PENDAHULUAN
Peritonsilar abses adalah akumulasi yang terlokalisir dari kumpulan pus yang
berada pada jaringan peritonsiler yang terjadi oleh karena peradangan supuratif dari
tonsilitis. Akumulasi ini terjadi di antara capsula tonsil palatina dan musculus
konstriktor pharyngeus. Pilar anterior dan posterior dari tonsil, torus Tubarius
(superior), sinus piriformis (inferior) membentuk suatu lingkaran ruang peritonsilar
yang berpotensi untuk terjadinya peritonsilar abseser. Oleh karena daerah ini banyak
mengandung jaringan ikat longgar, infeksi yang berat pada area ini dapat memicu
terjadinya pembentukan material purulent. Inflamasi yang progresif dan supurasi
dapat menyebar secara langsung yang melibatkan palatum, dinding lateral dari
faring, dan basis lidah.
Peritonsilar abses dapat terjadi pada umur 10 60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20 40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang sistem imunnya menurun, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara lakilaki dan perempuan
Peritonsilar abses adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Berbagai mikroorganisme yang menyebabkan tonsilitis akut
atau kronik juga dapat menjadi mikroorganisme penyebab dari peritonsilar abses.
Umumnya, bakteri gram positif aerob dan anaerob sering ditemukan pada kultur.
Mikroorganisme
tersering
yaitu
Streptococcus
beta
hemolyticus
grup
A,
BAB II
ANATOMI LEHER
2.1. Pendarahan
Arteri karotis komunis terletak di dalam otot sternokleidomastoideus di dasar
leher. Arteri ini bercabang menjadi arteri carotis interna dan eksterna. Di hujung dari
arteri carotis komunis dan awal dari arteri karotis interna melebar setinggi sinus
carotis. Arteri carotis interna berjalan terus ke dasar tengkorak yang merupakan pintu
masuk ke dalam kranium.
Vena
jugularis
interna
berakhir
di
bawah
dan
dibelakang
dari
2.2. Muskulus
Otot splenikus kapitis merupakan otot yang besar. Otot ini berasal di antara
ligamentum nuchae dan prossesus spinosus yang melibatkan ketiga vertebra toraks
yang pertama dan vertebra servikal yang ketujuh. Dari sini, otot ini dapat ditelusuri
perjalanannya hingga ke belakang kranium, di bawah garis nuchal superior, dan
terhadap prosessus mastoid dan os temporal. Pergerakan kepala dapat dimanipulasi
ke satu arah dan dirotasi melalui kontraksi otot splenius capitis. Ketika otot di kedua
belah berkontrakasi, kepala akan mengangkat dan kelihatan lebih panjang.
Otot semispinalis capitis berasal di antara vertebra servikal dan enam
vertebra toraks yang pertama. Insersia otot ini terletak di os oksipital. Kontraksi dari
salah satu dari otot ini akan menyebabkan rotasi kepala dan kontraksi dari kedua otot
ini akan menghasilkan gerakan yang sama seperti ketika otot splenius kapitis
berkontraksi.
2.3. Persarafan
Pilar
posterior
yang
dibentuk
oleh
kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya
bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal
maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman9.
Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang
merupakan cabang dari arteri facialis, cabang cabang a. lingualis, a. palatina
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.
cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae9
Ruang Peritonsiler2,12
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil palatine,
sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan
pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot konstriktor
pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis
(inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.
11
BAB III
PERITONSILAR ABSES
3.1. Etiologi
Peritonsilar abses terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda2.
Peritonsilar abses disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
peritonsilar abseser adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme
anaerob
yang
berperan
adalah
Fusobacterium,
Prevotella,
12
3.2. Patofisiologi
Patofisiologi peritonsilar abses belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang
paling banyak diterima adalah kelanjutan episode tonsillitis eksudatif menjadi
peritonsillitis dan diikuti pembentukan abses. Berikut ini adalah tiga teori patogenesa
terjadinya peritonsilar abses8 :
Teori Parkinson (1970)
Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam ruang peritonsil
terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil di
pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila
kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan
ikat longgar8.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Peritonsilar abses juga
dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang6.
13
Teori Ballenger(1977)
Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole
atas yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil,
sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang (superior
posterior) dari ruangan peritonsil8.
Teori Paparella (1980)
Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari proses akut tonsil dan
menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot
konstriktor faring8.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid
interna, sehingga timbul trismus6. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi
aspirasi ke paru. Selain itu, peritonsilar abses terbukti dapat timbul de novo tanpa
ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang sebelumnya2. Peritonsilar abses dapat
juga merupakan suatu gambaran dari infeksi virus Epstein-Barr12.
Peritonsilar abses yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya timbul pada
hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta
yang mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya
besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak teratur, dan berhubungan
erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 10. Muara dari kripta yang
mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran
kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil bed. Pus yang
berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan penonjolan,
pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil akan terdorong kearah
medial bawah. Walaupun sangat jarang peritonsilar abses dapat terbentuk di inferior1.
14
Peritonsilar abses juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan permukaan atas tonsil lewat
duktus dan kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan sisa makanan yang
terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada kelenjar weber dapat menyebabkan
selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus sampai permukaan tonsil menjadi lebih
terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya. Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan
pembentukan pus yang menghasilkan tanda dan gejala peritonsilar abses14
3.3. Gejala Klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia).
Nyeri telinga ini karena nyeri alih (reffered pain) dari n. glossofaringeus (n.IX).
Muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher
(limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan
peradangan otot tengkuk.
3.4. Bakteriologi
Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam
mengetahui organism penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotic terlebih
dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenernya dapat menunjukkan terutama
Streptococcus pyogenes dan yang agak jarang, Staphylococcus aureus (tabel 1).
Sprinkle dan lainnya menemukan insidens yang tinggi dari bakteri anaerob, yang
memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tersebut biasanya
ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari family Bacteroidaceae.
Tabel 1. Bakteri pathogen yang mungkin dengan pilihan antimikroba pada pasien
15
Etiologi
Antibiotik
Streptococcus
Penisilin
Bacteroides
Sefalosporin
Haemophilus
Fusobacterium
Klindamisin
Staphylococcus aureus
Peptococcus
3.5. Diagnosis
Anamnesis
Pasien umumnya datang dengan memiliki riwayat faringitis akut disertai
dengan tonsilitis dan rasa tidak nyaman di daerah faring unilateral. Pasien juga
mengeluh lesu, lemah dan sakit kepala, demam, rasa mengganjal di tenggorokan
asimetris, nyeri saat menelan dan bersuara serak (hot potato sounding).
Banyak pasien datang dengan keluhan nyeri telinga dan nyeri menelan pada
sisi yang sama. Trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka mulut) dalam
berbagai derajat dapat ditemukan oleh karena terjadinya inflamasi pada dinding
lateral faringeal dan muskulus pterigoid. Adanya limfadenopati dan inflamasi pada
muskulus cervikalis, pasien juga sering mengeluh adanya nyeri leher dan terbatasnya
mobilitas dari leher. Clinician harus waspada dalam mendiagnosa peritonsilar
absesar pada pasien yang memiliki gejala-gejala gangguan faringeal yang
menetap/kronis dan sudah mendapatkan terapi antibiotik.
Pemeriksaan Fisik
Pasien umumnya datang dengan keadaan umum tampak sakit berat.
Pemeriksaan dari rongga mulut ditemukan adanya eritem, palatum Molle asimetris,
eksudasi dari tonsilar, dan uvula yang berpindah tempat (displacement) kontralateral.
Dapat bervariasi, dari munculnya tonsilitis akut dengan gangguan faringeal unilateral
asimetri, dehidrasi dan sepsis. Peritonsilar absesar ini unilateral dan sering berlokasi
di pole posterior dari tonsil yang terlibat pada fossa supratonsiler. Pada mukosa dari
lipatan suratonsilar dapat terlihat pucat dan terkadang disertai adanya granula.
16
Palpasi dari palatum molle umumnya menunjukkan adanya area yang berfluktuasi.
Nasopharingoskopi dan laringoskopi dianjurkan untuk mengatasi masalah distress
pernafasan. Laringoskopi adalah metode untuk mengatasi epiglotitis dan
supraglotitis, sama seperti menangani patologi pita suara.
Derajat dari trismus tergantung dari luasnya inflamasi pada ruang lateral
faringeal. Jika terjadi sangat luas, maka harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
selulitis pada ruang faringeal lateral. Kelenjar getah bening di area tersebut dapat
menjadi lebih tegas (teraba). Adanya inflamasi pada kelenjar getah bening, dapat
terjadi torticollis dal terbatasnya gerakan leher.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Yang diperiksa adalah hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan
kultur darah. Karena pasien dengan peritonsilar abses seringkali dalam
keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat
tidak tercukupinya asupan makanan.
membantu
dokter
dalam
menyingkirkan
diagnosis
abses
retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi tidak
begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
CT Scan
Pada pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan dengan CT
scan pada rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.
Ditemukan gambaran kumpulan cairan hipodens di apex tonsil yang terkena,
dengan penyengatan pada perifer. Gambaran lainnya termasuk pembesaran
asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.
3.6. Diagnosis Banding
Peritonsilar
abses
harus
dibedakan
infiltrat
peritonsil.
Untuk
3.7. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Terapi Operasi
Bila terapi medikamentosa tidak memberikan respons yang baik maka
tindakan insisi drainase harus dilakukan. Drainase terbaik adalah tonsilektomi
quinsy, yang dilakukan dengan anastesi umum dan perlindungan antibiotika.
Karena peritonsilar abses merupakan komplikasi tonsilitis akut yang
berulang-ulang, maka dianjurkan pada penderita peritonsilar abses dilakukan
tonsilektomi, supaya tidak timbul abses yang berulang. Dapat dilakukan tindakan
operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi), yaitu tonsilektomi segera
mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
19
20
BAB IV
KESIMPULAN
Peritonsilar abses adalah infeksi leher dalam yang seringkali terjadi sebagai
komplikasi dari tonsillitis akut. Pasien dengan peritonsilar abses sering datang
dengan keluhan yang berat dan salah satu gejala yang sering membuat pasien datang
ke dokter adalah trismus karena peradangan pada m.pterigoid interna. Akan tetapi
tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani peritonsilar abses ini, tidaklah
serumit yang dibayangkan, yaitu berupa insisi dan drainase abses dengan anestesi.
namun apabila tidak dilakukan tindakan yang cepat, tepat dan efektif maka dapat
menimbulkan komplikasi yang cukup berarti.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Diunduh
dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?
book=cm&part=A384&rendertype=figure&id=A396.
2. Diunduh dari
http://www.medical-look.com/human_anatomy/organs/Neck_muscles.html
3. Diunduh
dari
http://www.instantanatomy.net/headneck/nerves/autonomic/cervicalgangliane
ck.html
4. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher. Dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi ke 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 7;hal: 174-178
5. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview
6. Diunduh dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3464/1/thtandrina2.pdf
7. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Peritonsilar abses. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
8. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.
38, 55-8.
9. Preston,
M.
2008.
Peritonsillar
Abscess
(Quinsy).
accessed:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/
10. . Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi 6, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2007. Hal:226-227
11. Adams GL. Penyakit penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, buku
ajar penyakit THT Edisi 6,Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
Hal: 333-334
22