamaha Jupiter, The Agency)

Iklan TVC Yamaha Jupiter yang diproduksi oleh The Agency dinilai
melebih-lebihkan atau hiperbolisasi. Pada dasarnya hal tersebut boleh dilakukan
sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor
yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak
menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
Pelanggaran Tata Tertib Lantas

(TVC Oli Agip, Leo Burnett Kreasindo)

Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi


keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
Eksploitasi Anak

(TVC Candy Co)

46

Pemeran anak boleh saja menjadi model suatu iklan selama masih
dalam koridor EPI (Etika Pariwara Indonesia). Panduan yang diberikan
EPI sebenarnya sudah sangat praktis dan mudah dimengerti. EPI sebagai
suatu kitab etika, sanksi yang diberikan adalah bersifat sanksi etika
organisasi. Menurut FX Ridwan, selaku ketua Badan Pengawas
Periklanan PPPI :
Dari beberapa kali rapat BPP, pernah ditemui beberapa
pelanggaran yang berkaitan dengan penggunaan model anak-anak.
Secara persentase, pelanggaran ini memang relatif masih kecil. Selama
ini, pelanggaran yang berkaitan dengan model anak, kami lihat lebih
banyak disebabkan karena ketidaktahuan,

Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika
usaha, adalah demi kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi
dampak buruk.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 17 ayat 1.f. disebutkan
bahwa "Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang
melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan". Dengan demikian Etika Pariwara Indonesia (EPI)
dapat menjadi rujukan dari banyak pihak (termasuk praktisi hukum pada
umumnya) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan etika periklanan.
Disinilah posisi strategis dari EPI. Jadi EPI itu sifatnya adalah melengkapi
hukum positif yang telah ada.
Untuk mengetahui apakah iklan-iklan di Indonesia sudah
memenuhi kode etik periklanan, maka perlu dilihat dan dibandingkan
antara iklan-iklan yang ada dengan kode etik periklanan yang tercantum

47

dalam Etika Pariwara Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga dapat dilihat
dari semakin bertambahnya pelanggaran yang dilakukan oleh iklan-iklan
yang ada, baik itu yang berasal dari pengaduan masyarakat, juga berasal
dari pemantauan PPPI sendiri melalui Badan Pengawas Periklanan (BPP).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Choky Sitohang, praktisi
periklanan yang bekerja di Eltra studio meruya, menyatakan bahwa :
Beberapa memenuhi kode etik periklanan. Tapi dengan semakin
tingginya angka pelanggaran, saya rasa pelaku periklanan masih belum
memahami etika periklanan itu sendiri
Dan menurut pernyataan yang diutarakan Bapak Hery Margono
selaku ketua Ketua Hukum dan Perundang-undangan, Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) yang menyatakan bahwa :
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPP, sedikitnya 149 kasus
ditangani oleh Badan Pengawas terdiri 56 kasus pada 2006 dan 93 kasus
pada 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melanggar dan 44 kasus
lainnya dalam penanganan. Dari yang diputus melanggar, 39 kasus tak
ditanggapi oleh agensi

Kasus yang paling banyak terjadi adalah penggunaan kata / istilah


yang bersifat superlatif, baik itu di iklan cetak maupun elektronik.
Mungkin bukan kebetulan bahwa pengaturan pengunaan kata/istilah yang
bersifat superlatif dicantumkan pada bagian ke dua dalam Tata Krama di
kitab EPI (persis setelah pengaturan mengenai Hak Cipta). Hal ini
disebabkan sampai dengan laporan BPP untuk semester pertama tahun
2006, isi laporan tersebut masih didominasi dengan pelanggaranpelanggaran yang berkaitan dengan penggunaan kata/istilah superlatif.
Kondisi yang sama juga ditemukan dari laporan BPP dari periode-periode
sebelumnya.

48

BPP masih banyak menemukan iklan baik cetak maupun


elektronik yang menggunakan kata-kata seperti: tercepat, terbesar,
terlama, selalu terdepan, sempurna, paling murah, paling bersih, 100%,
asli dan sejenisnya. Masalahnya adalah bahwa penggunaan katakata/istilah yang bernuansa superlatif bukanlah sama-sekali dilarang, tapi
penggunaannya haruslah dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
otoritas terkait atau sumber yang otentik. Idealnya, pernyataan itu adalah
dari suatu lembaga (riset atau audit misalnya) yang bersifat independen
(bukan departemen atau unit dari perusahaan biro iklan atau pemrakarasa
iklan itu sendiri). Dalam banyak kasus, penggunaan kata-kata/istilah
superlatif tersebut tidak mempunyai dukungan data yang obyektif dan
valid.
Memang tidak semua kata berawalan ter berkonotasi superlatif.
Rapat BPP pernah meloloskan penggunaan kata terpercaya karena
konotasi dari kata tersebut secara harafiah lebih mengarah pada
pengertian dapat dipercaya (karena bentuk superlatifnya adalah:
paling/selalu terpercaya).
Iklan-iklan yang menggunakan kata/istilah superlatif tanpa
dukungan dasar/fakta yang obyektif dan valid adalah sama dengan
menipu konsumen dan ini bertentangan dengan jiwa EPI (dan juga
bertentangan dengan Undang-Undang RI No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 butir a). Usaha tersebut juga
dapat dianggap sebagai usaha pembodohan kepada konsumen.

49

Berdasarkan hal tersebut, maka hanya sebagian saja iklan-iklan di


Indonesia yang memenuhi kode etik periklanan, sedangkan sebagian yang
lainnya belum memenuhi kode etik periklanan. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya pemahaman pelaku periklanan terhadap etika periklanan itu
sendiri.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pelanggaran etika
periklanan, dapat terlihat dari kutipan pernyataan Bapak Hery Margono
yang menyatakan bahwa :
Kemungkinan terjadi akibat tiada sanksi yang tegas kepada
pelanggar. Kode etik bersifat normatif, maka terhadap pelanggaran tidak
dapat dikenakan sanksi hukum. Selain itu faktor yang lain biasanya
adalah iklan yang kompetitif, uang (pembatasan anggaran), kenyataan
bahwa iklan biasanya memiliki pengaruh lemah dibanding apa yang kita
ketahui atau apa yang telah ada dalam pikiran kita dan keterbatasan
kreatifitas pembuat iklan
Sedangkan menurut Bapak Joe Astanto menyatakan bahwa :
Kondisi ini bagian besar akibat masih awamnya para pelaku
periklanan maupun masyarakat sendiri dalam etika beriklan, dan
diperparah oleh masih rendahnya tingkat kreativitas dari kebanyakan
praktisi periklanan kita, sehingga sering harus mengambil jalan pintas
Dari hal tersebut maka dapat di jabarkan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran kode etik periklanan sebagai
berikut:
1. Pelaku periklanan masih awam tentang etika periklanan
2. Tiada sanksi yang tegas yang diberikan kepada pelanggar kode
etik
3. Iklan yang kompetitif
4. Keterbatasan anggaran

50

5. Iklan biasanya memiliki pengaruh lemah dibanding apa yang


kita ketahui atau apa yang telah ada dalam pikiran kita
6. Keterbatasan kreatifitas pembuat iklan

4.2.

Iklan Oli Top One


Oli Top-1 adalah salah satu oli yang paling populer di Indonesia. Oli

merek ini sering dipromosikan di berbagai media dengan pesan Oli yang banyak
dipakai oleh artis atau Oli nomor satu di Amerika. Bahkan merek ini adalah
salah satu dari 100 Superbrands Indonesia.
Top 1 oli sintetik, asli Amerika, atau oli anda Top 1 juga kan ?,
penggalan ini mungkin sudah sangat akrab di telinga kita. Sejak tahun 2000, iklan
produk pelumas ini memang sangat rajin muncul di media massa, terutama
setelah pemerintah membuka jalan bagi impor pelumas di Indonesia. Konsumen
menjadi sangat familiar dengan produk ini, dan awarenessnya meningkat dahsyat.
Kehadiran Top 1 kala itu sekaligus menandai dimulainya iklim persaingan di
industri yang selama 20 tahun ini dibesarkan oleh proteksi pemerintah.
Kecerdikan Top 1 memanfaatkan momentum, terbukti memang ampuh.
Walau langkahnya membombardir pasar dengan program komunikasi berbiaya
mahal, pantauan Nielsen Media Research, dari tahun 2001 hingga tahun 2005
belanja Top 1 selalu berada di atas angka 50 milyar/tahun. Ternyata itu sangat
signifikan dengan pertumbuhan penjualan atau peningkatan citranya.
PT Topoindo Atlas Asia (TAA) sebagai pemegang merek Top 1 di
Indonesia sangat menyadari pasar minyak pelumas belum terbentuk. Sehingga

51

upaya komunikasi yang efektif diyakini dapat menciptakan positioning dan


persepsi positif di benak khalayak.
Hingga tahun 2005, atau selama 6 tahun Top 1 tidak mengendurkan
aktivitas komunikasinya. Bahkan menurut Nielsen Media Research, pada periode
Januari-September 2005 TAA sudah menghabiskan Rp 85 milyar lebih.
Selain agresif beriklan, Top1 juga berani mengambil langkah-langkah
komunikasi yang berbeda. Salah satu yang unik adalah dengan menggunakan
testimoni para selebriti. Lebih dari 20 nama orang terkenal dari berbagai
kalangan dilibatkan untuk memberikan testimoni. Hasilnya Top 1 pun
memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai oli yang paling
banyak digunakan selebritis.
Sejalan dengan kesuksesannya, Top 1 harus menghadapi berbagai isu
negatif di masyarakat.
Masih berhubungan dengan Top-1, majalah Swa awal bulan November
2004 memuat artikel Strategi Kehumasan Top 1 Menghalau Isu. Artikel ini
memuat beberapa pernyataan yang mengatasnamakan beberapa klub otomotif di
Indonesia. Pernyataan ini kemudian dibantah melalui surat pembaca.
Beberapa permasalahan dan isu-isu negatif muncul akibat keagresifan
Top 1 dalam beriklan. Dalam hal tersebut mengindikasikan bahwa periklanan di
Indonesia timbul persaingan yang tidak sehat, baik dari segi strategi pemasaran
juga bisnis secara keseluruhan.

52

Iklan Cetak Oli Top 1, (Artek n Partner)

4.3.

Pelanggaran Etika Periklanan pada Iklan Oli Top One di majalah


Swa
Globalisasi dalam komunikasi pemasaran (khususnya periklanan)
dicermati punya kemampuan memicu sikap individualis atau perilaku
materialis. Kritik dan kekhawatiran akan budaya iklan muncul di
masyarakat, dengan asumsi bahwa sebagian konsumen memiliki
keterbatasan dalam menilai iklan, hingga dapat mengakibatkan budaya

53

konsumtif yang pasif. Iklan kerap dituding berorientasi hanya pada


keuntungan bisnis dan mengabaikan dampak sosial budaya di masyarakat.
Janji-janji yang selalu dihembuskan oleh setiap brand biasanya
berupa keuntungan-keuntungan emosional untuk target pasar mereka.
Hanya sayangnya banyak janji ini yang tidak direalisasikan kepada
konsumennya atau banyak janji-janji emosional tadi yang sesungguhnya
tidak relevan dengan kualitas produknya sendiri. Jika dicermati janji-janji
yang tidak sesuai dan tidak ditepati ini justru akan menurunkan
kredibilitas brand yang bersangkutan dan merusak image atau reputasi
brand tersebut.
Khusus untuk pelumas terdapat banyak kiat strategi positioning.
Ada yang menggunakan personality tertentu atau atas dasar kompetisi
namun ada juga yang menggunakan strategi pemecahan problem /
pemberian solusi terhadap suatu masalah. Yang paling menarik adalah
yang mempergunakan strategi yang saat ini memang sedang populer yaitu
strategi berupa klaim sebagai buatan luar negeri, strategi produk sebagai
yang

digunakan

oleh

pembalap-pembalap

dunia,

selebritis

atau

penonjolan feature-feature khusus seperti teknologi sintetis atau warna


dan kejernihan.
Harus diakui bahwa teknologi pelumas saat ini sudah demikian
maju yang utamanya untuk mengimbangi teknologi mesin yang semakin
melaju. Terlepas dari berbagai perang pencitraan berbagai brand pelumas
yang semakin irasional

54

Konstelasi persaingan pelumas di Indonesia saat ini terlihat


semakin sesak. Dengan jumlah brand tercatat di Dirjen Migas pada tahun
2004 mencapai 220 lebih, maka kiat-kiat yang dilakukan oleh para
pemain bisnis licin ini semakin kreatif. Sarana komunikasi pemasaran
yang digunakan juga semakin beragam. Branding maupun komunikasi
pemasaran lainnya menghujani benak konsumen setiap harinya melalui
berbagai bentuk dan ukuran seperti melalui branding korporasi, produk,
events, lokasi yang indah, ingredients, endorser, individu tertentu seperti
aktris, dan lain-lain. Namun harus diamini bahwa komunikasi pemasaran
melalui televisi dan media cetak merupakan komunikasi pemasaran yang
paling efektif.
Khusus melalui media cetak, manajemen persepsi disini banyak
digunakan untuk membangun relasi antara pembeli dan penjual yang
terutama diasosiasikan dengan benefit yang intagible. Secara umum
diharapkan dapat terbangun asosiasi emosional yang dapat dirasakan dan
dipikirkan oleh konsumen terhadap item produk tersebut.
Untuk mengetahui apakah iklan otomotif Oli Top One periode
tahun 2004 di majalah Swa memenuhi etika periklanan, maka perlu
diperhatikan tampilan yang terdapat di iklan tersebut.
Setelah memperhatikan tampilan iklan oli Top One di majalah
Swa Bapak Joe Astanto, praktisi periklanan yang bekerja di Albert &
Smith Kelapa Gading, menyatakan :
Dari sekilas saja iklan ini sudah melanggar etika periklanan,
terlebih jika diperhatikan, banyak sekali sekali pelanggaran yang
terdapat di dalamnya, dan minimal ada tiga tampilan dan pencantuman
kata yang melanggar etika periklanan,

55

Bapak FX Ridwan menyatakan bahwa :


Tentu saja belum. Di iklan tersebut terdapat beberapa
pelanggaran etika periklanan, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan
pelanggaran yang terdapat pada iklan-iklan lain

Berdasarkan hal tersebut sangat jelas iklan oli Top One di majalah
Swa melakukan beberapa pelanggaran kode etik periklanan. Dan data
yang diperoleh bahwa iklan tersebut telah mendapat beberapa surat
pengaduan pelanggaran kode etik periklanan yang diterima oleh PPPI
yang berasal dari produk pesaing yang nama produknya tercantum dalam
iklan tersebut.
Melihat tampilan iklan oli Top One periode tahun 2004 di majalah
Swa yang jelas-jelas telah melanggar kode etik periklanan, dapat terlihat
pelanggaran apa saja yang terdapat dalam iklan tersebut.
Menurut pernyataan yang diutarakan Bapak Hery Margono selaku
ketua Ketua Hukum dan Perundang-undangan, Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI) yang menyatakan bahwa :
Yang paling utama adalah merendahkan produk pesaing,
selanjutnya penggunaan kata satu-satunya, perbandingan, penmggunaan
kata ter (paling), dan menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan
statistik
Tampilan pada iklan tersebut memang menampilkan tabel
perbandingan produk sejenis yang merendahkan pesaingnya. Selain itu
juga terdapat kalimat seperti ; ...satu-satunya oli made in U.S.A... dan
...yang termahal..., serta penggunaan istilah ilmiah dan statistik yang
menciptakan kesan yang berlebihan.

56

Berdasarkan hal tersebut iklan oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa telah melakukan lima pelanggaran sekaligus, meskipun yang
paling utama dan yang dijadikan bahan pengaduan oleh produk sejenis
hanya satu, yaitu merendahkan produk pesaing.
Berdasarkan pernyataan Bapak Hery Margono tersebut, kelima
pelanggaran seperti yang tercantum dalam Etika Pariwara Indonesia
adalah sebagai berikut :
1.

Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas

penggunaan Bahasa nomor 1.2 sub 1.2.2 yang berisi :


Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti
"paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata berawalan "ter", dan atau
yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut
yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas
terkait atau sumber yang otentik.
2.

Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas

Penggunaan Kata "Satu-satunya" nomor 1.4 yang berisi :


Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata "satu-satunya" atau yang
bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk
tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat
dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
3.

Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas

Perbandingan nomor 1.19 yang berisi :


Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap
aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama.

57

Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi,


sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas.
Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau
verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut.
Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang
tidak menyesatkan khalayak.
4.

Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas

Merendahkan nomor 1.21 yang berisi :


Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung
maupun tidak langsung.
5.

Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas

Istilah Ilmiah dan Statistik nomor 1.21 yang berisi :


Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan
statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang
berlebihan.
Bahkan salah satu agen periklanan yang tergabung sebagai
anggota P3I yaitu PT Wira Pamungkas Pariwara (JWT Force),
melayangkan surat keberatan atas iklan cetak Top 1 kepada BPP.
Keberatan tersebut dalam hal pencantuman secara terbuka nama-nama
brand pesaingnya yang menampilkan hasil-hasil survey tentang brand
image pelumas dari aspek-aspek Mengandung Zat Aditif, Dapat Menjaga
Keawetan Mesin, dan Dapat Membuat Mesin Bersuara Halus. Keberatan
atas nama-nama brand pesaing, maupun hasil survey yang hanya
merupakan brand image dari konsumen dan bukan uji dari produk-produk

58

tersebut. Hal ini dapat memberikan kesan salah kepada konsumen, seolaholah memang produk Pelumas Top 1 unggul dalam ketiga hal tersebut dan
bukan hanya persepsi konsumen. Hal ini lebih-lebih lagi karena istilah
yang dipakai adalah dalam bahasa Inggris.
Selain itu Unit Pelumas Pemasaran dan Niaga PT PERTAMINA
yang diwakili oleh agen periklanannya, Avicom Airvertising, juga
menyampaikan keberatan atas iklan cetak Top1 tersebut. Keberatan
tersebut berupa penulisan nama-nama pesaing dan memposisikan pesaing
sebagai produk yang lebih rendah dari Top 1.
Berdasarkan surat yang dilayangkan kepada BPP tersebut, iklan
cetak Top1 melanggar Pedoman beriklan yang tertuang pada buku biru
mengenai Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Bab II (Tata
Krama) pasal 3 ayat b dan c.
Pasal 3 : Iklan harus Dijiwai oleh Asas Persaingan yang sehat.
b) Perbandingan langsung :
Iklan tidak dibenarkan mengadakan perbandingan langsung
dengan

menampilkan

merek

dan

atau

produk

pesaing.

Perbandingan tidak langsung harus didasarkan pada kriteria yang


tidak menyesatkan konsumen.
c) Merendahkan
Iklan tidak boleh secara langsung ataupun tidak langsung
merendahkan produk-produk lain.
Juga melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun
1999 pasal 9 ayat 1 butir i, tentang Perlindungan Konsumen yang tertuang

59

dalam Buku Pedoman Himpunan Peraturan dan Etika Periklanan


Indonesia.
Pasal 9
1.

Pelaku

usaha

dilarang

menawarkan,

mempromosikan,

mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar,


dan atau seolah-olah ;
i.

Secara langsung atau tidak langsung merendahkan


barang dan atau jasa lain.

Kedua keberatan yang disampaikan oleh sesama anggota P3I


tersebut, pada dasarnya sama-sama memohon kepada BPP untuk menegur
advertising agency Top 1 yang membuat iklan cetak tersebut, dan menarik
dari peredaran atau merubah isinya sesuai dengan alasan yang
dicantumkan.
Memang sampai saat ini apa yang dilakukan oleh PPPI melalui
BPP belum terasa maksimal, hal tersebut disebabkan oleh banyaknya
kendala yang menghambat. Salah satunya adalah perusahaan-perusahaan
periklanan masih banyak yang belum menjadi anggota organisasi
periklanan itu sendiri.
Sedangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam
menghadapi pelanggaran etika periklanan menurut Bapak Hery Margono
menyatakan bahwa :
Menanggapinya dengan positif, dan meneruskannya hingga ke
Badan Musyawarah Etika, tentunya sesuai dengan prosedur yang
berlaku

60

Dan menurut Bapak Joe Astanto :


Sudah seharusnya PPPI memberikan kontrol yang lebih kepada
perusahaan-perusahaan periklanan dan bekerjasama dengan pemerintah
dalam penegakan kode etiknya,

Sedangkan Bapak Choky Sitohang menyatakan bahwa :


PPPI sebaiknya menetapkan kode etik nya sebagai bagian dari
hukum, sehingga dapat dengan tegas menindak perusahaan-perusahaan
periklanan yang melanggar kode etik periklanan

Berdasarkan hal tersebut, selain menanggapi dengan serius dan


sesuai dengan prosedur setiap pelanggaran yang terjadi, sudah selayaknya
PPPI bekerjasama dengan pemerintah dan aparat hukum agar setiap kode
etik yang dilanggar oleh perusahaan-perusahaan periklanan dapat ditindak
dengan tegas. Dengan begitu dapat memberikan efek bagi pelanggar
tersebut, dan lebih jauh lagi tidak ada konsumen yang akan dirugikan.
Karena sifatnya yang masih normatif, kode etik periklanan belum
dapat mengenakan sanksi yang detail terhadap satu pelanggaran.
Meskipun begitu, setiap pelanggaran haruslah terdapat konsekunsinya.
Adapun pengenaan sangsi yang dilakukan terhadap perusahaan
pelanggar kode etik pada PPPI menurut Bapak Hery Margono adalah :
Secara undang-undang, penipuan melalui suatu iklan harus
ditanggung renteng para pelaku iklan, yaitu pemrakarsa iklan, biro
iklannya, sampai media massa yang menyiarkannya, dan sanksi tersebut
bisa berupa administratif hingga sanksi hukum berupa denda dan
pidana

Hal ini membuktikan bahwa sangsi yang hanya sebatas


pemberhentian keanggotaan, dapat lebih maksimal lagi. Akan tetapi untuk
dapat menuntut perusahaan periklanan yang melanggar kode etik hingga

61

sanksi hukum berupa denda dan pidana, haruslah bekerjasama dengan


pihak lain, YLKI misalnya, yang melindungi konsumen dari semua aspek.
Salah satunya adalah kebohongan publik yang dilakukan melalui
periklanan.
Semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan hingga
pemunculan iklan kepada khalayak, dalam hal ini juga harus
bertanggungjawab. Setiap komponen periklanan bertanggung jawab
menurut peran dan bobot keterlibatan masing-masing, komponen
periklanan tersebut adalah :

Pengiklan bertanggungjawab atas kebenaran informasi tentang


produk yang diberikan kepada biro iklan.

Biro iklan bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang


dimasukkannya ke dalam pesan iklan.

Media iklan bertanggung jawab atas kesepadanan antara pesan


iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari profil
khalayak sasarannya.
Sama seperti kasus-kasus pelanggaran kode etik lainnya. Dalam

menyikapi pelanggaran kode etik, PPPI menyikapinya sesuai dengan


prosedur yang berlaku.
Berikut pernyataan Bapak FX Ridwan :
Berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau dari pantauan
BPP, PPPI memberikan surat teguran pertama dan kedua, hingga
pemberian sanksi bagi anggota
Sampai saat ini PPPI, bila sampai terjadi pelanggaran, maka
melalui BPP akan mengirimkan suatu surat teguran. Bila teguran tersebut

62

diabaikan, maka masalah itu menjadi masalah Pengrurus Pusat PPPI.


Tindakan maksimal yang dapat dilakukan oleh PP PPPI dalam
menghadapi anggota yang melanggar EPI adalah menghentikan status
keanggotaannya.
Untuk mengetahui usaha apa saja yang dilakukan oleh PPPI dalam
mencegah dan mengurangi pelanggaran kode etik periklanan yang ada di
Indonesia, berikut pernyataan Bapak Hery Margono :
PPPI melalui BPP Secara umum memiliki 2 program kerja. Yang
pertama adalah sosialisasi dan edukasi EPI kepada para anggota PPPI,
asosiasi-asosiasi terkait serta kepada masyarakat pada umumnya. Kedua,
adalah fungsi kontrol dalam menegakkan EPI tersebut. Harus dimaklumi
bahwa EPI belum memasyarakat
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi
permasalahan utama bagi PPPI dalam pelanggaran kode etik periklanan
adalah kurangnya pengetahuan dan sosialisasi mengenai EPI terhadap
para pelaku periklanan. Sehingga yang dilakukan pertama kali oleh PPPI
dalam mencegah dan mengurangi pelanggaran kode etik periklanan yang
ada di Indonesia adalah dengan sosialisasi dan edukasi EPI, serta
penegakan fungsi kontrol EPI tersebut.
Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk dapat
mengetahui apakah kode etik periklanan cukup efektif dalam mengatasi
pelanggaran etika periklanan. Akan tetapi kita dapat melihat berdasarkan
realita yang ada, bahwa pelanggaran kode etik periklanan masih terjadi di
sana sini.
Bapak FX Ridwan menjabarkan kondisi tersebut dengan
menyatakan bahwa :

63

Adanya iklan yang melanggar kode etik periklanan, menunjukkan


bahwa banyak orang yang tidak peduli terhadap tata krama periklanan
yang telah dibuat oleh PPPI. Selain masih kurangnya informasi tentang
EPI, juga selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk
Etika Periklanan Indonesia. Mungkin karena hanya diatur dalam etika
sehingga lebih soft. Berbeda dengan aturan hukum yang tegas
EPI berprinsip "swakrama" (pengaturan diri sendiri). Bila proses
sosialisasi dan edukasi berjalan dengan optimal, tentunya fungsi control /
penegakan otomatis menjadi minimal. PPPI sangat mengharapkan bahwa
para pelaku periklanan dapat benar-benar memahami prinsip swakrama
tersebut yang juga diterapkan di banyak negara di seluruh dunia. Dengan
ber-swakrama yang mengacu pada EPI dan aturan-aturan pemerintah
yang ada, diharapkan agar fokus usaha para insan periklanan lebih pada
peningkatan kualitas iklan Indonesia sehingga dapat lebih bersaing
dengan iklan-iklan manca-negara. Walaupun TKTCPI sudah diterbitkan
oleh Komisi Periklanan Indonesia (saat ini menjadi Dewan Periklanan
Indonesia) sejak 1981, tetap saja sampai saat ini masih banyak terlihat
iklan-iklan yang melanggar etika periklanan.
Dan dengan keterbatasan area kerja BPP, PPPI tidak dapat
menjangkau mereka secara langsung. Untuk itulah, perlu dukungan dari
seluruh asosiasi terkait seperti :
1. AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia)
2. APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia)
3. ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyuntun Iklan Indonesia)
4. ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia)
5. ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia)
6. GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia)
7. PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia)

64

8. PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia)


9. SPS (Serikat Penerbit Suratkabar)
10. Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia)
Dan asosiasi - asosiasi lainnya untuk membantu sosialisasi dan
edukasi serta sekaligus melakukan tugas kontrol dan penegakannya. Ini
semua demi makin tegaknya etika dalam iklan-iklan di Indonesia.

4.4.

Jajak Rekam Industri


Untuk mengetahui jajak rekam industri di Indonesia, maka perlu
diketahui perkembangan anggaran belanja periklanan setiap tahunnya.
Menurut Bapak Hery Margono selaku ketua Ketua Hukum dan
Perundang-undangan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
yang menyatakan bahwa :
Industri periklanan sekarang berkembang sangat pesat, ini bisa
di lihat dari pendapatan iklan yang sangat mencolok dan dapat menjadi
lahan bisnis yang menguntungkan dan bernilai profit yang tinggi

Ini sesuai dengan pernyataan singkat Bapak Choky Sitohang,


praktisi periklanan yang bekerja di Eltra Studio Meruya, menyatakan
bahwa :
Tentu saja berkembang pesat, semakin besar suatu produk, serta
bermunculannya produk-produk baru, maka semakin dibutuhkan
periklanan. Buktinya perusahaan periklanan di Indonesia semakin
banyak,
Hal tersebut didukung dengan statistik peningkatan anggaran
belanja iklan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 yang
memberikan nilai positif dalam meningkatkan citra bisnis.

65

Belanja iklan tahun 1997-2003


(dalam miliar rupiah)

Media

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

Televisi

2.678

2.213

3.449

4.933

5.821

8.383

10.311

Koran

1.540

956

1.415

1.982

2.593

3.502

4.378

Majalah

311

191

292

448

614

768

992

Radio

206

136

187

257

329

413

516

Luar
Ruang

350

261

269

269

202

232

279

Bioskop

Total

5.094

3.757

5.612

7.889

9.795

13.298

16.476

Sumber : AC Nielsen AEM Media Scene

Citra Pariwara sebagai ajang lomba karya iklan bagi insan-insan kreatif
Periklanan

Indonesia,

pada

kenyataannya

dapat

dijadikan

barometer

perkembangan periklanan di Indonesia. Dan hal tersebut dapat dilihat dari data
sebagai berikut :

Penyertaan pada Citra Pariwara


NO. MEDIA

1996

1997 1998

1999 2000 2001

2002

1.

Iklan Media Cetak

413

377

264

296

258

331

363

2.

Iklan Televisi

297

289

168

230

265

266

283

3.

Iklan Radio

66

92

59

90

91

120

129

4.

Iklan Seri Media Cetak

56

45

36

46

171

241

5.

Iklan Seri Media Televisi

64

15

13

22

25

37

68

6.

Iklan Seri Media Radio

18

28

7.

Iklan Media Mix

56

47

15

40

33

124

122

8.

Iklan Media Luar Ruang

28

24

12

19

Jumlah :

930

878

584

717

746

1079

1253

Peningkatan :

57%

6%

-33% 23% 5,1% 31%

14%

66

Keanggotaan
Terjadi pertumbuhan jumlah anggota dari tahun ke tahun berkat kiprah PPPI yang
memasyarakat dan mampu tampil sebagai organisasi profesional dan bertanggung
jawab kepada masyarakat luas.

PPP Daerah

1998

1999

2000

2001

2002

PPPI DKI Jaya

100

108

117

132

142

PPPI Jawa Barat

14

17

21

27

32

PPPI Jawa Tengah

17

19

22

26

30

PPPI Yogyakarta

12

21

28

36

45

PPPI Jawa Timur

28

36

43

54

57

PPPI Bali

PPPI Sumatera Barat

14

14

13

10

PPPI Sumatera Utara

12

PPPI Sulawesi Selatan

PPPI Kalimantan Barat

PPPI Sulawesi Tengah

6*

PPPI Bandar Lampung

7*

Jumlah

194

Pertumbuhan

226

257

298

356

16 %

4%

16 %

19%

(*) Tercatat sementara sebagai calon anggota terdaftar melalui Perwakilan PPPI
271 Anggota dengan hak penuh per 12 Oktober 2002.
85 Calon Anggota per 12 Oktober 2002.

Pengamatan Pengurus Pusat PPPI terhadap kecendrungan meningkat


jumlah anggota disebabkan kokohnya landasan organisasi, memiliki visi yang
jelas, dan mengemban misi untuk pengembangan industri periklanan nasional.
Pengurus juga mengamati derasnya pertumbuhan jumlah anggota sejalan dengan

67

berlakunya otonomi daerah dan persyaratan sertifikasi perusahaan yang


dikoordinasikan oleh KADIN daerah, disamping pertumbuhan industri periklanan
secara nasional dan global termasuk pertumbuhan konsumsi masyarakat luas.
Pertumbuhan Calon Anggota 29% merupakan angka tertinggi dari tahun-tahun
sebelumnya dan sekaligus terjadi penciutan Anggota lama sebesar 9% dari 298
Anggota pada tahun 2001 menjadi 271 Anggota

Citra Pariwara merupakan kegiatan apresiasi kreatif periklanan nasional.


Oleh karena itu kegiatan ini patut diteruskan tanpa henti dan ditingkatkan
kwantitas peserta lomba dan kualitasnya.
Sayangngnya perkembangan periklanan di Indonesia yang dapat terlihat
dari peningkatan anggaran belanja iklan setiap tahunnya, tidak diiringi dengan
peningkatan kesadaran akan etika periklanan itu sendiri. Bahkan pelanggaran
etika periklanan tersebut berkembang sejalan dengan banyaknya iklan yang ada
di tengah masyarakat.

4.5.

Pembahasan
Berdasarkan

metodologi

triangulasi,

penulis

mencoba

untuk

memperbandingkan data yang ada dengan pengamatan langsung, maka dapat


digambarkan beberapa hal mendasar sebagai berikut.
Seperti penjelasan terdahulu, etika periklanan merupakan suatu cabang
profesi dan bisnis yang lebih diketahui oleh masyarakat periklanan sendiri. Etika
bukanlah produk hukum, sehingga penerapannya tidak dapat dilakukan oleh
pihak-pihak luar, tidak terkecuali Pemerintah. Swakrama bukan hanya
menyangkut moralitas dan tatanan, namun juga standar-standar profesi.

68

Swakrama hanya efektif jika sisi pengendaliannya diikuti secara seimbang


dengan sisi penegakkannya (law enforcement).
Ada tiga asas umum dalam Tata Krama Periklanan. Pertama, iklan harus
jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dari hukum yang berlaku.
Kedua, iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat
negara, agama, susila, adat, budaya, suku, dan golongan. Ketiga, iklan harus
dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.
Secara sederhana, iklan otomotif pada iklan oli Top One periode tahun
2004 di majalah Swa haruslah mengikuti setiap aspek yang terdapat pada Etika
Pariwara Indonesia.
Dari

data

key informan

menunjukkan

keberadaan

pelanggaran-

pelanggaran etika yang terdapat di tampilan iklan otomotif Oli Top One periode
tahun 2004 di majalah Swa. Salah satu yang paling menonjol dan menjadi
pelanggaran utama adalah merendahkan produk pesaing secara langsung.
Dari pengamatan yang dilakukan pada iklan otomotif Oli Top One
periode tahun 2004 di majalah Swa ini telah terdapat pelanggaran kode etik lain.
Pelanggaran tersebut diantaranya adalah penggunaan kata satu-satunya,
perbandingan, pennggunaan kata ter (paling), dan menyalahgunakan istilahistilah ilmiah dan statistik.
Pada pelanggaran kode etik periklanan yang dilakukan oleh iklan otomotif
Oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa ini, ditanggapi oleh banyak
kalangan dengan berbagai sikap. Pelanggaran ini di sikapi oleh produk pesaing
yang nama produknya tercantum pada iklan tersebut dengan melayangkan surat
pengaduan kepada PPPI.

69

Secara umum, key informan telah menyebutkan bahwa iklan otomotif Oli
Top One periode tahun 2004 di majalah Swa ini, paling tidak telah melakukan
lima pelanggaran kode etik periklanan.
Pada bagian lain langkah-langkah yang dilakukan oleh PPPI dalam
menyikapi pelanggaran tersebut hanya sebatas pada pemberian surat teguran.
Berdasarkan data yang ada dari key informan, bahwa biro iklan yang membuat
iklan tersebut tidak termasuk dalam keanggotaan PPPI dan juga asosiasi lain.
Selain itu, dalam Etika Pariwara Indonesia belum terdapat sanksi yang
jelas mengenai pelanggaran-pelanggaran tersebut. Misalnya pelanggaran di salah
satu kode etik (merendahkan, membandingkan dll), tidak dikatakan sanksi apa
yang harus dikenakan oleh pelanggar. Begitu pula dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyelenggaraan iklan yang melanggar kode etik tersebut.
Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika
usahanya demi kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi dampak buruk
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 17 ayat 1.f. disebutkan bahwa
"Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan
atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan". Dengan
demikian EPI dapat menjadi rujukan dari banyak pihak (termasuk praktisi
hukum pada umumnya) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan etika
periklanan.
Sudah selayaknya pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan
tersebut bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Pihak tersebut adalah
perusahaan periklanan, perusahaan yang memiliki produk, dan media yang
mencantumkan iklan tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penulis menemukan beberapa opini
publik yang terbentuk melalui dunia maya (internet) melalui mailing list. reputasi
oli ini di ajang Internet tidaklah begitu baik. Diskusi tentang oli merk ini dapat
dengan mudah ditemukan di mailing-list atau forum online yang berhubungan

70

dengan otomotif. Tidaklah terlalu sulit untuk menemukan diskusi-diskusi


tersebut, pencarian sederhana melalui internet akan memunculkan lusinan thread
yang berkaitan dengan oli Top-1. Manajemen Top 1 sendiri nyaris tidak
melakukan tindakan apapun di dunia maya. Yang dilakukan justru menggeber
iklan di teve dengan mengajak artis-artis sebagai bintangnya. Menurut Nielsen
Media Reesearch, mereka sudah menghabiskan Rp 84 miliar untuk beriklan di
teve dan media konvensional.
Media internet memang memiliki keunggulan di dalam penyampaian
informasi yang sangat cepat tetapi selain itu media internet sendiri memiliki nilai
trusted media yang kecil, karena siapa saja bisa mengutarakan pendapatnya
dengan bebas di internet. Selain itu, tidak mudah untuk mengklarifikasi berita
satu per satu di internet. Lebih baik memperkuat brand positioning dari pada
menghadapi isu yang tidak jelas, meskipun budget yang di gunakan lebih banyak,
tetapi imbasnya sangat terasa.
Dulu memang banyak yang beranggapan bahwa media internet sendiri
memiliki nilai trusted media yang kecil, karena siapa saja bisa mengutarakan
pendapatnya dengan bebas di internet. Namun jika isu itu beredar di kelompok
terpercaya seperti milis, di mana antar anggota saling mengenal, maka content
yang beredar di sana nilai kepercayaannya tinggi. Inilah yang biasa disebut
consumer generated media. Apa yang diungkapkan adalah suara konsumen dan
calon konsumen.
Untuk itu disamping pengaturan terhadap etika periklanan yang lebih
dipertegas dan diperjelas, khalayak juga dituntut agar dapat lebih kritis dan
menyaring iklan-iklan yang melanggar kode etik.

71

Jika ingin gambaran real akan satu produk, jangan cuma lihat iklan,
cobalah untuk melakukan studi perbandingan terlebih dahulu. Kenyataan ini jelas
dipahami Top 1, karena itu penulis melihat sebenarnya iklan oli Top 1 di majalah
Swa

merupakan

sebuah

pelanggaran

kode

etik

yang

perlu

dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berhubungan dalam proses pembuatan


hingga penyampaian iklan tersebut pada khalayak

72

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

KESIMPULAN
Seperti telah di kemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli Top One
periode tahun 2004 di majalah Swa. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode analisis studi kasus (case study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan empat orang key informan dari
PPPI dan praktisi periklanan. Dimana penulis ingin mengetahui bagaimana etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui metodologi
triangulasi, penulis memperbandingkan data yang ada dengan pengamatan
langsung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa melanggar
etika periklanan yang mencakup lima hal yang tercantum dalam Tata Cara dan
Tata Krama Periklanan Indonesia. Kelima pelanggaran tersebut adalah Tata
Krama nomor 1.2 sub 1.2.2 tentang Bahasa, nomor 1.4 Penggunaan Kata "Satusatunya", nomor 1.19 tentang Perbandingan, nomor 1.21 tentang Merendahkan,
dan nomor 1.21 tentang Istilah Ilmiah dan Statistik.
Kasus yang telah ditetapkan melakukan pelanggaran tapi tidak
mendapatkan tanggapan dari pihak pelanggar diartikan sebagai: BPP tidak dapat
melakukan tindakan lebih lanjut karena pelaku pelanggaran bukan anggota PPPI.

73

Sedangkan untuk kasus-kasus lain yang masih dalam proses dapat


disebabkan oleh:
1. BPP telah mengirimkan surat peringatan/teguran atau surat permohonan
penjelasan yang pertama dan belum mendapatkan jawaban.
2. BPP belum mendapatkan informasi lebih terperinci mengenai biro iklan yang
diduga melakukan pelanggaran
Secara kualitatif, jumlah pelanggaran dan dugaan pelanggaran terbanyak
adalah berkisar di ranah superlatif tanpa dukungan bukti yang kuat. Masalah
pelanggaran lainnya berkisar pada ranah penampilan atribut/isi (ingridients) dari
produk rokok, pemberi anjuran (endorser) dari tenaga profesional medis untuk
produk yang berkaitan dengan kesehatan, peniruan bagian dari iklan pesaing,
penggunaan logo pesaing, penampilan iklan TV yang muncul berturutan lebih
dari 2 kali, dan penampilan kegiatan yang berbahaya.

5.2

SARAN
Berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan mengenai etika periklanan

dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa, dan saransaran yang diberikan penulis adalah sebagai berikut :
1. Bagi PPPI, agar dapat mengenakan sanksi hukum kepada pelanggar kode
etik periklanan, adalah dengan bekerja sama dengan badan hukum yang
menyangkut pada hak-hak perlindungan konsumen, sedangkan PPPI
hanya menjembatani dan menjadi rujukan bagi banyak pihak, termasuk
praktisi hukum.

74

2. PPPI juga selain lebih intensif lagi dalam mensosialisasikan dan edukasi
mengenai EPI kepada pelaku periklanan pada khususnya dan khalayak
secara keseluruhan, ini dikarenakan masih awamnya para pelaku
periklanan dalam hal etika profesi yang mereka jalani.
3. Oli Top One sebagai sebuah brand yang cukup besar di Indonesia sudah
selayaknya memberikan informasi kepada khalayak tanpa harus
mempromosikan produknya dengan merendahkan produk lain yang
sejenis dan memberikan informasi yang berlebihan hingga akhirnya
menyesatkan masyarakat.
4. Bagi Majalah Swa yang merupakan media massa yang memiliki
kewajiban serta etikanya sendiri dalam memberikan informasi yang
sebenar-benarnya kepada khalayak, sudah selayaknya dapat menyaring
dan menyeleksi setiap iklan ataupun informasi yang dapat menimbulkan
konflik serta menyesatkan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta. 2000.


Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
2004.
De George,Richard T, Business Ethics,5th edition, Prentice Hall, New Jersey. 1999.
Durianto, Darmadi et al., Invasi pasar dengan iklan yang efektif : Strategi, Program dan
teknik pengukuran, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.2003.
Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan Aplikasinya, PT
Rajawali Press, Jakarta. 1992.
Jefkins, Frank, Periklanan edisi ketiga Bisnis E + R, Penerbit Erlangga. Jakarta. 1997.
Kant, Immanuel, Foundationsof Metaphysics of Morals, Bobbs-Merrill Educations Pub,
Indianapolis. 1980.
Kasali, Rhenald, Manajemen Periklanan, Pustaka Utama Graffiti, Jakarta. 1995.
_____________, Manajemen periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, PT.
Temprint, Jakarta. 1992.
Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta. 1998.
Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi Periklanan, cetakan pertama, Citra Aditya Bakti,
, Bandung. 1992.
Maricar, Ari R. (Anggota pengurus Pusat PRSSNI),.Catatan dari Diskusi Besar Etika
Periklanan (Bulletin PRSSNI no. 4)
Max S & Alice K.S, Advertising and The Mine of The Consumer, London. 2004.
Michael B, Alison T, David W, Hubungan Media yang Efektif, Edisi ke 2, Erlangga
Jakarta.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2004.
Moriaty, Sandra E, Creative Advertising : Theory and Practice, Prentice Hall, New
Jersey. 1991.

Ogilvy, David, Confessions of an Advertising Man, Atheneum, New York. 1963 and
1984.
Satyanugraha, Heru, Etika Bisnis:Prinsip dan Aplikasi, Lembaga Penerbit FE Trisakti.
2003.
Schlinger, M, Profil respons terhadap iklan, Journal of Advertising Research, Vol 1 no 2.
1979.
Setiyono, Budi, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia,
2004.
Sudiana, Dendi, Komunikasi Periklanan Cetak, Remajda Karya CV, Bandung. 1996.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta. 1987.
Yin, Robert K, Studi Kasus, Desain dan Metode, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2004.

SUMBER LAIN:

www.pppi.co.id
http://www.pertamina.com
http://www.cakram.co.id
http://www.priyadis.blogspot.com
swa_online.com

Hasil lengkap Simposium Nasional:Pendidikan Periklan, Komisi Periklanan Indonesia,


24-26 September 1998.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I DATA PRIBADI
NAMA

: AFFAN RAHMANA

ALAMAT

: KOMPLEK DPR ATAS NO 45 A RT 06/03


KELAPA DUA KEBON JERUK
JAKARTA BARAT

TELEPHONE

: 021-5332379 / 08158026142

Tempat, Tanggal Lahir

: JAKARTA, 09 SEPTEMBER 1977

TINGGI / BERAT

: 171 CM / 62 KG

AGAMA

: ISLAM

JENIS KELAMIN

: PRIA

STATUS

: MENIKAH

II. PENDIDIKAN FORMAL


-

SMA 23 JAKARTA BARAT

TAFE INSTITUTE OF TECHNOLOGY , BRISBANE ASUTRALIA

MAJORING ELECTRICAL ENGINEERING


-

UNIVERSITAS MERCUA BUANA , FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


JURUSAN MARKETING KOMUNIKASI / PERIKLANAN

III. PENDIDIKAN NON FORMAL


-

LANGUAGE INSTITUE OF ENGLISH AT BOND UNIVERSITY , GOLD


COAST AUSTRALIA

GOLD COAST ENGLISH LANGUAGE INSTITUTE, GOLD COAST


AUSTRALIA

WEB COURSE TRAINING, GOLD COAST AUSTRALIA

CHEF COURSE BRISBANE AUSTRALIA

DELIGHT CUSTOMER OF BANKING, CITIBANK INDONESIA

IV. PENGALAMAN KERJA


-

CHEF OF SUSHI AT SUSHI STATION BRISBANE AUSTRALIA

COOK HELPER AT KINOKAWA RESTAURANT JAKARTA

DAWAMIBA ENGINEERING , DEWI SARTIKA JAKARTA

LPK NUR CHASANAH , KOORDINATOR PENYELENGGARA

SENIOR CUSTOMER SERVICE CITIBANK JAKARTA

Pedoman wawancara:
1.

Menurut anda bagaimana perkembangan periklanan di Indonesia


saat ini ?

2.

Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik


periklanan di Indonessia ?

3.

Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun
2004 di majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?

4.

Apa saja pelanggaran yang ada di iklan tersebut ?

5.

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sehingga terjadi


pelanggaran tersebut ?

6.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi


pelanggaran etika tersebut ?

7.

Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika


periklanan tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan
itu sendiri ?

8.

Bagaimana PPPI seharusnya menyikapi pelanggaran iklan otomotif


oli Top One tersebut ?

9.

Apa yang seharusnya dilakukan PPPI untuk mencegah dan


mengurangi pelanggaran etika periklanan yang ada di Indonesia ?

10.

Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini
telah cukup efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?

SALINAN HASIL WAWANCARA

Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara

: Hery Margono (Ketua Bidang Hukum dan


Perundang-undangan P3I)
: 15 Desember 2007, Kantor PPPI, GD Dewan
Pers Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta

T:

Menurut anda bagaimana perkembangan periklanan di Indonesia saat ini ?

J:

Ya yang saya lihat dan semua orang juga bisa lihat, Industri periklanan
sekarang berkembang sangat pesat, kan bisa di lihat dari pendapatan iklan yang
sangat mencolok dan dapat jadi lahan bisnis yang menguntungkan dan bernilai
profit yang tinggi.

T:

Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonesia ?

J:

Begini ya, jawaban yang pasti saja, Berdasarkan data yang diperoleh dari BPP,
sedikitnya 149 kasus ditangani oleh Badan Pengawas terdiri 56 kasus pada
2006 dan 93 kasus pada 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melanggar
dan 44 kasus lainnya dalam penanganan. Dari yang diputus melanggar, 39
kasus tak ditanggapi oleh agensi.

T:

Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?

J:

Kalau mengenai iklan ini (sambil melihat contoh iklan cetak oli Top 1),Banyak
pelanggaran yang terdapat dalam iklan tersebut, apa lagi adanya surat
pengaduan yang dilayangkan kepada kami melalui BPP.

T:

Apa saja pelanggaran yang ada di iklan tersebut ?

J:

Yang paling utama dan menjadi persoalan sih merendahkan produk pesaing,
terus penggunaan kata satu-satunya, perbandingan secara langsung, dan
menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik.

T:

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sehingga terjadi pelanggaran


tersebut ?

J:

Kemungkinan terjadi akibat ga ada sanksi yang tegas kepada pelanggar. Kode
etik bersifat normatif, maka terhadap pelanggaran tidak dapat dikenakan sanksi
hukum. Selain itu faktor yang lain biasanya adalah iklan yang kompetitif,
uang, kenyataan bahwa iklan biasanya memiliki pengaruh lemah dibanding apa
yang kita tahu atau apa yang telah ada dalam pikiran kita dan keterbatasan
kreatifitas pembuat iklan itu sendiri.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?

J:

Tentu saja menanggapinya dengan positif, terus jika memang perlu kita akan
meneruskannya hingga ke Badan Musyawarah Etika

T:

Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?

J:

Kalau secara undang-undang, penipuan melalui suatu iklan harus ditanggung


renteng para pelaku iklan, yaitu pemrakarsa iklan, biro iklannya, sampai media
massa yang menyiarkannya, dan sanksi tersebut bisa berupa administratif
hingga sanksi hukum berupa denda dan pidana

T:

Bagaimana PPPI seharusnya menyikapi pelanggaran iklan otomotif oli Top


One tersebut ?

J:

Sayangnya yang melakukan pelanggaran tersebut bukan anggota kami, jadi


yang bisa PPPI lakukan hanya sebatas pada memberikan surat teguran saja.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan PPPI untuk mencegah dan mengurangi


pelanggaran etika periklanan yang ada di Indonesia ?

J:

PPPI melalui BPP secara umum memiliki 2 program kerja. Yang pertama
adalah sosialisasi dan edukasi EPI kepada para anggota PPPI, asosiasi-asosiasi
terkait serta kepada masyarakat pada umumnya. Kedua, adalah fungsi kontrol
dalam menegakkan EPI tersebut. Harus dimaklumi bahwa EPI belum
memasyarakat.

T:

Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?

J:

Adanya iklan yang melanggar kode etik periklanan, menunjukkan bahwa


banyak orang yang tidak peduli terhadap tata krama periklanan yang telah
dibuat oleh PPPI. Selain masih kurangnya informasi tentang EPI, juga selama
ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika Periklanan
Indonesia. Mungkin karena hanya diatur dalam etika sehingga lebih soft.
Berbeda dengan aturan hukum yang tegas.

Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara

: FX Ridwan Handoyo (Ketua Badan


Pengawas Periklanan)
: 21 Agustus 2007, Kantor PPPI Pusat, Jl RS
Fatmawati, Jakarta

T:

Menurut anda bagaimana perkembangan periklanan di Indonesia saat ini ?

J:

Ya kalau kita lihat perkembangan periklanan di Indonesia saat ini sangat


berkembang pesat seiring dengan pesatnya perkembangan media massa.
Perkembangan periklanan nasional menjadi suatu totalitas kegiatan komuniaksi
pemasran, dan yang berpadanan dengan dinamika jaman, tapi tetap berakar
pada budaya dan tradisi kemasyarakatan Indonesia.

T:

Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?

J:

Pastinya yang memenuhi etika sih ada, dan yang melanggar juga banyak.
Sayangnya iklan-iklan yang mudah diingat masyarakat justru malah iklan-iklan
melanggar etika.

T:

Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?

J:

Tentu saja belum ! Di iklan tersebut terdapat beberapa pelanggaran etika


periklanan, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan pelanggaran yang
terdapat pada iklan-iklan lain

T:

Apa saja pelanggaran yang ada di iklan tersebut ?

J:

Saya sih lebih menyoroti pelanggaran yang berupa perbandingan secara


langsung meskipun ada beberapa pelanggaran lain. Selain itu juga memang
surat pengaduan dan keberatan yang kami terima dari beberapa produk sejenis

yang nama produknya tercantum di situ mengeluhkan adanya perbandingan


langsung yang mencantumkan merek dagang mereka.
T:

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sehingga terjadi pelanggaran


tersebut ?

J:

Wah banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran etika


periklanan, tapi yang pasti mereka masih awam tentang EPI.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?

J:

Begini, kami masih menjalankan prosedur yang berlaku dan tidak melewati
koridornya, berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau dari pantauan BPP,
PPPI memberikan surat teguran pertama dan kedua, sampai pemberian sanksi
bagi anggota yang melanggar tersebut, kalau bukan anggota ya sudah.

T:

Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?

J:

Ya seperti yang sebutkan tadi. Kalau anggota paling dicabut izin dan
keanggotaannya, kalau bukan ya cuma sampai pada surat teguran saja.

T:

Bagaimana PPPI seharusnya menyikapi pelanggaran iklan otomotif oli Top


One tersebut ?

J:

PPPI melalui kami (BPP) sudah menjalankan sesuai dengan prosedur. Kami
terima surat pengaduan dari masyarakat, terus kami layangkan surat teguran
kepada pihak yang bersangkutan, dan sampai saat ini tidak ada tanggapan tuh.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan PPPI untuk mencegah dan mengurangi


pelanggaran etika periklanan yang ada di Indonesia ?

J:

Sebenarnya dua hal yang perlu dilakukan. Pertama menanamkan kesadaran


tentang etika periklanan kepada semua pihak, baik itu media, pemilik produk
dan biro iklan bahkan sampai kepada masyarakat. Kalau sudah sadar, mereka
pasti menghindari pelanggaran etika. Terus yang kedua, untuk meneruskan
yang pertama, perlunya ketetapan hukum yang jelas mengenai Etika
Perikalanan Indonesia itu sendiri.

T:

Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?

J:

Gimana ya, gini aja deh, adanya iklan yang melanggar kode etik periklanan,
menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak peduli terhadap tata krama
periklanan yang telah dibuat oleh PPPI. Selain masih kurangnya informasi
tentang EPI, juga selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam
bentuk Etika Periklanan Indonesia. Mungkin karena hanya diatur dalam etika
sehingga lebih soft. Berbeda dengan aturan hukum yang tegas. Seperti pada
kasus pelanggaran penggunaan anak-anak sebagai model iklan. Dari beberapa
kali rapat BPP, pernah ditemui beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan
penggunaan model anak-anak. Secara persentase, pelanggaran ini memang
relatif masih kecil. Selama ini, pelanggaran yang berkaitan dengan model anak,
kami lihat lebih banyak disebabkan karena ketidaktahuan,

Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara

: Choky Sitohang (Praktisi & Pelaku


Periklanan)
: 20 Januari 2006, Kantor Eltra Studio
Kedoya, Jakarta Barat

T:

Menurut anda bagaimana perkembangan periklanan di Indonesia saat ini ?

J:

Kalo menurut saya tentu aja berkembang pesat, semakin besar produk, maka
semakin dibutuhkan periklanan. Buktinya perusahaan periklanan di Indonesia
semakin banyak

T:

Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?

J:

Beberapa aja sih yang memenuhi kode etik periklanan. Tapi dengan semakin
tingginya angka pelanggaran, saya rasa pelaku periklanan masih belum
memahami etika periklanan.

T:

Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?

J:

Menurut saya belum. Itu pun dari sekilas pandangan saja.

T:

Apa saja pelanggaran yang ada di iklan tersebut ?

J:

Kayanya sih pelanggarannya ada pada perbandingan dan penyebutan nama


merek pesaing, serta penggunaan kata-kata yang sedikit berlebihan.

T:

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sehingga terjadi pelanggaran


tersebut ?

J:

Mungkin dikarenakan manusianya. Di Indonesia hukum saja masih dilanggar,


apa lagi yang cuma berupa etika.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?

J:

Wah kalo itu tanya P3I nya aja langsung. Tapi PPPI sebaiknya menetapkan
kode etik nya sebagai bagian dari hukum, jadi bisa dengan tegas menindak
perusahaan-perusahaan periklanan yang melanggar kode etik periklanan

T:

Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?

J:

Kalau ini dikaitkan dengan hukum, misalnya hukum pidana untuk kasus
penipuan (jika terdapat penipuan di dalamnya) atau UU perlindungan
konsumen. Sudah pasti pihak-pihak tersebut bisa dikenai hukuman denda atau
pidana.

T:

Bagaimana PPPI seharusnya menyikapi pelanggaran iklan otomotif oli Top


One tersebut ?

J:

Buat sekarang ini sebaiknya PPPI ikutin saja prosedur yang berlaku dan
disepakati bersama.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan PPPI untuk mencegah dan mengurangi


pelanggaran etika periklanan yang ada di Indonesia ?

J:

Yang paling utama adalah lebih optimal lagi mensosialisasikan Etika Pariwara
Indonesia kan masih banyak pelaku periklanan dan masyarakat yang belum
tahu EPI.

T:

Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?

J:

Dari kasus yang sudah-sudah, dapat dipastikan belum efektif lah

Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara

: Joe Astanto (Praktisi Periklanan dari PT


Albert & Smith)
: 6 Juli 2006, Kantor PT Albert & Smith
Kelapa Gading, Jakarta Timur

T:

Menurut anda bagaimana perkembangan periklanan di Indonesia saat ini ?

J:

Saya sih cenderung melihat perkembangan iklan di Indonesia cukup baik,


penuh variasi dan inovasi terutama untuk pemilihan tema.

T:

Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?

J:

Belum 100 persen terpenuhi, tapi setidaknya ada 1 atau 2 prinsip kode etik
periklanan yang selalu dilanggar

T:

Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?

J:

Dari sekilas saja iklan ini sudah melanggar etika periklanan, terlebih jika
diperhatikan, banyak sekali sekali pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan
minimal ada tiga tampilan dan pencantuman kata yang melanggar etika
periklanan

T:

Apa saja pelanggaran yang ada di iklan tersebut ?

J:

Membandingkan dan menyebutkan nama yang dibandingkan tersebut.

T:

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sehingga terjadi pelanggaran


tersebut ?

J:

Kondisi ini bagian besar akibat masih awamnya para pelaku periklanan
maupun masyarakat sendiri dalam etika beriklan, dan diperparah oleh masih

rendahnya tingkat kreativitas dari kebanyakan praktisi periklanan kita,


sehingga sering harus mengambil jalan pintas
T:

Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?

J:

Ya semakin dalam melaksanakan atau mengawasi regulasi yang sudah ada aja.

T:

Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?

J:

Buat sekarang ini kayanya peringatan saja sudah cukup, dengan catatan
pelanggar harus mau memperbaiki diri.

T:

Bagaimana PPPI seharusnya menyikapi pelanggaran iklan otomotif oli Top


One tersebut ?

J:

Menyesuaikan dengan prosedur yang berlaku saja. Karena memang PPPI


sendiri belum memiliki kekutan hukum yang cukup untuk melakukan
penindakan yang berat.

T:

Apa yang seharusnya dilakukan PPPI untuk mencegah dan mengurangi


pelanggaran etika periklanan yang ada di Indonesia ?

J:

Sudah seharusnya PPPI memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaanperusahaan periklanan dan bekerjasama dengan pemerintah dalam penegakan
kode etiknya

T:

Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?

J:

Menurut saya sih belum, tapi saya optomis akan efektif, jika saja
pengawasannya dilakukan dengan benar.

Anda mungkin juga menyukai