03.kajian Panas Bumi Non Vulkanik PDF
03.kajian Panas Bumi Non Vulkanik PDF
SARI
Daerah Sulawesi bagian tenggara memiliki potensi panas bumi yang tersebar dari daratan Sulawesi
hingga Pulau Buton. Lingkungan geologi daerah ini berasosiasi dengan lingkungan non-vulkanik yang
data dan pemahaman pembentukan sistem panas buminya masih kurang memadai. Kajian ini bertujuan
untuk lebih memahami karakteristik sistem panas bumi non-vulkanik di daerah Sulawesi bagian tenggara.
Manifestasi panas bumi di daerah kajian pada umumnya berupa mata air panas bertipe bikarbonat, yang
telah mengalami pencampuran dengan air permukaan, dan terbentuk pada lingkungan batuan sedimen.
Pendugaan temperatur bawah permukaan mengindikasikan bahwa temperatur bawah permukaan berkisar antara 160-270oC, yang termasuk dalam zona temperatur sedang sampai tinggi.
Pembentukan sistem panas bumi di daerah kajian dapat dibedakan menjadi dua sistem. Sistem panas
bumi di daratan Sulawesi bagian tenggara lebih dipengaruhi oleh gabungan antara pengaruh pola struktur
geologi dan sisa panas dari aktivitas magmatik di kedalaman. Sedangkan di Pulau Buton, pembentukan
sistem panasnya merupakan gabungan antara pola struktur geologi dan cekungan sedimen sebagai basement-nya.
Lapisan reservoir yang membentuk sistem panas bumi di daerah kajian diperkirakan terdapat pada
kedalaman lebih dari 450 m pada batuan metamorf dan sedimen, sedangkan batuan penudungnya diperkirakan merupakan batuan yeng telah mengalami ubahan hidrotermal pada kedalaman 100-300 m.
Kata kunci: Sulawesi bagian tenggara, non vulkanik, sistem panas bumi, reservoir
PENDAHULUAN
GEOLOGI
I.3
I.3
GEOKIMIA
Air panas daerah kajian pada umumnya termasuk ke dalam tipe air panas bikarbonat
dan hanya sebagian kecil bertipe klorida yaitu
daerah Konawe (air panas Toreo, Parora, dan
Amohola). Tipe air bikarbonat di daerah kajian
ini menunjukkan bahwa naiknya fluida panas
bumi yang mengandung gas terutama CO 2
mengalami kondensasi di dalam akuifer dangkal. Hal ini didukung hasil analisis isotop yang
cenderung mendekati meteoric water line, yang
mencerminkan bahwa mata air panas dominan dipengaruhi pencampuran air permukaan.
Sedangkan tipe air klorida mengindikasikan
bahwa ketiga air tersebut kemungkinan berhubungan dengan deep water. Hal ini didukung
pula oleh hasil analisis isotop (daerah Amohola) yang cenderung menjauhi meteoric water
line, yang mengindikasikan fluida berasal dari
kedalaman (deep water). Sedangkan Toreo dan
Parora cenderung mempunyai tren ke arah
SMOW (Standard Mean Oceanic Water) yang
mengindikasikan adanya mixing dengan air laut.
Keberadaan mata air panas pada umumnya
berada pada zona immature water, yang menggambarkan kondisi pencampuran dengan air
permukaan yang dominan, namun ada juga yang
berada pada partial equilibrium (mata air panas
Parora dan Toreo) yang memberikan gambaran
bahwa kondisi air panas kemungkinan berasal
I.3
GEOFISIKA
Data gaya berat secara umum memperlihatkan
pola kelurusan yang diperkirakan berasosiasi
dengan kemunculan manifestasi di permukaan.
Selain itu, di daerah sekitar sebaran manifestasi umumnya memiliki nilai anomali Bouguer/
Sisa yang relatif tinggi. Anomali tinggi ini
diperkirakan berasosiasi dengan batuan yang
memiliki densitas tinggi dan diperkirakan berhubungan dengan aktivitas magmatik di bawah
permukaan. Oleh karena itu, anomali tinggi ini
dapat diinterpretasikan sebagai indikasi adanya
sumber panas di bawah permukaan.
Data magnetik memperlihatkan sebaran
anomali rendah di sekitar manifestasi panas
bumi permukaan. Anomali magnet rendah ini
umumnya dijadikan indikator adanya batuan
ubahan di dekat permukaan yang biasanya
berasosiasi dengan adanya aktivitas panas
bumi di sekitar daerah tersebut.
Secara umum, data tahanan jenis DC di daerah
Sulawesi bagian tenggara memperlihatkan pola
lineasi tahanan jenis yang umumnya selaras
dengan arah struktur yang berkembang di daerah tersebut. Untuk daerah Lainea, kelurusan
tersebuat cenderung berarah baratlaut-tenggara, untuk daerah Sampolawa kelurusan
tersebut cenderung berarah hampir utara-selatan dan barat-timur, sedangkan untuk daerah
Mangolo kelurusan tersebut berarah baratlaut-tenggara dan baratdaya-timurlaut. Selain
itu, lineasi ini juga berasosiasi dengan kemunculan manifestasi panas bumi permukaan
yang umumnya muncul di sepanjang struktur.
Lineasi-lineasi ini umumnya ditandai dengan
adanya kontras nilai tahanan jenis rendah dan
I.3
DISKUSI
Pola struktur geologi sangat mempengaruhi
pembentukan suatu sistem panas bumi. Struktur-struktur yang berkembang intensif akan
membentuk suatu zona permeabel di kedalaman sehingga terbentuklah suatu lapisan
reservoir. Pola struktur geologi di daerah kajian
sangat dipengaruhi oleh sesar aktif Palu-Koro
dan membentuk sesar-sesar sekunder yang
memperkaya zona rekahan di kedalaman. Sistem panas bumi terbentuk dalam zona-zona
sesar sepanjang kedalaman sesar-sesar utama
dimana fluida panas berasal dari air meteorik
yang masuk ke bawah permukaan dan terpanaskan oleh batuan beku panas.
Batuan penudung menyebabkan pergerakan
fluida panas yang terdapat di lapisan reservoir
tertahan untuk sampai ke permukaan. Batuan
penudung ini biasanya merupakan batuan
ubahan yang dicirikan oleh nilai tahanan jenis
rendah. Nilai tahanan jenis rendah di daerah
kajian pada umumnya memiliki nilai tahanan
jenis yang lebih tinggi dibandingkan di daerah
vulkanik dengan kisaran nilai < 50 0hm-m. Hal
ini disebabkan intensitas ubahan pada batuan
penudung ini tidak terlalu tinggi. Dari geologi
permukaan diindikasikan dengan sebaran
batuan ubahan yang tidak terlalu luas dan didominasi oleh ubahan mineral lempung. Dari
I.3
hasil kompilasi data-data yang sudah ada, batuan penudung ini diperkirakan terdapat pada
batuan metamorf dan sedimen dengan kedalaman 100-300 m.
Lapisan reservoir yang menyimpan fluida panas
yang memiliki temperatur dan tekanan dari sistem panas bumi pada umumnya terdapat pada
batuan metamorf dan sedimen yang kaya akan
rekahan dan bersifat permeabel. Rekahan dan
sifat permeabelnya ini diperkaya oleh aktivitas
tektonik berupa zona-zona sesar yang intensif.
Dari data yang sudah ada saat ini lapisan reservoir yang membentuk sistem panas bumi di
daerah kajian diperkirakan berada pada kedalaman lebih dari 450 m (data CSAMT di Lainea).
Sumber panas yang membentuk sistem panas
bumi di daerah kajian dapat dibedakan menjadi dua tipe. Sumber panas yang membentuk
sistem panas bumi di daratan Sulawesi bagian
tenggara diperkirakan berupa sisa panas aktivitas magmatik muda yang berupa batuan intrusi
yang tidak tersingkap di permukaan. Hal ini
didukung oleh data gaya berat yang menunjukkan adanya tubuh batuan beku di kedalaman
sekitar lokasi mata air panas (daerah Lainea).
Sedangkan sumber panas yang membentuk
sistem panas bumi di Pulau Buton diperkirakan
berhubungan dengan aktivitas tektonik berupa
geopressure dan pelarutan batuan karbonat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sistem panas bumi di daratan Sulawesi bagian
tenggara memiliki sistem yang berbeda dengan di Pulau Buton. Di daratan Sulawesi bagian
tenggara, pembentukan sistem panas buminya
lebih dipengaruhi oleh gabungan antara pengaruh pola struktur dan sisa panas dari aktivitas
magmatik di kedalaman. Sedangkan di Pulau
Buton, pembentukan sistem panasnya merupakan gabungan antara pola struktur geologi
dan cekungan sedimen sebagai basement-nya
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, van R.W., 1949. The Geology of Indonesia Vol. I A, The Hague. Netherlands.
KESIMPULAN
Pembentukan sistem panas bumi di daerah
Sulawesi bagian tenggara dapat dibedakan
menjadi dua sistem. Sistem panas bumi di
daratan Sulawesi bagian tenggara lebih dipengaruhi oleh gabungan antara pengaruh pola
struktur geologi dan sisa panas dari aktivitas
magmatik di kedalaman. Sedangkan di Pulau
Buton, pembentukan sistem panasnya merupakan gabungan antara pola struktur geologi
dan cekungan sedimen sebagai basement-nya.
Lapisan reservoir yang membentuk sistem
panas bumi di daerah kajian diperkirakan terdapat pada kedalaman lebih dari 450 m pada
batuan metamorf dan sedimen, sedangkan
batuan penudungnya diperkirakan merupakan
batuan yeng telah mengalami ubahan hidrotermal pada kedalaman 100-300 m.
I.3
I.3
Gambar 1. Lokasi Kajian Non Vulkanik Panas Bumi di Sulawesi Bagian Tenggara.
I.3
KETERANGAN
I.3
I.3
I.3