Anda di halaman 1dari 8

31

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 30 November sampai dengan 13
Desember di Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Badung Mangusada.
RSUD Badung bertempat di jalan Raya kapal, merupakan salah satu pusat
pelayanan kesehatan spesialistik yang paripurma dan bermutu prima yang
menenkankan pada pelayanan yang cepat, tepat, akurat, terpercaya, dan
professional dengan harga yang terjangkau serta senantiasa mengutamakan
kepuasan pelanggan.
RSUD Badung Mangusada merupakan rumah sakit milik pemerintah
kabupaten Badung, terletak di utara Badung dan merupakan RS resmi
berdiri pada tanggal 4 september tahun 2002. Luas RSUD Badung
Mangusada adalah 43.235,00 M2. RSUD Badung Mangusada memiliki
tenaga medis yaitu dokter umum berjumlah 4 orang, dokter gigi berjumlah
42 orang, tenaga keperawatan dan bidan berjumlah 305 orang, tenaga
farmasi 8 orang dan tenaga non kesehatan 70 orang beserta tenaga ahli
gizi. Sedangkan misi yang diemban oleh RSUD Badung adalah
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berfokus pada keselamatan
pasien,

menyelenggarakan

pendidikan,

pelatihan,

penelitian

dan

pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat, melaksanakan tata

32

kelola administrasi rumah sakit yang baik, Prinsip pelayanan RSUD


Badung yaitu 4S ( Senyum, Sapa, Servis, Simpati).
Penelitian di RSUD Badung Mangusada ini dilaksanakan di salah satu
isntalasi yaitu di ruang IGD karena perawat IGD memeiliki tugas untuk
menyelamatkan pasien dalam kondisi

gawat darurat sehingga perlu

dilakukan penanganan dengan segera. Adanya kondisi tersebut , perawat


IGD dituntut untuk bekerja dengan posisi tubuh yang sering dilakuakan
dalam jangka waktu yang lama. Membutuhkan tenaga besar, serta posisi
tubuh janggal yang menimbulkan perasaan tidak nyaman. Pelayanan di
IGD dibedakan menjadi pelayanan bedah dan non bedah, dimana pasien
yang baru datang akan diseleksi di ruang triage untuk menentukan kategori
pasien. Fasilitas pelayanan di IGD dilengkapi dengan berbagai peralatan
seperti monitor, oksigen (O2) sentral, suction sentral, tensimeter,
thermometer, elektrokardiogram (EKG), DC shock dan lain-lain. Jumlah
tenaga perawat sebanyak 25 orang, dibagi menjadi 4 kelompok tiap jaga
(tiap kelompok jaga terdiri dari enam orang). Metode pendokumentasian
yang ada di IGD berdasarkan pada proses asuhan keperawatan yang sesuai.
5.1.3

Hasil Penilaian Postur Tubuh Perawat Saat Melakukan Hecting


Berdasarkan Metode Rapid Entire Body Assesment (REBA)
Penilaian dilakukan dengan metode REBA untuk meniliti setiap postur
tubuh perawat saat melakukan hecting, kemudian melakukan analisis
untuk menilai risiko terjadinya gangguan musculoskeletal. Hasil penilaian

33

terhadap aktivitas hecting dengan menggunakan metode REBA adalah


sebagai berikut.
Tabel 5.4

Penilaian REBA untuk aktivitas melakukan hecting (menjarit luka) di Ruang


IGD RSUD Mangusada.

Tingat Risiko MSDs

Frekuensi

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

53,3

Tinggi

46,7

Sangat Tinggi

Total

15

100

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa saat melakukan aktivitas hecting sebanyak


delapan responden atau 53,3 % dari sampel yang diteliti mempunyai risiko
sedang untuk terjadinya MSDs. Menurut metode REBA dalam usaha
mencegah terjadinya gangguan muskuloskleletal pada perawat diperlukan
tindakan perbaikan posisi pada perawat yang memiliki risiko sedang
mengalami MSDs. Responden yang memiliki risiko tinggi terjadi pada
tujuh responden atau 46,7 % dari keseluruhan sampel yg diteliti, sehingga
metode REBA juga menyarankan perlu tindakan perbaikan posisi
secepatnya agar terhindar dari MSDs.
Hasil dari penilaian REBA tersebut didapatkan dari penggabungan
penilaian dari beberapa postur bagian tubuh yaitu leher, kaki, lengan atas,
lengan bawah dan pergelangan tangan. Pada aktivitas dalam tindakan
hecting bagian tubuh yang mendapatkan nilai risiko tertinggi adalah bagian
badan dan leher.

34

3.2
Pembahasan Hasil Penelitian
5.2.1 Hasil Penilaian Postur Kerja Tubuh Pada Perawat Saat Hecting di
Ruang IGD RSUD Badung Mangusada
Hasil penelitian ini menunjunkkan bahwa rata-rata perawat berisiko
mengalami MSDs

saat melakukan hecting. Responden yang memiliki

resiko sedang terjadi pada delapan responden atau 53,3 % dari sampel
yang diteliti dan berisiko tinggi terjadi pada tujuh atau 46,7 % dari
keseluruhan responden penelitian. Posisi tubuh yang tidak ergonomis saat
bekerja menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi
alamiah, misalnya pergerakan tangan mengangkat, punggung terlalu
membungkuk dan kepala terangkat. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari
pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan
musculoskeletal. Posisi tubuh saat bekerja yang tidak ergonomis terjadi
karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan area kerja tidak sesuai
kemampuan dan keterbatasan pekerja. (Tarwaka, 2009)
Penelitian ini membahas mengenai posisi tubuh perawat IGD RSUD
Badung yang beresiko mengalami keluhan musculoskeletal pada tindakan
hecting. Peneliti menggunakan lembar observasi REBA untuk mengamati
posisi tubuh saat bekerja dan memberikan skor akhir untuk memberi
sebuah indikasi dilakukannya penanggulangan. Metode REBA digunakan
untuk menilai postur pekerjaan yang beresiko mengalami MsDs (Dewi,
2008 ).

35

Terdapat tiga posisi tubuh saat bekerja yaitu posisi tubuh saat duduk,
berdiri, dan membungkuk. Meskipun beberapa tindakan keperawatan
memiliki level risiko REBA yang sama dan dilakukan dengan posisi tubuh
yang sama perbedaannya terdapat pada durasi masing-masing tindakan
keperawatan. Tindakan hecting dilakukan dengan durasi waktu 10 menit
sampai dengan 20 menit bahkan lebih sesuai dengan kondisi luka yang
dihecting, sedangkan tindakan lainya seperti pengambilan darah dapat
dilakukan dengan durasi waktu kurang dari 10 menit (Tarwaka, 2009 ).
Posisi tubuh saat bekerja yang paling sering dilakukan pada tindakan
hecting dilakukan dengan posisi berdiri. Pada posisi berdiri, tinggi
optimum area kerja adalah 5-10 cm dibawah siku. Posisi tubuh saat
bekerja dengan posisi berdiri yang menyebabkan beban tubuh mengalir
pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya
gravitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi
kedua kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang
pinggul akan menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga
kelurusan antara anggota bagian atas dengan anggota bagian bawah
(Rahmaniyah, 2007).
Agar tinggi optimum dapat diterapkan, maka perlu diukur tinggi siku yaitu
jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan bawah mendatar
dan lengan atas vertikal. Berdiri harus dengan posisi yang benar, dengan
tulang punggung yang lurus dan bobot badan terbagi rata pada kedua kaki
(Elyas, 2012). Selain posisi tubuh berdiri, perawat juga sering

36

membungkuk ketika melakukan hecting. Membungkuk merupakan posisi


tubuh dengan membelokkan tulang punggung ke arah frontal yang tentu
akan membebani diskus invertebratalis, dan juga meningkatkan kontraksi
ligamen dan otot-otot penyangga tulang belakang. Posisi tubuh
membungkuk adalah posisi tubuh yang sangat berisiko terjadi ketegangan
otot (strain) terutama pada ligamentum interspinosus, diikuti dengan
ligamentum flavum (Rahmaniyah, 2007).
ILO tahun 2010, menyebutkan bahwa saat bekerja dengan posisi berdiri
harus mempertahankan posisi tegak lurus. Fenomena yang terjadi di IGD
RSUD Badung adalah bed pasien yang digunakan tingginya 50 cm dari
lantai, kondisi bed seperti ini menyebabkan banyak perawat yang bekerja
dengan posisi yang tidak alamiah yang menyebabkan perawat berisiko
untuk mengalami MSDs. Oleh karena itu tindakan yang dapat dilakukan
oleh perawat dalam hal ini adalah dengan melakukan pengaturan tinggi
tempat tidur sehingga posisi tubuh sejajar dengan area permukaan tempat
kerja. Tempat tidur IGD RSUD Badung lebih baik dapat diturunkan atau
dinaikkan agar perawat dapat menyesuaikannya ketika melakukan
pekerjaan. Rumah sakit juga perlu menyediakan tempat duduk yang
tingginya

dapat

dinaikkan

atau

diturunkan

agar

perawat

dapat

menyesuaikan tinggi tempat tidur sejajar dengan bagian bawah siku lengan
atas saat melakukan tindakan keperawatan. Selain itu, melakukan
peregangan ketika beristirahat juga baik dilakukan untuk mencegah
terjadinya keluhan musculoskeletal (Dewi, 2009).

37

Keluhan muskuloskeletal banyak terjadi pada bagian paha, lutut, dan betis
akibat tingginya aktivitas perawat di ruang IGD. Sebagian besar aktivitas
yang dilakukan perawat dalam posisi berdiri, baik dalam melakukan
tindakan di dalam ruangan maupun mengantar pasien. Hal ini sesuai
dengan 76 teori yang diungkapkan oleh Sastrowionoto (1985) dalam
Maijunidah (2010) yaitu bekerja dengan posisi berdiri terus-menerus
sangat mungkin terjadi penumpukan darah dan cairan tubuh pada kaki
yang dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal khususnya pada bagian
kaki. Selain melakukan aktivitas dengan posisi berdiri, perawat di ruang
IGD cenderung bekerja dengan posisi tubuh membungkuk. Posisi tubuh ini
sangat berisiko terjadi ketegangan otot (strain) terutama pada ligamentum
interspinosus, diikuti dengan ligamentum flavum. Selain itu, beban
kompresif pada diskus sewaktu fleksi membuat diskus berpotensi dapat
merobek anulus fibrosis, akibatnya nucleus pulposus mampu keluar
melalui robekan ini. Keluarnya nucleus pulposus (hernia nucleus
pulposus) selanjutnya dapat menekan akar saraf spinal, bila pekerjaan
membungkuk itu sering dilakukan, maka ligamen dan otot-otot penyangga
tulang belakang dapat melemah dan seanjutnya meningkatkan tekanan
pada

diskus

invertebral.

Hal

ini

dapat

menyebabkan

keluhan

muskuloskeletal contohnya keluhan Low Back Pain (LBP). (Rahmadiayah,


2008). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Natalia tahun 2010 yang
mengatakan

bahwa

perawat

cenderung

mengalami

keluhan

muskuloskeletal pada bagian punggung akibat sering membungkuk.

38

Perawat IGD memiliki tugas untuk menyelamatkan pasien dalam kondisi


gawat darurat sehingga perlu dilakukan penanganan segera. Pasien datang
secara tidak terjadwal dan proses keperawatan di ruang IGD dipengaruhi
oleh waktu yang terbatas. Adanya kondisi tersebut, maka perawat IGD
dituntut untuk bekerja dengan posisi tubuh yang sering dilakukan dalam
jangka waktu yang lama, membutuhkan tenaga besar, serta posisi tubuh
tidak ergonomis yang menimbulkan perasaan tidak nyaman. Kondisi ini
menyebabkan perawat mengalami kontraksi otot yang terus menerus yang
mengakibatkan otot tidak sepenuhnya pulih dalam jangka waktu yang
singkat pada setiap tindakan keperawatan yang dilakukan, sehingga
menyebabkan terjadi keluhan akibat pekerjaan.
Penyebab lain yang dapat memperburuk keluhan muskuloskeletal adalah
sikap perawat yang sering mengabaikan posisi tubuh yang baik ketika
melakukan tindakan keperawatan khususnya saat hecting, sehingga hal ini
menyebabkan penurunan produktivitas kerja pada perawat yang membuat
perawat tidak masuk kerja akibat keluhan muskuloskeletal. Hasil dari
penelitian ini didukung oleh teori yang disampaikan oleh Peter Vi (2000)
dalam Tarwaka (2010) yang menjelaskan bahwa banyak faktor yang
menyebabkan timbulnya keluhan muskuloskeletal, diantaranya peregangan
otot yang berlebihan, aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dan
posisi tubuh yang tidak ergonomis.

Anda mungkin juga menyukai