Anda di halaman 1dari 6

MATERI 4

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Treaty Contract
Treaty Contract

maksudnya adalah perjanjian-perjanjian yang seperti

suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata hanya mengakibatkan hakhak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Atau
dengan kata lain perjanjian yang berlaku khusus yaitu hanya mengikat negaranegara yang menandatangani perjanjian tersebut.
Contoh:

Perjanjian

dwi

kenegaraan,

perjanjian

perbatasan,

ekstradisi,

perjanjian perdagangan bilateral.


Law Making Treaty
Law Making Treaty atau Traite-Lois maksudnya adalah perjanjian yang
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional
sebagai keseluruhan. Atau dengan kata lain perjanjian yang berlaku yaitu
memiliki kaidah yang mengikat semua negara, walau negara tersebut tidak
turut serta menandatanganinya.
Contoh:
1. Konvensi Jenewa rahun 1949 rnengenai Perlindungan Korban Perang
2. Konvensi Wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik
3. Konvensi Hak Cipta Intemasional
Perbedaan antara Treaty contract dan Law Making Treaty tampak jelas bila
dilihat dari pihak yang tidak turut serta dalam perundingan-perundingan yang
melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga pada umumnya tidak dapat turut
serta

dalam

treaty

contract

yang

diadakan

antara

pihak-pihak

yang

mengadakan perjanjian itu semula. Perjanjian itu mengatur persoalan yang


semata-mata menyangkut pihak-pihak itu.

Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional


1. Perundingan (negotiation)
2. Penandatanganan (signature)
3. Pengesahan (ratification)
Tahapan Pembuatan Perjanjian atau Traktat / Konvensi lnternasional
1. Penunjukan para Negosiator, Kuasa Penuh dan Surat-surat Kepercayaan.
Sekali suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi-negosiasi
dengan negara atau negara-negara lain untuk pembuatan traktat
tertentu, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengangkat
wakil-wakil untuk melakukan negosiasi-negasiasi.
Jelas penting bahwa setiap wakil itu harus diakreditasi sebagaimana
mestinya ke negara lain dan harus dilengkapi dengan kuasa yang
diperlukan yang bukan saja statusnya sebagai utusan resmi, melainkan
juga kewenangannya untuk menghadiri dan ikut serta dalam negosiasinegosiasi, juga untuk menutup dan menandatangani Final Act traktat,
meskipun secara tegas kewenangan untuk menandatangani tidak
diperlukan untuk tahap negosiasi-negosiasi.
Dalam prakteknya wakil suatu negara diberi kewenangan dengan
instrumen yang sangat resmi yang diberikan oleh kepala negara atau
menteri luar negeri yang memperlihatkan kewenangan dalam berbagai
hal. Instrumen ini disebut Kuasa Penuh (Full Power) atau Pleins Pou'voir.
2. Negosiasi dan Adopsi
Negosiasi-negosiasi mengenai suatu traktat yang dilakukan baik melalui
pourparlers dalam hal traktat bilateral maupun melalui Konferensi
Diplomatik, prosedur ini lebih lazim jika suatu traktat multilateral akan
diadopsi.
Dalam kedua hal tersebut para delegasi tetap memelihara hubungan
dengan pemerintahnya, mereka boleh mengadakan konsultasi dengan
pemerintah-pemerintahnya serta, dipandang perlu, meminta instruksiinstruksi baru.
Sebagai praktek yang umum, sebelum membubuhkan tanda tangan
mereka pada Final Act traktat, para delegasi meminta instruksi-instruksi
2

baru untuk menandatangani instrumen tersebut yakni mengenai apakah


harus ada reservasi atau tidak.
Prosedur pada konferensi Diplomatik berjalan menurut pola standar. Di
samping adanya Komite Pengarah (Standing Committee), diangkat
Komite-komite Hukum dan (Legal Drafting Committee) pada tahap awal
untuk menerima dan mempelajari rancangan ketentuan-ketentuan yang
diusulkan oleh berbagai delegasi.
Biasanya juga Konferensi mengangkat delegasi utama (prominent
delegatio) untuk bertindak sebagai pelopor guna membantu konferensi
dalam pertimbangan-pertimbangannya. Di samping sidang-sidang umum
resmi dari konferensi, dilakukan sejumlah perembugan atau negosiasi di
luar ruang sidang dan di tempat-tempat lain.
Hasil dari

perembukan

atau pembicaraan ini

tampak

pada

saat

tercapainya keputusan-keputusan oleh konferensi. Tahap negosiasi ini


merupakan tahap pembuatan perjanjian yang paling lama bahkan bisa
mencapai beberapa tahun.
3. Penandatanganan dan Pertukaran Instrumen-instrumen
Apabila rancangan akhir traktat atau perjanjian telah disepakati, maka
instrumen tersebut siap untuk dilakukan penandatanganan. Naskah itu
dapat

diumumkan

untuk

jangka

waktu

tertentu

sebelum

penandatanganan, seperti dalam kasus Traktat Keamanan Atlantik Utara


(NATO),

yang

diumumkan

pada

tanggal

18

Maret

1949

dan

ditandatangani di Washington pada tanggal 4 April 1949.


Tindakan penandatanganan biasanya lebih merupakan hal formalitas,
juga dalam kasus perjanjian-perjanjian bilateral. Mengenai konvensikonvensi multilateral, penandatanganan umumnya dilakukan pada waktu
sidang penutupan resmi (sance de cloutur) pada saat mana setiap
delegasi menghampiri sebuah meja dan membubuhkan tanda tangan
atas nama kepala negara atau kepala pemerintahan yang mengangkat
mereka
4. Ratifikasi
3

Tahap selanjutnya adalah para delegasi yang menandatangani traktat


atau konvensi itu, menyerahkan kembali naskah kepada pemerintahpemerintah mereka untuk persetujuan, apabila tindak lanjut konfirmasi
demikian secara tegas atau implisit disyaratkan.
Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh kepala negara atau kepala
pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada
perjanjian itu wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat
sebagaimana mestinya. Namun dalam praktek modern ratifikasi lebih
penting daripada hanya konfirmasi saja, yang dianggap merupakan
pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk
terikat oleh traktat.
Maka dari itu dalam Pasal 2 Konvensi Wina, ratifikasi didefinisikan
sebagai "tindakan internasional ... dengan cara mana suatu negara
menetapkan pada taraf internasional persetujuannya untuk terikat oleh
suatu perjanjian" (J.G. Starke, Pengantar Hukum lnternasional, Jilid 1,
Edisi Kesepuluh, hal. 601).
Sejalan dengan definisi ini ratifikasi tidak dianggap mempunyai akibat
berlaku surut, dengan maksud mengikatkan traktat itu sejak dari tanggal
penandatanganan. Ada kalanya, ratifikasi dipandang sebagai hal sangat
perlu sehingga tanpa itu suatu trakrat dianggap tidak efektif.
Hal ini dikemukakan oleh Lord Stowell, "Menurut praktek yang berjalan
ini, ratifikasi merupakan syarat esensial; dan konfirmasi kuat tentang
kebenaran kedudukan ratifikasi demikian itu adalah bahwa hampir setiap
traktat modern memuat syarat ratifikasi yang dinyatakan secara tegas;
dan karena itu pada saat ini dianggap bahwa wewenang wakil-wakil yang
berkuasa penuh dibatasi oleh adanya syarat, ratifikasi tersebut. Ratifikasi
mungkin merupakan formalitas, namun formalitas yang esensial; karena
instrumen terkait, dari segi keefektifan hukum, tidak lengkap tanpa
keberadaannya' (J.G. Sta-ke, Pengantar Hukum Internasional, Jilid I, Edisi
Kesepuluh, hal.601)
5. Aksesi dan Adhesi
Dalam

praktek,

apabila

suatu

negara

tidak

menandatangi

suatu

perjanjian, maka negara tersebut hanya dapat melakukan aksesi


4

(accede) atau adhesi (adhere) pada perjanjian itu. Menurut praktek saat
ini, suatu negara yang bukan penandatangan juga dapat mengaksesi
atau mengadhesi sebelum traktat itu mulai berlaku.
Beberapa penulis mengemukakan perbedaan antara aksesi (acesion) dan
(adhesi). Kadang-kadang dikemukakan bahwa aksesi meliputi kesertaan
sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan
utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap
suatu klausula, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya
sebagian dari perjanjian. Juga sebagian penulis menyatakan bahwa
aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama
dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi sematamata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian.
Perbedaan-pembedaan yang dikemukakan ini pada umumnya tidak
didukung oleh praktek negara-negara. Istilah "aksesi" juga diterapkan
pada penerimaan oleh suatu negara atas suatu traktat atau konvensi
setelah

sejumlah

besar

ratifikasi

yang

diisyaratkan

untuk

mulai

berlakunya traktat itu telah disimpan. Dengan demikian misalnya,


diperlukan 10 ratifikasi dalam suatu perjanjian atau konversi dan
kesepuluhnya telah masuk tersimpan, maka ratifikasi-ratifikasi atau
penerimaan selanjutnya disebut aksesi-aksesi.
6. Mulai Berlakunya Perjanjian
Mulai

berlakunya

perjanjian

bergantung

atas

ketentuan-ketentuan

perjanjian itu atas apa yang disepakati negara-negara peserta perjanjian


(Konvensi Wina Pasal 24 ayat 1). Banyak perjanjian-perjanjian yang
berlaku sejak tanggal penandatanganannya, tetapi apabila diperlukan
ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka kaidah umum hukum
internasional adalah bahwa perjanjian yang bersangkutan mulai berlaku
hanya setelah pertukaran atau penyimpanan ratifikasi, penerimaan atau
persetujuan oleh semua negara penandatangan. Saat ini perjanjianperjanjian

multilateral

biasanya

menentukan

mulai

berlakunya

tergantung pada sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang


diisyaratkan -biasanya mulai dari enam sampai tiga puluh lima. Namurn,
kadang-kadang waktu tepatnya tanggal mulai berlaku ditetapkan tanpa
5

memperhatikan jumlah ratifikasi yang diterima. Juga kadang-kadang


perjanjian

itu

mulai

berlaku

hanya

didasarkan

kepada

terjadinya

peristiwa tertentu, misalnya setelah ratifikasi oleh semua negara


penandatangan, Perjanjian Locarno tahun 1925 mulai berlaku hanya
setelah masuknya Jerman ke Liga Bangsa-bangsa.
7. Pendaftaran dan Publikasi
Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa dalarn Pasal 102 menentukan
bahwa, semua traktat dan perjanjian internasional yang dibentuk oleh
anggota-anggota PBB harus mungkin "sesegera mungkin" didaftarkan
kepada Sekretariat Organisasi dan dipublikasikan oleh sekretariat. Tidak
satu peserta pun dari traktat atau perjanjian yang tidak didaftarkan
dengan cara ini "boleh mengemukakan traktat atau perjanjian tersebut di
muka suatu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa".
Hal ini berarti bahwa suatu negara pada traktat atau perjanjian yang
tidak didaftarkan dapat menyandarkan argumen pada traktat itu ketika
berperkara di hadapan International Court of Justice atau dalam
pertemuan-pertemuan Majelis Umum atau Dewan Keamanan. Ketentuan
ini tidak menyatakan tidak sahnya suatu traktat yang tidak didaftarkan,
atau mencegah suatu perjanjian diajukan ke hadapan badan-badan
ataupun pengadilan-pengadilan selain dari organ-organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
8. Pemberlakuan dan Pelaksanaan
Ada ketentuan pemberlakuan perjanjian sebelum mulai dilaksanakan
apabila perjanjian itu sendiri mengatur demikian dan disetujui oleh para
pesertanya. Dalam praktek diperlukan kesiapan tugas tindak lanjut untuk
menjamin bahwa peserta benar-benar memberlakukan instrumen yang
mengikat mereka tersebut. Beberapa organisasi internasional memiliki
komite-komite khusus untuk menjalankan fungsi ini, yang tugasnya dapat
dilengkapi dengan pengiriman mis-misi peninjau resmi. Hal yang
merupakan metode penemuan baru adalah dengan merancang kode
model khusus untuk pemberlakuan legislatif terhadap konvensi-konvensi.
6

Anda mungkin juga menyukai