Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

SINUSITIS
PEMBIMBING :
dr. Farida, Sp.THT-KL,M.Kes
PENYUSUN :
Tiara Hana Keisha (03010266)
Jiwa Zhaqi Adiguna (03011148)
Muhammad Yogha (03011199)
Nur Adam A.K. (03011219)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RSUD BEKASI
PERIODE 14 APRIL 2016- 16 MEI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus langsung yang
berjudul Sinusitis dengan baik. Shalawat serta salam tak henti-hentinya mengalir
kepada uswatun hasanah, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat,dan
semoga kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir zaman, amin.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, maka dari itu kami mengucapkan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini masih
banyak kekurangan, karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini akan kami terima dengan hati terbuka. Akhir
kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi pembaca umumnya dan
bagi penulis khususnya.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Jakarta, 2 Mei 2016

Penulis

BAB I
ILUSTRASI KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. N

Umur

: 51 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Alamat

: Pejuang Pratama Blok Q Rt/Rw 07/06

2. ANAMNESIS ( autoanamnesis, tanggal 11 April 2016)


Keluhan Utama: Pilek yang terus menerus selama 1 tahun terakhir
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli THT RSUD dengan keluhan pilek yang terus menerus sejak
1 tahun terakhir. Os mengatakan pilek dirasakan terutama timbul saat berada di udara
yang dingin dan berdebu. Os mengaku biasanya akan bersin-bersin dan akan keluar
cairan sekret yang berwarna bening apabila berada di tempat yang dingin atau berdebu.
Os juga mengaku sering merasakan hidungnya tersumbat dan sesekali mencium bau-bau
ingus di daerah hidungnya. Selain itu, os juga mengatakan adanya rasa seperti lendir atau
ingus yang mengalir dari hidung turun ke tenggorokan. Os menyangkal adanya demam,
sakit kepala, nyeri di daerah dahi, di belakang bola mata ataupun pipi, telinga berdenging,
nyeri telinga, batuk, dan nyeri menelan. Os mengaku memang pernah mengalami sakit
gigi di gigi atas kiri dan kanan karena giginya ada yang bolong namun tidak pernah
diperiksakan ke dokter.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit berat, riwayat sinusitis (+), riwayat
rinitis (+), hipertensi (+), diabetes mellitus (-), asma (+), riwayat trauma pada hidung (-),
riwayat penyakit pada telinga sebelumnya (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
3

Tidak ada riwayat gejala penyakit hidung yang serupa pada anggota keluarga pasien.
Riwayat Alergi:
riwayat penggunaan obat-obatan dan riwayat alergi pada obat-obatan (-).alergi dingin
dan debu (+)
Riwayat Pengobatan :
Pernah berobat di puskesmas tapi tidak sembuh
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital:
Tensi : 160/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Suhu: 36,4 C
Respirasi : 16 x/menit
Status Lokalis:
Telinga:
Gambar :

Bagian Telinga
Aurikula

Daerah preaurikula

Daerah retroaurikula

Telinga kanan
Deformitas (-), hiperemis (-),

Telinga kiri
Deformitas (-), hiperemis (-),

edema (-)
Hiperemis (-), edema (-), fistula

edema (-)
Hiperemis (-), edema (-), fistula

(-), abses (-), nyeri tekan tragus

(-), abses (-), nyeri tekan tragus

(-)
Hiperemis (-), edema (-), fistula

(-)
Hiperemis (-), edema (-), fistula

(-), abses (-), nyeri tekan (-)

(-), abses (-), nyeri tekan (-)


4

Meatus akustikus

Membran timpani

Serumen (-), edema (-),

Serumen (-), edema (-),

hiperemis (-), furunkel (-), otorea

hiperemis (-), furunkel (-), otore

(-)
Retraksi (-), bulging (-),

(-)
Retraksi (-), bulging (-),

perforasi (-), cone of light (+),

perforasi (-), cone of light (+),

posisi jam 5, Injeksi (+)

posisi jam 7, Injeksi (+)

Hidung:

Gambar :

Pemeriksaan Hidung
Hidung Luar

Hidung Kanan
Hidung Kiri
Bentuk (N), Inflamasi (-), Bentuk (N), Inflamasi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-).

nyeri tekan (-), deformitas (-).

Rinoskopi Anterior
Vestibulum
Dasar kavum nasi media

N
N
Bentuk (N), mukosa hiperemi Bentuk (N), mukosa hiperemi

Meatus nasi media

(-).
(-).
Mukosa hiperemi (-), sekret Mukosa hiperemi (-), sekret
(-), konka nasi media (N), (-), konka nasi media (N),

Meatus nasi inferior

massa (-), sekret (-).


massa (-), sekret (-).
Mukosa hiperemi (-), edema Mukosa hiperemi (-), edema

Konka nasi inferior

(-)
Mukosa

hiperemi(-),

(-)
livide Mukosa hiperemi (-), livide
5

(+), hipertrofi (+)


(+), hipertrofi (+)
Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing (-),

Septum nasi

perdarahan (-).

perdarahan (-).

Tenggorokan:
Gambar :

Bagian
Mukosa bukal
Mukosa gigi
Palatum durum dan palatu mole
Mukosa faring
Tonsil

Keterangan
hiperemis (-), massa (-)
hiperemis (-), massa (-)
Hiperemis (-), massa (-)
Hiperemis (-), edema (-), massa (-), granul (-), ulkus (-),
post nasal drip (+)
Hiperemis (-), ukuran T1-T1, detritus (-)

Mulut dan orofaring


GIGI
Gigi berlubang
Gusi
LIDAH
Warna
Bentuk
Deviasi
Tremor, dan kelenjar salivasi

+ 15,17,25,27
Tidak ada kelainan
Merah muda
Normoglossia
Tidak ada deviasi
Tidak tremor dan tidak ada hipersalivasi

4. RESUME
Os datang ke poliklinik THT RSUD Bekasi dengan keluhan pilek yang terus menerus
sejak setahun yang lalu. Pilek dirasakan terutama ketika pasien berada di ruangan dingin
atau berdebu dan sekret yang keluar dari hidungnya berwarna bening. Hidung tersumbat
(+), mencium bau amis (+), rasa seperti lendir yang mengalir ke tenggorokan, sakit gigi
atas kanan dan kiri (+). Os juga mengaku memiliki alergi terhadap debu dan udara dingin.
6

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status lokalis hidung pasien terdapat konka inferior
yang hipertrofi dan livide di kanan dan kiri serta ditemukan adanya post nasal drip.
5. DIAGNOSIS BANDING :
-

Rhinitis alergika

Susp sinusitis

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen SPN
o Kedua sinus frontalis, etmoidalis dan sphenoidalis normal
o Sinus maxilaris berselubung
o Cavum nasi : conca menebal, septum di tengah

Kesan : sinus maxilaris dextra

Pemeriksaan Laboratorium
HASIL

DARAH RUTIN
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
INDEX ERITROSIT
MCV
MCH

UNIT

NILAI RUJUKAN

13.0
5.05
14.8
43.4

Ribu/uL
Juta/uL
g/dl
%

5-10
4-5
12-14
37-47

85.9
29.3

fL
Pg

82-92
27-32
7

MCHC
Trombosit
HEMOSTASIS
PT
PT control
APTT
APTT Control
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT
SGPT
Bilirubin
direk/indirek
Bilirubin Total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
FUNGSI GINJAL
Ureum
Kreatinin
LEMAK
Kolesterol total
DIABETES
GDS

34.1
327

%
Ribu/uL

32-37
150-400

14.2
14.7
30.2
33.6

Detik
Detik
Detik
Detik

12-18
12.4-27.9
20-40
27.5-39.5

20
20

U/L
U/L

<37
<41

0.50
0.20
0.30

Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

<1.2
<0.6
<0.8

22
0.68

Mg/dl
Mg/dl

20-40
0.5-1.5

197

Mg/dl

<200

97

Mg/dl

60-110

7. DIAGNOSIS KERJA:
Sinusitis maxilaris dextra
Rhinitis alergi

8. PEMERIKSAAN ANJURAN
Operasi sinusitis
Konsultasi ke dokter gigi
Konsultasi spesialis jantung untuk persiapan operasi
Konsultasi ke spesialis interna
Rontgen Thorax
8

Cek laboratorium darah


9. PENATALAKSANAAN:
a. Non medikamentosa
o Mengindari udara dingin dengan memakai baju hangat
o Memakai masker apabila berada di tempat yang banyak debunya
o Konsul gigi

b. Medikamentosa
Lokal : trismcinolon acetonide (Nasacort) 1 dd II NS KNDS
o Sistemik : Antihistamin : loratadine tab 10 mg 1 dd I tab
c.

Operasi: bedah sinus endoskopi fungsional

10. PROGNOSIS :
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanationam

:Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad malam

Laporan operasi
Operasi dilaksanakan pada tanggal 30 mei 2016
Diagnosis pro-operatif :
sinusitis maxilaris bilateral
Hipertrofi konka inferius KNDS
Diagnosis post-operatif :
sinusitis maxilaris bilateral post Antrotomi anterior
Hipertrofi konka inferius KNDS post Turbinektomi
Jaringan yang di eksisi / insisi:
Sinus maxilaris bilateral
Konka inferior KNDS
-

Pasien terlentang dalam posisi supine dengan general anestesi


Antiseptic dan aseptic medan operasi
Tampon adrenalin
Dilakukan antrostomi anterior pada sinus maxilaris sinistra
Cuci dengan larutan betadine dan Nacl
Dilakukan antrostomi anterior pada sinus maxilaris dextra
Cuci dengan larutan betadine dan Nacl
Dilakukan turbenektomi pada konka inferior KNDS
Pasang tampon 2/2
Operasi selesai

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Sinusitis
Rhinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi dari hidung
dan mukosa sinus paranasal dengan durasi lebih dari 12 minggu. Sinusitis diberi nama sesuai
dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila
mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Perdefinisi, sinusitis kronis


berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis
akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa berupa
infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, yang
semuanya reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan
irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip.
Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa
dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan
mikroabses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut.
Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan
submukosa.10

11

Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronis cukup beragam. Pada era preantibiotik, sinusitis hiperplastik kronis timbul akibat sinusitis akut berulang dengan
penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam patofisiologi sinusitis kronis beberapa faktor
ikut berperan dalam siklus peristiwa yang berulang. Polusi bahan kimia menyebabkan
silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat
juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan
mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada
sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan menyebabkan udem konka, sehingga
drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu akan menyebabkan silia
rusak dan begitu seterusnya.2
Sinusitis kronik adalah sinusitis yang terjadi lebih dari 8 minggu. Pada sinusitis
kronik, rongga di sekitar lubang hidung (sinus) menjadi meradang dan bengkak. Ini
mengganggu drainase yang menyebabkan lendir menumpuk. Kondisi umum seperti ini
disebut juga rinosinusitis kronik. Daerah sekitar mata dan wajah mungkin akan terasa
bengkak, sakit wajah atau sakit kepala. Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh infeksi,
tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya polip hidung atau septum hidung yang bengkok
(menyimpang).8

12

2. Anatomi Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus
sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 18 tahun.2
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus sinus ini membentuk
rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis,
frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok kelompok sel etmoidalis
anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing masing kelompok bermuara ke dalam
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan
mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada
orang sehat, rongga terutama berisi udara.2

13

Pembagian sinus paranasalis :11


a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus
melalui cabang dari nervus maksilaris.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,
berasal dari sel sel resessus frontal atau dari sel sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat sekat dan tepi sinus berlekuk lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal.
Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal
dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi
mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang
berasal dari nervus trigeminus.
c. Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian
14

anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga rongga, terdiri dari sel sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel sel ini jumlahnya bervariasi antara
4 17 sel (rata rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel
sel sinus etmoid anterior biasanya kecil kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan konka
media, sedangkan sel sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit
jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus
etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina. Inervasi mukosa
berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 7,5 ml.
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus berasal dari
arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina
mayor.
Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus (nervus V 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapatkan persarafan
sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina
disamping memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom
pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensoris dari nervus maksila
(nervus V 2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut

15

serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang
dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media
3. Fungsi Sinus Paranasal 11
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus
b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakana.
d. Membantu resonansi udara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi
kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin dan beringus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.
4. Patofisiologi
Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke

16

dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap
efektor.20
Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara napas.
Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses oleh
makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi
peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat
pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke
adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho
bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen
tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR) bersama molekul CD4
dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel
penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun
nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin.20
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen (APC)
kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk memproduksi IgE
yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan
sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi
dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di
mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa
dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan
sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala
rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil
yang positif.

17

Fase elisitasi
18

1. Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang dengan alergen
yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung dapat terjadi ikatan/
bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan sel mast/ basofil dengan
alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006). Interaksi antara IgE yang
terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi
guanosine triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C
untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3)
dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan
ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung
mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang
mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama
dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi
ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators seperti
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan
exositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed
mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin.20
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena histamin
dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin, rinore, hidung gatal dan
hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yaitu meningkatkan
permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore.
Ikatan histamin pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V
menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin
pada kelenjar karena aktifasi reflek parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar
yang menyebabkan gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga menyebabkan gejala
hidung tersumbat karena menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama
konka. Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi
fase segera (RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh
histamine N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel.20
2. Tahap efektor

19

Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami metabolisme
dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan
adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat.
Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam
setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah
tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang
merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil
dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap
seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai
berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti
perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel
seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi
molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinophil
mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan
oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan alergen spesifik terusmenerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat
pada rinitas alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati,
2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik
terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran pentingnya pada
penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi.
Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan
juga ditemukan di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan
sebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa
hidung penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena
mengandung berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic
protein (ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang
mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf
mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas.20
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis
alergi
20

Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rhinitis alergi
ditandai oleh gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala tersebut
diakibatkan kinerja histamine dan berbagai mediator lain.15
1. Bersin-bersin (sneezing)
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya merupakan gejala
RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan alergen dihubungkan dengan
degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL.
Bersin disebabkan stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending).
Peptida endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.15
2. Gatal-gatal (pruritus)
Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui dengan baik.
Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak bermyelin (unmyelinated) dekat
bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang

Dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang

disalurkan secara lambat sepanjang neuron sensoris yang kecil didalam nervus spinalis ke
thalamus dan korteks sensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada
rhinitis alergi secara khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat histamin
berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi langsung
pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan namun hanya kecil saja
disalurkan secara lamba.15
3. Beringus (rhinorrhea)
Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa hidung yang
berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit
kemudian. Beringus merupakan gejala dominan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang
RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan
mengalirnya cairan plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler
pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang diduga
karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor H1.
Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal
ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat
dihambat oleh atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat

21

kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung


ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.
Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus melalui
mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang
juga berperan pada proses
beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP).15
4. Buntu hidung (nasal congestion)
Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang
tidak menetap, tetapi terjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi
vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang
berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga
terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung
juga menambah sumbatan hidung.
Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan
akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih
dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF.
Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,tidak lebih dari 30
menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler
juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali
lebih kuat dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan
tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus. PGD2 dan
bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian juga neuropeptida
substance P dan calcitonin-gene related dapat menimbulkan vasodilatasi dan karenanya turut
dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman,2001).
Peran sitokin pada rinitis alergi
Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan oleh
Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung memproduksi dua jenis
sitokin yang berbeda. Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan
menjadi sel Th1 dan sel Th2. Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi
oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,

22

lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta faktor
genetik. Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang
diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN- dan IL-2. Penelitian lebih lanjut ditemukan
berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin
IFN- dianggap sebagai prototipe sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.
Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami polarisasi
menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang disebut pula
sebagai sitokin tipe 2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang
sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu menginduksi sellimfosit B untuk
memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1
yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN- dan IL-2.
Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi oleh sel Th2,
sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi dalam w aktu
1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan
Th2 adalah mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE
merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.
Sitokin IFN- selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel NK dan sel T
cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai pemicu aktifasi sel
Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah
sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN- sendiri. Dalam respon
primernya terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh lingkungan
mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN- dan IL-12 terlibat dalam menentukan
diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.
Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag yang
teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber utamanya
adalah sel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel
dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan
sel dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah dendrit
mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang
sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi
antigennya meningkat dengan mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan
23

meningkatkan produksi sitokin imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan


oleh tool like receptor (TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal
bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi
sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.
Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang terdapat
selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan produksi IL-12 adalah IFN-
dan TNF-, sedangkan yang menghambat produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di
antara mediator-mediator tersebut IFN- merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat.
Sementara itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-, meskipun secara invitro
untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-. Produksi IL-12 oleh makrofag
dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari
mikroorganisme patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur
sentral imunitas seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama
untuk diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN- oleh sel
Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh
IFN- sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin
IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh
monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel
Th2.
Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin Th2
dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan produksi IL12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama
dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi.
Mediator lain yang penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga
mempunyai efek menekan produksi IL-12.
Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas karena perbedaan
tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik antara imunitas
humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi
berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN- ) dapat menghambat
produksi sitokin Th2 (IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi
sitokin Th1 (IFN-). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi
24

penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif tetap, demikian
juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi sel Th memori yang belum
mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya
dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel memori
Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu
IFN- yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel
memori relatif fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan
mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi.
Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2 menjadi respon
imun TH1 telah disemonstrasikan baik secara invitro maupun invivo. Secara in vitro
diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah tepi penderita
alergi dan menekan produksi IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12
menekan sintesis IL-4 dan IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN- pada sel T
CD4+ pada penderita rinitis alergi.
2.9 Antigen
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia yang terikat
protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara kronik. Pemaparan antigen
sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang akan menentukan tingginya kadar IgE
spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap antigen tertentu diperlukan untuk menghasilkan
reaksi atopi terhadap antigen bersangkutan.16
Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan antigen
lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan alami, karena itu gagal
merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya dapat meningkatkan aktivasi
makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga
terletak pada antigen itu sendiri, mungkin dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun
tidak ada struktur protein khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa
protein itu alergenik, ada beberapa gambaran khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran
itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh.16
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
25

Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh, terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari
:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat nonspesifik dan dapat
berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas
selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai.Bila Ag masih ada atau ada defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut
menjadi respons tertier.
3. Respons tertier.
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh .20

26

Fungsi drainase dan ventilasi berperan penting dalam menjaga sinus tetap normal. Ini
berhubungan erat dengan keadaan dari komplek osteomeatal pasien itu sendiri. Pada komplek
osteomeatal yang terganggu yang menyebabkan terjadi gangguan drainase serta ventilasi yang
dapat mempengaruhi kandungan oksigen, peningkatan p C02 dan gangguan PH serta
pembengkakan mukosa hidung dan akhirnya menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar
(Busquets ,2006 ; Ballenger , 1994; Wilma ,2007). Obstruksi ostium sinus menyebabkan retensi
lendir dan menurunkan kandungan oksigen, peningkatan pCO2, menurunkan pH, mengurangi
aliran darah mukosa. Pembengkakan membran mukosa juga akan menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.16
Menurut Sakakura(1997), patogenesis dari rhinosinusitis kronik berawal dari adanya
suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive
amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek , lipolisaccharide dan lain-lain. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan
disfungsi mukosiliar. Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukos.
Akibat hal ini lah maka bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi
akan kembali terjadi.16
27

5. Etiologi13
a. Infeksi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus. Partikel
virus sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menggangu system mukosiliar
rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke palut lendir dan masuk ke sel tubuh dan
menginfeksi secara cepat. Dengan menggunakan cahaya mikroskop dan transmisi mikroskop
elektron dapat dideteksi abnormalitas silia yang disebabkan oleh infeksi virus. Bentuk
dismorphic dari silia tampak lebih sering pada tahap awal dari sakit dan terjadi pada lokal.
Epitel yang normal kembali setelah infeksi mereda 2-10 minggu. Pada populasi normal yang
terinfeksi dengan rhinovirus type 44 dan rata-rata waktu transportasi mukosiliar dengan
menggunakan label radioaktif sebagai cara pemeriksaan nya mendapatkan transport mukos
yang menurun pada 2 hari terinfeksi. Dan secara signifikan rata-rata waktu transportasi
mukosiliar yang tampak meningkat pada hari ke 9-11 setelah terinfeksi. Di samping itu virus
juga meningkatkan kekentalan mukus, kematian silia, dan edema pada
b. Alergi : reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan cavitas sinus yang menghasilkan
edema dan inflamasi di membrana mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan
blokade dalam pembukaan cavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk
perkembangan jamur, bakteri, atau virus.
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat muara sinus dan
mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. 4
Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul
pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. 7 Selain faktor
alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan . Faktor cuaca seperti udara
dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara
yang kering dapat menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis.
Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya
deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas
hidung dan nasofaring sering disertai dengan penyumbatan muara sinus.8
28

Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi rinitis, yaitu virus
dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta
respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian
akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri.
Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering
ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis
disebabkan oleh bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena
sinusitis kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi
mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana
proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan
pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering
ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis,
Streptcoccus

pneumoniae

dan

Escherichia

coli,

Bakteri

anaerob

termasuk

Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran antara


organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.9
c. Struktur dan anatomi hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal.
Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu
sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau
kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi
transportasi mukosiliar.22
d. Iklim
Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak langsung berpengaruh
terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga, disamping memberi suasana
yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.
e. Hormonal
29

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau sedang hamil
karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.
f. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan
Obat dekongestan topikal juga terlihat dapat menghambat fungsi silia.
Penggunaan obat tersebut paling kurang menyebabkan gangguan fungsi mukosiliar
sementara. Pemberian obat-obat seperti phenylephrine 0,5 % dan oxymetazoline Hcl
0,05 % dapat menghambat gerakan silia secara sementara pada binatang percobaan
tapi hal ini belum dapat dibuktikan pada manusia.22
Gejala Klinis
International Conference on Sinus Disease 1995 membuat kriteria mayor dan minor
untuk mendiagnosa rhinosinusitis kronis. Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai 2
atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor
dan 2 gejala minor.21
-

Gejala Mayor :

Obstruksi hidung
Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering
disebut PND (Postnasal drip)
Sakit kepala
Nyeri /rasa tertekan pada wajah
Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)
-

Gejala minor

Demam
Halitosis
Batuk dan iritabilitas
Pada sinusitis kronik terdapat gejala Subyektif dan gejala objektif.
a. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
30

Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
b. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau
komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau
turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis
kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis
ini dapat menyertai poliposis hidung kronis. Kadang-kadang gejala sangat ringan hanya
terdapat sekret di nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang teus
menerus akan mengakibatkan batuk kronik. Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya
terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya
belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin pada malam hari terjadi penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasis vena. Pada sinusitis kronis, temuan
pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada
wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius
atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau
turun ke tenggorok. Diagnois dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksan
rinoskopi anterior dan posterior serta pemeriksaan penunjang berupa transluminasi untuk
sinus maksila dan sinus frontal, pemeriksaan radiologik, pungsi sinus maksila, sinoskopi
sinus maksila, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan
menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan.
Pemeriksaan Penunjang
31

Pemeriksaan IgE total serum


Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada penderita
atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi. Pada orang normal,
kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan
menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal.
Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma.
Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit
(dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta
multipel mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus
melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai
sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostic.15
Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan
menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)
Rontgen sinus paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :
1.

Penebalan mukosa,

2.

Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan
dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus.

32

CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan
adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis
kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis
radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.
Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang
perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari
ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang
tidak menyenangkan buat pasien.
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis
dilakukan dengan menagspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik
yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan
demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus

diketahui benar jenis bakterinya

penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila mendapatkan kuman
aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8
kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%)
dari 40 sampel penelitian pada tahun 2007. Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman
aerob pada satu sediaan.
Legent F dkk (Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis
yang terbanyak adalah. Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus
pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994) menemukan kuman Streptokokus pneumonia
sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan
33

Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp. Dari penelitian dan berbagai
teori yang ada menyebutkan bahwa terdapat campur tangan bakteri pada sinusitis
b. Terapi
Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,
memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar, dan menekan proses inflamasi pada
mukosa saluran nafas. Pada kasus-kasus kronis atau rekuren penting juga menyingkirkan
faktor-faktor iritan lingkungan.19
Antibiotik merupakan modalitas terapi primer pada rhinosinusitis . Setelah diagnosa
ditegakkan dapat diberikan antibiotik lini pertama berdasarkan pengalaman empirik,
sambil menunggu hasil kultur.Berdsasarkan efektivitas potensi dan biaya, jenis antibiotik
yang banyak digunakan adalah sefalosporin dan amoksisilin.Untuk kasus akut diberikan
selama 14 hari, sedangkan untuk kasus kronik diberikan sampai 7 hari bebas
gejala.Lamanya terapi biasanya 3-6 minggu.19
Terapi tambahan untuk mengurangi gejala adalah kortikosteroid intranasal, mukolitik
dan dekongestan. Antihistamin hanya hanya efektif untuk kasus kasus alergi yang
merupakan penyakit dasar rhinosinusitis pada beberapa pasien.18
Talbot dkk membandingkan penggunaan larutan buffer garam hipertonik (3 %, pH
7,6) dengan larutan garam fisiologis. Larutan garam hipertonik baik digunakan pada
sinusitis kronis atau pasca operasi karena dapat mengurangi edema melalui difusi
osmolaritas (Talbot, 1997) Selain terapi medikamentosa yang dijelaskan diatas,
rinosinusitis rekuren atau kronis memerlukan tindakan bedah. Pada saat ini tindakan
bedah yang palling direkomendasi adalah bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau
sering disebut dengan Fungsional endoskopi sinus surgery (FESS).17
-

Antihistamin

Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya histamin


dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada mukosa hidung.
Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H1-receptor agonists yang
menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamine dapat dicegah.
Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan
bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA.16
34

Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat efektif
mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang
menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut masuk ke
peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan
untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan.
Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena
mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap
reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik.
Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil
dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :
mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang antihistamin
golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah. Beberapa contoh
antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah : klorfeniramin,
difenhidramin dan triprolidin.16
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin
lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif,
sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam
melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja
yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali
sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin.
Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada
pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga dibeberapa negara obat
obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat
dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik
terhadap jantung.16
Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam mencegah
dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan keamanan obat.
Akhir akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas
mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda
ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah
terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor (PAF), prostaglandin serta
35

mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten (RAP)
buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya
infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru
inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan
akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai
turunan loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin. Desloratadin adalah
antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1 yang efektif baik untuk rinitis
alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah metabolit aktif dari loratadin.
Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja yang lama sampai 24 jam penuh,
karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga bahwa desloratadin mempunyai
efek menghambat kerja sel inflamasi dalam melepaskan mediator-mediator seperti
sitokin, kemokin dan molekul adesi yang merupakan komponen pengatur respon alergi
inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian klinik dilaporkan bahwa
desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada pengobatan rinits alergi persisten
(RAP) dan rinitis alergi intermiten (RAI) serta keamanan yang setara dengan antihistamin
lainnya. Dilaporkan pula bahwa obat ini juga mempunyai khasiat mengurangi buntu
hidung.16

36

Pembedahan
Radikal
a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
37

Non Radikal
a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
c. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun nyata sejak diberikannya antibiotik. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah :
1. Kelainan pada orbita
Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang berdekatan
dengan mata.
Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi

pada tulang

barier terutama lamina papirasea.


b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan
langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita.
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun
sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak,
karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali
merekah pada kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.

38

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.

Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran


vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa pemberian antibiotik intravena dosis
tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk membebaskan pus dari rongga abses. Gejala sisa
trombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
i. Oftalmoplegia.
ii. Kemosis konjungtiva.
iii. Gangguan penglihatan yang berat.
iv. Kelemahan pasien.
v. Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Kelainan intrakranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung

39

dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang
membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala
utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses
memecah kedalam ruang subarachnoid.
c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak
biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan
demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea
korteks seebri.
Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinusitis supuratif
yang berat, dan pembentukan abses otak dapat berlanjut sekalipun penyakit pada sinus
telah memasuki tahap resolusi normal. Oleh karena itu, kemungkinan terbentuknya
abses otak perlu dipertimbangkan pada semua kasus sinusitis frontalis, etmoidalis, dan
sfenoidalis supuratif akut yang berat, yang pada fase akut dicirikan oleh suhu yang
meningkat tajam dan menggigil sebagai sifat infeksi intravena. Kasus seperti ini perlu
diobservasi selama beberapa bulan. Hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan,
kakeksia sedang, demam derajat rendah sore hari, nyeri kepala berulang, serta mual
dan muntah yang tak dapat dijelaskan mungkin merupakan satun-satunya tanda infeksi
yang berlokasi dalam hemisfer serebri.

40

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
3. Kelainan pada tulang
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi
dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema
supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri
tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa
intrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut, radiogram memperlihatkan
gambaran seperti digerogoti rayap pada batas batas sinus, menunjukkan infeksi telah
meluas melampaui sinus. Destruksi tulang dan pembengkakan jaringan lunak, demikian
pula cairan atau mukosa sinus yang membengkak paling baik dilihat dengan CT scan.
Sebelum penggunaan antibiotik, penyebaran infeksi ke kalvaria akan mengangkat
perikranium dan menimbulkan gambaran klasik tumor Pott yang bengkak. Pengobatan
komplikasi ini termasuk antibiotik dosis tinggi yang diberikan intravena, diikuti insisi segera
abses periosteal dan trepanasi sinus frontalis guna memungkinkan drainase. Suatu tabung
drainase atau kateter dijahitkan ke dalam sinus hingga infeksi akut mereda sepenuhnya dan
duktus frontonasalis berfungsi dengan baik. Jika duktus frontonasalis tidak lagi dapat
diperbaiki, perlu dilakukan prosedur lanjutan untuk menciptakan suatu duktus frontonasalis
baru. Pada osteomilitis kalvarium yang menyebar, diharuskan suatu debridement yang luas
dan terapi antibiotik masif. Untunglah, komplikasi ini jarang terjadi.
4. Kelainan pada paru
Bronkitis kronik
Bronkhiektasis
5. Mukokel dan piokel

41

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam
sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah
untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau
obliterasi sinus.
6. Otitis media
7. Toxic shock syndrome

42

d. Pencegahan
Tidak ada cara yang pasti untuk menghindari baik sinusitis yang akut atau kronis. Tetapi
di sini ada beberapa hal yang dapat membantu:
Menghindari kelembaban sinus - gunakan saline sprays atau sering diirigasi.
Hindari lingkungan indoor yang sangat kering.
Hindari terpapar yang dapat menyebabkan iritasi, seperti asap rokok atau aroma bahan
kimia yang keras.10

43

BAB III
PENUTUP

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing masing sisi hidung. Seperti sinus
maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus spenoidalis. Sinus paranasalis ini
mempunyai fungsi :
1. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
2. Penahan suhu (thermal insulators)
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi udara
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus
Penyebab terjadinya sinusitis adalah inflamasi dan infeksi, struktur atau anatomi dari
sinus, kebiasaan atau gaya hidup, inherited atau acquired, dan lingkungan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis dari sinusitis
adalah transiluminasi, rontgen sinus paranasalis, CT scan, sinoscopy, dan pemeriksaan
mikrobiologi.
Pada penderita sinusitis

berdasarkan hasil kultur ditemukan bakteri seperti

Streptokokus pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas sp, Streptokokus piogenes dan Klebsiela
pneumonia. Sehingga antibiotik masih di butuhkan pada penderita sinusitis tersebut. Antibiotic
yang sensitive adalah terutama adalah Streptomisin, rimfapicin, kanamisin, gentamisin yang
berbentuk injeksi. Sedangkan untuk obat antibiotic oral yaitu doksisiklin, tetrasiklin, enteromisin,
ciprofloksasin.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium sinusitis,Jakarta
1999, 1 6.
2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. dkk (Eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 1990 ;85-87
3. Michael A. Kaliner MD. Recurent Sinusitis Examine Medical Treatment Options.American
Journal of Rhinologi. Vol II No. 2 March April 1997 123-30.
4. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam GL, Boies LR Jr.
Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology, 6th ed. Philadelphia 1989, 195
205.
5. Yuritna Haryono. Rinitis Alergi. Dalam makalh Simposium UP Date in Ig E Mediated
Allergic Reaction. Medan, 1994 ; 1 26.
6. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and Accessory Sinuses.
Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat, ear,head and neck.13th ed. Philadelphia
1985, 1 25.
7. Mygind Robert N. Alergic Diagnosis. Allergic dan Non Allergic Rinitis Frankland AW.
Editor. Nasal allergy 2 nd ed. Blackwell Scientific Publication Oxford London
Edinbergh, Melbourne 1978 ; 182 - 98.
8. Becker W. at all. Inflamation of Sinuses. Clinical Aspects of Desease of the Nose and
Throat Desease. A Pocket Reference, second Edition. Thieme New York 1994, page 22437
9. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
1990

49 270

10. Dina,2010. Alergi sebagai faktor sinusitis kronis.www.google.com.Download tanggal 1


oktober 2010
11. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus
Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai Penerbit FK
UI, Jakarta, 1990 ; 75 84
45

12. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
13. Budianto. 2005. Guidance to Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar asisten anatomi FK
UNS Surakarta.
14. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium Current and Future Approach in Treatment of Allergic
Rhinitis kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT FK UI / RSCM, Jakarta,pp.14-18
15. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Current Opinion In Allergy and Clinical Immunology,Divisi
Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
16. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,
Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan
Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral,
Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18
17. Kennedy DW, Lee JT, 2006, Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck SurgeryOtolaryngology, Vol I, Fourth Edition, ByronJ.Bailey Lippincott
Wiliams and Wilkins, Philadelphia,459-75
18. Sakakura Y, 1997, Mucociliary Transport in Rhinologic Disease, in Bunnag C,
Muntharbornk, Asean Rhinological Practice, Siriyot Co,Ltd,
Bangkok,137-43
19. Weir N, Golding-Wood DG(1997) Infective rhinitis and Sinusitis.in : mackay IS, Bull
TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology(Rhinologi).6th
ed.Oxford,Boston,Singappore:Butterworth-Heinemann:4/8/1-49
20. Suprihati,2006,

Patofisiologi

Rinitis

Alergi,

Dalam

Kumpulan

Naskah

SimposiummNasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit


PenyertamRinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan
Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15
21. Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World Health
Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA), WHO, pp.3-7
46

22. Waguespack R, 1995, Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus


Surgery, Laryngoscope(Supplement),105, 1-40

47

Anda mungkin juga menyukai