Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Peritonsilar abses adalah akumulasi yang terlokalisir dari kumpulan pus yang
berada pada jaringan peritonsiler yang terjadi oleh karena peradangan supuratif dari
tonsilitis. Akumulasi ini terjadi di antara capsula tonsil palatina dan musculus
konstriktor pharyngeus. Pilar anterior dan posterior dari tonsil, torus Tubarius
(superior), sinus piriformis (inferior) membentuk suatu lingkaran ruang peritonsilar
yang berpotensi untuk terjadinya peritonsilar abseser. Oleh karena daerah ini banyak
mengandung jaringan ikat longgar, infeksi yang berat pada area ini dapat memicu
terjadinya pembentukan material purulent. Inflamasi yang progresif dan supurasi
dapat menyebar secara langsung yang melibatkan palatum, dinding lateral dari
faring, dan basis lidah.
Peritonsilar abses dapat terjadi pada umur 10 60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20 40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang sistem imunnya menurun, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara lakilaki dan perempuan
Peritonsilar abses adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Berbagai mikroorganisme yang menyebabkan tonsilitis akut
atau kronik juga dapat menjadi mikroorganisme penyebab dari peritonsilar abses.
Umumnya, bakteri gram positif aerob dan anaerob sering ditemukan pada kultur.
Mikroorganisme

tersering

yaitu

Streptococcus

beta

hemolyticus

grup

A,

Staphylococcus, Pneumococcus dan Haemophilus. Mikroorganismelainnya yaitu


Lactobacillus, Actinomyces, Micrococcus, Neisseria, Diphtheroids, Bacteroides.

BAB II
ANATOMI LEHER
2.1. Pendarahan
Arteri karotis komunis terletak di dalam otot sternokleidomastoideus di dasar
leher. Arteri ini bercabang menjadi arteri carotis interna dan eksterna. Di hujung dari
arteri carotis komunis dan awal dari arteri karotis interna melebar setinggi sinus
carotis. Arteri carotis interna berjalan terus ke dasar tengkorak yang merupakan pintu
masuk ke dalam kranium.
Vena

jugularis

interna

berakhir

di

bawah

dan

dibelakang

dari

sternoklavikular. Sepanjang perjalanan vena ini, ia berjalan di samping arteri carotis


dan bersilang di atasnya ketika melewati di belakang otot sternokleidomastoideus.
Oleh karena vena terletak lebih dalam di bawah otot, selalunya hanya pulsasi vena
yang menyebar di jaringan yang berdekatan yang kelihatan.
Di bagian superior, vena jugularis interna terletak posterolateral terhadap
arteri carotis comunis dan semakin di bawah, vena terletak lateral terhadap arteri dan
di dasar leher, vena terletak di bagian depan terhadap arteri.

Gambar 1. Vaskularisasi leher

2.2. Muskulus

Gambar 2. Muskulus pada leher

Otot sternokleidomastoideus bisa ditelusuri origonya dari dalam sternum dan


klavikula sepanjang perjalanannya ke prossesus mastoideus di os temporal di mana
di sini otot ini berinsersio di leher. Ketika otot di sebelah kiri leher berkontraksi,
kepala akan berpaling ke kanan dan begitu juga sebaliknya. Jika kedua-dua belah
otot ini berkontraksi, ini akan mengakibatkan pergerakan kepala ke bawah dan ke
depan.
Otot trapezius sebenarnya lebih sering dikaitkan dengan otot yang
berhubungan dengan bagian belakang dari leher. Hanya sebagian kecil saja yang
berintergrasi dengan leher.
3

Otot splenikus kapitis merupakan otot yang besar. Otot ini berasal di antara
ligamentum nuchae dan prossesus spinosus yang melibatkan ketiga vertebra toraks
yang pertama dan vertebra servikal yang ketujuh. Dari sini, otot ini dapat ditelusuri
perjalanannya hingga ke belakang kranium, di bawah garis nuchal superior, dan
terhadap prosessus mastoid dan os temporal. Pergerakan kepala dapat dimanipulasi
ke satu arah dan dirotasi melalui kontraksi otot splenius capitis. Ketika otot di kedua
belah berkontrakasi, kepala akan mengangkat dan kelihatan lebih panjang.
Otot semispinalis capitis berasal di antara vertebra servikal dan enam
vertebra toraks yang pertama. Insersia otot ini terletak di os oksipital. Kontraksi dari
salah satu dari otot ini akan menyebabkan rotasi kepala dan kontraksi dari kedua otot
ini akan menghasilkan gerakan yang sama seperti ketika otot splenius kapitis
berkontraksi.
2.3. Persarafan

Gambar 3. Persarafan leher

2.4. Aliran limfe leher


Sistem aliran limfa leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua
bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke
kelenjar limfa leher.
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan
berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis aksesorius. Kelenjar limfa
yang selalu terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pada rangkaian
jugularis interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak.
Rangkaian jugularis interna ini dibagi dalam kelompok superior, media dan inferior.
4

Kelompok kelenjar limfa yang lain adalah submental, submandibula, servikalis


superfisial, retrofaring, paratrakeal, spinalis asesorius, skaleneus anterior dan
supraklavikula.
Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang berasal
dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis
dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa
retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisial dan kelenjar limfa
submandibula.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid
posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis
interna superioir dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah.
Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal. Juga menerima aliran
limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan media, dan
kelenjar limfa paratrakea.
Kelenjar limfa submental terletak pada segitiga submental di antara platisma
dan m.omohiod di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfa
yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian
depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar
limfa submandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat
langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.
Kelenjar limfa submandibula terletak di sekitar kelenjar liur submandibula
dan di dalam kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa
yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah,
rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata,palatum
mole, 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis
interna superior.
Kelenjar limfa servikal superfisial, terletak di sepanjang vene jugularis
eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar
parotis, daerah retroaurikuler, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh
eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior.

Kelenjar limfa retrofaring terletak di antara faring dan fasia prevertebra,


mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen
menerima aliran limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba
Eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna
dan kelenjar limfa spinal asesoris bagian superoir.
Kelenjar limfa paratrakea menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian
bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh
eferen mengalirakan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar
limfa mediastinum superior.
Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris,
menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian
belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring,
orofaring dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan limfa
ke kelenjar limfa supraklavikula.
Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunkus
jugularis dan selanjutnya masuk ke duktus toraksikus untuk sisi sebelah kiri, dengan
untuk sisi yang sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke
sistem vena pada pertemuan vena jugularis interna dan vena subklavia. Juga duktus
torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfa dari kelenjar limfa
supraklavikula.

Gambar 4. Sistem Limfatik Leher


6

2.5. Anatomi Fasia Leher


Fasia pada leher atau fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous
yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher
menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu
fasia servikalis superfisialisdan fasia servikalis profunda.
2.2.1 Fasia Servikalis Superfisialis
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan
dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan
ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan.
Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi
kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis
eksterna.
2.2.2 Fasia Servikalis Profunda
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari
dasar tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior
menyebar ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta
membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius, m. masseter,
kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan
eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan
viscera :
Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis
profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m.
tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid
7

dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum,


klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari
dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan
bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid.
Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan
esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal
adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior
faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan
prevertebra :
Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda
dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media
fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral
ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra
dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot
didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os
koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis
profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang
berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai
ke toraks.

Gambar 5. Fasia leher

2.6. Anatomi tonsil palatina dan Ruang peritonsil


Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa
tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali
digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman.
Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual, pita lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,
dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius
(tonsil Gerlachs)9.
Tonsil palatina terdiri dari8:
a. Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat
pembentukan limfosit, plasma sel.
9

b. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka


penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina8:
a. Lateral

Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia

pharingo-basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing superior.


Masuk ke dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan
membawa pembuluh darah dan saraf.
b. Medial

Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis

gepeng, kripta, dan mikrokripta.


c. Posterior :

Pilar

posterior

yang

dibentuk

oleh

palatopharingeus yang berjalan dari bagian bawah pharing menuju


aponeurosis palatum molle.
d. Anterior

pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus

yang berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis


palatum molle.
Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang
menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris
(supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua
pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak
diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi
karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat
dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang
sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan
masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan
disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar
mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan
medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil,
10

kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya
bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal
maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman9.
Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang
merupakan cabang dari arteri facialis, cabang cabang a. lingualis, a. palatina
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.
cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae9
Ruang Peritonsiler2,12
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil palatine,
sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan
pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot konstriktor
pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis
(inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

11

BAB III
PERITONSILAR ABSES

3.1. Etiologi
Peritonsilar abses terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda2.
Peritonsilar abses disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
peritonsilar abseser adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme

anaerob

yang

berperan

adalah

Fusobacterium,

Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan


peritonsilar abseser diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik
dan anaerobik6.

Gambar 6. Peritonsilar abses

12

Gambar 7. Peritonsilar abses

3.2. Patofisiologi
Patofisiologi peritonsilar abses belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang
paling banyak diterima adalah kelanjutan episode tonsillitis eksudatif menjadi
peritonsillitis dan diikuti pembentukan abses. Berikut ini adalah tiga teori patogenesa
terjadinya peritonsilar abses8 :
Teori Parkinson (1970)
Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam ruang peritonsil
terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil di
pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila
kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan
ikat longgar8.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Peritonsilar abses juga
dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang6.

13

Teori Ballenger(1977)
Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole
atas yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil,
sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang (superior
posterior) dari ruangan peritonsil8.
Teori Paparella (1980)
Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari proses akut tonsil dan
menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot
konstriktor faring8.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid
interna, sehingga timbul trismus6. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi
aspirasi ke paru. Selain itu, peritonsilar abses terbukti dapat timbul de novo tanpa
ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang sebelumnya2. Peritonsilar abses dapat
juga merupakan suatu gambaran dari infeksi virus Epstein-Barr12.
Peritonsilar abses yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya timbul pada
hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta
yang mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya
besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak teratur, dan berhubungan
erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 10. Muara dari kripta yang
mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran
kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil bed. Pus yang
berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan penonjolan,
pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil akan terdorong kearah
medial bawah. Walaupun sangat jarang peritonsilar abses dapat terbentuk di inferior1.

14

Peritonsilar abses juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan permukaan atas tonsil lewat
duktus dan kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan sisa makanan yang
terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada kelenjar weber dapat menyebabkan
selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus sampai permukaan tonsil menjadi lebih
terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya. Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan
pembentukan pus yang menghasilkan tanda dan gejala peritonsilar abses14
3.3. Gejala Klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia).
Nyeri telinga ini karena nyeri alih (reffered pain) dari n. glossofaringeus (n.IX).
Muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher
(limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan
peradangan otot tengkuk.
3.4. Bakteriologi
Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam
mengetahui organism penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotic terlebih
dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenernya dapat menunjukkan terutama
Streptococcus pyogenes dan yang agak jarang, Staphylococcus aureus (tabel 1).
Sprinkle dan lainnya menemukan insidens yang tinggi dari bakteri anaerob, yang
memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tersebut biasanya
ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari family Bacteroidaceae.

Tabel 1. Bakteri pathogen yang mungkin dengan pilihan antimikroba pada pasien
15

dengan peritonsilar abses

Etiologi

Antibiotik

Streptococcus

Penisilin

Bacteroides

Sefalosporin

Haemophilus
Fusobacterium

Klindamisin

Staphylococcus aureus
Peptococcus

3.5. Diagnosis
Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan memiliki riwayat faringitis akut disertai
dengan tonsilitis dan rasa tidak nyaman di daerah faring unilateral. Pasien juga
mengeluh lesu, lemah dan sakit kepala, demam, rasa mengganjal di tenggorokan
asimetris, nyeri saat menelan dan bersuara serak (hot potato sounding).
Banyak pasien datang dengan keluhan nyeri telinga dan nyeri menelan pada
sisi yang sama. Trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka mulut) dalam
berbagai derajat dapat ditemukan oleh karena terjadinya inflamasi pada dinding
lateral faringeal dan muskulus pterigoid. Adanya limfadenopati dan inflamasi pada
muskulus cervikalis, pasien juga sering mengeluh adanya nyeri leher dan terbatasnya
mobilitas dari leher. Clinician harus waspada dalam mendiagnosa peritonsilar
absesar pada pasien yang memiliki gejala-gejala gangguan faringeal yang
menetap/kronis dan sudah mendapatkan terapi antibiotik.
Pemeriksaan Fisik
Pasien umumnya datang dengan keadaan umum tampak sakit berat.
Pemeriksaan dari rongga mulut ditemukan adanya eritem, palatum Molle asimetris,
eksudasi dari tonsilar, dan uvula yang berpindah tempat (displacement) kontralateral.
Dapat bervariasi, dari munculnya tonsilitis akut dengan gangguan faringeal unilateral
asimetri, dehidrasi dan sepsis. Peritonsilar absesar ini unilateral dan sering berlokasi
di pole posterior dari tonsil yang terlibat pada fossa supratonsiler. Pada mukosa dari
lipatan suratonsilar dapat terlihat pucat dan terkadang disertai adanya granula.
16

Palpasi dari palatum molle umumnya menunjukkan adanya area yang berfluktuasi.
Nasopharingoskopi dan laringoskopi dianjurkan untuk mengatasi masalah distress
pernafasan. Laringoskopi adalah metode untuk mengatasi epiglotitis dan
supraglotitis, sama seperti menangani patologi pita suara.
Derajat dari trismus tergantung dari luasnya inflamasi pada ruang lateral
faringeal. Jika terjadi sangat luas, maka harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
selulitis pada ruang faringeal lateral. Kelenjar getah bening di area tersebut dapat
menjadi lebih tegas (teraba). Adanya inflamasi pada kelenjar getah bening, dapat
terjadi torticollis dal terbatasnya gerakan leher.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Yang diperiksa adalah hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan
kultur darah. Karena pasien dengan peritonsilar abses seringkali dalam
keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat
tidak tercukupinya asupan makanan.

Swab Tenggorok & Kultur Biakan


Untuk membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi. Hasilnya
dapat digunakan dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif, dan
untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotic
Fine Needle Aspiration Biopsi (FNAB).
Tempat yang akan dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan
lidokain dan epinephrine dengan menggunakan jarum besar (berukuran 16
18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material
yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk
dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan
terapi antibiotika5,10.
17

Radiologi (foto polos leher AP & Lateral)


Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi peritonsilar abses yang
tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau
terdapat perburukan edema pada selulitis peritonsil yang telah diterapi. Pada
kasus tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu sendiri dan atau
sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil. Foto polos
dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring dan orofaring
dapat

membantu

dokter

dalam

menyingkirkan

diagnosis

abses

retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi tidak
begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
CT Scan
Pada pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan dengan CT
scan pada rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.
Ditemukan gambaran kumpulan cairan hipodens di apex tonsil yang terkena,
dengan penyengatan pada perifer. Gambaran lainnya termasuk pembesaran
asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.
3.6. Diagnosis Banding
Peritonsilar

abses

harus

dibedakan

infiltrat

peritonsil.

Untuk

membedakannya, pada stadium infiltrasi belum terdapat trismus, dan kejadiaanya


baru berlangsung 1-3 hari. Untuk membedakannya dilakukan punksi percobaan dan
hasil pungsi tidak didapatkan pus8.
Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak rata atau permukaan
bunga kubis dan ada jaringan nekrotik atau ulkus 8. Diagnosis banding adalah abses
leher dalam lainnya yaitu abses retrofaring dan, abses parafaring6 .
Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti peritonsilar abses.
Infeksi ini biasanya terjadi akibat karies atau infeksi pada gigi molar. Pus dapat
mendorong otot-otot dalam ke arah konstriktor superior sehingga tonsil terdorong ke
medial, seperti pada quinsy10
18

3.7. Penatalaksanaan
Medikamentosa

Pasien dengan dehidrasi memerlukan cairan intravena sampai proses


radang berkurang dan pasien dapat mengonsumsi cairan secara oral.

Antipiretik dan analgesik digunakan untuk menurunkan demam dan


meminimalisir rasa sakit.

Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau


ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500
mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg5.

Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-1150F) atau glukosa 5%


tiap 2-3 jam dapat memberikan perbaikan simtomatis dari rasa sakit pada
peritonsilar abseser. Kompres hangat di leher dan rahang akan
mengendurkan ketegangan otot10.

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang


dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal
intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti
secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus
dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

Terapi Operasi
Bila terapi medikamentosa tidak memberikan respons yang baik maka
tindakan insisi drainase harus dilakukan. Drainase terbaik adalah tonsilektomi
quinsy, yang dilakukan dengan anastesi umum dan perlindungan antibiotika.
Karena peritonsilar abses merupakan komplikasi tonsilitis akut yang
berulang-ulang, maka dianjurkan pada penderita peritonsilar abses dilakukan
tonsilektomi, supaya tidak timbul abses yang berulang. Dapat dilakukan tindakan
operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi), yaitu tonsilektomi segera
mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
19

setelah drainase abses. A froid (interval tonsilektomi), yaitu tonsilektomi


dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses8.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses6. Peritonsilar abses mempunyai kecenderungan
besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada peritonsilar abses. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi
68 minggu kemudian karena mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau
sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi sesegera mungkin.
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera pada peritonsilar abses, jika terdapat
obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses ke leher
bagian dalam, riwayat peritonsilar abseser sebelumnya, dan riwayat faringitis
eksudatifa berulang1.
3.8. Komplikasi
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga
terjadi mediastinitis
Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, abses otak
edema laring akibat tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses
perluasan radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

20

BAB IV
KESIMPULAN
Peritonsilar abses adalah infeksi leher dalam yang seringkali terjadi sebagai
komplikasi dari tonsillitis akut. Pasien dengan peritonsilar abses sering datang
dengan keluhan yang berat dan salah satu gejala yang sering membuat pasien datang
ke dokter adalah trismus karena peradangan pada m.pterigoid interna. Akan tetapi
tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani peritonsilar abses ini, tidaklah
serumit yang dibayangkan, yaitu berupa insisi dan drainase abses dengan anestesi.
namun apabila tidak dilakukan tindakan yang cepat, tepat dan efektif maka dapat
menimbulkan komplikasi yang cukup berarti.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Diunduh

dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?

book=cm&part=A384&rendertype=figure&id=A396.
2. Diunduh dari
http://www.medical-look.com/human_anatomy/organs/Neck_muscles.html
3. Diunduh
dari
http://www.instantanatomy.net/headneck/nerves/autonomic/cervicalgangliane
ck.html
4. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher. Dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi ke 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 7;hal: 174-178
5. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview
6. Diunduh dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3464/1/thtandrina2.pdf
7. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Peritonsilar abses. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
8. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.
38, 55-8.
9. Preston,

M.

2008.

Peritonsillar

Abscess

(Quinsy).

accessed:

http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/
10. . Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi 6, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2007. Hal:226-227
11. Adams GL. Penyakit penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, buku
ajar penyakit THT Edisi 6,Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Hal: 333-334

22

Anda mungkin juga menyukai