CEDERA KEPALA
A. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.1
B. EPIDEMIOLOGI
Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat,
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan
pada semua tingkat usia. Di Amerika, terdata 1,5 juta orang mengalami
cedera kepala per tahun dan 75% diantaranya termasuk dalam cedera kepala
ringan. Di Eropa, tercatat 91 kasus per 100.00 orang mengalami cedera
pertahunnya.
Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka
kejadian trauma kapitis, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di
rumah sakit di seluruh Indonesia. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-24 tahun.
C. ETIOLOGI
Kecelakaan lalu lintas merupakan 48-53% dari insiden cedera kepala, 2028% lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi.
D. ANATOMI
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
11
13
Serebellum
bertanggung
jawab
dalam
fungsi
14
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countercoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.1,6
15
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup.
Fracture
dasar
tengkorak
biasanya
memerlukan
16
darah
yang
terjadi
tidak
berlangsung
lama.
denggan
status
neurologis
penderita
sebelum
17
dengan
epidural
hematom.
Batas
medial
18
hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.3
G. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
2. Foto Polos Kepala
Indikasi :
a. Riwayat pingsan
b. Adanya gejala neurologis seperti diploplia, vertigo, muntah, atau
sakit kepala
c. Adannya otorrhea atau rhinorrhea
d. Adanya kecurigaan luka tembus kepala
3. Foto Servikal
Indikasi
a. Pada penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
b. Penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher
c. Adanya jejas di atas klavikula
d. Adanya kecurigaan trauma servikal
4. CT Scan
Indikasi
a. GCS <15 atau terdapat penurunan kesadaran 1 point selama
observasi
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda fraktur basis crania
d. Kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap
5. MRI
Indikasi sama dengan CT Scan, namun MRI memiliki beberapa
kelebihan dibanding CT Scan dalam hal ketelitian.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal
penderita
cedara
kepala
pada
dasarnya
20
Waktu kecelakaan
Tempat kejadian
Memakai helm/tidak (untuk pengguna sepeda motor)
Mekanisme cedera
Adanya pingsan atau tidak dan durasinya
Keadaan setelah kejadian
Adanya pengaruh alcohol dan obat-obatan
Riwayat penyakit sebelumnya
Pada pasien yang sadar, ditanyakan penglihatan kabur, penglihatan
ganda, baal atau kelemahan ekstremitas, dan lama PTA (post
21
3. Gejala dan tanda deficit neurologis, termasuk sakit kepala dan muntahmuntah.
4. Sulit melakukan penilaian terhadap penderita, sepertipada pengaruh
alcohol, obat, atau usia yang sudah lanjut sekali.
5. Adanya keadaan medisnyang menyertai seperti epilepsy.
6. Sulitnya atau tidak ada orang sekitarnya yang dapat mengawasi keadaan
pasien.
7. Jarak dari rumah penderita ke rumah sakit sangat jauh sehingga tidak
memungkinkan penderita kembali ke rumah sakit dalam waktu singkat,
jika dibutuhkan.
8. Adanya criteria risiko sedang dan risiko tinggi pada penderita.
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Kriteria risiko yang dimaksud diatas adalah criteria yang dibuat setelah
pemeriksaan klinis untuk membedakan penderita terhadap kemungkinan
adanya risiko cedera intracranial. Dalam hal ini dibagi atas1 :
1. Resiko Rendah
a. Asimptomatik
b. Sakit kepala
c. Pusing
d. Hematom, laserasi, kontusio, taua abrasi scalp
2. Resiko Sedang
a. Riwayat penurunan kesadaran pada saat kejadoan atau sesudahnya
b. Sakit kepala yang progressif
c. Intoksikasi obat atau alcohol
d. Kejang post-trauma
e. Mekanisme trauma tidak jelas
f. Usia < 2 tahun
g. Muntah
h. PTA
i. Tanda-tanda fraktur basis crania
j. Multiple trauma
k. Cedera wajah yang serius
l. Dugaan fraktur depressed/penetrasi
m. Dugaan child abuse
3. Resiko Tinggi
a. Penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas
b. Tanda neurologis fokal
c. Fraktur depressed
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untukmemberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukandalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
22
hiperventilasi,pemberian
manitol,
steroid,
furosemid,
barbitirat
dan
I. KOMPLIKASI
1. Non Bedah
a. Kejang Post Traumatika
b. Infeksi
c. Gangguan Keseimbangan Cairab dab Elektrolit
d. Gangguan Gastrointestinal
e. Neurogenic Pulmonary Edema
2. Bedah
a. Hematome Intrakranial
b. Hidrosefalus
c. Subdural Hematom Kronis
d. Cedera Kepala Terbuka
e. Kebocoran CSS
23
DAFTAR PUSTAKA
CEDERA KEPALA
1. Japardi I. Cedera Kepala ; Memahami Aspek-Aspek Penting Dalam
Pengelolaan Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer ; 2004.
2. Price S, Wilson L. Cedera Sistem Saraf Pusat. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Ed : Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA.
6th ed. Jakarta : EGC ; 2005. P. 1171-1177
3. American College of Surgeons, Advance Trauma Life Suport. United States
of America: Firs Impression ; 1997.
4. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. Jakarta : EGC ; 1995.
5. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah.In : Hafid A, ed. Jakarta: EGC; 2007.
6. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Trauma Susunan Saraf. Neurologi
Kilinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta; 2003, 254-259.
7. David
B.
Head
Injury.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview#a0199.
in
Accessed
TINJAUAN PUSTAKA
24
TRAUMA ABDOMEN
A. PENDAHULUAN
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. 1 Pada
pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal penting
dan menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup
deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada
abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada di
antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera
intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang
terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma,
maupun status hemodinamik penderita.2
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu
penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan
menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ
padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap
abdomen mungkin saja dikacaukan oleh adanya intoksikasi alkohol,
penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak atau medulla spinalis
yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ yang
berdekatan seperti kosta, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang
mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma
visera atau trauma vaskuler abdomen.2
B. ANATOMI 2
Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi :
1. Abdomen Depan
Batas Superior
: Garis intermammaria
Batas Inferior
: Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
Batas Lateral
: Kedua linea axillaris anterior
2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris
anterior dan linea axillaris posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah
sampai crista iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang
25
tebal, berlainan dengan dinding otot yang lebih tipis di bagian depan,
menjadi pelindung terutama terhadap luka tusuk.
3. Punggung
Batas Superior
: Ujung bawah scapula
Batas Inferior
: Crista iliaca
Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior
Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap
trauma tajam.
Anatomi dalam dari abdomen
1. Rongga Peritoneal
a. Rongga Peritoneal Atas
Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari
dinding thorax yang mencakup diafragma, hepar, liean, gaster, dan
colon transversum.Bagian ini juga disebut sebagai komponen
thoracoabdominal dari abdomen.Pada saat diafragma naik sampai
sela iga IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga
maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa
mencederai organ dalam abdomen.
b. Rongga Peritoneal Bawah
Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon
ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita,
organ reproduksi internal.
2. Rongga Pelvis
Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya
merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian
bawah dari rongga retroperitoneal.Di dalamnya terdapat rectum, vesika
urinaria, pembuluh-pembuluh iliaca, dan pada wanita, organ reproduksi
internal.Sebagaimana halnya bagian torakoabdominal, pemeriksaan
organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang di atasnya.
3. Rongga Retroperitoneal
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang
dinding peritoneum yang melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar dari duodenum, pancreas,
ginjal dan ureter, serta sebagian posterior dari colon ascendens dan colon
descendens, dan bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada
organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari
jangkauan pemeriksaan fisik yang biasa, dan juga cedera di sini pada
26
27
Organ padat akan mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi
yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.2,3
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka
tusuk abdomen.Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen
yang menderita infeksi abdomen mayor.Faktor risiko paling penting
adalah adanya cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon
menyebabkan insidensi infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ
intraabdomen.Cedera
pada
pankreas
dan
hati
secara
signifikan
28
di
retroperitoneum
mengakibatkan
ileus,
yang
ataupun
gastrointestinal
mengakibatkan
hilangnya
dapat
bising
usus.Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar,
tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda
rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus.
Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.
Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan
untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan
seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus
walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya
bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal.2
c. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan
mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui
adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri
atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum.2
29
cepat
menunjukkan
peritonitis,
yang
bisanya
oleh
30
31
adanya
cedera
esofagus
ataupun
saluran
33
2) Sistografi
Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi.
Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras
yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan
dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1)
aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3)
pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto
post-voiding. Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT
cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.2
Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan
hematuria,
34
Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak
perlu
dilakukan.
Beberapa
prosedur
yang
dapat
dilakukan
antara
Indikasi
DPL
Menunjukkan
FAST
Menunjukkan
36
CT Scan
Menunjukkan
darah
Keuntungan
bila cairan
bila kerusakan
hipotensif
hipotensi
Deteksi dini, semua Deteksi
pasien, cepat 98% semua
sensitif,
deteksi non-invasif,
organ
cedera,
sensitivitas
92-
86-97% 98%
akurat,
tidak
membutuhkan
Kerugian
transport
Invasif, spesifisitas Bergantung
Memakan waktu,
diafragma
retroperitoneal
tidak
trauma
usus,
37
Organ yang sering terkena pada trauma tumpul adalah hepar, lien,
maupun
ginjal.Walaupun
demikian,
dengan
semakin
banyaknya
aspirasi
retroperiuneum
darah
pada
dari
rontgen
gaster
ataupun
foto
abdomen
adanya
udara
menyebabkan
yang
normal
pada
awalnya
tidak
menyingkirkan
kontusio,
hematoma,
ataupun
ekimosis
yang
DAFTAR PUSTAKA
TRAUMA ABDOMEN
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011, Bab
6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter
Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk Factors
and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-35
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.
[Accessed 8th January 2012]
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST Practice
Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital, 2001, p; 2-27
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.
Committee on Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:
40
Trauma
Imaging:
Imaging
41
Choices
and