Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kentang
Kentang merupakan salah satu jenis sayuran penting dikembangkan di Indonesia.
Bedasarkan volumenya kentang merupakan bahan pangan keempat di dunia setelah padi,
jagung, dan gandum. Kentang hanya dapat hidup di daerah dataran tinggi sekitar 1000 - 3000
meter di atas permukaan laut. Kentang merupakan salah satu jenis tanaman umbi yang dapat
memproduksi makanan bergizi lebih banyak dan lebih cepat, kentang memiliki kandungan
protein tertinggi dibandingkan dengan umbi-umbian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
kentang memiliki potensi dan prospek yang baik untuk mendukung program diversifikasi
dalam pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan ( Hartus, 2009).
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis tanaman
hortikultura yang dapat dikonsumsi umbinya. Saat ini pendayagunaan kentang sudah semakin
luas. Kentang selain digunakan sebagai bahan pangan, juga digunakan sebagai bahan baku
industri, pakan dan berpotensi untuk biofarmaka. Oleh sebab itu, tanaman kentang memiliki
prospek yang cukup baik apabila dikembangkan di Indonesia (Minarsih, 2004).
Kapasitas produksi kentang di negara indonesia semakin menjadi perhatian khusus.
Menurut data BPS (2011), produksi kentang di Indonesia terus mengalami penurunan dari
tahun 2009-2011. Tercatat, produksi kentang di tahun 2009 sebesar 1.176.304 ton dengan
produktivitas sebesar 16,51 ton/ha, tahun 2010 turun menjadi 1.060.805 ton dengan
produktivitas sebesar 15,94 toh/ha dan di tahun 2011 produksi hanya sebesar 995.488 ton
dengan produktivitas sebesar 15,96 ton/ha, dan apabila dibandingkan dengan beberapa negara
penghasil kentang lainnya masih tergolong rendah. Akibat hal ini, untuk memenuhi
kebutuhan kentang dalam negeri sampai saat ini masih import. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan dalam negeri menurut Bachrein et al., (1997) dengan meningkatkan produktivitas
kentang ditingkat petani melalui intensifikasi, salah satunya melalui penggunaan bibit yang
bermutu dan pengelolaan yang intensif.
Kendala pengembangan kentang bagi para petani adalah sulitnya memperoleh kultivar
yang sesuai dengan lingkungan fisik dan pasar serta tahan terhadap serangan hama dan

penyakit tanaman (Rainiyati, 1997). Purwito et al.,(1995) menyatakan bahwa kendala utama
produksi kentang di Indonesia antara lain tidak tersedianya kultivar standar yang sesuai
dengan lingkungan Indonesia, bibit kentang masih import dan adanya beberapa penyakit yang
sulit dikendalikan seperti virus, hawar daun, layu bakteri, dan nematoda yang tertular melalui
bibit dan akan terakumulasi sepanjang terus diperbanyak secara vegetatif dengan umbi.
Menurut Karyadi (1997) usaha yang dapat ditempuh dalam penyediaan bibit yang bebas
penyakit adalah dengan penyediaan propagul kentang bebas virus melalui kultur jaringan
tanaman. Perbanyakkan tanaman secara kultur jaringan tanaman mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional yaitu bebas penyakit,
cepat dalam jumlah besar dan tidak tergantung musim (Wattimena,1986 dalam Karyadi,
1997).
2.2 Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali. Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi
menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat
fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika
kondisinya sesuai. Sel-sel tersebut merupakan kesatuan biologis terkecil yang mempunyai
kemampuan untuk mengadakan berbagai aktivitas hidup, seperti: metabolisme, reproduksi,
pertumbuhan dan beregenerasi (Gaba,2005).
Keberhasilan kultur jaringan tanaman dalam perbanyakan tanaman mikro tanaman
kentang tergantung pada media yang digunakan. Menurut Wattimena (2000) tanaman kentang
dapat diperbanyak secara kultur jaringan dengan menggunakan media MS. Menurut Gamborg
dan Shyluk (1981) media MS dicirikan dengan kandungan garam-garam anorganik yang
tinggi. Media MS merupakan media yang sangat luas pemakaiannya karena mengandung
unsur hara makro dan mikro yang lengkap sehingga dapat digunakan untuk berbagai spesies
tanaman (Mardin, 2002). Lebih lanjut Marlina (2004) menyatakan bahwa media MS sering
digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan
tanaman.

Pertumbuhan mikro sangat tergantung pada interaksi antara zat pengatur tumbuh (ZPT)
eksogen yang ditambahkan ke dalam media dan zat pengatur tumbuh endogen. ZPT yang
sering digunakan dalam kultur jaringan adalah golongan auksin dan sitokinin. Salah satu
sumber ZPT alami adalah air kelapa. Menurut Hendaryono et al., (1994) dalam air kelapa
terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas seperti sitokinin. Penambahan air kelapa
ke dalam media kultur diharapkan dapat menggantikan ZPT sintetik golongan sitokinin
sehingga biaya untuk perbanyakan tanaman secara kultur jaringan akan lebih ekonomis,
disamping itu kandungan unsur-unsur hara dalam air kelapa dapat meningkatkan kandungan
hara dalam media untuk mendukung pertumbuhan eksplan.
2.3

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam
jaringan tanaman (Davies, 1995; Gaba, 2005). Perannya antara lain mengatur kecepatan
pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna
menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di
dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta
fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al., 2004; George, 1993; Dodds dan Roberts, 1982).
Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur
tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen
yang diproduksi oleh jaringan tanaman (Winata, 1987).
2.3.1 Auksin
Auksin adalah senyawa asam asetat dengan gugus indol bersama derivatnya. Pusat
pembentukan auksin adalah ujung keleoptil (pucuk tumbuhan). Jika terkena cahaya
matahari, auksin akan mengalami kerusakan sehingga menghambat pertumbuhan
tumbuhan. Hal ini menyebabkan batang membelok ke arah datangnya cahaya karena
pertumbuhan bagian yang tidak terkena cahaya, lebih cepat daripada bagian yang terkena
cahaya (Dewi, 2008).
Auksin banyak diproduksi di jaringan meristem pada bagian ujung-ujung tumbuhan,
seperti kuncup bunga, pucuk daun dan ujung batang. Auksin tersebut disebarkan ke
seluruh bagian tumbuhan, tetapi tidak semua bagian mendapat bagian yang sama. Bagian
yang jauh dari ujung akan mendapatkan auksin lebih sedikit (Dewi, 2008).

Auksin digunakan secara komersial di dalam perbanyakan vegetatif tumbuhan melalui


stek. Suatu potongan daun, maupun potongan batang, yang diberi serbuk pengakaran
yang mengandung auksin, seringkali menyebabkan terbentuknya akar adventif dekat
permukaan potongan tadi. Auksin juga terlibat di dalam pembentukan percabangan akar.
Beberapa peneliti menemukan bahwa dalam mutan Arabidopsis, yang memperlihatkan
perbanyakan akar lateral yang ekstrim ternyata mengandung auksin dengan konsentrasi
17 kali lipat dari konsentrasi yang normal (Dewi, 2008).
Penelitian Nurhafni (2013), menunjukkan hasil bahwa pemberian beberapa
konsentrasi NAA terlihat pengaruhnya mulai dari pemberian 0,2 ppm, makin
ditingkatkan pemberian NAA akan mempengaruhi panjang akar. Hal ini jelas bahwa
dengan pemberian NAA dan Ekstrak jagung muda menunjukkan peran yang saling
mendukung untuk pertumbuhan panjang akar. Pemberian NAA 0,8 ppm menghasilkan
pertumbuhan akar yang lebih baik, karena fungsi NAA merangsang perakaran dan NAA
mengandung unsur makro dan mikro yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan
akar.
Menurut Gunawan (2008), pertumbuhan tanaman akan dapat tumbuh optimal bila
unsur hara yang tersedia dalam media, dan pemberian zat pengatur tumbuh lain
seimbang sehingga mendapat respon yang baik. Panjang akar merupakan hasil
perpanjangan sel sel dibelakang meristem ujung, semakin panjang akar diharapkan
bidang penyerapan unsur hara semakin luas.
Menurut Rukmana (2009), zat pengatur tumbuh auksin NAA merangsang
pertumbuhan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan akar akar dan panjang akar
yang menyebabkan tanaman dapat menyerap air beserta unsur hara yang lebih banyak
untuk pertumbuhan tanaman kentang.
2.3.2 Giberelin
Giberelin ditemukan di Jepang dalam penelitian mengenai penyakit padi yang
menyebabkan tanaman tumbuh sangat tinggi. Tanaman tak dapat tegak dan kemudian mati
akibat lemahnya batang dan kerusakan oleh parasit. Sejak 1890-an orang Jepang telah
mengenal penyakit ini, disebut penyakit bakanae yang disebabkan oleh jamur Gibberella
fujikuroi. Tahun 1926, ahli penyakit tanaman menemukan bahwa ekstrak dari jamur ini bila

diberikan pada tanaman padiakan menyebabkan gejala yang sama dengan serangan
langsung. Tahun 1930-an T. Yabuta dan T. Hayashi dapat mengisolasikan senyawa aktif dari
jamur ini dan disebut dengan giberelin (lakitan, 1996).
Beberapa fungsi giberelin pada tumbuhan sebagai berikut (Santoso dan Fatimah, 2004) :
1.

Mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga tanaman

dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses pembelahan sel.
2.
3.

Meningkatkan pembungaan.
Memacu proses perkecambahan biji. Salah satu efek giberelin adalah mendorong

terjadinya sintesis enzim dalam biji seperti amilase, protease dan lipase dimana enzim
tersebut akan merombak dinding sel endosperm biji dan menghidrolisis pati dan protein
yang akan memberikan energi bagi perkembangan embrio diantaranya adalah radikula
yang akan mendobrak endosperm, kulit biji atau kulit buah yang membatasi
pertumbuhan/perkecambahan biji sehingga biji berkecambah
4.
5.

Berperan pada pemanjangan sel.


Berperan pada proses partenokarpi. pada beberapa kasus pembentukan buah dapat

terjadi tanpa adanya fertilisasi atau pembuahan, proses ini dinamai partenokarpi.
Giberelin (GA) merupakan kelompok lainnya dari zat pengatur tumbuh atau hormon.
Kelompok ini dicirikan dengan adanya struktur dasar kimia yang disebut rangka gibbane.
Meskipun telah banyak ditemukan berbagai bentuk GA dengan berbagai variasi aktivitas
biologinya, ternyata hanya 2-3 saja yang dapat dikatakan komersil salah satunya Giberelin
acid (GA3). Dari tanaman telah dijumpai 72 jenis GA. GA ada yang mengelompokan
menjadi 2, yaitu : GA dengan jumlah karbon 19, merupakan kelompok yang paling aktif dan
GA dengan jumlah karbon 20. GA sintetik yang paling banyak dipasaran dalah GA3 disusul
GA4, GA7 dan GA9 yang semuanya termasuk dalam kelompok berkarbon 19 (Santoso dan
Fatimah, 2004).
GA3 yang lazim digunakan tampaknya yang paling lambat terurai, namun selama
pertumbuhan aktif, sebagian besar giberelin dimetabolismekan dengan cepat melalui proses
hidroksilasi, menghasilkan produk yang tidak aktif. Juga, giberelin dengan mudah diubah
menjadi konjugat yang sebagian besar tidak aktif. Konjugat ini mungkin disimpan atau
dipindahkan sebelum dilepaskan pada saat dan tempat yang tepat. Konjugat yang dikenal
meliputi glukosida, yang glukosanya dihubungkan dengan ikatan eter pada salah satu gugus

OH atau dengan ikatan ester pada gugus karboksil giberelin tersebut. Proses metabolik
penting lainnya ialah perubahan giberelin yang aktif sekali menjadi kurang aktif (Salisbury
and Ross, 1995).
GA dapat merangsang pertumbuhan batang pada strain pendek kacang kapri dan
sebagian strain pendek jagung. GA juga mengingkatkan besaran daun beberapa jenis
tumbuhan. Demikian juga besar bunga dan buah dapat ditingkatkan. Giberelin dapat pula
memecahkan dormansi biji dan tunas pada sejumlah tanaman. Respon terhadap giberelin
meliputi peningkatan pembelahan sel dan pembesaran sel. Giberelin lebih efektif pada
tanaman utuh (Heddy, 1996)
.
Hasil penelitian yang dilakukan Karjadi (1995) menunjukkan bahwa pemberian giberelin
memacu pertumbuhan dan air kelapa menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik dan
tanaman lebih berwarna hijau serta batangnya tegar. Penambahan 50 ml air kelapa dan 10
mg/l giberelin cukup efektif untuk perbanyakan stek kentang dari eksplan pucuk dan ruas
kentang kultivar Segunung, Cipanas, Granola dan Atlantic.
2.4 Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi dari suatu
organisme terhadap suatu lingkungan baru yang akan dimasukinya. Hal ini didasarkan pada
kemampuan organisme untuk dapat mengatur morfologi, perilaku, dan jalur metabolisme
biokimia di dalam tubuhnya untuk menyesuaikannya dengan lingkungan. Beberapa kondisi
yang pada umumnya disesuaikan adalah suhu lingkungan, derajat keasaman (pH), dan kadar
oksigen. Proses penyesuaian ini berlangsung dalam waktu yang cukup bervariasi tergantung
dari jauhnya perbedaan kondisi antara lingkungan baru yang akan dihadapi, dapat
berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu (Yusnita, 2003).
Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi
planlet. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan
intensitas cahaya rendah dan kelembapan nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur
kelembapannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan. Tahap ini merupakan tahap
yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat
berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur (Yusnita, 2003).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian tentang pengaruh konsentrasi NAA terhadap pertumbuhan tunas adventif
Solanum tuberosum L. dalam perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan ini
dilaksanakan pada tanggal 24 Mei sampai dengan 24 Juni 2016. Bertempat di Laboratorium
Kultur Jaringan Tanaman UPT Pengembangan Kebun dan Benih Hortikultura Jl. Bukit
Berbunga No. 33 Sidomulyo Kota Batu.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalm praktikum ini adalah:
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Botol kultur
2. Autoklaf
3. Lamina Air Flow
4. Gunting
5. Pinset
6. Pipet tetes
7. Corong
8. Jarum injeksi
9. Karet gelang
10. Kamera
11. Scapel
12. Gelas ukur
13. Bunsen
14. Beaker Glas
15. Gelas Aqua 200 ml
16. Gelas piala 1000 ml
17. Panci
18. Kompor gas
19. Tisu basah steril
20. Sendok stainles
21. Kertas label
22. PH meter
23. Timbangan
24. Keranjang botol eksplan
25. Rak kultur
26. Plastik

9 buah
1 buah
1 buah
1 buah
3 buah
1 buah
1 buah
1 buah
9 buah
1 buah
1 buah
100 ml
1 buah
100 ml
2 buah
1 buah
1 buah
1 buah
3 buah
1 buah
9 buah
1 buah
1 buah
1 buah
1 buah

3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Tunas adventif Solanum tuberosum.L
1 buah
2. Media Murashige dan Skoog (MS)
100 ml
3. Zat pengatur tumbuh NAA
0,6 ppm
4. Alkohol 70%
1L

9 buah

5. Clorox 10%
6. Aquades steril
7. Aquades
8. NaOH 1N
9. HCl 1N
10. Gula
11. Agar
12. Deterjen

1L
1L
1L
Secukupnya
Secukupnya
30 gr/L
8 gr/L
50 gr

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Pembuatan Media
Pembuatan media MS untuk 100 ml, yaitu pengambilan larutan stok media dimana
setiap konsentrasi staok media dikali 1, dimasukkan semua komposisi media kedalam
panci, masak sampai mendidih, ditambahkan gula 30 gr/L dan agar-agar 8 gr/L dan diaduk
sampai larut.ditambahkan Zat pengatur tumbuh, dalam hal ini penambahan Zat pengatur
tumbuh ke media dibedakan dalam beberapa konsentrasi yaitu dengan konsentrasi 0 ppm
(kontrol), 0,1 ppm dan 0,5 ppm. Selanjutnya diukur pH larutan agar stabil dengan
ditambahkan HCL 1N dan NaOH 1N sehingga pH media MS antara 5,6-5,8. Kemudian
larutan media MS dituangkan kedalam botol kultur 20 ml dan ditutup menggunakan
plastik, diikat dengan karet gelang dan di sterilisasi menggukan autoklaf pada suhu 121oC,
tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.3.2 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat (pinset dan scalpel) yang akan digunakan untuk kultur jaringan, setelah dicuci
dan dikeringkan kemudian dibungkus menggunakan plastic serta aquades disterilkan
menggunakan autoklaf dengan cara mengisikan air aquades tersebut kedalam botol-botol
kultur dengan isi setengah botol kaca 300 ml, botol tersebut ditutup dengan plastik dan
diikat dengan karet dan disterilisasi didalam autoklaf dengan suhu 121 oC, tekanan 1 atm
selama 20-30 menit. Alat-alat tanam seperti pinset dan scalpel disterilkan setiap akan
dipakai dengan dicelupkan kedalam alcohol 70% kemudian dibakar pada api Bunsen.
Sedangkan botol-botol eksplan yang sudah berisi media MS ditutup menggunakan plastik
dan karet gelang. Kemudian disterilisasi selama 15 menit, tetapi suhu dan tekanannya
sama.

3.3.3 Sterilisasi Lingkungan Kerja


Sebelum digunakan, Laminar Air Flow Cabinet harus disterilisasi dengan
menggunakan handsprayer menggunakan spirtus atau alkohol 70% dan dilakukan
penyinaran dengan sinar UV selama 30 menit, baru kemudian boleh digunakan.
3.3.4 Pemilihan dan sterilisasi Eksplan

Bahan yang digunakan sebagai eksplan sebaiknya berasal dari bagian tanaman yang
masih muda dan sehat(Hartanto,2009). Maka dari itu eksplan yang digunakan diambil
dari lapang (rumah kasa UPT Pengembangan Kebun dan Benih Hortikultura) yaitu bagian
utama yang digunakan adalah tunas adventif dari tanaman Solanum tuberosum L. Tunas
yang diambil kemudian dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan air mengalir,
kemudian Eksplan diletakkan didalam toples yang berisi air dan deterjen kemudian
dikocok (shaker) selama 10 menit. Selanjutnya eksplan di sterilisasi dengan menggunakan
larutan Clorox 10% selama 10 menit.
3.3.5 Penanaman Eksplan
Penanaman eksplan dilakukan didalam Laminar Air Flow Cabinet. Eksplan yang telah
dipotong dengan ukuran 0,1-0,3cm. ditanam di botol-botol kultur yang berisi media MS
dengan bantuan pinset yang telah disterilisasi. Botol kultur ditutup rapat dengan
menggunakan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kultur selanjutnya diletakkan
dalam rak-rak kultur. Eksplan dalam botol kultur diamati setiap 3 hari selama 1 bulan.
Botol-botol kultur yang telah menunjukkan adanya eksplan yang terkontaminasi oleh
jamur segera dipisahkan untuk menghindari penyebaran jamur ke botol kultur yang lain
sedangkan kontaminasi oleh bakteri tidak perlu dipisahkan sampai akhir pengamatan.

Anda mungkin juga menyukai