Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gliserol
Gliserol merupakan suatu produk samping cukup besar yang dihasilkan dari
proses pembuatan biodiesel. Hampir 10% gliserol dihasilkan pada setiap proses
pembuatan biodiesel. Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan
tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus struktur
gliserol pada gambar 1.

Gambar 1. Rumus Struktur Gliserol (wikipedia.org)


Andika (2007) mengatakan bahwa gliserol banyak terdapat di alam sebagai
ester asam lemak pada minyak atau lemak. Istilah gliserol diaplikasikan hanya pada
bahan campuran kimia murni 1,2,3-propanatriol, sedangkan istilah gliserin
diaplikasikan pada produk komersial yang umumnya mengandung lebih dari 95%
gliserol setelah proses pemurnian. Gliserol merupakan produk samping yang
prospektif dari proses pembuatan biodiesel, karena harganya lebih tinggi daripada
reaktan metanol. Fasa gliserol dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak dan
alkohol, dimana pada akhir proses akan terpisah dengan metil ester (biodiesel) akibat
adanya perbedaan berat jenis. Selain itu, sifat gliserol yang tidak mudah larut dalam
metil ester juga mempermudah dan mempercepat proses pemisahan kedua fasa
tersebut, baik dengan cara pengendapan (settling) atau sentrifugasi. Gliserol yang

diperoleh setelah proses pemisahan ini mengandung sebagian kecil ekses metanol dan
sebagian besar sisa katalis serta sabun (Andika, 2007).
Gliserol harus dipisahkan dari biodiesel karena gliserol dapat membentuk
senyawa akrolein dan terpolimerisasi menjadi senyawa plastis yang agak padat.
Senyawa ini akan membentuk deposit pada pompa injektor sehingga menyebabkan
kerusakan pada mesin diesel. Selama ini gliserol hasil samping produksi biodiesel
masih bernilai ekonomis rendah, karena kemurniannya masih belum memenuhi
standar. Gliserol hasil samping produksi biodiesel belum dapat dimanfaatkan, baik
dalam bidang farmasi maupun makanan sebagaimana lazimnya gliserol paling banyak
digunakan. Jumlah gliserol yang dihasilkan dari setiap produksi biodiesel kurang
lebih 10 % dari total produksi biodiesel. Adapun sifat-sifat fisika dan kimia dari
Gliserol ditunjukan dalam tabel 1.
Tabel 1. Sifat Sifat Fisika dan Kimia Gliserol
Sifat Fisika Gliserol

berat molekul : 92,09 kg/kmol


titik beku : 17,9 0 C
titik didh : 290 0 C
spesifik gravity : 1,260
densitas : 0.847 g/cm3 70 C
viskositas : 34 cP
fasa : Cair ( 30 0 C, 1 atm )
sempurna dalam air
mudah terhidrogenasi
merupakan asam lemak tak jenuh

Sifat Kimia Gliserol

Larut dalam air


Merupakan senyawa hidroskopis
tidak stabil pada suhu kamar
Rumus Kimia Gliserol : C3H8O3

(sumber: http://www.chem-is-try.org)
Kegunaan dari gliserol sangatlah banyak tetapi kebutuhan yang paling besar
pada pembuatan resin sintetis dan ester gums, obat - obatan, kosmetika, dan pasta
gigi. Pemrosesan tembakau dan makanan juga membutuhkan gliserol dalam jumlah
yang besar. Selain itu gliserol juga dimanfaat sebagai bahan adiktif pada bahan bakar
seperti bensin dan biodiesel yang berfungsi sebagai penurun titik kabut dan titik tuang
dengan metode konversi gliserol. Konversi gliserol biasanya dilakukan dengan cara
esterifikasi gliserol, eterifikasi gliserol, oksidasi gliserol, dan reduksi gliserol. Proses
4

esterifikasi gliserol yaitu mereaksikan gliserol dengan asam organik maupun asam
anorganik akan menghasilkan gliserol ester, dari golongan asam organik misalnya
dari kelompok asam karboksilat bisa dihasilkan gliserol asetat, gliserol benzoat,
gliserol carbonat, dan sebagainya. Proses eterifikasi gliserol yaitu merekasikan
gliserol dengan aryl/alkyl alcohol dihasilkan gliserol eter, proses oksidasi gliserol
biasa dilakukan untuk mendapatkan berbagai produk yang mengandung asam
glikolat, asam oksalt, dan asam formiat.
Arbianti dkk., (2008) meneliti tentang esterifikasi enzimatis gliserol dengan
asam laurat yang menghasilkan senyawa lesitin yang mampu menurunkan tegangan
permukaan air dan stabilitas emulsi minyak-air. Dakka dkk., (2010) meneliti tentang
pembuatan glycerol tripthanoate yang dilakukan dengan cara esterifikasi antara
gliserol

dan asam heptanoate, kemudian glycerol trihepthanoate ini digunakan

sebagai plasticizer untuk PVC (poly vinyl chloride). Pada penelitian ini juga
menghasilkan hexanal, yang kemudian akan dioksidasi menjadi asam hexanoat.
Trejda dkk., (2011) juga meneliti tentang konversi gliserol menjadi glycerol triacetate
dengan reaksi esterifikasi gliserol dengan asam asetat dengan katalis Niobium silica
SBA-15, penelitian ini diperoleh konversi paling besar adalah 94% dan selektivitas
paling besar untuk glycerol triacetate adalah 40%. Hilyati dkk., (2001) juga
melakukan penelitian tentang sintesis glycerol monostearat yang dilakukan dengan
reaksi esterifikasi antara gliserol dan asam strearat dengan katalis asam (HCL) dan
basa (KOH). Kiatkittingpong dkk., (2010) melakukan penelitian tentang sintesis
gliserol eter dengan eterifikasi gliserol dengan tetra-butyl alcohol dengan reaktor
berpengaduk dan kemudian dipisahkan menggunakan kolom distilasi dalam skala
laboratorium hasilnya adalah TTBG (tri tert-butil ether glycerol).

2.2 Konversi Gliserol


Garmilla.,2012 untuk memanfaatkan kelebihan gliserol yang dihasilkan dari
produksi biodiesel, banyak industri berharap untuk bisa mengembangkan metode
inovatif yang dapat menggunakan gliserol sebagai bahan baku yang bisa diproduksi
untuk memberi nilai tambah bahan kimia. Gambar 2 menggambarkan beberapa bahan
kimia penting yang berasal dari gliserol.

Gambar 2. Skema Gliserol yang Terkonversi Menjadi Produk Kimia Lain yang
Memiliki Nilai Tambah (sumber: petrochemical).
Gliserol yang diubah menjadi produk lain yang memiliki nilai tambah
ditunjukkan panah biru, dan sebagian besar bahan kimia yang disebutkan di atas
dihasilkan dari propena yang ditunjukkan panah putus putus. Penggunaan gliserol
sebagai bahan adiktif bahan bakar memungkin untuk menghemat penggunaan bahan
bakar fosil. Untuk mendapatkan produk gliserol yang bisa digunakan sebagai bahan

adiktif bahan bakar diesel maka bisa dilakukan proses eterifikasi yang sudah
dilakukan beberapa peneliti.
2.3 Eter
Eter adalah suatu senyawa organik yang mengandung gugus ROR',
dengan R dapat berupa alkil maupun aril. Contoh senyawa eter yang paling umum
adalah pelarut dan anestetik dietil

eter (etoksietana,

CH3-CH2-O-CH2-CH3).

Eter

sangat umum ditemukan dalam kimia organik dan biokimia, karena gugus ini
merupakan gugus penghubung pada senyawa karbohidrat dan lignin.
2.3.1 Struktur dan Ikatan Eter
Eter memiliki ikatan C-O-C yang bersudut ikat sekitar 110 dan jarak C-O
sekitar 140 pm. Sawar rotasi ikatan C-O sangatlah rendah. Menurut teori ikatan
valensi, hibridisasi oksigen pada senyawa eter adalah sp3.
Oksigen lebih elektronegatif daripada karbon, sehingga hidrogen yang berada
pada posisi alfa relatif terhadap eter bersifat lebih asam daripada hidrogen senyawa
hidrokarbon. Walau demikian, hidrogen ini kurang asam dibandingkan dengan alfa
hidrogen keton.
2.3.2 Sifat sifat Fisika dan Kimia Eter
Ada dua sifat sifat eter atau alkoksi alkana yang akan dibahas, yaitu sifat
fisika eter dan sifat kimia eter (reaksi eter).

Sifat-sifat fisika
Alkoksi Alkana merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap dan

terbakar, serta berbau enak tetapi mempunyai sifat membius. Titik didih alkoksi
alkana realtif lebih rendah jika dibandingkan dengan isomer gugus fungsinya,
alkohol, yang setara (memiliki jumlah atom C sama) karena di dalam alkohol terdapat
ikatan hidrogen, sedangkan pada Alkoksi alkana tidak (adanya gaya London, yang
lebih lemah dari ikatan hidrogen).

Sifat Sifat Kimia (reaksi eter)


Eter kurang reaktif karena gugus fungsinya yang kurang reaktif. Berikut

beberapa reaksi eter:


a. Reaksi dengan PCl5
Reaksi alkoksi alkana dengan fosfor penta klorida akan menghasilkan alkil
halida. Reaksi dengan PCl5 dapat digunakan untuk membedakan alkohol
dengan alkoksi alkana. Pada alkohol dihasilkan HCl yangd apat memerahkan
lakmus biru, sedangkan alkoksi alkana tidak.
R O R + PCl5 RCl + RCl + POCl3
Contoh:
CH3 O C2H5 + PCl5 CH3Cl + C2H5Cl + PCl3
b. Reaksi dengan asam halida (HX)
Eter dapat bereaksi dengan asam halida (terutama HI) menghasilkan alkil
halida dan alkohol.
R O R + HI R OH + R I
Jika asam halidanya berlebih, akan dihasilkan 2 molekul alkil halida.
Contoh:
C2H5 O CH3 + HI C2H5 OH + CH3 I
CH3 O C2H5 + 2HI CH3 I + C2H5 I + H2O

2.3.3 Reaksi Pembuatan Eter

Eter secara umumnya memiliki reaktivitas kimia yang rendah, walaupun ia lebih
reaktif daripada alkana. Beberapa contoh reaksi penting eter adalah sebagai berikut
2.3.3.1 Pembelahan Eter
Walaupun eter tahan terhadap hidrolisis, ia dapat dibelah oleh asam-asam
mineral seperi asam bromat dan asam iodat. Asam klorida hanya membelah eter
dengan sangat lambat. Metil eter umumnya akan menghasilkan metil halida:
ROCH3 + HBr CH3Br + ROH
Reaksi ini berjalan via zat antara onium, yaitu [RO(H)CH3]+Br-. Beberapa jenis eter
dapat terbelah dengan cepat menggunakan boron tribomida (dalam beberapa
kasus aluminium klorida juga dapat digunakan) dan menghasilkan alkil bromida.
Berganting pada substituennya, beberapa eter dapat dibelah menggunakan berbagai
jenis reagen seperti basa kuat.
2.3.3.2 Pembentukan Peroksida
Eter primer dan sekunder dengan gugus CH di sebelah oksigen eter, dapat
membentuk peroksida, misalnya dietil eter peroksida. Reaksi ini memerlukan oksigen
(ataupun udara), dan dipercepat oleh cahaya, katalis logam, dan aldehida. Peroksida
yang

dihasilkan

dapat meledak.

Oleh

karena

ini,

diisopropil

eter

dan tetrahidrofuran jarang digunakan sebagai pelarut.


2.3.3.3 Sebagai Basa Lewis
Eter dapat berperan sebagai basa Lewis maupun basa Bronsted. Asam kuat
dapat memprotonasi oksigen, menghasilkan "ion onium". Contohnya, dietil eter dapat
membentuk kompleks dengan boron trifluorida, yaitu dietil eterat (BF3.OEt2). Eter
juga berkooridasi dengan Mg(II) dalamreagen Grignard. Polieter (misalnya eter
mahkoya) dapat mengikat logam dengan sangat kuat.
2.3.4

Sintesis
Eter dapat disintesis melalui beberapa cara:

2.3.4.1 Dehidrasi Alkohol


Dehidrasi senyawa alkohol dapat menghasilkan eter:
2 R-OH R-O-R + H2O
Reaksi ini memerlukan temperatur yang tinggi (sekitar 125 C). Reaksi ini
dikatalisis oleh asam, biasanya asam sulfat. Metode ini efektif untuk menghasilkan
eter simetris, namun tidak dapat digunakan untuk menghasilkan eter tak simetris.
Dietil eter dihasilkan dari etanol menggunakan metode ini. Eter siklik dapat pula
dihasilkan menggunakan metode ini.
2.3.4.2 Sintesis Eter Williamson
Eter dapat pula dibuat melalui substitusi nukleofilik alkil halida oleh alkoksida
R-ONa + R'-X R-O-R' + NaX
Reaksi ini dinamakan sintesis eter Williamson. Reaksi ini melibatkan
penggunaan alkohol dengan basa kuat, menghasilkan alkoksida, yang diikuti oleh
adisi pada senyawa alifatik terkait yang memiliki gugus lepas(R-X). Gugus lepas
tersebut dapat berupa iodida, bromida, maupunsulfonat. Metode ini biasanya tidak
bekerja dengan baik dengan aril halida (misalnya bromobenzena). Reaksi ini
menghasilkan rendemen reaksi yang tinggi untuk halida primer. Halida sekunder dan
tersier sangat rawan menjalani reaksi eliminasi E2 seketika berpaparan dengan anion
alkoksida yang sangat basa.
Dalam reaksi lainnya yang terkait, alkil halida menjalani substitusi nukleofilik
oleh fenoksida. R-X tidak dapat digunakan untuk bereaksi dengan alkohol.
Namun, fenol dapat digunakan untuk menggantikan alkohol. Oleh karena fenol
bersifat asam, ia dapat bereaksi dengan basa kuat seperti natrium hidroksida,
membentuk ion fenoksida. Ion fenoksida ini kemudian mensubstitusi gugus -X pada
alkil halida, menghasilkan eter dengan gugus aril yang melekat padanya melalui
mekanisme reaksi SN2.
C6H5OH + OH- C6H5-O- + H2O
10

C6H5-O- + R-X C6H5OR

2.3.4.3 Kondensasi Ullmann


Kondensasi Ullmann mirip dengan metode Williamson, kecuali substratnya
adalah aril halida. Reaksi ini umumnya memerlukan katalis, misalnya tembaga.
2.3.4.4 Adisi Elektrofilik Alkohol ke Alkena
Alkohol dapat melakukan reaksi adisi dengan alkena yang diaktivasi secara
elektrofilik.
R2C=CR2 + R-OH R2CH-C(-O-R)-R2
Katalis asam diperlukan agar reaksi ini dapat berjalan. Biasanya merkuri
trifluoroasetat (Hg(OCOCF3)2) digunakan sebagai katalis.
2.3.4.5 Pembuatan Epoksida
Epoksida biasanya dibuat melalui oksidasi alkena. Eposida yang paling
penting dalam industri adalah etilena oksida, yang dihasilkan melalui oksidasi etilena
dengan oksigen. Epoksida lainnya dapat dihasilkan melalui dua cara:

Melalui oksidasi alkena dengan peroksiasam seperti Asam meta-

kloroperoksibenzoat (m-CPBA).
Melalui substitusi nukleofilik intramolekuler halohidrin

2.3.4.6 Eterifikasi Gliserol


Gliserol eter adalah hasil konversi gliserol dengan proses eterifikasi, dan salah
satu fungsi dari gliserol eter adalah sebagai zat adiktif yang digunakan sebagai
komponen blending pada bahan bakar diesel, dengan fungsi meningkatkan standar
mutu dari biodiesel. Peningkatan standar mutu tersebut berupa penurunan cloud point
(titik kabut) dan pour point (titik tuang), yang bila mana jika cloud point (titik kabut)
dan pour point (titik tuang) dalam kondisi yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan

11

mesin karena kristalisasi pada suhu tertentu, mengingat bahwa beberapa wilayah di
Indonesia memiliki iklim dingin (suhu rendah). Dan mekanisme proses pembuatan
gliserol eter ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Reaksi Gliserol Eter (Yadav et al., 2011)


Proses eterifikasi gliserol eter juga melibatkan katalis yang berfungsi untuk
mempercepat reaksi gliserol dan alkohol serta menyerap air hasil samping reaksi. Air
hasil samping reaksi harus benar benar dihilangkan dalam proses ini karena jika masi
terdapat air maka gliserol eter yang terbentuk tidak maksimal. Tingkat konversi
gliserol menjadi gliserol eter dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu suhu, rasio mol,
air dan pengambangan gel serta tipe katalis pada reaksi eterifikasi. Konversi gliserol
dan rendemen gliserol eter mengingkat seiring dengan peningkatan rasio mol. Katalis
dalam bentuk asam kuat, kering, makroretikular, serta memiliki tingkat ikatan
bercabang yang tinggi merupakan katalis aktif dalam reaksi eterifikasi karena
memiliki pori pori yang cukup besar sehingga gliserol eter yang terbentuk sangat
besar.

12

2.3.4.6.1 Produksi Eterifikasi Gliserol Eter


a. Eterifikasi Gliserol dengan Isobutilena
Klepacova et al.,2007 mempelajari tentang tert-butyl gliserol dengan
isobutilena menggunakan katalis asam padat komersial menghasilkan mono-, di-, dan
tri- tert-tertbutil eter gliserol (MTBG, DTBG, TTBG) dan melaporkan konversi
gliserol tinggi 88 % dengan zeolit H-T. Reaksi eterifikasi gliserol dengan isobutilena
ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Reaksi eterifikasi gliserol dengan tert-butanol


Lee et al., 2010 juga mempelajari reaksi yang sama menggunakan
Amberlyst - 15 katalis untuk kondisi 50-100C dan 20 MPa. Eterifikasi reaksi gliserol

13

dilakukan di stainless steel diaduk autoclave dengan pengaduk mekanik , sebelum


gliserol percobaan dan Amberlyst - 15 katalis yang dimasukkan ke dalam reaktor dan
dibersihkan dengan nitrogen dan kemudian isobutilen diperkenalkan (Lee et al.,
2010).
b. Eterifikasi Gliserol dengan Tert-butanol
Pada penelitian optimasi proses sintesis gliserol tert-butil eter, oleh dwi
setyaningsih dkk,.(2012) gliserol dieterifikasikan dengan tert-butanol yang akan
menghasilkan formasi mono-, di-, dan tri-tert-butil eter gliserol (MTBG, DTBG,
TTBG). Struktur gliserol eter sebagai bahan aditif dapat berupa 1,3 di-tert-butil eter
gliserol atau perpaduan 2,3 di-tert-butil eter gliserol dengan 1,2 di-tert-butil eter
gliserol dan 1,2,3 tri-tert-butil eter gliserol. Yang dicontohkan seperti pada gambar 5.

Gambar 5. Reaksi Eterifikasi Gliserol dengan Tert-butanol


Klepacova et al.(2005) juga menyebutkan bahwa proses eterifikasi pada
gliserol cendrung terjadi pada gugus hidroksil primer formasi 1-tert-butyl-gliserol dan
1,3 di-tert-butil gliserol. Proses eterifikasi gliserol dapat dilakukan menggunakan

14

katalis homogen ataupun katalis heterogen. Reaksi gliserol dengan tert-butil alkohol
akan menghasilkan air, yang mengganggu reaksi. Hal ini dikarenakan reaksi bersifat
bolak balik sehingga gliserol tert-butil eter yang terbentuk dapat terhidrolisis kembali.
c.

Eterifikasi Gliserol dan Metanol

Dong Chaoqi.,et al. (2013) meneliti proses eterifikasi gliserol dan metanol
dengan katalis SO3H-Functioned Ionic Liquids. Didapatkan konversi gliserol sebesar
84.5%. adapun mekanisme reaksi eterifikasi antara gliserol dan metanol ditunujukkan
pada gambar 6.

Gambar 6. Mekanis Reaksi Eterifikasi Gliserol dan Metanol


Pada reaksi eterifikasi gliserol dan metanol yang termasuk salah satu alkohol
murni sangat dipengaruhi oleh pengaruh ketalis yang digunakan. Dan katalis SO3HFunctioned Ionic Liquids adalah salah satu katalis yang sangat asam.
2.4 Alumina (Al2O3)
Alumina merupakan suatu oksida aluminium atau Al 2O3. Alumina yang
ditemukan di alam berbentuk hidroksida tidak murni dan merupakan penyusun utama
bauksit. Proses Bayer dilakukan untuk menghilangkan pengotor-pengotor seperti
SiO2, Fe2O3, dan TiO2 yang terdapat dalam bauksit, sehingga akan menghasilkan
Al2O3 dengan kemurnian 99,5%. Alumina mempunyai sifat relatif keras secara fisik,
relatif stabil pada suhu tinggi, konduktivitas listrik yang rendah, titik leleh tinggi,

15

struktur porinya besar, serta mempunyai luas permukaan dengan kisaran 100-200
m2/g.
Dengan karakteristik ini, menyebabkan alumina sering digunakan dalam
industri, antara lain sebagai adsorben, amplas, katalis, dan penyangga katalis. Sifat
alumina sangat bervariasi tergantung pada cara pembuatannya. Alumina bersifat
amfoter, artinya mempunyai sifat keasaman dan kebasaan yang ditentukan oleh gugus
atau ion permukaan yang berada di ujung mikrokristalit. Dalam bentuk aktif, alumina
mempunyai permukaan polar yang mampu mengadsorpsi senyawa-senyawa polar.
Sifat-sifat tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan suhu dan pH.
2.4.1 Klasifikasi Alumina
Alumina terdapat dalam bentuk anhidrat dan terhidrat.
a. Dalam bentuk hidrat (aluminium hidroksida)
Aluminium hidroksida terdiri dari kandungan gugus hidroksida dan oksida
hidroksida. Yang termasuk golongan alumina hidrat antara lain Gibbsite, Bayerite,
dan Boehmite.
1. Gibbsite (-aluminium trihidrat / -Al(OH) 3)
Gibbsite dikenal juga sebagai hidragilit. Dalam industri, -aluminium trihidrat
diperoleh melalui kristalisasi larutan NaAlO2. Ukuran partikelnya bervariasi dari 0,5200 m tergantung pada metode pembuatannya.
2. Bayerit (-aluminium trihidrat / -Al(OH) 3)
Bayerit dibuat dengan mengendapkan larutan natrium aluminat yang hasilnya berupa
gel, lalu di-aging dengan penetralan garam aluminium dengan larutan amonia.
3. Boehmite (-aluminium oksida hidroksida / -AlO(OH))

16

Boehmite dibuat melalui perubahan hidrotermal gibbsite pada suhu di atas 150C.
Kisi boehmite terdiri dari lapisan rangkap dengan ion O2- tersusun secara kemasan
rapat kubus.
b. Dalam bentuk anhidrat
Yang termasuk alumina anhidrat adalah alumina stabil (-alumina) dan alumina
transisi (alumina metastabil).
1. Alumina stabil (-alumina / korundum)
Alumina ini mempunyai sifat paling stabil diantara alumina lain. - Al 2O3 merupakan
produk akhir dari proses dekomposisi termal dan hidrotermal aluminium hidroksida
pada suhu diatas 1100C, yang bersifat keras, inert, kuat, dan titik lelehnya tinggi
(2100C).
2. Alumina metastabil (alumina transisi / alumina aktif)
Alumina aktif diperoleh dari hasil dehidrasi termal aluminium hidroksida pada
rentang suhu 250-800C. Berdasarkan kisaran suhu pemanasannya, alumina aktif
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

Kelompok -

Kelompok ini meliputi -, -, dan - Al 2O3, yang dihasilkan dari pemanasan boehmite
dengan suhu dibawah 600C dan berbentuk Al2O3.x H2O.

Kelompok

Kelompok ini meliputi , -, dan - Al 2O3, yang diperoleh dari hasil pemanasan
boehmite pada suhu 900-1000C dan berbentuk anhidrat.
2.4.2 Gamma-Alumina (- Al2O3)
-Al2O3 merupakan alumina transisi dan berbentuk padatan amorphous yang
mempunyai struktur spinel yang cacat, dimana ion oksigen membentuk kemasan

17

rapat kubus (ccp), yang mempunyai 16 lubang oktahedral dan 8 lubang tetrahedral.
Ion-ion Al3+ menempati koordinasi oktahedral dan tetrahedral dalam kisi oksigen
tersebut. Struktur Al3+ oktahedral dikelilingi 6 atom O2- dan struktur Al3+
tetrahedral dikelilingi 4 atom O2-.
- Al2O3 terbentuk melalui pemanasan Al(OH)3 pada suhu 500-800C.
Pemanasan Al(OH)3 menyebabkan Al(OH)3 terdekomposisi menjadi suatu oksida
dengan sistem mikropori dan luas permukaan yang besar. Alumina transisi yang
paling terkenal kegunaannya sebagai katalis adalah - Al2O3 dan - Al2O3
Perbedaan antara - Al2O3 dan - Al2O3 antara lain adalah - Al2O3 lebih
bersifat asam daripada - Al2O3. Namun, - Al2O3 mempunyai luas permukaan dan
pori-pori yang lebih besar daripada - Al 2O3, serta stabil dalam proses katalisis.
Selain itu, - Al2O3 juga tidak mahal, stabil pada suhu tinggi, stabil secara fisik dan
kuat, mudah dibentuk dalam proses pembuatannya. Oleh karena itu, - Al2O3 paling
banyak digunakan sebagai katalis.
2.4.3 Pembuatan -Alumina (- Al2O3)
Proses pembuatan alumina secara sintetik adalah melalui proses Bayer,
dengan pembentukan gel dari aluminium hidroksida. Al(OH)3 larut dalam asam kuat
dan basa kuat, tetapi pada kisaran pH tertentu (netral) terjadi pengendapan hidroksida
menghasilkan sol dan berubah menjadi gel.
Pembuatan - Al2O3 dapat dilakukan dari larutan garam yang mengandung
Al3+ seperti aluminium klorida. Penambahan basa akan meningkatkan pH larutan
dan menyebabkan terbentuknya endapan Al(OH)3. Aluminium hidroksida yang
terbentuk akan berbeda sesuai dengan pH karena penambahan basa. Pada 3<pH<7,
endapan akan membentuk gel dari mikrokristal boehmite (AlO(OH)), dan dengan
pemanasan lebih tinggi dari 500C akan membentuk - Al2O3 amorf. Jika endapan
terbentuk pada pH 6 8 maka akan membentuk endapan gel dari kristal boehmite.
Setelah di-aging, disaring, dicuci, dan dikalsinasi pada suhu 500C, boehmite ini akan
membentuk - Al2O3. (Nurhayati.,2008)

18

2.5 Metanol
Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol adalah senyawa kimia dengan
rumus kimia (CH3OH). Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan
atmosfer ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol).
metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan
sebagai bahan additif bagi etanol industri.
Penggunaan metanol sebagai bahan bakar mulai mendapat perhatian ketika
krisis minyak bumi terjadi pada tahun 1970-an karena ia mudah tersedia dan murah.
Masalah timbul pada pengembangan awalnya untuk campuran metanol-bensin. Untuk
menghasilkan harga yang lebih murah, beberapa produsen cenderung mencampur
metanol lebih banyak. Produsen lainnya menggunakan teknik pencampuran dan
penanganan yang tidak tepat. Akibatnya, hal ini menurunkan mutu bahan bakar yang
dihasilkan. Akan tetapi, metanol masih menarik untuk digunakan sebagai bahan
bakar bersih. Mobil-mobil dengan bahan bakar fleksibel yang dikeluarkan oleh
General Motors, Ford dan Chrysler dapat beroperasi dengan setiap kombinasi etanol,
metanol dan/atau bensin. (http://id.wikipedia.org/wiki/Metanol). Dengan sifat sifat
fisik dan kimia metanol ditunjukan dalam tabel 2.
Tabel 2. Sifat Sifat Fisika dan Kimia Metanol

Sifat fisika Metanol


Massa molar 32.04 g/mol
Berwarna bening
Densitas 0.7918 g/cm3
Titik leleh -970C, -142.90F (176K)
Titik didih 64.70C, 148.40F (337.8K)
Kelarutan dalam air fully miscible
Keasaman (pKa) ~ 15.5
Viskositas 0.59 mPa.s at 200C
Momen dipol 1.69

Sifat kimia Metanol


Mudah terbakar
Beracun
Mudah menguap
Tidak berwarna
Bau yang khas (berbau lebih ringan dari
pada etanol)

(sumber: http://www.chem-istry.org)

19

2.6 Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS)


GC-MS merupakan suatu metode yang menggabungkan metode dengan
kromatografi gas dan spektrometri massa untuk dentifikaasi zat zat yang terdapat
dalam suatu sampel.
Prinsip indentifikasi dengan metode GC didasarkan pada perbedaan waktu
retensi dari tiap tiap molekul dalam sampel. Suatu sampel yang dianalisis dengan GC
akan mengalami pemisahan dalam kolom yang terbuat dari suatu padatan pendukung
dan fasa cairan yang dilapisi ke padatang pendukung. Kepolaran dari kolom akan
berperan penting dalam pemisahan senyawa-senyawa dalam sample, dengan prinsip
senyawa yang memiliki kepolaran yang paling mirip dengan kepolaran isi kolom
yang akan tertahan paling lama didalam kolom (memiliki waktu retensi besar),
sementara senyawa dalam sampel yang memiliki kepolaran paling berbeda dengan isi
kolom, akan paling awal keluar dari kolom (memiliki waktu retensi kecil) menuju
detektor.
Prinsip indentifikasi dengan metode MS berupa pemecah senyawa-senyawa
dalam sampel ke suatu fragmen-fragmen terionisasi dan mendeteksi fragmen-fragmen
tersebut menggunakan perbandingan massa terhadap muatan. Mula mula sampel akan
melewati kolom GC dan akan dipisahkan berdasarkan perbedaan waktu retensi tiaptiap senyawa dalam sampel. Kemudian sampel yang keluar dari perangkat GC akan
masuk ke alat MS yang akan menangkap, mengionisasi, mempercepat, membelokkan,
serta mendeteksi molekul yang terionisasi secara terpisah. (https://en.wikipedia.org)
Skema alat GC-MS ditunjukkan pada gambar 8.

20

Gambar 8. Skema Alat GC-MS


Penggabungan kedua metode tersebut akan memperkuat identifikasi sampel,
sebab dua senyawa dalam sampel tidak mungkin memilki waktu retensi serta fragmen
ionisasi yang sama sehingga tidak dapat dibedakan. Jika hanya digunakan salah satu
metode, terdapat kemungkinan identifikasi yang belum sempurna, sebab ada
kemungkinan dua senyawa memiliki waktu retensi yang sama atau memiliki fragmen
ionisasi yang sama.

21

Anda mungkin juga menyukai