Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli TOP ONE
Periode Tahun 2004 di Majalah Swa
OUTLINE SKRIPSI
PERIKLANAN
Disusun Oleh :
NAMA
: AFFAN RAHMANA
NIM
: 04301 111
JURUSAN
: PERIKLANAN
Nama
AFFAN RAHMANA
Nim
04301-111
Jurusan
Marketing communication/Periklanan
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
Ketua Sidang
Penguji Ahli
Pembimbing I
Pembimbing II
Nama
AFFAN RAHMANA
Nim
04301-111
Jurusan
Marketing communication/Periklanan
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
Mengetahui
Pembimbing I
Pembimbing II
Nama
AFFAN RAHMANA
Nim
04301-111
Jurusan
Marketing communication/Periklanan
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
Pembimbing II
: AFFAN RAHMANA
NIM
: 04301 111
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Mengetahui
Pembimbing I
Pembimbing II
()
(.)
ABSTRAKSI
AFFAN RAHMANA [ 04301 111 ]
ETIKA PERIKLANAN DALAM IKLAN OTOMOTIF
Studi Kasus Pelanggaran Etis Iklan Pada Iklan Otomotif Oli TOP ONE
Periode Tahun 2004 di Majalah Swa
viii + 74 halaman + Lampiran
Bibliografi : 21 buku (1961-2002)
Salah satu produk otomotif seperti oli Top One menggunakan banyak jenis
media promosi untuk mengkomunikasikan produk ini kepada masyarakat luas,
mengingat oli Top One ini merupakan salah satu brand yang cukup besar di
Indonesia. Media promosi yang digunakan oli Top One salah satunya adalah
majalah Swa.
Pemakaian majalah Swa oleh oli Top One sebagai media sarana promosi
dinilai sebagian kalangan isinya melanggar etika periklanan. Salah satu yang
menganggap demikian adalah dari salah satu pesaing produk sejenis, yaitu Penzoil
melalui Advertising Agency nya PT. Wiraswasta Gemilang Indonesia telah
menyampaikan keberatannya atas iklan cetak oli Top One di majalah Swa kepada
Badan Pengawas Periklanan.
Berdasarkan hal tersebut maka masalah pokok yang diteliti adalah
bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004
di majalah Swa.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis studi kasus
(case study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan wawancara mendalam
(indepth interview) dengan empat orang key informan dari PPPI dan praktisi
periklanan.
Dari penelitian ini berhasil ditarik suatu kesimpulan bahwa Iklan otomotif
oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa melanggar etika periklanan yang
mencakup lima hal yang tercantum dalam Tata Cara dan Tata Krama Periklanan
Indonesia. Kelima pelanggaran tersebut adalah Tata Krama nomor 1.2 sub 1.2.2
tentang Bahasa, nomor 1.4 Penggunaan Kata "Satu-satunya", nomor 1.19 tentang
Perbandingan, nomor 1.21 tentang Merendahkan, dan nomor 1.21 tentang Istilah
Ilmiah dan Statistik.
ii
KATA PENGANTAR
iii
9. Kepada Bojong (Agus S) yang sangat berjasa dalam penulisan skripsi ini,
yang telah memberikan pengalaman dan ilmunya serta waktunya untuk
membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. without you I will not make
to the final . thanks alot
10. Istriku Dewi Handayani dan anakku Zahwa Afifah Rahmana, yang selalu
memberikan dukungan penuh untuk menyelesaikan skripsi. I love you both
very very much.
11.Kepada Mamah, papah dan kak ibnu adn adik-adikku neng, pipit, ayu yang
selalu mendukung moril dan materil untuk skripsi ini.
12.teman-teman A bocor, special to Jody, tile, andre,wahyu, anjas, bopak,arip
mimin, firman LG, baguk dan semuanya yang selalu menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, and laptop yang sering dipinjem, and last but not
least warung KArso untuk tempat istirahat penulis.
13.Teman-teman angkatan 2000
14.Seluruh keluarga dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu
atas bantuan dan doa yang diberikan kepada penulis selama ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan namun,
penulis berharap agar skripsi ini bisa berguna bagi penulis maupun pembaca.
Akhirnya, penulis hanya dapat berdoa semoga kebaikan semua pihak dibalas oleh
Allah SWT dengan balasan yang sebaik-baiknya. Amien.
Affan Rahmana
iv
DAFTAR ISIISI
Hn
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
LEMBAR TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI
KATA PENGANTAR ..iii
ABSTRAKSI ... iv
DAFTAR ISI ..............v
DAFTAR TABEL. ..vii
DAFTAR BAGAN..............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1. 2. Rumusan Masalah ........................................................................ 9
1. 3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
1. 4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
1. 4. 1. Manfaat Akademis .......................................................... 9
1. 4. 2. Manfaat Praktis ............................................................... 10
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2. 1. Periklanan Sebagai Proses Komunikasi ........................................ 11
2. 2. Periklanan dan Iklan ..................................................................... 14
2. 3. Iklan sebagai Industri ................................................................... 17
2. 4. Etika Periklanan ........................................................................... 19
2. 5. Kode Etik Periklanan dan Pelanggaran Etika Periklanan ............. 26
2. 5. 1. Kode Etik Periklanan ...................................................... 26
2. 5. 2. Pelanggaran Etika Periklanan ......................................... 29
2. 6. Media Periklanan .......................................................................... 31
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR BAGAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
pesan iklan kepada khalayak ramai. Periklanan bukanlah pekerjaan yang asalasalan, tapi pekerjaan yang dilandasi dengan berbagai pertimbangan baikburuknya, jadi kekhawatiran tersebut akan ditepis jika para praktisi periklanan
mengiklankan suatu produk bukan semata-mata menjajakan produk tersebut,
melainkan juga berkomunikasi dengan sejumlah besar orang yang patut dihormati.
Oleh karena itu sikap sadar diri kalangan praktisi periklanan dan sikap kritis
publik muncul keinginan untuk merumuskan dan menerapkan etika periklanan.
Bagi praktisi periklanan, kepedulian terhadap etika kian jadi bagian
integral dari sikap profesionalisme. Bagian integral dan sikap profesionalisme
termasuk kedalam etika periklanan yang seharusnya dijalankan oleh para praktisi
periklanan yang merupakan keutuhan iklan tersebut jika dipandang oleh khalayak
yang berusaha mengerti arti pesan yang disampaikan tersebut.
Sementara bagi masyarakat, etika periklanan dapat dijadikan semacam
jaminan kepastian bahwa pesan-pesan iklan yang sampai kepada mereka benarbenar sejalan dengan apa yang diharapkan oleh mereka sebagai konsumen. Dari
waktu ke waktu selalu saja timbul aneka persoalan periklanan yang bertalian
dengan problem etis seiring dengan terus bermunculan produk-produk baru dan
perkembangan kreativitas di bidang komunikasi massa. Tidak jarang pula muncul
kontroversi ditengah-tengah kehidupan khalayak ramai. Selain problem etis, ada
juga nilai-nilai yang secara spesifik berlaku di masyarakat tertentu yang tidak
dapat diabaikan. Indonesia memiliki kode etik yang dikenal dengan tata krama
dan tata cara periklanan Indonesia (TKTCPI) yang mulai berlaku pada tahun
1981.
iklan
yang tidak
bonafid dan
menyalahgunakan
Segala bentuk
pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui media, ditujukan kepada
Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
146
sebagian atau seluruh masyarakat 2, jadi iklan adalah suatu pesan mengenai suatu
produk dan dalam proses penyampaian pesan tersebut dapat menggunakan
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik yang ditujukan kepada
masyarakat yang spesifik atau untuk masyarakat umum.
Dalam kaitan itu, iklan mempunyai andil yang sangat besar dalam
menciptakan citra bisnis baik secara positif maupun negatif. Iklan ikut
menentukan penilaian masyarakat mengenai baik buruknya kegiatan bisnis.
Sayangnya, lebih banyak iklan justru menciptakan citra negatif tentang bisnis,
seakan bisnis adalah kegiatan tipu-menipu, kegiatan yang menghalalkan segala
cara demi mencapai tujuan, yaitu keuntungan. Ini karena iklan sering atau lebih
banyak memberi kesan dan informasi yang berlebihan, kalau bukan palsu dan
terang-terangan menipu, tentang produk tertentu yang dalam kenyataanya hanya
akan mengecoh dan mengecewakan masyarakat dan konsumen. Karena
kecenderungan yang berlebihan untuk menarik konsumen agar membeli produk
tertentu dengan memberi kesan dan pesan yang berlebihan tanpa memperhatikan
berbagai norma dan nilai moral, iklan sering menyebabkan citra bisnis tercemar
sebagai kegiatan tipu-menipu, dan karena itu seakan antara bisnis dan etika ada
jurang yang tak terjembatani.
Periklanan mendapat sorotan tajam ketika aspek informasi menjadi
wacana penting dalam bisnis. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu
mempengaruhi kecendrungan mengkonsumsi dalam masyarakat.3 Iklan yang
Rhenald Kasali. Manajemen periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta. PT.
Temprint,1992) hal 9
3
Darmadi Durianto et al., Invasi pasar dengan iklan yang efektif : Strategi, Program dan teknik
pengukuran. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Umum, 2003) hal 1
transaksi,
tetapi
dalam
kebiasaannya
periklanan
selalu
dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa
dengan cara tertentu disajikan iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati dan
sering kali tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat tersebut.
Kurang sehatnya periklanan di Indonesia saat ini adalah yang
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang etika periklanan dalam
iklan Otomotif/Oli Top One. Hal tersebut dikarenakan diperolehnya informasi
dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tentang iklan yang
selama 2 tahun terakhir menjadi sorotan dari pengawas etika periklanan yang ada
pada organisasi PPPI tersebut adalah perusahaan atau produsen iklan otomotif/Oli
yang sebagian besar melanggar etika periklanan yang sebelumnya telah disepakati
oleh produsen dan pengawas periklanan yang setiap tahun selalu di perbaharui
untuk kenyamanan dan kepentingan konsumen
konsumen tentang iklan yang ditayangkan dan yang seharusnya diketahui oleh
masyarakat tentang tata cara dan tata krama periklanan Indonesia saat
sebelumnya, sekarang dan masa yang akan datang.
Peneliti tertarik meneliti pelanggaran etika periklanan pada iklan
Otomotif/Oli Top One, dikarenakan banyaknya pengaduan yang diterima Badan
Pengawas Periklanan (BPP) terhadap iklan tersebut. Pengaduan itu diantaranya
dilayangkan oleh PT Wira Pamungkas Pariwara (JWT Force), yang melayangkan
surat keberatan atas iklan cetak Top 1 kepada BPP, selain itu Unit Pelumas
Pemasaran dan Niaga PT PERTAMINA yang diwakili oleh agen periklanannya,
Avicom Airvertising, juga menyampaikan keberatan atas iklan cetak Top1
tersebut.
Ari R. Maricar, (Anggota pengurus Pusat PRSSNI),.Catatan dari Diskusi Besar Etika Periklanan
(Bulletin PRSSNI no. 4)
Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mempelajari dan meneliti etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.
Manfaat Akademis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada bidang ilmu
10
1.4.2
Manfaat Praktis
Untuk bahan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan dunia
periklanan
khususnya
pada
produsen
iklan
agar
dapat
lebih
11
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
11
12
influences on
effects of
transmitted to the
mass media
audience
Frank Jefkins. Periklanan edisi ketiga Bisnis E + R. (Jakarta. Penerbit Erlangga. 1997) hal 5
Pamela J.Shoemaker, Stephen D.Reese, Mediating the Message: Theories of influences on mass
media content, (New York, Longman Group, 1991) hal 23
8
13
dimana dalam penelitian ini adalah iklan oli Top One yang dikirim kepada
khalayak melalui majalah Swa.
Pemahaman isi media mampu membantu kita memprediksi akibat yang
akan terjadi pada khalayak. Dengan menentukan pesan apa yang diinginkan
khalayak, juga pesan apa yang mampu memberikan efek kepada khalayak.
Lain halnya periklanan sebagai proses komunikasi yang dijelaskan oleh
David Berstein, dimana ia menjelaskan perlunya penerapan prinsip VIPS. Prinsip
ini terdiri dari Visibilitas, Identitas, Promise (janji), dan Single Mindedness
(Pikiran yang terarah). Jadi sebuah iklan haruslah Visibel, yaitu mudah dilihat dan
mudah memikat perhatian. Identitas produk harus sejelas mungkin, janji
perusahaan yang jelas, dengan adanya tujuan utama yang terkonsentrasi.9 Ketika
seseorang melihat iklan, iklan itu harus menarik atau eye catching sehingga orang
mau untuk melihat kemudian membaca iklan tersebut, dan Identitas si pengiklan
harus jelas hingga khalayak yang melihat iklan tersebut tidak dibingungkan oleh
iklan tersebut, mengenai Promise (janji) yang diberikan oleh sebuah iklan
seharusnya tidak terlalu berlebih-lebihan atau mengada-ada. Dan yang pasti iklan
harus Single Mindedness yaitu terarah jadi iklan tersebut tidak membingungkan
khalayak yang membacanya.
Sehingga periklanan tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada
khalayak. Lebih dari itu, periklanan harus mampu membujuk khalayak ramai agar
berprilaku sedemikian rupa sehingga selain dapat mencetak penjualan dan
Frank Jefkins. Periklanan edisi ketiga Bisnis E + R. (Jakarta. Penerbit Erlangga. 1997) hal 16
14
10
Dendi Sudiana, Komunikasi Periklanan Cetak, (Bandung: Remajda Karya CV, 1996), hal 6
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Periklanan, cetakan pertama, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1992), hal 17
11
15
yang
disampaikan
melalui
media
merupakan
suatu
12
Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, (Jakarta : Pustaka Utama graffiti, 1995) hal 9
16
karena para praktisi iklan lah yang memikirkan ide-ide tersebut dan di
komunikasikan melalui media yang ada.
Ini dimulai ketika pemberlakuan undang-undang Penanaman modal Asing
tahun 1967 dan UU penanaman Modal dalam negeri tahun 1968. Sejak saat itulah
perusahaan-perusahaan multi nasional merambah pasar lokal. Terlebih lagi
pertumbuhan ekonomi yang cerah sejak orde baru yang membuat pasar Indonesia
menjadi penting bagi produk-produk mancanegara, yang menjadikan sekitar 73 %
dari produk yang diiklanankan adalah produk import.13
Kemunculan
perusahaan-perusahaan
multi
nasional
tersebut
ikut
13
Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
42
14
Hasil lengkap Simposium Nasional:Pendidikan Periklan, Komisi Periklanan Indonesia, 24-26
September 1998
17
18
kritik bahwa iklan merupakan pemborosan, pendapat ini meragukan manfaat dari
iklan dalam pemasaran produk didasarkan pada biaya penjualan.15
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa periklanan memungkinkan
produsen untuk mencapai dan mempertahankan kekuatan monopoli atau oligopoli
dalam pasar dan memang ada hubungan antara iklan dengan kekuasaan pasar.
Maka seharusnya ada hubungan statistik antara jumlah pengeluaran biaya
periklanan suatu industri dengan derajat konsentrasi industri tersebut. Industri
yang kurang kompetitif akan tidak banyak mengeluarkan biaya iklan,sedangkan
industri yang sangat kompetitif akan banyak mengeluarkan biaya tersebut. Fakta
ternyata tidak menunjukkkan adanya hubungan ataupun kesimpulan bahwa
memang periklanan mendorong terciptanya monopoli ataupun oligopoli.16
Dalam
dampaknya
pada
keinginan
konsumen,maka
dikemukakan
15
19
DR.A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta, Kanisius 1998), hal
14
18
ibid, hal 15
19
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.(Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hal 14
20
21
Bio Medis
Etika Individual
Etika Umum
Etika Sosial
Etika
Etika Keluarga
Bisnis
Etika Gender
Hukum
Etika Profesi
Periklanan
Etika Politik
Pendidikan
Kritik ideologi
Dsb
Etika Khusus
Etika
Lingkungan
Dari sitematika diatas, kita bisa melihat bahwa etika periklanan adalah
bidang etika khusus, yang menyangkut etika sosial, khususnya etika profesi.22
Meskipun etika juga merupakan kesepakatan dari suatu masyarakat,
namun ia langsung berkaitan dengan nurani orang per orang, sedangkan hukum
lebih pada pencapaian ketentraman bermasyarakat. Etika tertinggi adalah naluri
untuk melanjutkan kehidupan, sehingga segala daya-upaya harus dilakukan untuk
mendukung kebutuhan ini. Etika sering terlanggar manakala ia melalui menyentuh
kebutuhan fisik dasar manusia, harga diri, ataupun menjadi gaya hidup. Etika
hanya bisa dibentuk dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang langsung terlibat di
dalamnya.
Begitu pula etika periklanan yang merupakan suatu cabang profesi dan
bisnis yang lebih diketahui oleh masyarakat periklanan sendiri. Etika bukanlah
produk hukum, sehingga penerapannya tidak dapat dilakukan oleh pihak-pihak
luar, tidak terkecuali Pemerintah. Swakrama bukan hanya menyangkut moralitas
dan tatanan, namun juga standar-standar profesi. Swakrama hanya efektif jika sisi
22
DR.A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta, Kanisius 1998), hal
34
22
dicampuradukan
dengan
etika.
Ungkapan
atau
mitos
tersebut
menggambarkan dengan jelas anggapan atau keyakinan para praktisi iklan, sejauh
mereka menerima mitos seperti itu, tentang dirinya, kegiatannya, dan lingkungan
kerjanya. Yang mau digambarkan disini adalah bahwa kerja para praktisi
periklanan adalah membuat iklan dan bukan beretika.24
Dalam proses mencipta iklan, para praktisi memilah dan memilih
informasi
yang
diberikan
oleh
Pengiklan.
Kemudian
secara
optimal
23
pada iklan agar tidak terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata sesuatu
produk. Seberapa jauh tanggung jawab pengiklan pada pesan-pesan iklan yang
melanggar etika, akibat kesalahan informasi yang diberikan kepada perusahaan
periklanannya. Tingginya tingkat pelanggaran etika iklan obat bebas, obat
tradisional dan suplemen makanan saat ini sudah sangat memprihatinkan.25
Padahal ketiga kategori produk tersebut termasuk memiliki teknis medis yang
membahayakan masyarakat bila digunakan secara tidak benar atau tidak wajar.
Apakah kecenderungan pelanggaran etika periklanan tersebut disebabkan karena
ketidaktahuan, atau pada ketentuan yang berlaku, atau akibat kuatnya tekanan
persaingan.
Akan tetapi periklanan itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu
strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak
dijual kepada konsumen. Dengan ini iklan berfungsi mendekatkan konsumen
dengan produsen. Untuk melihat persoalan iklan dari segi etika bisnis, penulis
menyoroti 2 (dua) hal fungsi iklan yang merupakan persoalan etis yang
berhubungan dengan periklanan. Yaitu :26
a. Iklan sebagai Pemberi Informasi
Iklan terutama sebagai pemberi informasi. Iklan merupakan media
untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat
tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan dalam pasar. Yang
ditekankan disini adalah bahwa iklan berfungsi untuk membeberkan
25
26
24
27
Michael B, Alison T, David W, Hubungan Media yang Efektif, Edisi ke 2, (Erlangga Jakarta)
hal 37
25
dengan ungkapan berikut ini : saya tahu separuh iklan saya sia-sia, tapi saya
tidak tahu dimana yang separuh itu !28
Namun perkembangan riset pasar menjadi titik awal sebuah perubahan
secara menyeluruh sehingga memungkinkan para pemasang iklan mampu
mengidentifikasikan mana iklan yang berhasil dan mana yang gagal.
Iklan dengan keefektifannya saat ini sudah terlalu berlebihan. Pada saat
yang sama, efektifitas ini di dasarkan pada apa yang tampaknya menjadi
mekanisme psikologis yang kuat. Belajar tanpa kesadaran, mengubah merk
menjadi simbol, membuat orang melihat merk dengan cara yang berbeda-beda,
pengaruh konformitas dan pengguna merk untuk mengekspresikan identitas.
Dijelaskan banyak faktor yang sangat mendesak dan sering membuat
frustasi pada pemasang iklan untuk mempengaruhi kita. Hal ini menunjukkan
betapa sulitnya bagi pemasang iklan untuk membuat mekanisme psikologis ini
mampu bekerja. Sementara menggunakan manipulasi penjualan sangatlah tidak
mungkin. Seperti sistem politik demokrasi yang memiliki mekanisme cek dan
balance untuk membatasi kekuasaan pemerintah yang terpilih. Karena itu
mekanisme ini juga berlaku bagi para pemasang iklan dalam lingkungan yang
sangat kompetitif. Jadi kekuatan iklan sebenarnya dibatasi oleh batasan praktis
dan absolut.29
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi yang baik sebagai
pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerapkali iklan terkesan suka
membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori
28
David Ogilvy, Confessions of an Advertising Man, (Atheneum, New York 1963 and 1984) hal
96
29
Max S & Alice K.S, Advertising and The Mine of The Consumer, London 2004, hal 164
26
disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Dalam konteks periklanan, jauh lebih
penting adalah maksud agar orang lain percaya. Disini terdapat perbedaan antara
iklan normatif dengan iklan persuasif, atau antara unsur informasi dan unsur
promosi dalam iklan. Unsur informasi selalu benar, karena informasi selalu
diberikan agar orang percaya. Informasi yang tidak benar akan menipu publik
yang dituju.30 Namun demikian, tidak dapat dituntut juga bahwa dalam iklan
disajikan informasi lengkap tentang produk bersangkutan. Sulit untuk ditarik garis
perbatasan yang tajam antara melebih-lebihkan dan berbohong.
31
27
agar memberi kepastian apa saja yang mesti di taati oleh mereka yang
berkepentingan.
Pada hakekatnya kode etik itu sebenarnya ingin mengatakan apa saja yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam menyelenggarakan sebuah
aktivitras periklanan. Dasar pemikiran itu kemudian dijabarkan menjadi dua
bagian. Pertama dikenal dengan sebutan tata krama (code of practice), dan
kedua dikenal dengan sebutan tata cara (code of conducts). 32
Orang seringkali berpendapat, bahwa karena kode etik bersifat normatif,
maka terhadap pelanggaran tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Mungkin ini
salah
satu
sebab
mengapa
tingkat
pelanggaran
etika
iklan
semakin
32
33
28
negara, agama, susila, adat, budaya, suku, dan golongan. Ketiga, iklan harus
dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.34
Asas-asas umum itu kemudian dijabarkan dalam Penerapan Umum dan
Penerapan Khusus. Penerapan Umum merupakan penjelasan detail mengenai
unsur-unsur dalam asas-asas umum. Ada 20 rambu untuk asas umum pertama,
lima rambu untuk asas umum kedua, dan empat rambu untuk asas umum ketiga.
Dalam penerapan ini dijelaskan bagaimana, misalnya, sebuah iklan tidak boleh
menyesatkan, atau iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
merugikan masyarakat. Sedangkan dalam Penerapan Khusus ada 13 rambu utama
yang menjadi patokan. Dari sejumlah rambu utama diturunkan rambu-rambu kecil
sebagai penjelas35. Seperti soal penampilan iklan yang berhubungan dengan anak,
penampilan tenaga profesional, minuman keras, real estat, makanan, suplemen,
hingga kosmetik.
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan itu harus dilaksanan oleh seluruh
pelaku periklanan, baik perorangan maupun kelompok. Pengawasannya dilakukan
oleh Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, yang kemudian
berubah menjadi Komisi Periklanan Indonesia. Walaupun terdapat pengawasan
dari Komisi Periklanan Indonesia tetapi semua pihak mulai dari produsen
pemasang iklan, perusahaan periklanan, maupun media massa ikut bertanggung
jawab.
34
Budi Setiyono, Cakap Kecap (1972-2003).Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia 2004, hal
151
35
ibid, hal 152
29
30
37
31
terjadi disekitarnya. Maka iklan itu dapat menarik perhatian kita pada atribut yang
diiklankan. Sebagai hasil dari pengulangan iklan, ketika menggunakan merek
tertentu, kita mungkin berpikir merek itu memang sesuai atribut yang diiklankan.
Oleh karena itu penulis meneliti terdapat beberapa faktor yang membuat produsen
dan praktisi iklan itu sering melanggar etika periklanan, yaitu:38
38
Max S & Alice K Sylvester, Advertising and the Mind of the Consumer, (Penerbit PPM, Jakarta
2004), hal 164
32
Didik Siswantono, Sihir Iklan Dalam Peluncuran BNI Baru, GEMA SWADHARMA
No.63/VI Agustus 2004, hal46
33
34
Seperti yang telah dijelaskan bahwa majalah sebagai sebuah media iklan
dalam kegiatan promosi memiliki kelebihan dalam memuat berbagai informasi
dan gambaran tentang produk secara lengkap dan konkret. Akan tetapi iklan yang
terdapat dalam majalah itu sendiri seringkali melanggar etika periklanan, yang
pada akhirnya bagi sebagian khalayak iklan sekaligus majalah tersebut dinilai
menyesatkan.
Kritik khalayak tidak hanya terjadi pada segi redaksional (media pers) atau
program (media elektronik), tetapi seringkali juga pada iklan-iklan yang dimuat
atau ditayangkan media massa tersebut. Adakah upaya media massa selama ini
untuk menentukan kebijakan mutu iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh
mereka? Sebagai "pintu terakhir" untuk menyaring iklan yang melanggar etika,
apa upaya media massa untuk turut mewujudkan swakrama?40
Ada kesan, bahwa media massa lebih suka menyerahkan tugas
penyaringan etika iklan kepada pihak lain, misalnya; perusahaan periklanan,
pengiklan atau Lembaga Sensor Film, dsb. Padahal dalam Tata Krama Periklanan
Indonesia jelas-jelas dinyatakan, bahwa Media Periklanan bertanggung jawab atas
kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosialbudaya dari profil khalayak sasarannya.
40
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan atau memaparkan suatu
objek, misalnya suatu gejala atau fenomena sosial.41 Hal tersebut dikarenakan
oleh sifatnya yang memaparkan keadaan realitas dilapangan.
Batasan penelitian ini hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan gejala
yang ada, mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, dan
menentukan apa yang dapat dilakukan orang lain jika menghadapi masalah yang
sama.Penelitian deskriptif menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk
mengembangkan teori atau mengidentifikasikan pertanyaan untuk diteliti lebih
lanjut karena metode itu metode penilitian deskriptif tidak bertujuan menguji
teori.
Berdasarkan sifat penelitian di atas maka dalam menjawab bagaimana
etika periklanan pada iklan otomotif oli Top 1 akan diperoleh melalui wawancara
mendalam kajian kepustakaan dan proses pengamatan.
41
Wawan Ruswanto dkk, Penelitian Komunikasi, PT Universiotas Terbuka, Jakarta. 1995. hal 23
35
36
2.
3.
42
Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo, Jakarta.
2002. hal 1
43
Robert K. Yin, Op.Cit., hal 6
37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
hal 7
38
39
45
Prof.Dr.Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode (PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
2004) hal 118
40
temuan atau konklusi apa pun dalam studi kasus akan lebih menyakinkan dan
tepat jika didasarkan pada beberapa sumber informasi yang berlainan.
3.5.2. Menciptakan Data Dasar Studi Kasus
Prinsip
ini
berkenaan
dengan
cara
mengorganisasikan
dan
41
b. Data sekunder
Untuk memperoleh data sekunder ini dilakukan dengan riset pustaka
seperti buku, majalah, koran, makalah dan sumber-sumber lainnya yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
hal 178
42
47
43
siap menghadapi berbagai jawaban dari responden. Peneliti juga harus siap
dengan pertanyaan susulan yang tidak terdapat di interview guide.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian penulis mengenai hasil penelitian serta pembahasan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis studi kasus (case
study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan wawancara mendalam (indepth
interview) dengan empat orang key informan dari PPPI dan praktisi periklanan.
Key Informan tersebut adalah Hery Margono, Ketua Hukum dan Perundangundangan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), FX Ridwan
Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan Indonesia, Choky Sitohang, praktisi
periklanan yang bekerja di Eltra studio meruya, dan Joe Astanto, praktisi
periklanan yang bekerja di Albert & Smith Kelapa Gading.
Pemilihan key informan tersebut merupakan orang-orang yang berkaitan
serta memiliki peranan penting dan berkompeten dengan topik penelitian ini.
Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mengetahui bagaimana etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.
4.1.
43
Pada TVC Obat Nyamuk Tiga Roda yang diproduksi oleh AdWork, terjadi
pelanggaran yang berupa merendahkan, dan hal tersebut melanggar kode etik
periklanan yang menyatakan bahwa ; Iklan tidak boleh merendahkan produk
pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
Iklan Mencontek/Meniru
Peniruan TVC Obat Nyamuk Garuda meliputi merek dagang, komposisi huruf
dan gambar serta slogan. Dan pada pedoman etika periklanan dicantumkan hal
44
yang menyangkut pelanggaran tersebut yang isinya, Iklan tidak boleh dengan
sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat
merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan
khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita,
setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk
model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi
huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut
khas lain, dan properti.
Dan masih dipertajam pada sub selanjutnya yang menerangkan bahwa :
Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu
digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun
dua tahun terakhir.
Bahkan peniruan atas hak cipta diatur pada awal Tata Cara dan Tata
Krama
Periklanan
Indonesia
yang
berisi
Penggunaan,
penyebaran,
penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi atau bagian dari materi
periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau
pemegang merek yang sah.
Kategori Minuman Keras
45
Untuk iklan kategori minuman keras diatur dalam Ragam Iklan, yang
mengatur bahwa iklan minuman keras maupun gerainya hanya boleh disiarkan di
media nonmassa.
Melebih-lebihkan
Iklan TVC Yamaha Jupiter yang diproduksi oleh The Agency dinilai
melebih-lebihkan atau hiperbolisasi. Pada dasarnya hal tersebut boleh dilakukan
sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor
yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak
menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
Pelanggaran Tata Tertib Lantas
46
Pemeran anak boleh saja menjadi model suatu iklan selama masih
dalam koridor EPI (Etika Pariwara Indonesia). Panduan yang diberikan
EPI sebenarnya sudah sangat praktis dan mudah dimengerti. EPI sebagai
suatu kitab etika, sanksi yang diberikan adalah bersifat sanksi etika
organisasi. Menurut FX Ridwan, selaku ketua Badan Pengawas
Periklanan PPPI :
Dari beberapa kali rapat BPP, pernah ditemui beberapa
pelanggaran yang berkaitan dengan penggunaan model anak-anak.
Secara persentase, pelanggaran ini memang relatif masih kecil. Selama
ini, pelanggaran yang berkaitan dengan model anak, kami lihat lebih
banyak disebabkan karena ketidaktahuan,
Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika
usaha, adalah demi kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi
dampak buruk.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 17 ayat 1.f. disebutkan
bahwa "Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang
melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan". Dengan demikian Etika Pariwara Indonesia (EPI)
dapat menjadi rujukan dari banyak pihak (termasuk praktisi hukum pada
umumnya) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan etika periklanan.
Disinilah posisi strategis dari EPI. Jadi EPI itu sifatnya adalah melengkapi
hukum positif yang telah ada.
Untuk mengetahui apakah iklan-iklan di Indonesia sudah
memenuhi kode etik periklanan, maka perlu dilihat dan dibandingkan
antara iklan-iklan yang ada dengan kode etik periklanan yang tercantum
47
dalam Etika Pariwara Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga dapat dilihat
dari semakin bertambahnya pelanggaran yang dilakukan oleh iklan-iklan
yang ada, baik itu yang berasal dari pengaduan masyarakat, juga berasal
dari pemantauan PPPI sendiri melalui Badan Pengawas Periklanan (BPP).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Choky Sitohang, praktisi
periklanan yang bekerja di Eltra studio meruya, menyatakan bahwa :
Beberapa memenuhi kode etik periklanan. Tapi dengan semakin
tingginya angka pelanggaran, saya rasa pelaku periklanan masih belum
memahami etika periklanan itu sendiri
Dan menurut pernyataan yang diutarakan Bapak Hery Margono
selaku ketua Ketua Hukum dan Perundang-undangan, Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) yang menyatakan bahwa :
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPP, sedikitnya 149 kasus
ditangani oleh Badan Pengawas terdiri 56 kasus pada 2006 dan 93 kasus
pada 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melanggar dan 44 kasus
lainnya dalam penanganan. Dari yang diputus melanggar, 39 kasus tak
ditanggapi oleh agensi
48
49
50
4.2.
merek ini sering dipromosikan di berbagai media dengan pesan Oli yang banyak
dipakai oleh artis atau Oli nomor satu di Amerika. Bahkan merek ini adalah
salah satu dari 100 Superbrands Indonesia.
Top 1 oli sintetik, asli Amerika, atau oli anda Top 1 juga kan ?,
penggalan ini mungkin sudah sangat akrab di telinga kita. Sejak tahun 2000, iklan
produk pelumas ini memang sangat rajin muncul di media massa, terutama
setelah pemerintah membuka jalan bagi impor pelumas di Indonesia. Konsumen
menjadi sangat familiar dengan produk ini, dan awarenessnya meningkat dahsyat.
Kehadiran Top 1 kala itu sekaligus menandai dimulainya iklim persaingan di
industri yang selama 20 tahun ini dibesarkan oleh proteksi pemerintah.
Kecerdikan Top 1 memanfaatkan momentum, terbukti memang ampuh.
Walau langkahnya membombardir pasar dengan program komunikasi berbiaya
mahal, pantauan Nielsen Media Research, dari tahun 2001 hingga tahun 2005
belanja Top 1 selalu berada di atas angka 50 milyar/tahun. Ternyata itu sangat
signifikan dengan pertumbuhan penjualan atau peningkatan citranya.
PT Topoindo Atlas Asia (TAA) sebagai pemegang merek Top 1 di
Indonesia sangat menyadari pasar minyak pelumas belum terbentuk. Sehingga
51
52
4.3.
53
digunakan
oleh
pembalap-pembalap
dunia,
selebritis
atau
54
55
Berdasarkan hal tersebut sangat jelas iklan oli Top One di majalah
Swa melakukan beberapa pelanggaran kode etik periklanan. Dan data
yang diperoleh bahwa iklan tersebut telah mendapat beberapa surat
pengaduan pelanggaran kode etik periklanan yang diterima oleh PPPI
yang berasal dari produk pesaing yang nama produknya tercantum dalam
iklan tersebut.
Melihat tampilan iklan oli Top One periode tahun 2004 di majalah
Swa yang jelas-jelas telah melanggar kode etik periklanan, dapat terlihat
pelanggaran apa saja yang terdapat dalam iklan tersebut.
Menurut pernyataan yang diutarakan Bapak Hery Margono selaku
ketua Ketua Hukum dan Perundang-undangan, Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI) yang menyatakan bahwa :
Yang paling utama adalah merendahkan produk pesaing,
selanjutnya penggunaan kata satu-satunya, perbandingan, penmggunaan
kata ter (paling), dan menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan
statistik
Tampilan pada iklan tersebut memang menampilkan tabel
perbandingan produk sejenis yang merendahkan pesaingnya. Selain itu
juga terdapat kalimat seperti ; ...satu-satunya oli made in U.S.A... dan
...yang termahal..., serta penggunaan istilah ilmiah dan statistik yang
menciptakan kesan yang berlebihan.
56
Berdasarkan hal tersebut iklan oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa telah melakukan lima pelanggaran sekaligus, meskipun yang
paling utama dan yang dijadikan bahan pengaduan oleh produk sejenis
hanya satu, yaitu merendahkan produk pesaing.
Berdasarkan pernyataan Bapak Hery Margono tersebut, kelima
pelanggaran seperti yang tercantum dalam Etika Pariwara Indonesia
adalah sebagai berikut :
1.
Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas
Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas
Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas
57
Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas
Dalam Tata Krama yang memuat tentang isi iklan yang membahas
58
tersebut. Hal ini dapat memberikan kesan salah kepada konsumen, seolaholah memang produk Pelumas Top 1 unggul dalam ketiga hal tersebut dan
bukan hanya persepsi konsumen. Hal ini lebih-lebih lagi karena istilah
yang dipakai adalah dalam bahasa Inggris.
Selain itu Unit Pelumas Pemasaran dan Niaga PT PERTAMINA
yang diwakili oleh agen periklanannya, Avicom Airvertising, juga
menyampaikan keberatan atas iklan cetak Top1 tersebut. Keberatan
tersebut berupa penulisan nama-nama pesaing dan memposisikan pesaing
sebagai produk yang lebih rendah dari Top 1.
Berdasarkan surat yang dilayangkan kepada BPP tersebut, iklan
cetak Top1 melanggar Pedoman beriklan yang tertuang pada buku biru
mengenai Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Bab II (Tata
Krama) pasal 3 ayat b dan c.
Pasal 3 : Iklan harus Dijiwai oleh Asas Persaingan yang sehat.
b) Perbandingan langsung :
Iklan tidak dibenarkan mengadakan perbandingan langsung
dengan
menampilkan
merek
dan
atau
produk
pesaing.
59
Pelaku
usaha
dilarang
menawarkan,
mempromosikan,
60
61
62
63
64
4.4.
65
Media
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Televisi
2.678
2.213
3.449
4.933
5.821
8.383
10.311
Koran
1.540
956
1.415
1.982
2.593
3.502
4.378
Majalah
311
191
292
448
614
768
992
Radio
206
136
187
257
329
413
516
Luar
Ruang
350
261
269
269
202
232
279
Bioskop
Total
5.094
3.757
5.612
7.889
9.795
13.298
16.476
Citra Pariwara sebagai ajang lomba karya iklan bagi insan-insan kreatif
Periklanan
Indonesia,
pada
kenyataannya
dapat
dijadikan
barometer
perkembangan periklanan di Indonesia. Dan hal tersebut dapat dilihat dari data
sebagai berikut :
1996
1997 1998
2002
1.
413
377
264
296
258
331
363
2.
Iklan Televisi
297
289
168
230
265
266
283
3.
Iklan Radio
66
92
59
90
91
120
129
4.
56
45
36
46
171
241
5.
64
15
13
22
25
37
68
6.
18
28
7.
56
47
15
40
33
124
122
8.
28
24
12
19
Jumlah :
930
878
584
717
746
1079
1253
Peningkatan :
57%
6%
14%
66
Keanggotaan
Terjadi pertumbuhan jumlah anggota dari tahun ke tahun berkat kiprah PPPI yang
memasyarakat dan mampu tampil sebagai organisasi profesional dan bertanggung
jawab kepada masyarakat luas.
PPP Daerah
1998
1999
2000
2001
2002
100
108
117
132
142
14
17
21
27
32
17
19
22
26
30
PPPI Yogyakarta
12
21
28
36
45
28
36
43
54
57
PPPI Bali
14
14
13
10
12
6*
7*
Jumlah
194
Pertumbuhan
226
257
298
356
16 %
4%
16 %
19%
(*) Tercatat sementara sebagai calon anggota terdaftar melalui Perwakilan PPPI
271 Anggota dengan hak penuh per 12 Oktober 2002.
85 Calon Anggota per 12 Oktober 2002.
67
4.5.
Pembahasan
Berdasarkan
metodologi
triangulasi,
penulis
mencoba
untuk
68
data
key informan
menunjukkan
keberadaan
pelanggaran-
pelanggaran etika yang terdapat di tampilan iklan otomotif Oli Top One periode
tahun 2004 di majalah Swa. Salah satu yang paling menonjol dan menjadi
pelanggaran utama adalah merendahkan produk pesaing secara langsung.
Dari pengamatan yang dilakukan pada iklan otomotif Oli Top One
periode tahun 2004 di majalah Swa ini telah terdapat pelanggaran kode etik lain.
Pelanggaran tersebut diantaranya adalah penggunaan kata satu-satunya,
perbandingan, pennggunaan kata ter (paling), dan menyalahgunakan istilahistilah ilmiah dan statistik.
Pada pelanggaran kode etik periklanan yang dilakukan oleh iklan otomotif
Oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa ini, ditanggapi oleh banyak
kalangan dengan berbagai sikap. Pelanggaran ini di sikapi oleh produk pesaing
yang nama produknya tercantum pada iklan tersebut dengan melayangkan surat
pengaduan kepada PPPI.
69
Secara umum, key informan telah menyebutkan bahwa iklan otomotif Oli
Top One periode tahun 2004 di majalah Swa ini, paling tidak telah melakukan
lima pelanggaran kode etik periklanan.
Pada bagian lain langkah-langkah yang dilakukan oleh PPPI dalam
menyikapi pelanggaran tersebut hanya sebatas pada pemberian surat teguran.
Berdasarkan data yang ada dari key informan, bahwa biro iklan yang membuat
iklan tersebut tidak termasuk dalam keanggotaan PPPI dan juga asosiasi lain.
Selain itu, dalam Etika Pariwara Indonesia belum terdapat sanksi yang
jelas mengenai pelanggaran-pelanggaran tersebut. Misalnya pelanggaran di salah
satu kode etik (merendahkan, membandingkan dll), tidak dikatakan sanksi apa
yang harus dikenakan oleh pelanggar. Begitu pula dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyelenggaraan iklan yang melanggar kode etik tersebut.
Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika
usahanya demi kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi dampak buruk
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 17 ayat 1.f. disebutkan bahwa
"Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan
atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan". Dengan
demikian EPI dapat menjadi rujukan dari banyak pihak (termasuk praktisi
hukum pada umumnya) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan etika
periklanan.
Sudah selayaknya pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan
tersebut bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Pihak tersebut adalah
perusahaan periklanan, perusahaan yang memiliki produk, dan media yang
mencantumkan iklan tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penulis menemukan beberapa opini
publik yang terbentuk melalui dunia maya (internet) melalui mailing list. reputasi
oli ini di ajang Internet tidaklah begitu baik. Diskusi tentang oli merk ini dapat
dengan mudah ditemukan di mailing-list atau forum online yang berhubungan
70
71
Jika ingin gambaran real akan satu produk, jangan cuma lihat iklan,
cobalah untuk melakukan studi perbandingan terlebih dahulu. Kenyataan ini jelas
dipahami Top 1, karena itu penulis melihat sebenarnya iklan oli Top 1 di majalah
Swa
merupakan
sebuah
pelanggaran
kode
etik
yang
perlu
72
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
KESIMPULAN
Seperti telah di kemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana etika periklanan dalam iklan otomotif oli Top One
periode tahun 2004 di majalah Swa. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode analisis studi kasus (case study). Hasil penelitian diperoleh berdasarkan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan empat orang key informan dari
PPPI dan praktisi periklanan. Dimana penulis ingin mengetahui bagaimana etika
periklanan dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui metodologi
triangulasi, penulis memperbandingkan data yang ada dengan pengamatan
langsung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa melanggar
etika periklanan yang mencakup lima hal yang tercantum dalam Tata Cara dan
Tata Krama Periklanan Indonesia. Kelima pelanggaran tersebut adalah Tata
Krama nomor 1.2 sub 1.2.2 tentang Bahasa, nomor 1.4 Penggunaan Kata "Satusatunya", nomor 1.19 tentang Perbandingan, nomor 1.21 tentang Merendahkan,
dan nomor 1.21 tentang Istilah Ilmiah dan Statistik.
Kasus yang telah ditetapkan melakukan pelanggaran tapi tidak
mendapatkan tanggapan dari pihak pelanggar diartikan sebagai: BPP tidak dapat
melakukan tindakan lebih lanjut karena pelaku pelanggaran bukan anggota PPPI.
73
5.2
SARAN
Berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan mengenai etika periklanan
dalam iklan otomotif oli Top One periode tahun 2004 di majalah Swa, dan saransaran yang diberikan penulis adalah sebagai berikut :
1. Bagi PPPI, agar dapat mengenakan sanksi hukum kepada pelanggar kode
etik periklanan, adalah dengan bekerja sama dengan badan hukum yang
menyangkut pada hak-hak perlindungan konsumen, sedangkan PPPI
hanya menjembatani dan menjadi rujukan bagi banyak pihak, termasuk
praktisi hukum.
74
2. PPPI juga selain lebih intensif lagi dalam mensosialisasikan dan edukasi
mengenai EPI kepada pelaku periklanan pada khususnya dan khalayak
secara keseluruhan, ini dikarenakan masih awamnya para pelaku
periklanan dalam hal etika profesi yang mereka jalani.
3. Oli Top One sebagai sebuah brand yang cukup besar di Indonesia sudah
selayaknya memberikan informasi kepada khalayak tanpa harus
mempromosikan produknya dengan merendahkan produk lain yang
sejenis dan memberikan informasi yang berlebihan hingga akhirnya
menyesatkan masyarakat.
4. Bagi Majalah Swa yang merupakan media massa yang memiliki
kewajiban serta etikanya sendiri dalam memberikan informasi yang
sebenar-benarnya kepada khalayak, sudah selayaknya dapat menyaring
dan menyeleksi setiap iklan ataupun informasi yang dapat menimbulkan
konflik serta menyesatkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ogilvy, David, Confessions of an Advertising Man, Atheneum, New York. 1963 and
1984.
Satyanugraha, Heru, Etika Bisnis:Prinsip dan Aplikasi, Lembaga Penerbit FE Trisakti.
2003.
Schlinger, M, Profil respons terhadap iklan, Journal of Advertising Research, Vol 1 no 2.
1979.
Setiyono, Budi, Cakap Kecap (1972-2003). Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia,
2004.
Sudiana, Dendi, Komunikasi Periklanan Cetak, Remajda Karya CV, Bandung. 1996.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta. 1987.
Yin, Robert K, Studi Kasus, Desain dan Metode, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2004.
SUMBER LAIN:
www.pppi.co.id
http://www.pertamina.com
http://www.cakram.co.id
http://www.priyadis.blogspot.com
swa_online.com
I DATA PRIBADI
NAMA
: AFFAN RAHMANA
ALAMAT
TELEPHONE
: 021-5332379 / 08158026142
TINGGI / BERAT
: 171 CM / 62 KG
AGAMA
: ISLAM
JENIS KELAMIN
: PRIA
STATUS
: MENIKAH
Pedoman wawancara:
1.
2.
3.
Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun
2004 di majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini
telah cukup efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?
Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara
T:
J:
Ya yang saya lihat dan semua orang juga bisa lihat, Industri periklanan
sekarang berkembang sangat pesat, kan bisa di lihat dari pendapatan iklan yang
sangat mencolok dan dapat jadi lahan bisnis yang menguntungkan dan bernilai
profit yang tinggi.
T:
Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonesia ?
J:
Begini ya, jawaban yang pasti saja, Berdasarkan data yang diperoleh dari BPP,
sedikitnya 149 kasus ditangani oleh Badan Pengawas terdiri 56 kasus pada
2006 dan 93 kasus pada 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melanggar
dan 44 kasus lainnya dalam penanganan. Dari yang diputus melanggar, 39
kasus tak ditanggapi oleh agensi.
T:
Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?
J:
Kalau mengenai iklan ini (sambil melihat contoh iklan cetak oli Top 1),Banyak
pelanggaran yang terdapat dalam iklan tersebut, apa lagi adanya surat
pengaduan yang dilayangkan kepada kami melalui BPP.
T:
J:
Yang paling utama dan menjadi persoalan sih merendahkan produk pesaing,
terus penggunaan kata satu-satunya, perbandingan secara langsung, dan
menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik.
T:
J:
Kemungkinan terjadi akibat ga ada sanksi yang tegas kepada pelanggar. Kode
etik bersifat normatif, maka terhadap pelanggaran tidak dapat dikenakan sanksi
hukum. Selain itu faktor yang lain biasanya adalah iklan yang kompetitif,
uang, kenyataan bahwa iklan biasanya memiliki pengaruh lemah dibanding apa
yang kita tahu atau apa yang telah ada dalam pikiran kita dan keterbatasan
kreatifitas pembuat iklan itu sendiri.
T:
Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?
J:
Tentu saja menanggapinya dengan positif, terus jika memang perlu kita akan
meneruskannya hingga ke Badan Musyawarah Etika
T:
Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?
J:
T:
J:
T:
J:
PPPI melalui BPP secara umum memiliki 2 program kerja. Yang pertama
adalah sosialisasi dan edukasi EPI kepada para anggota PPPI, asosiasi-asosiasi
terkait serta kepada masyarakat pada umumnya. Kedua, adalah fungsi kontrol
dalam menegakkan EPI tersebut. Harus dimaklumi bahwa EPI belum
memasyarakat.
T:
Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?
J:
Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara
T:
J:
T:
Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?
J:
Pastinya yang memenuhi etika sih ada, dan yang melanggar juga banyak.
Sayangnya iklan-iklan yang mudah diingat masyarakat justru malah iklan-iklan
melanggar etika.
T:
Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?
J:
T:
J:
J:
T:
Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?
J:
Begini, kami masih menjalankan prosedur yang berlaku dan tidak melewati
koridornya, berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau dari pantauan BPP,
PPPI memberikan surat teguran pertama dan kedua, sampai pemberian sanksi
bagi anggota yang melanggar tersebut, kalau bukan anggota ya sudah.
T:
Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?
J:
Ya seperti yang sebutkan tadi. Kalau anggota paling dicabut izin dan
keanggotaannya, kalau bukan ya cuma sampai pada surat teguran saja.
T:
J:
PPPI melalui kami (BPP) sudah menjalankan sesuai dengan prosedur. Kami
terima surat pengaduan dari masyarakat, terus kami layangkan surat teguran
kepada pihak yang bersangkutan, dan sampai saat ini tidak ada tanggapan tuh.
T:
J:
T:
Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?
J:
Gimana ya, gini aja deh, adanya iklan yang melanggar kode etik periklanan,
menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak peduli terhadap tata krama
periklanan yang telah dibuat oleh PPPI. Selain masih kurangnya informasi
tentang EPI, juga selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam
bentuk Etika Periklanan Indonesia. Mungkin karena hanya diatur dalam etika
sehingga lebih soft. Berbeda dengan aturan hukum yang tegas. Seperti pada
kasus pelanggaran penggunaan anak-anak sebagai model iklan. Dari beberapa
kali rapat BPP, pernah ditemui beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan
penggunaan model anak-anak. Secara persentase, pelanggaran ini memang
relatif masih kecil. Selama ini, pelanggaran yang berkaitan dengan model anak,
kami lihat lebih banyak disebabkan karena ketidaktahuan,
Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara
T:
J:
Kalo menurut saya tentu aja berkembang pesat, semakin besar produk, maka
semakin dibutuhkan periklanan. Buktinya perusahaan periklanan di Indonesia
semakin banyak
T:
Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?
J:
Beberapa aja sih yang memenuhi kode etik periklanan. Tapi dengan semakin
tingginya angka pelanggaran, saya rasa pelaku periklanan masih belum
memahami etika periklanan.
T:
Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?
J:
T:
J:
T:
J:
T:
Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?
J:
Wah kalo itu tanya P3I nya aja langsung. Tapi PPPI sebaiknya menetapkan
kode etik nya sebagai bagian dari hukum, jadi bisa dengan tegas menindak
perusahaan-perusahaan periklanan yang melanggar kode etik periklanan
T:
Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?
J:
Kalau ini dikaitkan dengan hukum, misalnya hukum pidana untuk kasus
penipuan (jika terdapat penipuan di dalamnya) atau UU perlindungan
konsumen. Sudah pasti pihak-pihak tersebut bisa dikenai hukuman denda atau
pidana.
T:
J:
Buat sekarang ini sebaiknya PPPI ikutin saja prosedur yang berlaku dan
disepakati bersama.
T:
J:
Yang paling utama adalah lebih optimal lagi mensosialisasikan Etika Pariwara
Indonesia kan masih banyak pelaku periklanan dan masyarakat yang belum
tahu EPI.
T:
Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?
J:
Nara Sumber
Tanggal & Tempat Wawancara
T:
J:
T:
Apakah iklan-iklan yang sudah ada telah memenuhi kode etik periklanan di
Indonessia ?
J:
Belum 100 persen terpenuhi, tapi setidaknya ada 1 atau 2 prinsip kode etik
periklanan yang selalu dilanggar
T:
Menurut anda apakah iklan otomotif Oli Top One periode tahun 2004 di
majalah Swa sudah memenuhi etika periklanan ?
J:
Dari sekilas saja iklan ini sudah melanggar etika periklanan, terlebih jika
diperhatikan, banyak sekali sekali pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan
minimal ada tiga tampilan dan pencantuman kata yang melanggar etika
periklanan
T:
J:
T:
J:
Kondisi ini bagian besar akibat masih awamnya para pelaku periklanan
maupun masyarakat sendiri dalam etika beriklan, dan diperparah oleh masih
Apa yang seharusnya dilakukan oleh PPPI dalam menyikapi pelanggaran etika
tersebut ?
J:
Ya semakin dalam melaksanakan atau mengawasi regulasi yang sudah ada aja.
T:
Sangsi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran etika periklanan
tersebut, baik pemilik produk maupun agen periklanan itu sendiri ?
J:
Buat sekarang ini kayanya peringatan saja sudah cukup, dengan catatan
pelanggar harus mau memperbaiki diri.
T:
J:
T:
J:
Sudah seharusnya PPPI memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaanperusahaan periklanan dan bekerjasama dengan pemerintah dalam penegakan
kode etiknya
T:
Apakah menurut anda kode etik periklanan yang sudah ada saat ini telah cukup
efektif dalam mengatasi pelanggaran etika periklanan ?
J:
Menurut saya sih belum, tapi saya optomis akan efektif, jika saja
pengawasannya dilakukan dengan benar.