Anda di halaman 1dari 16

ag Archives: reklamasi teluk palu

Reklamasi Teluk Palu Tetap Jalan Meski


Dapat Peringatan Ombudsman. Mengapa
Begitu?
June 30, 2015 Christopel Paino, Palu

Kota Palu dan Teluk Palu. Meski telah mendapat peringatan Ombudsman namun kegiatan
reklamasi Teluk Palu terus berjalan. Foto: Christopel Paino
Reklamasi Teluk Palu, terus berjalan. Meski sebelumnya Ombudsman RI Perwakilan
Sulawesi Tengah telah mengirimkan surat rekomendasi kepada pemerintah Kota Palu agar
menghentikan penimbunan pantai di pusat kota tersebut.
Aries Bira, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, bahwa pemerintah
Kota Palu abai terhadap dua undang-undang. Pertama, Undangundang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia pasal 1 ayat (7). Poin kedua, kata Aries, yaitu
pemerintah dianggap melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 351 ayat (4).
Penjelasan pada ayat (5), kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman
sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diberikan

sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh
kementerian, serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau
pejabat yang ditunjuk, ungkap Aries dalam pernyataan yang dikiriman kepada Mongabay,
Senin (29/06/2015).
Menurutnya, pemerintah selama ini tidak pernah terbuka dalam rencana reklamasi Teluk
Palu. Contohnya, reklamasi di Kelurahan Lere atau wilayah eks Taman Ria yang diduga
luasannya bukan hanya 24 hektar. Dan yang terbaru, kata Aries, reklamasi pantai dilakukan di
depan patung kuda, salah satu ikon Kota Palu.
Untuk itu kami mengharapkan pemerintah Kota Palu lebih terbuka dalam perencanaan
reklamasi sebagai bagian dari implementasi pemerintahan yang baik, kata Aris.
Sebelumnya, pada 31 Oktober 2014, Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah telah
melayangkan surat ke Walikota Palu, perihal saran pelaksanaan reklamasi pantai Teluk Palu.
Dalam surat itu disebutkan, Ombudsman telah meminta keterangan beberapa pihak seperti
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Palu dan provinsi, Perusahaan Daerah Kota Palu yang menjalankan
reklamasi, para ahli, serta melakukan dialog terbuka dengan menghadirkan instansi terkait,
mahasiswa, dan masyarakat.
Menurut Ombudsman, telah ditemukan adanya mal-administrasi dalam pelaksanaan
reklamasi Teluk Palu. Antara lain, sesuai Keputusan Walikota Palu Nomor :
650/2288/DPRP/2012 tanggal 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan
sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, pada poin ketiga huruf c.
Hal ini tentunya bertentangan dengan izin pelaksanaan reklamasi nomor:
520/3827/Disperhutla yang diterbitkan 23 Desember 2013 tentang rencana peruntukan lokasi
sebagai kawasan Central Business Equator Commerce Point.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ombudsman Sulawesi Tengah memberikan saran kepada
Walikota Palu agar menghentikan proses pelaksanaan reklamasi pantai Teluk Palu guna
menghindari masalah hukum dan lingkungan. Serta, me-review seluruh dokumen reklamasi
dan menyesuaikannya dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Reklamasi pantai di Kelurahan Talise oleh PT. Yaury Property Investama yang kami tahu
belum dilakukan. Kabar terbaru, sudah dilakukan reklamasi di Kelurahan Lere oleh PT. Palu
Mahajaya dan kami masih mempelajarinya, kata Nasrun, Asisten Kepala Perwakilan
Ombudsman Sulawesi Tengah, kepada Mongabay.

Aksi penolakan Teluk Palu beberapa waktu lalu dan hingga kini tetap dilakukan penolakan.
Foto: Walhi Sulteng
Keliru
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola, dikutip dari kabarselebes.com, mengatakan
bahwa ia mengakui apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu soal reklamasi pantai
adalah hal yang keliru.
Menurut Longki, sudah menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi untuk
membina pemerintah Kota Palu terkait reklamasi pantai, namun perlu tindak lanjut dan
mempelajari hal tersebut.
Persoalan kewenangan itukan ada dimasing-masing wilayah, paling kita bisa
memperingatkan Walikota bahwa apa yang Anda lakukan itu adalah keliru.
Longki Djanggola menerima surat dari Kementerian Dalam Negeri perihal rencana reklamasi
pantai Teluk Palu, pada 26 November 2014. Dalam surat yang ditandatangani oleh Muhamad
Marwan selaku Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, salah satu poin yang
disebutkan adalah kegiatan reklamasi pantai harus mengacu pada Peraturan Presiden Nomor
122 tahun 2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk itu, penentuan lokasi reklamasi dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) provinsi, kabupaten, dan kota, atau sesuai RTRW
provinsi, kabupaten, dan kota. Poin lainnya adalah kepala daerah wajib melaksanakan
rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat.

Merespon surat itu, gubernur mengirimkan surat ke Walikota Palu tertanggal 23 Desember
2014. Dalam surat itu disebutkan, berdasarkan pertimbangan peraturan yang ada, rencana
detil tata ruang kawasan reklamasi pantai dapat disusun apabila sudah memenuhi persyaratan
administrasi, seperti RTRW yang sudah ditetapkan melalui peraturan daerah dan mendeliniasi
kawasan reklamasi pantai, serta lokasi reklamasi pantai sudah ditetapkan dalam SK bupati
atau walikota, baik yang akan direklamasi atau sudah dilakukan. Syarat lainnya, ada studi
kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi pantai atau kajian kelayakan properti
dan studi investasi, serta studi amdal kawasan regional.
Kegiatan reklamasi pantai Teluk Palu dilaksanakan sesuai dengan RTRW Kota Palu dan atau
sesuai ketentuan yang berlaku, tulis Longki dalam suratnya.

Warga melihat Pantai Talise yang ditimbun. Foto: petisi Save Teluk Palu di Change.org

Ada Pelanggaran Administrasi pada


Reklamasi Teluk Palu. Apakah Itu?
November 15, 2014 Syarifah Latowa, Palu

Reklamasi Teluk Palu tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menghilangkan mata
pencaharian para petambak garam. Foto: Syarifah Latowa
Direktur Walhi Sulawesi Tengah, Ahmad Pelor, dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah
Kota Palu yang selalu berdalih bila reklamasi pantai di kota tersebut telah sesuai dengan
rencana tata ruang tidaklah benar.
Hal tersebut diungkapkan Ahmad Pelor ketika memaparkan materinya dalam lokakarya
Jurnalis, from Ridge to Reef, Kebijakan Pembangunan di Darat dan Dampaknya Terhadap
Pesisir Laut yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalists
(SIEJ), awal November.
Walikota dan wakil walikota Palu selalu menyatakan bahwa reklamasi Teluk Palu sudah
sesuai dengan rencana tata ruang Kota Palu. Tetapi saat kita buka dokumennya, tidak ada satu
kata pun menyebut reklamasi atau menyebut penimbunan pantai dalam dokumen tata ruang,
tandasnya.
Ahmad Pelor juga mengatakan bahwa Walhi telah mengingatkan pemerintah kota (pemkot)
Palu terkait aturan yang dilanggar. Sekarang, katanya, sudah ada pengakuan terbuka pemkot
Palu lewat pemberitaan media di Palu. Pengakuan itu terkait tidak adanya rekomendasi dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ini membuktikan ada pelanggaran administrasi pada reklamasi Teluk Palu, ungkapnya.

Ia menjelaskan, para petani tambak garam di Kelurahan Talise yang bergantung pada Teluk
Palu juga merupakan satu-satunya identitas kota. Dalam rencana tata ruang, ujarnya, tambak
garam itu juga diatur. Namun jika proses reklamasi seluas 38 hektar terjadi, maka bisa
dipastikan tidak akan ada lagi tambak garam di tempat tersebut.
Amar Akbar Ali, pakar tata ruang dari Universitas Tadulako (Untad) menuturkan beberapa
dampak yang akan terjadi apabila reklamasi dilakukan. Dampak terhadap lingkungan,
misalnya mengenai perubahan arus laut, hilangnya ekosistem, hingga naiknya permukaan air
sungai.
Kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan, seperti sedimentasi, perubahan hidro
dinamika, semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan, katanya.
Selain itu, reklamasi juga akan berdampak pada sosial budaya. Diantaranya adalah
kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM karena terkait dalam pembebasan tanah,
perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat.
Dampak ekonomimya adalah kerugian masyarakat, nelayan, hingga petambak yang
kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai.
Akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau
setidaknya air asin laut naik ke daratan sehingga tanaman banyak yang mati. Area
persawahan sudah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak terjadi di
wilayah pedesaan pinggir pantai, terangnya.
Sebelumnya, Kepala Bapedda Kota Palu, Darma Gunawan menuturkan, visi pemerintah kota
Palu adalah menjadikan Palu sebagai kota teluk berbasis jasa berupa pariwisata dan
perdagangan industri yang berwawasan ekologis.
Ditempat terpisah, Ketua Ombudsman Perwakilan Sulteng, Sofyan Lembah, mengatakan
setelah mempelajari dokumen reklamasi teluk Palu, ternyata Menteri Kelautan dan Perikanan
menyatakan belum pernah menerima dokumen-dokumen yang merupakan persyaratan
pengajuan rekomendasi untuk reklamasi pantai teluk Palu.
Rekomendasi terhadap reklamasi tersebut belum pernah diterbitkan. Padahal, sesuai
ketentuan Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Izin lokasi reklamasi dengan luasan di atas 25 hektar harus mendapatkan
rekomendasi dari menteri.
Walikota dan gubernur harus duduk bersama untuk memikirkan proses ini. Satu hal yang
harus diperhatikan jangan melupakan peran para akademisi khususnya yang ada di
Universitas Tadulako, dan jangan pula melupakan hak-hak rakyat yang ada di teluk Palu,
paparnya.
Jurnalis pantau Teluk Palu
Sebelum lokakarya dimulai, para jurnalis diajak melihat kondisi penimbunan pantai yang
dilaksanakan PT. Yauri Property Investama. Perusahaan itu akan menimbun bibir pantai

seluas 38 hektar untuk pembangunan pusat perbelanjaan modern di Kelurahan Talise,


Kecamatan Mantikolore.
Irvan Imamsyah, dari SIEJ mengatakan, lokakarya Jurnalis from Ridge to Reef ini semula
nama Palu tidak diusulkan. Tetapi, setelah dilakukan kunjungan, ternyata ada pembangunan
yang terjadi di pesisir laut.
Melalui kegiatan ini, kami ingin mewadahi wartawan, akademisi, pemerintah dan
stakeholder lainnya agar bisa bicara banyak soal pembangunan di darat dan dampaknya
terhadap laut.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Aksi Tolak Reklamasi di Polda Palu,


Walikota Datang dan Marahi Pendemo
April 2, 2014 Christopel Paino, Gorontalo

Walikota Palu, Rusdy Matsura, tiba-tiba mendatangi dan langsung memarahi peserta aksi
tolak reklamasi Teluk Palu. Foto: Walhi Sulteng
Penolakan terhadap reklamasi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, terus berlanjut. Pagi Rabu
(2/4/14), sekitar pukul 11.00, seratusan massa tergabung dalam Koalisi Penyelamat Teluk
Palu (KPTP), aksi. Kala aksi di Polda, Walikota Palu datang dan marah-marah.

Massa berkumpul dan memulai aksi dari kantor Komnas HAM Sulteng, lalu long march ke
Perusda Palu, serta Polda Sulteng. Saat di Polda Sulteng, Walikota Palu, Rusdy Matsura, tibatiba muncul. Cudy, begitu panggilan akrab dia, mendatangi massa dan marah-marah. Dia
kebakaran jenggot.
Pendemo tak menghiraukan. Mereka tetap aksi. Walikota bertanya dengan nada keras dan
emosional kepada massa mengenai aturan yang dilanggar dalam praktik reklamasi Teluk Palu
itu. Saya ini orang asli Palu. Kamu ini asli orang mana? tanya Cudy dengan nada keras
kepada korlap aksi, Aris Bira, dari Walhi Sulteng.
Massa tidak meladeni. Guna menatralisir ketegangan, Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng,
mengambil alih megaphone. Tak lama, walikota meninggalkan massa.
Polda Sulteng, melalui bidang tindak pidana tertentu, AKBP Edwin Syaiful, menyatakan,
mendalami laporan koalisi, dan meluangkan waktu membicarakan lagi, termasuk melengkapi
bukti-bukti.
Pada aksi it, koalisi mengatakan reklamasi pantai bukan hanya masalah warga sekitar teluk,
seperti petani garam dan nelayan. Juga bakal berdampak luas terhadap masyarakat.
Area ini hanya akan terkonsentrasi pada segelintir orang yang berinvestasi, sebagian orang
lain akan tersingkir dari tempat yang sejak lama ditinggali, bahkan mencari makan, seperti
penjual jagung bakar, pemilik caf di sepanjang pesisir Teluk Palu, kata Pelor.
Perubahan Teluk Palu dari kawasan publik, ke privat, akan mematikan akses semua
masyarkat.
Pada 2012, pemerintah mengeluarkan dana besar membuat warungwarung di sekitar
penggaraman. Keadaan itu, cukup memberikan harapan buat pedagang.
Ahmad menjelaskan, dalam reklamasi ini, diperlukan material sejumalah 1.823.700 meter
kubik timbunan padat. Dalam UU Pesisir dijelaskan, pemerintah wajib mengatur zonasi
pesisir dan pulaupulau kecil. Pengaturan lebih lanjut terkait zonasi dalam RTRW. Saat ini
RTRW Palu tak mengatur zonasi pesisir dan pulau pulau kecil.
Koalisi menilai, izin dari Pemerintah Palu bukanlah reklamasi, tetapi lokasi pengembangan
pariwisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Dalam SK Bupati pada 2012, tidak
disebutkan konkrit mengenai reklamasi atau penimbunan laut atau padanan kata lain kepada
kontraktor, PT Yauri Properti Investama (YPI).
Massa memandang, YPI reklamasi ilegal atau tanpa izin yang dipastikan merusak ekosistem
dan mengakibatkan pencemaran laut. Ini jelas pidana lingkungan sebagaimana diatur UU
Lingkungan Hidup.
Koalisipun mendesak Walikota Palu segera menghentikan aktivitas reklamasi dan Polda
Sulteng segera menyelidiki YPI.

Reklamasi Teluk Palu Dinilai Cacat Hukum


March 5, 2014 Christopel Paino, Gorontalo

Reklamasi Teluk Palu di Pantai Talise terus dilakukan oleh Pemerintah Palu. Foto: Walhi
Sulteng.
Meskipun terus mendapat protes dari berbagai kalangan, Pemerintah Kota Palu, Sulawesi
Tengah (Sulteng), meneruskan reklamasi Teluk Palu di Kelurahan Talise, Kecamatan
Mantikulore.
Namun, Walhi Sulteng menilai, SK Walikota Palu dengan Nomor 650/2288/DPRP/2012 pada
10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise,
Kecamatan Mantikulore, Palu, cacat hukum.
Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, mengatakan, kerangka acuan analisis dampak
lingkungan (Ka-Amdal) dan surat keputusan walikota cacat hukum. Seharusnya Ka-Amdal
disetujui dulu baru dikeluarkan keputusan. Dalam kasus proyek reklamasi Teluk Palu yang
digarap PT. Yauri Properti Investama (Yauri), justru terbalik. Keputusan bupati dulu, baru
Ka-Amdal. Itu sudah bisa dipastikan cacat hukum,katanya kepada Mongabay, Senin
(3/3/14).
Keputusan bupati keluar pada 2012. Sedang, dokumen analisis dampak lingkungan hidup
(Andal) dan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup (RKL RPL) dengan nomor : 660/1081/BLH/2013 baru dikeluarkan pada 22 Agustus
2013

Tak hanya itu. Ada kejanggalan dalam surat keputusan walikota. Yakni tidak disinggung sama
sekali soal reklamasi Pantai Teluk Palu, padahal proyek ini masih berjalan. Surat keputusan
walikota juga menegaskan penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di atas tanah seluas
380.330 meter terletak di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, kepada Yauri.
Jadi dalam surat keputusan walikota tidak disinggung pembangunan sarana wisata oleh
Yauri dikelurahan Talise. Jika begitu, seharusnya proyek reklamasi itu tidak lagi dilanjutkan.
Walhi Sulteng yang tergabung dalam Koalisi Penyelamatan Teluk Palu bersama lembaga dan
organisasi masyarakat lain meminta proyek reklamasi ini segera dihentikan. Jika
administrasi sudah cacat, tidak ada alasan lagi bagi walikota menjalankan proyek reklamasi
ini.
Kiara Ajukan Permohonan Informasi Publik
Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) berkirim surat kepada
Menteri Kelautan dan Perikanan. Surat pada akhir Februari 2014 itu terkait pengajuan
permohonan informasi publik mengenai rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan
terhadap proyek reklamasi pantai Talise, Teluk Palu.
Dalam surat itu Kiara mengatakan, saat ini koalisi mendalami informasi dan dokumen seputar
proyek reklamasi Pantai Talise Teluk, Sulteng.
Mereka menjelaskan, proyek reklamasi dimulai sejak Kamis 9 Januari 2014 oleh Yauri.
Luasan Proyek reklamasi 38,33 hektar dengan panjang menjorok ke laut mencapai 1.670
meter.
Berdasarkan kajian mereka, proyek ini memberi dampak negatif terhadap 32.782 jiwa
masyarakat pesisir di dua kelurahan, yakni Besusu Barat dan Talise. Termasuk kurang lebih
1.800 nelayan yang menggantungkan penghidupan di teluk itu.
Reklamasi ini, akan berimbas pada makin sulit akses nelayan menangkap ikan dan ongkos
produksi tinggi akibat wilayah tangkapan makin jauh. Kiara menegaskan, setiap reklamasi
pesisir dan pantai wajib mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia No.
122/2012 tentang Reklamasi dan Permen No. 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan
Reklamasi.
Koalisi Penyelamatan Teluk Palu sendiri terdiri dari Serikat Nelayan Teluk Palu, WALHI
Sulawesi Tengah, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
Sulawesi Tengah, Himpunan Pemuda Al-Khairat, FPI Sulawesi Tengah, JATAM Sulawesi
Tengah, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, PBHR (Perhimpunan Bantuan
Hukum Rakyat) Sulawesi Tengah, dan juga KIARA.
Sebelumnya, Mulhanan Tombolotutu, Wakil Walkota Palu, seperti dilansir
www.sultengpost.com mengatakan, reklamasi Teluk Palu akan menguntungkan warga, baik
yang tinggal di Pantai Talise maupun warga Kota Palu.
Jika reklamasi ini malah menurunkan pendapatan masyarakat di sini atau menurunkan harga
tanah bapak-bapak, silakan ludahi muka saya. Tapi, kalau pembangunan kawasan ini bagus,
dan harga tanah bapak naik, bagikan juga saya sedikit uangnya, kata Tony disambut tawa

para tamu undangan yang menghadiri peletakan timbunan pertama reklamasi Teluk Palu di
Pantai Talise, Kamis (9/1/14).
Menurut dia, konsep pembangunan kota tidak bisa disamakan dengan pembangunan
kabupaten. Pembangunan kawasan di Palu sudah harus kita lakukan, karena yang kita jual di
Palu hanya perdagangan dan sektor jasa.
Pembangunan kawasan ekonomi baru di Teluk Palu, sangat sulit dan memerlukan biaya
besar. APBD Palu, katanya, tidak bisa mendanai. Ketika ada investor berencana membangun
kawasan ekonomi baru di Palu, tentu pemerintah senang. Yang terpenting, segala
persyaratan administrasi maupun persyaratan teknis harus dipenuhi perusahaan sebagai
persyaratan utama.

Tolak Reklamasi Teluk Palu, Koalisi Buka


Posko dan Aksi 1.000 Cangkul
January 24, 2014 Christopel Paino, Gorontalo

Aksi tolak reklamasi pesisir di Indonesia oleh bebagai organisasi lingkungan, organisasi
masyarakat dan seniman di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Reklamasi pesisir dan pantai seakan tiada henti. Belum selesai protes penolakan reklamasi
seperti di Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara) dan Teluk Benoa (Bali),
Pemeritah Palu, merestui reklamasi di Teluk Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).Penolakan pun
mulai bermunculan. Berbagai organisasi lingkungan dan organisasi masyarakat membentuk
wadah diberi nama Koalisi Penyelamatan Teluk Palu (KPTP).

Ahmad Pelor, Koordinator Penolakan Reklamasi Teluk Palu, juga Direktur Eksekutif Walhi
Sulteng, mengatakan, KPTP akan menggelar aksi 1.000 cangkul selamatkan Teluk Palu.
Mereka juga akan mendirikan posko penyelamatan Teluk Palu di beberapa tempat di Palu.
Aksi 1.000 cangkul ini simbol penolakan reklamasi seluas 38,8 hektar. Kegiatan itu
melibatkan puluhan ormas dan LSM di Palu, katanya dalam rilis hasil jumpa pers di
Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Kamis (23/1/14).
Dia mengungkapkan, proses reklamasi Teluk Palu tak transparan dan diduga tak ada data
kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan. Walhi sudah meminta dokumen
publik ini kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Palu, namun tak diberikan.
Ketertutupan ini menimbulkan kecurigaan legalitas izin dari pemerintah Palu.Kami
berupaya meminta data Ka-Amdal terkait tetapi hingga kini tidak diberikan. Dokumen itu
informasi publik, bisa diakses siapa saja.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara, juga angkat bicara. Kiara akan menganalisis
dampak lingkungan PT Yauri Properti Investama (YPI), pengelola utama reklamasi Teluk
Palu ini. Analisa dilakukan pakar administrasi negara dan ahli oseanografi serta beberapa
pakar lain.
Dia menduga, YPI belum mengantongi izin lokasi dan izin pelaksanaan. Perusahaan
beroperasi hanya berbekal rekomendasi pemerintah Palu. Dari reklamasi Teluk Palu,
pemerintah kota tak memiliki perda zonasi sebagai acuan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Reklamasi, secara simbolik sudah beberapa pekan lalu. Apa dasar Pemkot Palu jika Perda
Zonasi tidak mereka miliki. Kami menilai YPI belum mengantongi izin. Terbukti, mereka tak
pernah memperlihatkan izin.
Dalam catatan Kiara, ada 17 wilayah di Indonesia telah direklamasi. Ada beberapa rencana
reklamasi berhasil digagalkan, dan hal serupa sedang diupayakan di Sulsel. Upaya-upaya ini,
menjadikan keyakinan bagi KPTP dalam menggagalkan reklamasi ini.

Aksi tolak reklamasi pesisir Indonesia oleh berbagai organisasi dan seniman di Jakarta. Foto:
Sapariah Saturi
Daniel, Ketua Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP) menambahkan, tak menolak
pengembangan Kota Palu. Namun, dalam reklamasi ini, Pemkot harus memikirkan nasib para
nelayan. Jika pantai direklamasi, otomatis wilayah tangkap nelayan berkurang. Belum lagi
jika pasang surut, air laut menyebabkan banjir di Kelurahan Baru, Palu Barat.
Kami sudah membentuk tim hukum untuk menyusun langkah advokasi, seperti draf gugatan
hukum untuk membatalkan reklamasi ini, kata Dedi Irawan, Ketua Yayasan Pendidikan
Rakyat.
Dari analisa KPTP, reklamasi ini proyek menyengsarakan masyarakat pesisir, khusus nelayan,
petambak garam, serta pedagang kuliner di kawasan itu. Reklamasi juga mengakibatkan
kerusakan ekosistem di wilayah setempat dan terdekat. Reklamasi juga merampas hak
masyarakat atas air dan pantai dan mengakibatkan praktik penggusuran dan akses wilayah
tangkapan nelayan hilang.
Dampak negatif reklamasi pantai ini terjadi perubahan bentang alam dan aliran air, hingga
menurunkan daya dukung lingkungan hidup. Ia ditandai penurunan permukaan tanah dan
kenaikan permukaan air laut (rob). Selain itu, terjadi penurunan kualitas udara yang
mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut, dan iritasi mata akut (conjunctivitas
acute). Juga infeksi kulit (dermatitis) dan keracunan gas buang seperti timbal (Pb) dan karbon
monoksida dan lain-lain.

Berdasarkan penelusuran, dalam beberapa pekan ini, terjadi kekhawatiran masyarakat di


Kelurahan Tipo terjadi banjir akibat pengerukan lahan untuk reklamasi. Masyarakat Tipo
bersikeras menolak pengerukan di wilayah mereka. Mereka sadar bahaya di kemudian hari.
Riski Maruto, Keta AJI Palu mengatakan, jika ingin reklamasi perizinan harus lengkap.
Setelah lengkap pun, harus menjelaskan kepada publik. Selama ini, tak ada penjelasan
tentang reklamasi, langsung main timbun.Kami akan mengawal reklamasi Teluk Palu ini
melalui pemberitaan.
Koalisi itu ini terdiri dari Walhi Sulteng, Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan
(Kiara), Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR), Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP), Himpunan
Pemuda Alkhairat (HPA), bahkan Front Pembela Islam (FPI) juga ikut bergabung.

Reklamasi Teluk Palu Dinilai Abaikan


Masyarakat dan Lingkungan
January 15, 2014 Christopel Paino, Gorontalo

Warga melihat tanpa daya Pantai Talise yang mulai ditimbun. Foto diambil dari petisi Save
Teluk Palu di Change.org
Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) berencana menjadikan wilayah pesisir di
Teluk Palu sebagai kawasan pengembangan ekonomi. Tak pelak, Pantai Talise pun menjadi
sasaran reklamasi yang dimulai Kamis (9/1/14).

Pada hari itu, alat berat sudah diturunkan sejak pagi. Penimbunan dimulai. Dengan bantuan
belasan truk mengangkut bahan galian pasir dan batu, diumpahkan ke pantai di Kelurahan
Talise, Kecamatan Mantikulore. Para pejabat daerah yang dipimpin langsung Wakil Walikota
Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu, ikut menyaksikan.
Reklamasi itu mendapat penolakan keras dari aktivis lingkungan. Ahmad Pelor, Direktur
Eksekutif Walhi Sulteng, juga Koordinator Penolakan Reklamasi Teluk Palu, mengatakan,
rencana reklamasi sejak 2011. Namun, penimbunan perdana baru 9 Januari.Luasan Pantai
Talise yang direklamasi 38,8 hektar. Pantai ini wilayah Teluk Palu, katanya, kepada
Mongabay, Selasa, (14/1/14).
Ahmad mengatakan, reklamasi itu untuk pembangunan pusat perbelanjaan dan perhotelan.
Alasan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata. Walhi menilai, alasan ini tak bisa
diterima. Pemerintah Palu, hanya mementingkan investor tanpa berpikir dampak lingkungan
dan sosial di kemudian hari.
Dalam rencana tata ruang wilayah Palu, katanya, tak ada soal reklamasi pantai. Jika alasan
pembangunan pariwisata, masih banyak tempat bagus di Palu yang bisa dikembangkan,
dengan tidak mereklamasi pantai.
Pemerintah dianggap tak memperhatikan biota laut. Dengan reklamasi dipastikan akan
merusak biota laut di sekitar Teluk Palu. Tak hanya itu, ada sejumlah kelompok masyarakat
yang menggantungkan hidup di sana. Salah satu, para petani garam di Kelurahan Talise.
Persoalan lain paling penting mengenai nelayan yang menggantungkan hidup di laut. Secara
tak langsung memperkecil wilayah tampungan air laut.
Dengan reklamais Teluk Palu, tak menutup kemungkinan pantai di Donggala bahkan Toli-toli
akan mengalami abrasi. Untuk itu, pemerintah tak bisa melihat reklamasi hanya di satu
tempat, namun harus melihat dampak lebih luas lagi.
Menurut Ahmad, beberapa tahun belakangan ini ada banyak kebijakan pemerintah di Sulteng
pro investasi, namun tak memberi kontribusi kepada masyarakat setempat. Cara berpikir
seperti itu tak bisa dilanjutkan. Ini mengabaikan keselamatan masyarakat dan lingkungan.
Sebelum reklamasi Teluk Palu, Walhi Sulteng telah berupaya mencari tahu dokumendokumen yang menjadi dasar memuluskan reklamasi ini. Sayangnya, meski sudah berulang
kali datang ke kantor Walikota Palu, tak satupun dokumen didapat.Kami kesulitan akses
dokumen. Pemerintah seakan-akan menyembunyikan sesuatu dari rencana reklamasi Pantai
Talise ini.
Menyikapi reklamasi ini, Walhi Sulteng akan mengambil langkah hukum, dengan menggugat
keputusan administrasi melalui PTUN dan peradilan umum. Walhi Sulteng juga membuat
petisi Save Teluk Palu, di Change.org.
Sementara itu, Taufik Kamase, Direktur Operasional Perusahaan Daerah Kota Palu, seperti
dikutip dari www.antarasulteng.com, mengatakan, proses reklamasi itu selama empat tahun,
dibagi beberapa tahap pengerjaan. Tahap awal, selama satu tahun dengan menimbun Teluk
Palu seluas 10 hektar. Proses penimbunan itu oleh gabungan sejumlah perusahaan daerah dan
beberapa investor.

Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu, mengemukakan, daerah yang


direklamasi itu akan dijadikan kawasan perekonomian. Di kawasan ini akan dibangun
apartemen, pusat hiburan dan rekreasi, pertokoan, dan berbagai fasilitas publik lain.Semua
pembangunan pemerintah dan swasta untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk orang per
orang, katanya. Dia menjamin, reklamasi Teluk Palu, tak akan menggusur rumah penduduk
dan tempat usaha masyarakat sekitar.

Tentang Mongabay-Indonesia
Mongabay.co.id merupakan situs berbahasa Indonesia yang bertujuan untuk menyediakan
informasi dan berita mengenai lingkungan

Mongabay.com
Mongabay.com (Inggris)
Rainforests (Inggris)
Environmental news (Inggris)
XML Feed (RSS)

Anda mungkin juga menyukai