Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA
A. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.1
B. EPIDEMIOLOGI
Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat,
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan
pada semua tingkat usia. Di Amerika, terdata 1,5 juta orang mengalami
cedera kepala per tahun dan 75% diantaranya termasuk dalam cedera kepala
ringan. Di Eropa, tercatat 91 kasus per 100.00 orang mengalami cedera
pertahunnya.
Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka
kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di
rumah sakit di seluruh Indonesia. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-24 tahun.
C. ETIOLOGI
Kecelakaan lalu lintas merupakan 48-53% dari insiden cedera kepala, 2028% lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi.
D. ANATOMI
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau

11

galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang


longgar dan pericranium.1

Gambar 1. Lapisan kulit kepala


2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah
tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.3
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
12

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus


transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
b. Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Piamater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital

13

bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons


bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik.

Serebellum

bertanggung

jawab

dalam

fungsi

koordinasi dan keseimbangan.3


5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.5
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).1
7. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.
E. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh

14

adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.1,6

F. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya.
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena
pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh
peluru atau tusukan.7
2. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma
Scale adalah sebagai berikut :
a. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera
kepala berat.
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium
dan lesiintrakranial.
a. Fraktur cranium

15

Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup.

Fracture

dasar

tengkorak

biasanya

memerlukan

pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk


memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign),
kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.7
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk
bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan
retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak
sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktur tengkorak
mengharuskan pasien dirawat dirumah sakit untuk pengamatan. 7
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau
difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi
fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi
(atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
keadaan klinis.7
1) Epidural Hematom
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk
di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan

16

cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.


Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder
dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang,
hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%
dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus
selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan

darah

yang

terjadi

tidak

berlangsung

lama.

Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan


langsung

denggan

status

neurologis

penderita

sebelum

pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat


menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal
(talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang
tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah
saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai
planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ).
Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas,
bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara
intravena sehingga tampak lebih jelas.8
2) Subdural Hematom
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi
di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia

17

juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi


otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.3
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya
lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle
(seperti bulan sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit
dibedakan

dengan

epidural

hematom.

Batas

medial

hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah


fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural.7
b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan,
transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacammacam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu.
Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas
melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi
isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.8
4. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau

18

kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh


darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.5
5. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa
sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.3
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain.
Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat
cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama
ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas atau serangan iskemik.
Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi
atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan
dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena
19

hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.3
G. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
2. Foto Polos Kepala
Indikasi :
a. Riwayat pingsan
b. Adanya gejala neurologis seperti diploplia, vertigo, muntah, atau
sakit kepala
c. Adannya otorrhea atau rhinorrhea
d. Adanya kecurigaan luka tembus kepala
3. Foto Servikal
Indikasi
a. Pada penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
b. Penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher
c. Adanya jejas di atas klavikula
d. Adanya kecurigaan trauma servikal
4. CT Scan
Indikasi
a. GCS <15 atau terdapat penurunan kesadaran 1 point selama
observasi
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda fraktur basis crania
d. Kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap
5. MRI
Indikasi sama dengan CT Scan, namun MRI memiliki beberapa
kelebihan dibanding CT Scan dalam hal ketelitian.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal

penderita

cedara

kepala

pada

dasarnya

memikilitujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala


sekunderserta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga
dapat membantupenyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan
cedera kepala tergantungpada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.Prinsip penanganan awal meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalampenatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway,breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan denganresusitasi. Pada penderita cedera

20

kepala khususnya dengan cedera kepala beratsurvei primer sangatlah penting


untuk mencegah cedera otak sekunder danmencegah homeostasis otak.
1. Survey Primer
a. Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah
tulang servikal harus diimobilisasi (Collar neck).
b. Pernapasan. Evaluasi berupa inspeksi terhadap bentuk dan
pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang memungkinkan gangguan
ventilasi, auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru.
c. Sirkulasi. Evaluasi perdarahan yang terjadi pada pasien. Apabila
ditemukan tanda-tanda syok, maka perlu dilakukan resusitasi cairan.
d. Disability dengan pemeriksaan mini neurologis, hal ini meliputi:
1) GCS setelah resusitasi
2) Bentuk, ukuran, reflex cahaya pupil.
3) Kekuatan otot.
e. Eksposure. Hal ini bertujuan untuk menghindari hipotermia dan
mencari cedera di tempat lain.
Bersamaan dengan resusitasi, kita dapat melakukan anamnesis yang
meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Waktu kecelakaan
Tempat kejadian
Memakai helm/tidak (untuk pengguna sepeda motor)
Mekanisme cedera
Adanya pingsan atau tidak dan durasinya
Keadaan setelah kejadian
Adanya pengaruh alcohol dan obat-obatan
Riwayat penyakit sebelumnya
Pada pasien yang sadar, ditanyakan penglihatan kabur, penglihatan
ganda, baal atau kelemahan ekstremitas, dan lama PTA (post

traumatic amnesia) berlangsung.


2. Survey Sekunder
Merupakan survey lanjutan untuk menilai kemajuan/kemunduran
dari resusitasi pada survey pertama.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain :
1. Penurunan kesadaran
2. Fraktur tulang tengkorak

21

3. Gejala dan tanda deficit neurologis, termasuk sakit kepala dan muntahmuntah.
4. Sulit melakukan penilaian terhadap penderita, sepertipada pengaruh
alcohol, obat, atau usia yang sudah lanjut sekali.
5. Adanya keadaan medisnyang menyertai seperti epilepsy.
6. Sulitnya atau tidak ada orang sekitarnya yang dapat mengawasi keadaan
pasien.
7. Jarak dari rumah penderita ke rumah sakit sangat jauh sehingga tidak
memungkinkan penderita kembali ke rumah sakit dalam waktu singkat,
jika dibutuhkan.
8. Adanya criteria risiko sedang dan risiko tinggi pada penderita.
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Kriteria risiko yang dimaksud diatas adalah criteria yang dibuat setelah
pemeriksaan klinis untuk membedakan penderita terhadap kemungkinan
adanya risiko cedera intracranial. Dalam hal ini dibagi atas1 :
1. Resiko Rendah
a. Asimptomatik
b. Sakit kepala
c. Pusing
d. Hematom, laserasi, kontusio, taua abrasi scalp
2. Resiko Sedang
a. Riwayat penurunan kesadaran pada saat kejadoan atau sesudahnya
b. Sakit kepala yang progressif
c. Intoksikasi obat atau alcohol
d. Kejang post-trauma
e. Mekanisme trauma tidak jelas
f. Usia < 2 tahun
g. Muntah
h. PTA
i. Tanda-tanda fraktur basis crania
j. Multiple trauma
k. Cedera wajah yang serius
l. Dugaan fraktur depressed/penetrasi
m. Dugaan child abuse
3. Resiko Tinggi
a. Penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas
b. Tanda neurologis fokal
c. Fraktur depressed
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untukmemberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukandalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,

22

hiperventilasi,pemberian

manitol,

steroid,

furosemid,

barbitirat

dan

antikonvulsan.Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan


tindakanoperatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
klinis pasien,temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakanpanduan sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorialatau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
3.
4.
5.
6.
7.
8.

gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat


terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

I. KOMPLIKASI
1. Non Bedah
a. Kejang Post Traumatika
b. Infeksi
c. Gangguan Keseimbangan Cairab dab Elektrolit
d. Gangguan Gastrointestinal
e. Neurogenic Pulmonary Edema
2. Bedah
a. Hematome Intrakranial
b. Hidrosefalus
c. Subdural Hematom Kronis
d. Cedera Kepala Terbuka
e. Kebocoran CSS

23

DAFTAR PUSTAKA
CEDERA KEPALA
1. Japardi I. Cedera Kepala ; Memahami Aspek-Aspek Penting Dalam
Pengelolaan Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer ; 2004.
2. Price S, Wilson L. Cedera Sistem Saraf Pusat. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Ed : Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA.
6th ed. Jakarta : EGC ; 2005. P. 1171-1177
3. American College of Surgeons, Advance Trauma Life Suport. United States
of America: Firs Impression ; 1997.
4. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. Jakarta : EGC ; 1995.
5. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah.In : Hafid A, ed. Jakarta: EGC; 2007.
6. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Trauma Susunan Saraf. Neurologi
Kilinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta; 2003, 254-259.
7. David
B.
Head
Injury.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview#a0199.

in

Accessed

on : November 18th 2014.


8. Malueka G. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia; 2007.
9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala dan Medula
Spinalis. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC; 2009.

TINJAUAN PUSTAKA

24

TRAUMA ABDOMEN
A. PENDAHULUAN
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. 1 Pada
pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal penting
dan menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup
deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada
abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di
antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera
intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang
terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma,
maupun status hemodinamik penderita.2
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu
penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan
menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ
padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap
abdomen mungkin saja dikacaukan oleh adanya intoksikasi alkohol,
penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak atau medulla spinalis
yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ yang
berdekatan seperti kosta, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang
mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma
visera atau trauma vaskuler abdomen.2
B. ANATOMI 2
Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi :
1. Abdomen Depan
Batas Superior
: Garis intermammaria
Batas Inferior
: Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
Batas Lateral
: Kedua linea axillaris anterior
2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris
anterior dan linea axillaris posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah
sampai crista iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang

25

tebal, berlainan dengan dinding otot yang lebih tipis di bagian depan,
menjadi pelindung terutama terhadap luka tusuk.
3. Punggung
Batas Superior
: Ujung bawah scapula
Batas Inferior
: Crista iliaca
Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior
Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap
trauma tajam.
Anatomi dalam dari abdomen
1. Rongga Peritoneal
a. Rongga Peritoneal Atas
Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari
dinding thorax yang mencakup diafragma, hepar, liean, gaster, dan
colon transversum.Bagian ini juga disebut sebagai komponen
thoracoabdominal dari abdomen.Pada saat diafragma naik sampai
sela iga IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga
maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa
mencederai organ dalam abdomen.
b. Rongga Peritoneal Bawah
Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon
ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita,
organ reproduksi internal.
2. Rongga Pelvis
Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya
merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian
bawah dari rongga retroperitoneal.Di dalamnya terdapat rectum, vesika
urinaria, pembuluh-pembuluh iliaca, dan pada wanita, organ reproduksi
internal.Sebagaimana halnya bagian torakoabdominal, pemeriksaan
organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang di atasnya.
3. Rongga Retroperitoneal
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang
dinding peritoneum yang melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar dari duodenum, pancreas,
ginjal dan ureter, serta sebagian posterior dari colon ascendens dan colon
descendens, dan bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada
organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari
jangkauan pemeriksaan fisik yang biasa, dan juga cedera di sini pada
26

awalnya tidak akan memperlihatkan tanda maupun gejala peritonitis.


Rongga ini tidak termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).
C. MEKANISME TRAUMA
1. Trauma Tumpul
Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur setir atau bagian mobil
lainnya dapat menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury
terhadap organ visera.Kompresi ini dapat merusak organ padat maupun
organ berongga, bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang
distensi (misalnya uterus ibu yang hamil), dan mengakibatkan perdarahan
maupun peritonitis.Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ
visera terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat-belt) tidak
digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor
bisa mengalami trauma deselerasi.2
Tekanan yang tiba-tiba mengakibatkan kerusakan terutama pada
organ yang berongga dapat pula diakibatkan oleh tekanan intraluminer
yang tiba-tiba meninggi.Organ yang rusak yang berlawanan dengan arah
trauma, terutama pada trauma dari samping disebut counter coup. Bagian
yang selalu rusak selalu permukaan lateral dan organ seperti hati dan
limpa merupakan organ yang tersering mengalami kerusakan pada
trauma tumpul.3
2. Trauma Tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi
kinetik yang lebih besar terhadap organ visera, dengan adanya efek
tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen
yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila
mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga
perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung
jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan
pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya.

27

Organ padat akan mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi
yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.2,3
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka
tusuk abdomen.Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen
yang menderita infeksi abdomen mayor.Faktor risiko paling penting
adalah adanya cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon
menyebabkan insidensi infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ
intraabdomen.Cedera

pada

pankreas

dan

hati

secara

signifikan

meningkatkan risiko infeksi ketika berkombinasi dengan cedera organ


berongga. Penggunaan antibiotik dalam pencegahan infeksi ini
didasarkan pada 3 hal, yakni pilihan agen antibiotik, durasi penggunaan
antibiotik, dan dosis optimal antibiotik.4
D. PENILAIAN TRAUMA
Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga
tidak ada cedera yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan
yang efisien dan terencana. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menganalisis
data yang didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pencitraan.5
1. Anamnesa
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma
abdomen akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan
kendaraan, jenis tabrakan, berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke
dalam ruang penumpang, jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak
air bag, posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya.2
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti
harus diarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang
dipergunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman
atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat
kejadian. Selain itu pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang
terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau dan cara
memegang alat penusuk tersebut.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang
terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil

28

analisis riwayat trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan


dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan
palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan
baik pada status.2
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan
pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat
menghilangkan gejala-gejala perut.
a. Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian.Adanya jejas
pada dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya
trauma abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian
bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun
memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda
asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar,
dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan
lengkap.
b. Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus,
yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut.Darah
bebas

di

retroperitoneum

mengakibatkan

ileus,

yang

ataupun

gastrointestinal

mengakibatkan

hilangnya

dapat
bising

usus.Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar,
tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda
rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus.
Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.
Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan
untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan
seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus
walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya
bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal.2
c. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan
mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui
adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri
atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum.2

29

Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan shifting


dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang
beranjak atau menghilang.3
d. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh
pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang
bermakna.Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan
tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal.Tujuan palpasi
adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang
dalam.Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan
dengan

cepat

menunjukkan

peritonitis,

yang

bisanya

oleh

kontaminasi isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.


e. Evaluasi Luka Tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi
eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai
95%.Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul
tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera
intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan
pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus
mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun
luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus di
laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya
superfisial dan nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding
abdomen, biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba
untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan
kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas
iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk
pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi.Akan tetapi,
karena 25-33% luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus
peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi kurang
produktif.Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur
luka diikuti sampai ditemukan ujungnya.Bila terbukti peritoneum

30

tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera


intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah
indikasi untuk melaksanakan laparotomi.Setiap pasien yang sulit kita
eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun
karena perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita
harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk
laparotomi.
f. Menilai Stabilitas Pelvis
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan
menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan
dugaan pada fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul. Harus
hati-hati karena manuver ini bisa menyebabkan atau menambah
perdarahan yang terjadi.
g. Pemeriksaan Penis, Perineum dan Rectum
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat
robeknya uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan
untuk melihat ada tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan
dugaan yang sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan rektum pada
pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus
sfingter, posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan
dugaan cedera uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur
pelvis.Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan
menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena
perforasi usus.
h. Pemeriksaan Vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur
pelvis ataupun luka tusuk.
i. Pemeriksaan Glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan
glutea.Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan
cedera intraabdominal.
3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah
dilakukan diagnosis dan terapi, sering dilakukan pemasangan kateter
gaster dan urine sebagai bagian dari resusitasi.
a. Gastric Tube

31

Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa


resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi
gaster sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang
berarti mencegah aspirasi.Adanya darah pada NGT menunjukkan
kemungkinan

adanya

cedera

esofagus

ataupun

saluran

gastrointestinal bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya


aman. Perhatian: gastric tube harus dimasukkan melalui mulut
(orogastric) bila ada kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur
basis cranii agar bisa mencegah tube masuk melalui lamina
cribiformis menuju otak.
b. Kateter Urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi
buli-buli sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary
output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan.Hematuria
menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian: ketidak
mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada
metus urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum
maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi
petunjuk agar dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa
diyakinkan tidak adanya rupture urethra sebelum pemasangan
kateter. Bilamana pada primary survey maupun secondary survey
kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan
pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang berpengalaman.
4. Pengambilan Sampel Darah dan Urin
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya
adalah menentukan tipe darah.Pada pasien yang hemodinamiknya stabil
adalah untuk penentuan tipe dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya
tidak stabil. Bersamaan dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah
rutin, kalium + glukosa + amylase (pada trauma tumpul) dan juga kadar
alkohol darah.

Walaupun kadang tidak penting, dilakukan juga

pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien yang diketahui punya


sakit lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani pemeriksaan
Rontgen dengan bahan kontras (terutama yodium) intravena. Urin
dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana diperlukan.
32

Untuk wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes


kehamilan.2 Indikasi untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang
signifikan pada dan perut/atau panggul, gross hematuria, hematuria
mikroskopis dalam pengaturan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang
signifikan.5
5. Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, tegak dan
lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di
bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitonium,
yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya
laparotomi.Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan
cedera retroperitoneal.
b. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan screening X-Ray.Pada pasien luka tusuk di
atas umbilikus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal
dengan hemodinamik yang normal, rontgen foto thorax tegak
bermanfaat untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun
untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal.Pada pasien
yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
c. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1) Ureterografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus
dilakukan uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita
curigai adanya ruptur uretra.Pemeriksaan uretrografi dilakukan
dengan memakai kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20
cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak
diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan proyeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada penis.

33

2) Sistografi
Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi.
Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras
yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan
dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1)
aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3)
pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto
post-voiding. Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT
cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.2
Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan
hematuria,

dilakukan sistografi dan ureterogram bila ada

kecurigaan cedera uretra,

terutama bila ada riwayat cedera

pelana seperti jatuh di atas setang sepeda.1


3) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
cedera sistem urinaria bias diperiksa dengan CT Scan dengan
kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana
tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan
IVP.2 Pada penderita dengan hematuria yang keadaannya stabil
harus dilakukan IVP.1
4) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens)
tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT
Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan Ro-foto untuk traktus
gastrointestinal bagian atas ataupun bagian bawah dengan
kontras harus dilakukan.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA TRAUMA TUMPUL2,6

34

Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak
perlu

dilakukan.

Beberapa

prosedur

yang

dapat

dilakukan

antara

laindiagnostik peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment


Sonography in Trauma (USG FAST).
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang
bisa dikerjakan dengan cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk
perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada pasien trauma tumpul
dengan hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:
a. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol,
kecanduan obat-obatan.
b. Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
c. Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra
lumbalis.
d. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu
yang agak lama, misalnya pasien menjalani pembiusan untuk cidera
ekstraabdominal, pemeriksaan angiografi.
f. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma
usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal apabila
dijumpai hal-hal tersebut serta apabila fasilitas USG dan CT scan tidak
memadai.
Kontraindikasi untuk DPL adalah apabila dijumpai indikasi yang jelas
untuk laparatomi. Kontaindikasi relatif lainnya antara lain operasi abdomen
sebelumnya, morbid obesiti, sirosis yang lanjut dengan adanya koagulopati
sebelumnya. Bisa dipakai teknik terbuka atau tertutup (Seldinger) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.Pada pasien dengan fraktur pelvis
maupun ibu hamil lebih baik digunakan supraumbilikal guna mencegah
terjadinya hematoma pelvis atau membahayakan uterus.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran maupun
empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik
yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada
darah segar (lebih dari 10 cc) atau cairan geses, dilakukan lavase dengan 1000
cc (10 cc/kgBB) larutan Ringer Laktat. Sesudah cairan tercampur dengan cara
menekan maupun melakukan log-roll, cairan ditampung kembali dan
35

diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal, serat maupun


empedu. Tes dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari
100.000 /mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk
bakteri.
Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan
murah untuk mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun.
Ultrasound juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside di kamar
resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
DPL. Faktor yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas,
adanya udara subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya.
Scanning dengan ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi
hemoperitoneum. Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis,
fossa splenorenalis serta cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya
dilakukan lagi scan kedua atau scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol
ditujukan untuk melihat pertambahan hemoperitoneum pada pasien dengan
perdarahan yang berangsur-angsur.
CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu
memindahkan pasien ke tempat scanner, memberikan kontras intravena untuk
pemeriksaan abdomen atas, bawah serta pelvis. Akibatnya, dibutuhkan
banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil,
di mana kita tidak perlu segera melakukan laparatomi.Dengan CT scan kita
memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakannya, serta mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun
pelvis yang sulit didiagnosis dengan pemeriksaan fisik, FAST, dan DPL.
Kontraindikasi relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang
terjadi sampai alat CT scan siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang
tidak kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, atau alergi
terhadap bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak
tersedia.
Tabel 1. Perbandingan Prosedur Diagnostik DPL, FAST dan CT Scan

Indikasi

DPL
Menunjukkan

FAST
Menunjukkan
36

CT Scan
Menunjukkan

darah
Keuntungan

bila cairan

bila kerusakan

hipotensif
hipotensi
Deteksi dini, semua Deteksi
pasien, cepat 98% semua
sensitif,

bila tensi normal


dini, Lebih
spesifik
pasien, untuk

deteksi non-invasif,

cedera usus, tidak cepat,


butuh transpor

organ

cedera,

sensitivitas

92-

86-97% 98%

akurat,

tidak

membutuhkan
Kerugian

transport
Invasif, spesifisitas Bergantung

Memakan waktu,

rendah, tidak bisa operator, distorsi dibutuhkan


untuk

trauma oleh udara usus, transpor,

diafragma

dan tidak bisa untuk untuk

retroperitoneal

tidak
trauma

trauma diafragma, diafragma,

usus,

usus dan pankreas dan pankreas


F. INDIKASI LAPAROTOMI2,8,9
1. Indikasi berdasarkan evaluasi abdomen
a. Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL) positif atau Ultrasound.
b. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun
diadakan resusitasi yang adekuat.
c. Peritonitis dini atau yang menyusul.
d. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari akibat
trauma tembus.
e. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum
viseral/vaskular.
f. Eviserasi (pengeluaran isi usus).
2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen
a. Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma
setelah trauma tumpul.
b. CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinal,
cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau
cedera organ viseral yang parah setelah trauma tumpul atau tembus.
G. PROBLEM KHUSUS 2
1. Trauma Tumpul

37

Organ yang sering terkena pada trauma tumpul adalah hepar, lien,
maupun

ginjal.Walaupun

demikian,

dengan

semakin

banyaknya

penggunaan seat-belt, semakin banyak ruptur organ berongga, truma


spinal, dan ruptur uterus terjadi.
2. Trauma Spesifik
a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi di bagian manapun pada kedua
diafragma; yang paling sering mengalami cedera adalah diafragma
kiri.Cedera biasanya 5-10 cm panjangnya dengan lokasi di
posterolateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto toraks awal
akan terlihat diafragma yang lebih tinggi ataupun kabur, bisa berupa
hemothoraks ataupun adanya bayangan udara yang membuat
gambaran diafragma menjadi kabur, ataupun kelihatannya NGT yang
terpasang didalam gaster terlihat di toraks.
b. Duodenum
Ruptur duodenum ditemukan pada pengendara yang tidak
menggunakan sabuk pengaman pada kejadian tubrukan frontal
dengan pukulan langsung pada abdomen, misalnya kena stang motor.
Adanya

aspirasi

retroperiuneum

darah
pada

dari

rontgen

gaster

ataupun

foto

abdomen

adanya

udara

menyebabkan

kecurigaan akan terjadinya cedera duodenum. Untuk pasien yang


dicurigai, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen gastrointestinal atas
maupun CT Scan dengan double-contrast.
c. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di
epigastrum, dengan kolumna vertebralis sebagai alas.Adanya
amilase

yang

normal

pada

awalnya

tidak

menyingkirkan

kemungkinan cedera pankreas. Bisa juga sebaliknya, terjadi


peninggian kadar amilase dengan sumber diluar pankreas. Kecuali
bila secara konstan didapatkan peninggian kadar amilase, maka
harus diperiksa kemungkinan adanya cedera pankreas ataupun
viscera lainnya. Pada 8 jam pertama pasca trauma, pemeriksaan
dengan CT dengan double contrast bisa saja belum menunjukkan
cedera pankreas, dan sebaiknya dilakukan ulang pemeriksaannya.
Bila pemeriksaan CT ulang tidak menunjukkan perbedaan,
38

dianjurkan melakukan tindakan eksplorasi bedah atau alternatif lain


yang mungkin bermanfaat seperti Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP).
d. Genitourinaria
Pukulan langsung pada bagian punggung ataupun flank bisa
menyebabkan

kontusio,

hematoma,

ataupun

ekimosis

yang

merupakan tanda adanya kerusakan ginjal dibawahnya, dan sehingga


perlu dilakukan pemeriksaan traktus urinarius dengan CT scan
ataupun IVP. Indikasi tambahan untuk perlunya pemeriksaan traktus
urinarius adalah gross-hematuria maupun hematuria mikroskopis
pada pasien dengan:
1) Luka tusuk tembus abdomen.
2) Pasien trauma tumpul dengan serangan hipotensi.
3) Adanya cedera intraabdominal lain pada trauma tumpul
abdomen.
Pada pasien dengan cedera uretra biasanya dijumpai fraktur
pelvis bagian depan. Cedera uretra dibedakan atas cedera diatas
(posterior) ataupun dibawah (anterior) diafragma urogenitalis.Ruptur
uretra posterior biasanya merupakan cedera pada pasien dengan
cedera multisistem dan fraktur pelvis, sedangkan ruptur uretra
anterior biasanya disebabkan straddle injury dan biasanya cedera
yang terisolir.
e. Usus halus
Trauma tumpul usus halus biasanya terjadi karena adanya
deselerasi tiba-tiba dengan efek robeknya pada bagian yang terfiksir,
terutama bila pemakaian seat-belt yang tidak tepat. Adanya jejas
yang transversal, linear pada dinding perut (seat-belt sign) ataupun
adanya fraktur distraksi lumbar (chance fracture) pada x-ray harus
dicurigai kemungkinan adanya cedera pada usus. Pada sebagian
pasien ada sakit perut yang hebat dengan nyeri tekan.Pada sebagian
lagi diagnosa agak sulit karena perdarahan yang minimal terjadi pada
organ yang tertarik.
f. Cedera organ padat
Cedera pada hepar, lien, ataupun ginjal yang mengakibatkan
syok, instabilitas hemodinamik maupun bukti klinis adanya
perdarahan yang masih berlangsung menjadi indikasi perlunya
39

dilakukan laparotomi.Cedera organ padat dengan hemodinamik yang


normal sering berhasil ditangani secara konservatif; pasien seperti ini
harus dirawat untuk observasi yang ketat.
3. Fraktur pelvis dan cedera yang berhubungan
Tulang sakrum dan tulang-tulang innominate (ilium, ischium, dan
pubis) beserta struktur ligamen akan membentuk pelvis. Bila terjadi
fraktur tulang maupun cedera ligamen, maka dapat disangkakan bahwa
pasien telah mengalami pukulan yang cukup kuat.Fraktur pelvis erat
hubungannya dengan cedera intraperitoneal maupun retroperitoneal, baik
organ visera maupun pembuluh darahnya.Insidensi robeknya aorta
abdominalis cukup tinggi pada pasien dengan fraktur pelvis, terutama
yang jenisnya anteroposterior.

DAFTAR PUSTAKA
TRAUMA ABDOMEN
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011, Bab
6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter
Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk Factors
and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-35
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.
[Accessed 8th January 2012]
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST Practice
Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital, 2001, p; 2-27
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.
Committee on Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:

40

8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal


Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev
Med2003; 54: 1-15
9. Sivit, C.J. Abdominal

Trauma

Imaging:

Imaging

Appropriateness. Pediatr Radiol 2009; 39: S158-S160

41

Choices

and

Anda mungkin juga menyukai