Anda di halaman 1dari 6

Tahun 2014

Hal: 1 dari 6

BIOPELSA BIOETANOL PELEPAH SAWIT (Elaeis guineensis) UPAYA MENGEKSPLORASI


POTENSI LIMBAH PERKEBUNAN SAWIT SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN
Nada Mawarda Rilek 135100301111067
Luristya Nur Mahfut 135100301111018
Devy Setyana 105100701111039
Universitas Brawijaya, Fakultas Teknologi Pertanian, Teknologi Industri Pertanian
Abstrak
Salah satu permasalahan di Indonesia adalah produksi minyak bumi tidak dapat mengimbangi besarnya
konsumsi bahan bakar minyak. Berbagai pihak mulai mengembangkan sumber energi alternatif, diantaranya
ialah bioetanol. Namun bioetanol yang dikembangkan banyak menggunakan bahan berpati dan berkarbohidrat
sehingga menimbulkan kontradiksi terhadap kebutuhan bahan pangan. Bahan lain yang potensial dikembangkan
sebagai bioetanol yaitu bahan berselulosa karena dapat didegradasi menjadi senyawa glukosa yang dapat
difermentasi menjadi bioetanol. Bahan berselulosa yang potensial dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol
adalah pelepah sawit. Pelepah sawit mengandung selulosa cukup tinggi (30-34%), dan jumlahnya melimpah.
Pengolahan 1 hektar perkebunan sawit menghasilkan pelepah sawit 10-30 ton/ha/tahun. Jika dikalikan dengan
luas perkebunan sawit di Indonesia (4.686.000 hektar), maka limbah pelepah sawit/tahun (46.860.000
140.580.000 ton). Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi potensi pelepah sawit menjadi BIOPELSA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode pretreatment dengan menggunakan (RAL) yang tersusun
dua faktor, konsentrasi NaOH dan waktu pemanasan dengan microwave (1100C). Konsentrasi NaOH terdiri 2
level (1M dan 2M) dan waktu pemanasan 3 level (30, 60, 90menit), sehingga didapatkan 6 kombinasi,
selanjutnya diuji lignin, selulosa dan hemiselulosa dengan metode klason, selulosa , , . Pada 6 kombinasi
didapatkan perlakuan terbaik (konsentasi NaOH 1 M dan waktu pretretment 90 menit) dengan lignin (12,15%),
selulosa (42,95%), dan hemiselulosa (31,056%). Penelitian selanjutnya dilanjutkan dengan metode hidrolisis
dengan enzim selulose dan selobiase (pH 5, 45jam, 500C) dan dihasilkan glukosa 13%. Kemudian dilanjutkan
fermentasi menggunakan S.cerevisiae (pH 4-4,5, 300C, glukosa 10-18%), sehingga dihasilkan etanol 12-15%,
selanjutnya destilasi untuk meningkatkan etanol (92,92%) dan dehidrasi untuk meningkatkan etanol (97,7%).
Kata Kunci : Bioetanol, BIOPELSA, Energi Terbarukan, Pelepah Sawit, Selulosa,
I. PENDAHULUAN
Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan
meningkatnya populasi manusia sangat kontradiktif
dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan hidup
manusia beserta aktifitas ekonomi dan sosialnya. Sejak
lima tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan
produksi minyak nasional, padahal dengan pertambahan
jumlah penduduk, meningkat pula kebutuhan akan
sarana transportasi dan aktifitas industri. Hal ini
berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui [12]. Bahkan
menurut Erdei et al, 2010; Wheals ey al, 1999,
ketersediaan energi fosil diberbagai belahan dunia sudah
mulai menipis dan diperkirakan akan habis dalam
jangka waktu 25 tahun. Upaya yang dapat dilakukan
dalam menghadapi ketersediaan energi fosil yang
semain menipis adalah dengan melakukan penelitian
dan pengembangan sumber energi alternatif baru dan
terbarukan sebagi energi alternafif pengganti energi
fosil. Salah satu energi alternatif yang dapat dapat
dikembangkan dan berbahan baku alam adalah
bioetanol [14].
Bioetanol merupakan bahan baku alternatif yang
cenderung murah bila dibandingkan dengan bensin
tanpa subsidi. Sebagian besar (93%) produksi etanol di
dunia di produksi secara fermentasi dari bahan baku
yang mengandung gula [7]. Saat ini ubi kayu dan gula

tebu merupakan bahan baku potensial untuk dijadikan


etanol. Akan tetapi menurut Erdei (2010) penggunaan
ubi kayu, gula tebu dan bahan-bahan berpati,
berkarbohidrat dan mengandung gula sederhana lainnya
yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol
berpotensi
menimbulkan
kontradiksi
terhadap
kebutuhan bahan pangan, apalagi jika diterapkan di
negara berkembang seperti Indonesia.
Bahan alam non pangan yang melimpah dan dapat
digunakan sebagai bahan naku pembuatan bioetanol
adalah lignoselulosa [3,9]. Lignoselulosa adalah
komponen organik dialam yang terdiri dari tiga tipe
polimer yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Komponen selulosa akan berubah menjadi glukosa saat
dilakukan proses hidrolisis dan selanjutnya dapat
difermentasi menjadi etanol. Penggunaan bahan
lignoselulosa menjadi bioetanol merupakan solusi baru
yang dinilai efektif karena pengguanannya tidak
bersaing dengan kebutuhan pangan dan salah satu bahan
berlignoselulosa yang berpotensi sebagai bahan baku
bioetanol adalah pelepah sawit.
Pelepah Sawit adalah salah satu limbah
perkebunan sawit yang mengandung selulosa cukup
tinggi yakni (34%) yang sampai saat ini belum
termanfaatkan secara optimal. Hingga saat ini pelepah
sawit hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku silase
dan pakan ternak [2]. Padahal selain kandungan
selulosanya yang cukup tinggi, dilihat dari potensi
ketersediaanya, Indonesia merupakan negara yang

Tahun 2014

Hal: 2 dari 6

memiliki luas perkebunan sawit mencapai 4.686.000


Ha, dimana setiap hektarnya akan mengasilkan sekitar
27 ton/tahun tandan buah segar dan 10 ton/tahun
pelepah kering sawit hasil pemangkasan [8]. Jika
dikalikan maka pertahunnya indonesia mampu
menghasilkan limbah pelepah sawit hingga 46.860.000
ton. Menurut penelitian terdahulu sudah digunakan
bahan TKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) yang juga
merupakan limbah dari kebun sawit yang dapat
digunakan sebagai bahan baku bioetanol yang ternyata
kandungan selulosanya juga tinggi yakni 37%, akan
tetapi ketersediaanya hanya 1,6 ton per Ha/tahun
sehingga dilihat dari segi ketersediaan lebih unggul
pelepah sawit [4].
Oleh karena itu, melalui Lomba MUN (Mipa
Untuk Megeri) UI 2014 ini, ditawarkan inovasi energi
terbarukan dengan memanfaatkan salah satu limbah
pertanian dari perkebunan sawit yakni pelepah sawit
yang berupa BIOPELSA Bioetanol Pelepah Sawit
Sebagai
Inovasi
Energi
Terbarukan
Dengan
Pemanfaatan Limbah Padat Perkebunan Sawit.
BIOPELSA ini nantinya diharapkan dapat menjadi
energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, pemerintah maupun industri untuk
menangani masalah ketersediaan bahan bakar.
II. METODA
Penelitian ini menggunakan dua faktor yaitu
faktor konsentrasi NaOH dan faktor waktu pretreatment
dengan pemanasan microwave dengan suhu 1100C yang
bertujuan untuk menentukan kombinasi faktor mana
yang terbaik dalam proses pretreatment pada proses
pembuatan bioetanol menggunakan bahan pelepah
sawit. Analisa yang dilakukan pada peneitian ini adalah
pengaruh konsentrasi dan waktu pretreatment terhadap
penurunan kadar lignin, dan hemiselulosa serta
peningkatan kadar selulosa pada proses pretretment.
Penurunan kadar lignin dan hemiselulosa dilakukan
karena kandungan ini membentuk ikatan kovalen pada
pelepah sawit yang akan menghambat proses hidrolisis
selulosa menjadi glukosa pada proses pembuatan
bioetanol [3]. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode klason (SNI 0492:2008), serta uji
selulosa alfa, beta dan gama (SNI 0444:2009) [10].
Prinsip metode klason adalah menghilangkan ekstraktif
dengan alkohol dan benzene, lalu menghilangkan
karbohidrat dengan menambahkan H2SO4 72%, bagian
yang tidak larut dalam H2SO4 72% ini disaring,
dikeringkan dan ditimbang dan ditentukan sebagai kadar
lignin. Untuk pengukuran kadar selulosa menggunakan
metode SNI 0444, yang diukur sebagai selulosa
dengan prinsip sebagai bahan yang tidak larut dan tahan
terhadap natrium hidroksida, dan untuk hemiselulosa,
yang diukur sebagai gamma-selulosa, dengan prinsip
sebagai bagian pulp yang tertinggal didalam larutannya.
Rancangan percobaan pada penelitian ini adalah
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang
tersusun atas dua faktor yaitu konsentasi NaOH dan
waktu pemanasan dengan menggunakan microwave
(1100C). Konsentrasi NaOH terdiri dari 2 level dan

waktu pemanasan dengan microwave terdiri dari 3 level.


Sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan 6
kombinasi. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
Faktor I : Konsentrasi NaOH
N1 : NaOH 1M , N2 : NaOH 2M
Faktor II : Lama Waktu Preatreatment
W1: 30 menit, W2: 60 menit, W3: 90 menit
Dari kedua faktor tersebut diperoleh kombinasi
perlakuan sebagai berikut pada Tabel 1 :
Tabel 1.Kombinasi Rancang Acak Lengkap
N/W
Waktu
NaOH
W1
W2
W3
N1W1
N1W2
N1W3
N1
N2W1
N2W2
N2W3
N2
Model yang digunakan untuk desain faktorial 23 ini
adalah (Yitnosumarto,1993):
Yijk = + i + j + ()ij + ijk
i= 1,2 , j= 1,2,3 k=1,2,3
Dimana :
Yijk
= Yield dari hasil pengulangan perlakuan ke-k
yang terjadi karena pengaruh bersama taraf
ke-i faktor N (Konsentrasi NaOH) dan taraf
ke-j faktor W (Waktu pretreatment)

= Rata-rata umum
i
= Pengaruh taraf ke-i faktor N (Konsentrasi
NaOH)
j
= Pengaruh taraf ke-j faktor W (Waktu
pretreatment)
()ij
= Pengaruh intetaksi taraf ke-i faktor K dan
taraf ke-j faktor T
ijk
= Kesalahan (galat) percobaan ke-k dalam
kombinasi perlakuan ukuran serbuk pelepah
sawit i, dan suhu pretreatment j
Pada proses pembuatan BIOPELSA ada beberapa
proses yang dilakukan diantaranya mulai dari
pretreatment, hidrolisis, fermentasi hingga destilasi dan
dehidrasi, proses yang digunakan akan dijelaskan pada
Lampiran 1.
III.HASIL
3.1 Uji kadar lignin (metode klason, SNI 0492:2008)
Diketahui sebelumnya bahwa kadar lignin pelepah
sawit awal sebelum proses pretreatment adalah 18%.
Penentuan kadar lignin setelah pretreatment dapat
dihitung dengan rumus berikut :
L= A/B 100%
Dimana :
L: adalah kadar lignin dinyatakan dalam persen (%)
A: adalah endapan lignin dinyatakan dalam gram (g)
B: adalah berat contoh kering oven dinyatakan dalam
gram (g)

Tahun 2014
Tabel 2. Uji Kadar Lignin
Perlakuan

Berat
Berat
L
Simbol
A
B
(%)
(gram) (gram)
0,1698
1
16,84
F
N1W1
0,1587
1
15,74
E
N1W2
0,1543
1
15,42
D
N1W3
0,1438
1
14,35
C
N2W1
0,1321
1
13,22
B
N2W2
0,1211
1
12,15
A
N2W3
14,62
Rata-rata
0,162
BNT 5%
Keterangan:
- Setiap data merupakan rerata tiga kali ulangan
- Rerata yang didampingi huruf yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata (=0,05)
3.2 Uji kadar selulosa ( selulosa, SNI 0444:2009)
Diketahui sebelumnya bahwa kadar selulosa
pelepah sawit awal sebelum proses pretreatment adalah
34%. Penentuan kandungan selulosa alfa dihitung
menurut rumus sebagai berikut:
X=
100 6,85 (V2 - V1) N 20
25 1,5
Dimana :
X : adalah selulosa alfa, dinyatakan dalam persen (%)
V1: adalah volume titrasi blanko, dinyatakan dalam
mililiter (ml)
V2: adalah volume titrasi filtrat pelepah sawit,
dinyatakan dalam mililiter (ml)
N:adalah normalitas larutan Ferro Ammonium Sulfat
A: adalah volume titrat pelepah sawit yang dianalisa
dinyatakan dalam mililiter (ml)
W: adalah berat kering oven sampel TKKS pada
pengujian alfa selulosa dinyatakan dalam gram (g)
Tabel 3. Uji Kadar Selulosa
Perlakuan

(V2N
A
W
X
Sim
V1)
(ml (gram)
(%)
-bol
ml
)
25
1,5
36,04
a
N1W1 6,313 0,1
25
1,5
37,51
b
N1W2 6,273 0,1
25
1,5
39,5
c
N1W3 6,218 0,1
6,19
0,1
25
1,5
40,54
d
N2W1
25
1,5
41,74
e
N2W2 6,155 0,1
25
1,5
42,95
f
N2W3 6,123 0,1
39,71
Rata- rata
0,128
BNT 5%
Keterangan:
- Setiap data merupakan rerata tiga kali ulangan
- Rerata yang didampingi huruf yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata (=0,05)
3.3 Uji kadar hemiselolosa (selulosa gamma, SNI
0444;2009)
Diketahui sebelumnya bahwa kadar hemiselulosa
pelepah sawit awal sebelum proses pretreatment adalah
36%. Penentuan kandungan selulosa gamma dihitung

Hal: 3 dari 6
menurut rumus sebagai berikut:
Y=
6,85 (V4-V3) N 20
25W
Dimana :
Y : selulosa gamma, dinyatakan dalam persen (%)
V3 : volume tirtasi blanko pada pengujian alfa selulosa
(ml)
V4 :volume titrasi filtrat pelepah sawit setelah
pengendapan selulosa alfa (ml)
W : berat kering oven sampel pelepah sawit pada
pengujian alfa selulosa (g)
Tabel 4. Uji Hemiselulosa
Perla(V4N
A
W
X
Sim
kuan
V3)
(ml (gram)
(%)
bol
ml
)
25
1,5
35,48
f
N1W1 6,328 0,1
25
1,5
34,23
e
N1W2 6,362 0,1
25
1,5
34,09
d
N1W3 6,365 0,1
25
1,5
33,14
c
N2W1 6,394 0,1
25
1,5
32,07
b
N2W2 6,422 0,1
6,45
0,1
25
1,5
31,05
a
N2W3
33,33
Rata-rata
0,099
BNT 5%
Keterangan:
- Setiap data merupakan rerata tiga kali ulangan
- Rerata yang didampingi huruf yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata (=0,05)
IV. PEMBAHASAN
4.1 Pretreatment kandungan lignin pelepah sawit
Pemanasan larutan NaOH konsentrasi tinggi
dengan microwave membuat NaOH akan terurai
menjadi NaOH akan terurai menjadi Na+ dan OH-. Ion
hiroksil tersebut akan menyerang struktur bahan pelepah
sawit yang bersifat elektropositif [1]. Strutur pelepah
sawit yang diserang NaOH akan pecah dan diuapkan
oleh perlakuan panas dari microwave yang diduga
sebagai penyebab terjadinya loss massa bahan pelepah
sawit. Semakin lama waktu pretreatment yang
digunakan maka rendemen yang dihasilkan semakin
baik dengan larutan NaOH 1 Molar maupun dengan
larutan NaOH 2 Molar. Hal ini dikarenakan semakin
lama waktu yang digunakan, maka semakin banyak
senyawa volatile pada pelepah sawit yang hilang karena
menguap. Berikut ini adalah grafik pengaruh
pretreatment pelepah sawit dengan 6 kombinasi
perlakuan terhadap kadar lignin pelepah sawit pada
Gambar 1.

Tahun 2014

Gambar 1. Hubungan Konsentrasi NaOH dan waktu


pretreatment terhadap kandungan lignin pelepah sawit
Dari Gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa kadar lignin
hasil pretreatment dengan konsentasi NaOH lebih
tinggi dan waktu pretretment yang lebih lama
menghasilkan penurunan lignin lebih besar. Dimana dari
6 kombinasi diperoleh perlakuan terbaik pada
kombinasi N2W3 yaitu pretreatment dengan NaOH 2M
dan waktu pretreatment 30 menit dengan kadar lignin
12,15% dimana dengan kadar lignin awal pelepah sawit
sebelum proses pretreatment yakni 18%, maka
kombinasi N2W3 dapat menurunkan kadar lignin
5,85%. Berdasarkan analisis ragam (ANNOVA) yang
dapat dilihat pada Lampiran 2, F hitung perlakuan dan
interaksi perlakuan lebih besar lari F tabel 1% sehingga
perlakuan dan interaksi perlakuan berbeda sangat nyata.
Selanjutnya interaksi perlakuan dillakukan uji lanjut
menggunakan uji BNT 5% Lampiran 2. Berdasarkan
uji BNT tersebut dihasilkan simbol/huruf yang berbeda
sehingga dapat disimpulkan perlakuan N1W1 berbeda
nyata dengan perlakuan N1W2, N1W3, N2W1, N2W2,
N2W3 serta sebaliknya.
4.2 Pretreatment kandungan selulosa pelepah sawit
. Perlakuan pretreatment yang diharapkan adalah
perlakuan yang dapat menjadikan presentase kandungan
meningkat dari sebelumnya. Perlakuan pretreatment
adalah perlakuan yang dapat menghasilkan kandungan
selulosa tertinggi. Hal ini karena semakin tinggi
kandungan selulosa semakin tinggi glukosa yang
dihasilkan pada tahap hidrolisis bahan pelepah sawit.
Berikut ini adalah grafik pengaruh konsentasi NaOH
dan waktu pretreatment microwave terhadap kandungan
selulosa pelepah sawit:

Gambar 2. Hubungan Konsentrasi NaOH dan waktu


pretreatment terhadap kandungan selulosa pelepah sawit

Hal: 4 dari 6
Dari Gambar 2. diatas dapat dilihat bahwa kadar
selulosa hasil pretreatment dengan konsentasi NaOH
lebih tinggi dan waktu pretretment yang lebih lama
menghasilkan peningkatan selulosa lebih besar. Dimana
dari 6 kombinasi diperoleh perlakuan terbaik pada
kombinasi N2W3 yaitu pretreatment dengan NaOH 2M
dan waktu pretreatment 30 menit dengan kadar selulosa
42,95% dimana dengan kadar selulosa awal pelepah
sawit sebelum proses pretreatment yakni 34%, maka
kombinasi N2W3 dapat meningkatkan kadar selulosa
8,95%. Berdasarkan analisis ragam (ANNOVA)
Lampiran 3, F hitung perlakuan dan interaksi
perlakuan lebih besar lari F tabel 1% sehingga
perlakuan dan interaksi perlakuan berbeda sangat nyata.
Selanjutnya interaksi perlakuan dillakukan uji lanjut
menggunakan uji BNT 5% Lampiran 3. Berdasarkan
uji BNT tersebut dihasilkan simbol/huruf yang berbeda
sehingga dapat disimpulkan perlakuan N1W1 berbeda
nyata dengan perlakuan N1W2, N1W3, N2W1, N2W2,
N2W3 serta sebaliknya.
4.3 Pretreatment kandungan hemiselulosa pelepah
sawit

Gambar 3. Hubungan Konsentrasi NaOH dan waktu


pretreatment terhadap kandungan hemiselulosa pelepah
sawit
Dari Gambar 3. diatas dapat dilihat bahwa kadar
hemiselulosa hasil pretreatment dengan konsentasi
NaOH lebih tinggi dan waktu pretretment yang lebih
lama menghasilkan penurunan hemiselulosa lebih besar.
Hal ini dikarenakan semakin lamanya waktu
pretreatment maka semakin meningkatnya temperatur
pada larutan NaOH dan bahan perlakuan. Meningkatnya
temperatur mengakibatkan NaOH yang dilarutkan
didalam air semakin larut dan semakin mudah masuk
kedalam bahan pelepah sawit. Hal ini dikarenakan
NaOH yang digunakan berupa padatan memiliki tingkat
kelarutan yang tinggi apabila berada pada temperatut
tinggi [9]. NaOH yang bersifat sebagai basa kuat
memecah struktur hemiselulosa bahan pelepah sawit
kemudian melarutkannya. Semakin lama waktu
pretreatment, semaikn banyak NaOH yang mampu
masuk ke struktur bahan pelepah sawit sehingga
kandungan hemiselulosa yang dilarutkan semakin
banyak, sehingga keberadaannya semakin menurun.
Dimana dari 6 kombinasi diperoleh perlakuan terbaik
pada kombinasi N2W3 yaitu pretreatment dengan
NaOH 2M dan waktu pretreatment 30 menit dengan

Tahun 2014
kadar hemiselulosa 31,056% dimana dengan kadar
selulosa awal pelepah sawit sebelum proses
pretreatment yakni 36%, maka kombinasi N2W3 dapat
menurunkan kadar hemiselulosa 4,944%. Berdasarkan
analisis ragam (ANNOVA) Lampiran 4, F hitung
perlakuan dan interaksi perlakuan lebih besar lari F
tabel 1% sehingga perlakuan dan interaksi perlakuan
berbeda sangat nyata. Selanjutnya interaksi perlakuan
dillakukan uji lanjut menggunakan uji BNT 5%
Lampiran 4. Berdasarkan uji BNT tersebut dihasilkan
simbol/huruf yang berbeda sehingga dapat disimpulkan
perlakuan N1W1 berbeda nyata dengan perlakuan
N1W2, N1W3, N2W1, N2W2, N2W3 serta sebaliknya.
Hidrolisis
Setelah dilakukan proses pretreatment maka
proses penelitian selanjutnya yang akan digunakan
adalah proses hidrolisis untuk menghasilkan glukosa.
Proses hidrolisis yang digunakan yakni hidrolisis
enzimatis karena jika dibandingkan hidrolisisi asam,
hidrolisis ini dapat menurunkan resiko korosi pada alat
serta mengurangi kehilangan energi pada bahan bakar
produksi [9]. Pada peneitian ini digunakan analisa
secara deskriptif. Pada penelitian yang telah dilakukan
oleh (Sitorus, 2011), pada proses pretretment TKKS
untuk pembuatan bioetanol yang dihasilkan kandungn
selulosa sebesar 44,54% yang tidak jauh berbeda
dengan selulosa hasil pretreatment pelepah sawit, yakni
42,95%. Pada penelitian tersebut juga dilakukan 2
macam proses hidrolisis, yakni hidrolisis dengan enzim
selobiase dan hidrolisis kombinasi enzim selulose dan
enzim selobiase. Pada proses hidrolisis menggunakan
enzim selobiase denga pH 5, waktu 45jam dan suhu
500C, dihasilkan glukosa 6,808%. Sedangkan proses
hidrolisis dengan kombinasi enzim selulose dan
selobiase dengan perbandingan 2:1, pH5, suhu 370C,
dihasilkan glukosa 13,693%. Sehingga pada penelitian
hidrolisis pelepah sawit hasil pretreatment akan
menggunakan proses hidrolisis dengan kombinasi enzim
selulose dan selobiase untuk menghasilkan kadar
glukosa 13%.
4.4

Fermentasi, Destilasi dan Dehidrasi


Proses selanjutnya setelah didapatkan glukosa
hasil hidrolisis, maka dilakukan proses fermentasi
menggunakan S.cereviseae.
Menurut penelitian
(Hidayat, 2009) tentang bioetanol TKKS, fermentasi
menggunakan S. Cereviseae dibutuhkan kondisi aerob,
dilakukan pada suhu 300C, dengan pH 4 4,5 dengan
kadar glukosa 10-18% , kondisi ini akan terpenuhi
karena glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis pelepah
sawit dengan kombinasi enzim selulose dan selobiase
didalam kisaran 13%. Proses fermentasi ini akan
terhenti pada saat konsentrasi etanol yang terbentuk
sekitar 12-15%, karena etanol tersebut dapat membunuh
khamir (S.cerevisiae) sehingga akan menghambat
proses fermentasi. Pada proses fermentasi pelepah sawit
dengan menggunakan S.Cerevisiae akan menghasilkan
etanol 12 15%. Etanol yang dihasilkan kemudian
didestilasi untuk meningkatkan kadarnya. Menurut
4.5

Hal: 5 dari 6
penelitian (Hidayat, 2009) etanol yang telah didestilasi
mempunyai kadar 91 92 %. Peningkatan kemurnian
etanol dapat dicapai dengan cara dehidrasi sehingga
mencapai kemurnian 99,7 %. Etanol tersebut sudah siap
digunakan sebagai bahan bakar baik sebagai bahan
bakar murni maupun pengoplos bensin dan juga sebagai
bahan bakar kompor.
V. KESIMPULAN
Pada penelitian yang teah dilakukan pada proses
pretreatment BIOPELSA (Bioetanol Pelapah Sawit)
yang telah dilakukan, pada proses pretreatment
menggunakan 2 faktor yaitu konsentasi NaOH dan
waktu pretreatment, dimana konsentrasi NaOH (N)
terdiri dari dua level yakni (1M dan 2M) dan waktu
pretreatment (W) terdiri dari tiga level (30 menit, 60
menit, 90 menit). Dari 6 kombinasi dua faktor tersebut
didapatkan perlakuan terbaik untuk menurunkan kadar
lignin dan hemiselulosa, serta untuk meningkatkan
kadar selulosa, yakni pada kombinasi N2W3 (NaOH
2M dan waktu pretreatment 90 menit). Dimana
dihasilkan kadar lignin 12,15%, selulosa 42,95% dan
hemiselulosa 31,056%. Hasil tersebut kemudian
dihidrolisis dengan kombinasi enzim selulose dan
selobiase untuk menghasilkan glukosa 13%, kemudian
difermentasi dengan fermentasi S.cerevisiae untuk
menghasilkan etanol 12-15%. Destilasi dilakukan untuk
meningkatkan etanol menjadi 91-92%. Sedangkan
dehidrasi untuk mendapatkan etanol 99,7%. Dari hasil
tersebut, bahan pelepah sawit sangat potensial dijadikan
bahan baku pembuatan bioetanol, karena selain bahan
baku yang melimpah, juga dapat menghasilkan
presentase etanol yang tinggi. Sehingga etanol tersebut
sudah siap digunakan sebagai bahan bakar murni
maupun pengoplos bensin dan juga sebagai bahan bakar
kompor.
REFERENSI
[1]Agung, Nugroho C.P. 2009. Sintesis, Karakteristik
dan Aplikasi Chitosan Modified Carboxymethyl
(CS-MCM) Sebagai Agen Peerbaikan Mutu Kertas
Daur Ulang. Solo: UNS
[2]Aryafatta. 2008. Eksplorasi Limbah Perkebunan
Sawit. Universitas Sumatra:1
[3]Awatashi, M. 2013. Bioethanol Production Throug
Water
Hiyacint
Eichornia
Crassipes
Via
Potimization of The Pretreatment Condition. Vol.3 :
42-46
[4]Darmoko. 1992. Potensi Pemanfaatan Limbah
Lignoselulosa Kelapa Sawit Melalui Biokonversi,
Berita Pen. Perkeb.2. Hal: 85-97
[5]Erdei, Barbola., Barta Z., Sipos B. 2010. Ethanol
Producton from Mixtures of Wheat Straw and Wheat
Meal. Biotehnology for Biofuel. 3:16
[6]Hidayat, Rina. 2009. Pemanfaatan Tandan Kosong
Kelapa Sawit Menjadi Bioetanol Sebagai Bahan
Bakar Masa Depan Yang Ramah Lingkungan.
Bogor: IPB

Tahun 2014
[7]Kardono, L. 2010. Teknologi Pembuatan Bioetanol
Berbasis Lignoselulosa Tumbuhan Tropis Untuk
Produksi Biogasioline, Serpong: Lembaga Peneliti
Indonesia (Lipi)
[8]Sahmadi. 2006. Potensi Pelepah Daun Kelapa Sawit
Sebagai
Pakan
Ternak.
http://Dunia
Peternakan.Wodpress.com :13:05
[9]Singh, DP and Trivedi RK. 2013. Acid and Alkaline
Pretreatment of lignosellulosic Biomass to Produce
Ethanol As Biofuel. Internasional Journal of
Chemtech. Vol. 5, N(2): 727-734
[10]Sitorus, Rudi Surya. 2011. Pretreatment dan
Hidrolisis Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
Dengan Metode Steaming dan Enzimatik. Depok:
FT Ui
[11]Trisanti, Anindyawati. 2009. Prospek Enzim dan
Limbah Lignoselulosa Untuk Produksi Bioetanol.
Vol.43: 49-56
[12]Warsa, I Wayan., Faudzia Septriyani dan Camila
Lisna, Bioetanol Dari Bonggol Pohon Pisang.
Jurnal Teknik Kimia.,vol 8, hlm.37, 2013
[13]Wheals AE, Bsso LC. Alves DMG. 1999. Fuel
Ethanol After 25 Years. Treand Bioethanol. 12. 482487
[14]Yitzhak, Hadar. 2013. Sources for Lignocellulosic
Rawa Materials for the production of ethanol. Springer
Verlag Berlin Heidelberg. 2: 1-13

Hal: 6 dari 6

Anda mungkin juga menyukai