Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyebab dari BPH tidak diketahui secara jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihydrotestoteron (DHT)
dan proses aging (penuaan).
Prostat
terletak
mengelilingi
urethra
posterior,
pembesaran
dari
prostat
mengakibatkan urethra pars prostatika menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih.
Penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita dirasakan sebagai
keluhan/gejala LUTS.
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) adalah istilah umum untuk menjelaskan
berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien BPH berupa LUTS
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms).
Obstruksi yang disebabkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa
prostat (merupakan komponen statis) yang menyumbat urethra posterior
tetapi juga
disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos (merupakan komponen dinamis) yang terdapat
pada stroma prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih.
Peningkatan tonus otot polos prostat (Otot ini dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus pudendus) pada BPH terkait rangsangan dari 1-adrenoceptors (Kim,
2011).
BPH dapat dimulai pada usia 40 tahun dan semakin sering dengan bertambahnya
usia. Mengenai hampir seluruh pria, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai gejala
walaupun prostatnya mungkin telah membesar. BPH umumnya menjadi masalah seiring
dengan waktu, dengan gejala bertambah buruk bila tidak ditangani.
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai
pemeriksaan tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik
(DRE= Digital Rectal Examination), Pemeriksaan Laboratorium (PSA=Prostate-specific
antigen) dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi (TRUS = TransRectal UltraSonography
ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography) digunakan untuk menemukan jenis
kelainan dari prostat (BPH, kanker prostat atau prostatitis).
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran prostat dibuatlah
sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem yang
dianjurkan oleh WHO ini adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini
juga berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH (Barry et al, 1992; Mc
Nicholas et al, 2011).
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat
lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) dan
satu
pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang terdiri atas tujuh
kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan (IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat
(IPSS 20-35) tergantung pada banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan
aktivitas penderita. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang
pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu mendapatkan
terapi medikamentosa atau terapi lain. Semua informasi ini dapat membantu dalam
memahami seberapa mengganggunya gejala berkemih dan menentukan tatalaksana yang
terbaik.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Bila
LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang mempengaruhi kualitas
hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan tatalaksana terbaik. Masalah medis
yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana BPH.
2.2.
begitu pula di saluran kemih dan jaringan penis (corpus carvenosum). Berbagai subtipe 1adrenoceptors telah diteliti dan diidentifikasi dalam kandung kemih, prostat dan jaringan
penis (corpus carvenosum). Menurut klasifikasi oleh International Union of Pharmacology,
1-adrenoceptor diklasifikasikan menjadi tiga subtipe, 1a-, 1b- dan 1d-. Pada Tabel 2 dapat
dilihat rincian subtipe dan lokasinya (Traish et al, 2000; El-Gamal, 2006 ; Taylor et al, 2008).
Lokasi
1a
Sel stroma prostat, otot polos pembuluh darah, urethra, vas deferens, otot
polos corpus carvenosum, kandung kemih
1b
1d
Sel stroma prostat, urethra, vas deferens, kandung kemih, otot destrusor
1 dan 2
antagonists
lainnya,
1a-adrenoceptors
antagonists
secara
khusus
dikembangkan untuk mengobati LUTS pada BPH (Traish et al, 2000; Fine and Ginsberg,
2008).
Alpha1-adrenoceptors antagonists selektif yang digunakan untuk terapi BPH, juga
memblokir aksi noradrenalin pada tingkat reseptor 1 di otot polos corpus cavernosum.
noradrenalin mengaktifkan -adrenoceptors yang terletak pada membram otot polos corpus
cavernosum menyebabkan kontraksi otot polos dan detumescence penis, sehingga Alpha1aadrenoceptors antagonists memiliki efek ereksi (Seracu et al, 2009). Telah diketahui bahwa
efek samping berupa hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau
penurunan tekanan darah diastolik 10 mmHg pada perubahan posisi dari telentang menjadi
berdiri) lebih jarang diketemukan pada 1a-adrenoceptors antagonists dibanding obat
golongan -adrenoceptors antagonists lainnya. Oleh karena itu, untuk pasien dengan
komorbiditas kardiovaskuler, penggunaan tamsulosin untuk manajemen klinis BPH mungkin
pilihan yang lebih aman daripada subtipe nonselektif 1- adrenoceptors antagonists (Kirby,
2005; Fine and Ginsberg, 2008).
2.3.
arteri, relaksasi sinusoidal dan kompresi vena, ketika aliran darah ke penis melebihi aliran
darah dari penis (Lowe, 2005).
Penis memiliki jaringan erektil berupa dua corpus cavernosum (tersusun dari dua
silinder paralel jaringan erektil) dan satu corpus spongiosum (silinder tunggal terletak
dibagian ventral, mengelilingi urethra, sedangkan bagian ujungnya membentuk glans penis).
Jaringan erektil berupa jaringan berongga (sinusoid-sinusoid) yang tersusun dari sel-sel otot
polos. Kontraksi dan relaksasi sel-sel otot polos ini bersifat involunter atau tidak disadari.
Sinusoid dibatasi oleh tunica albuginea yaitu jaringan ikat yang kuat. Tunica albuginea pada
corpus cavernosum lebih tebal daripada di corpus spongiosum. Tunica albuginea ini
merupakan pembatas sebesar apa jaringan erektil penis bisa terisi darah dan membesar saat
ereksi. Pada glans penis tidak terdapat tunica albuginea. Radix penis bulbospongiosum
diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan corpus cavernosum diliputi oleh otot
Ischiocavernosus (El-Sakka and Lue, 2004; Kirby, 2005).
Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik S2-S4 dan simpatik
T10-L2) serta persarafan somatik S2-S4 (sensoris dan motoris). Dari neuron di sumsum
tulang belakang dan ganglia perifer, saraf simpatis dan parasimpatis bergabung dan
membentuk saraf cavernosa, yang memasuki corpus cavernosum dan corpus spongiosum
untuk mempengaruhi peristiwa neurovaskular saat ereksi dan detumescence. Saraf somatik
bertanggung
jawab
untuk
sensasi
dan
kontraksi
otot-otot
bulbocavernosus
dan
Stimulasi seksual
Impuls parasimpatis
Menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah penis dan
relaksasi otot polos trabecular
EREKSI
FLACCID
Diperantai
syaraf simpatis
Penis membesar
2.4.
Amerika Utara dan Amerika Selatan, menunjukkan hubungan yang konsisten antara LUTS
dengan Disfungsi Ereksi (ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan
seksual yang memuaskan) dan atau disfungsi ejakulasi pada pria dengan BPH. Disfungsi
Ereksi dapat diklasifikasikan menjadi psikogenik, organik atau gabungan psikogenik dan
organik. Faktor organik dibagi lagi menjadi gangguan vaskulogenik (paling sering), saraf,
dan endokrin. Setiap faktor yang mempengaruhi fungsi pembuluh darah merupakan faktor
risiko untuk Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Mc Vary, 2005; Muneer et al, 2007).
Prevalensi Disfungsi Ereksi pada pria berusia 40-70 tahun dengan komorbiditas
diperkirakan 9,7% secara keseluruhan, dengan tingkat 39% pada pria dengan penyakit
jantung, 29% pada pria dengan diabetes, dan 15% pada mereka dengan hipertensi. Bila
dikelompokkan berdasarkan usia, prevalensi Disfungsi Ereksi meningkat dari 40% dengan
Disfungsi Ereksi ringan dan 5% dengan Disfungsi Ereksi berat pada usia 40 tahun, menjadi
70% dan 15%, masing-masing pada usia 70 tahun. Analisis lebih lanjut dari data ini
menunjukkan LUTS menjadi independen faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi (Taylor et al,
2008).
Studi The Multinational Study of Aging Male (MSAM)-7, yang mengevaluasi
kuesioner respondens 12.815 orang, menunjukkan bahwa Disfungsi Ereksi dikaitkan dengan
keparahan LUTS, analisis ini menemukan bahwa LUTS dan usia lebih kuat menjadi faktor
risiko Disfungsi Ereksi daripada kondisi komorbid lain seperti diabetes, hipertensi atau
hiperlipidemia (Rosen et al, 2003). Faktor psikososial dinyatakan sebagai penyebab selain
faktor fisiologis. Perubahan gaya hidup karena nokturia dapat mempengaruhi terjadinya
disfungsi ereksi (Taylor et al, 2008; Seo et al, 2011; Kim, 2011).
Patogenesis yang mendasari hubungan antara LUTS dan Disfungsi Ereksi belum
sepenuhnya dipahami. Hipotesis yang ada termasuk (1) Penurunan aktivitas eNOS/NO pada
prostat dan otot polos penis, (2) Peningkatan Aktivasi Rho-kinase, (3) Efek hiperaktivitas
otonom pada LUTS, pertumbuhan prostat dan Disfungsi Ereksi, (4) Ketidakseimbangan adrenoceptors (5) Aterosklerosis pelvis (pada prostat, kandung kemih dan penis) (Mc Vary,
2005; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).
Sudah diketahui bahwa produksi eNOS/NO prostat berkurang pada BPH (zona
transisional) dibandingkan dengan jaringan prostat normal, sehingga mengurangi relaksasi
tonus prostat. Penurunan ini berpengaruh terhadap fungsi berkemih yang selanjutnya
berkembang menjadi BPH atau LUTS (Mc Vary, 2005).
Peningkatan Rho kinase-aktivitas menyebabkan kontraksi otot polos meningkat, yang
selanjutnya
memberikan
kontribusi
untuk
ganguan
fungsi
ereksi
dan
perubahan tonus kandung kemih (Ponholzer et al, 2007; Taylor et al, 2008).
PATOGENESIS
Penurunan
aktivitas eNOS
Meningkatnya
Aktivasi Rho-kinase
Hiperaktivitas
otonom
Ketidakseimbangan
-adrenoceptors
Aterosklerosis
pelvis
BPH/LUTS
ED
EHS Grade 1 = Penis membesar, namun tidak keras termasuk disfungsi ereksi
berat.
EHS Grade 2 = Penis keras, namun tidak cukup untuk ereksi termasuk disfungsi
ereksi sedang.
EHS Grade 3 = Penis cukup keras untuk penetrasi, namun tidak maksimal (suboptimal) termasuk disfungsi ereksi ringan.
EHS Grade 4 = Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya (optimal) tidak
mengalami disfungsi ereksi.
2.5.
Kerangka Teori
BPH
LUTS
EREKSI
1a-adrenoceptors
antagonists (Tamsulosin)
RESPON ?
2.6.
Alur Penelitian
PASIEN BPH