Digital - 20318248 S Veronika Dwi Utami
Digital - 20318248 S Veronika Dwi Utami
SKRIPSI
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
ii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
iii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama
NPM
: 0806337245
: 2008
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi/
tesis/disertasi saya yang berjudul:
Analisis Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010)
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Depok, Juli 2012
iv
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
NPM
: 0806337245
Program Studi
Judul Skripsi
()
(.)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 10 Juli 2012
v
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmatNya dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi
ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Kesehatan Maayarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, M.P.H., Ph.D. selaku dosen pembimbing
akademi saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini;
(2) Dr. Riris Nainggolan selaku penguji skripsi saya, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji.
(3) Laila Fitria, S.K.M, M.K.M selaku dosen penguji, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji.
(4) Randy, Fernia, dan Erna yang menjadi teman seperjuangan selama menjalani
bimbingan skripsi
(5) Orang tua saya yang selalu setia mendukung dan mendoakan saya, kakak dan
adik saya sebagai orang-orang yang tidak pernah lelah memberikan dukungan
dan motivasi ketika kuliah dan mengerjakan skripsi
(6) Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2008 yang telah bersama selama 3
tahun menjalani perkuliahan. Terima kasih untuk canda, tawa, dan berbagai
pengalaman yang sudah kalian berikan.
(7) Keluarga POSA FKM UI, Pengurus POSA FKM 2010, Pengurus POSA FKM
UI 2011 untuk persekutuan yang indah selama di FKM. Terima kasih untuk
setiap doa dan dukungan yang kalian berikan
(8) Adik-adik ku Hana, Natalina, Twina, Stela, Suti, Putri yang telah terus
memberikan senyum dan doa kepadaku
vi
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
(9) Sahabat, teman dan orang-orang yang saya kasihi yang telah banyak
memberikan dukungan, menguatkan dan mendoakan dalam menyelesaikan
skripsi saya
(10) Seluruh pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak
langsung
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Skrpsi ini dapat membawa
manfaat bagi perbaikan dan pengembangan ilmu. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
Bekasi, Juli 2012
Penulis
vii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
NPM
: 0806337245
Program Studi
Departemen
: Kesehatan Lingkungan
Fakultas
: Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya
: Skripsi
viii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
ABSTRAK
Nama
berbasis kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah melihat faktor risiko secara
spesifik lokal yang paling dominan di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010, mengetahui
manfaat Riskesdas sebagai indikator pengendalian malaria. Penelitian ini menggunakan studi
ekologi berbasis populasi yang dilaksanakan pada tahun 2011 dengan sumber data dari
Laporan Riskesdas. Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor risiko kepadatan hunian 8m2
adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent
adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2010. Propinsi Papua, Papua barat,
dan NTT adalah propinsi yang paling berisiko terhadap kejadian malaria. Hasil Riskesdas
2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan kesehatan
suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara
spesifik lokal pada setiap faktor risiko
Kata kunci:
malaria, faktor risiko malaria, spesifik lokal, Riskesdas
ix
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS. Iii
SURAT PERNYATAAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
KATA PENGANTAR. vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vii
ABSTRAK.
viii
DAFTAR ISI .
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL.
xii
DAFTAR LAMPIRAN.
xiii
1. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang......... 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Pertanyaan Penelitian 6
1.4 Tujuan Penelitian 6
1.5 Manfaat Penelitian 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Riset Kesehatan Dasar
2.1.1 Latar Belakang
2.1.2 Metode Penelitian
2.2 Konsep Terjadinya Penyakit
2.3 Faktor Risiko Terjadinya Malaria
2.3.1 Lingkungan Fisik
2.3.2 Lingkungan Kimia
2.3.3 Lingkungan Biologi
2.3.4 Lingkungan Sosial Ekonomi
2.3.5 Faktor Nyamuk
2.3.6 Faktor Parasit.
2.4 Epidemiologi Lokal
2.5 Permasalahan Spesifik Lokal
2.6 Pengendalian Malaria
8
8
9
10
14
14
16
16
17
18
22
23
25
26
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Studi
4.2 Rancangan Sampel.
4.3 Pengumpulan Data
4.4 Analisis Data
4.4.1 Manajemen Data
4.4.2 Analisis Data
31
31
31
32
32
5. HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Situasi Malaria di Indonesia 35
5.2 Analisis Univariat .. 36
5.2.1 Kejadian malaria 36
5.3 Analisis Bivariat 37
5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007
..38
5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas
2010..41
5.4 Analisis Multivariat.. 44
6. PEMBAHASAN
6.1 Malaria di Indonesia.. 53
6.2 Faktor Risiko Malaria di Indonesia.. 54
6.2.1 Lama Waktu Ambil Air 54
6.2.2 Lingkungan Luar Rumah 55
6.2.3 Lingkungan Fisik Rumah58
6.2.4 Pemeliharaan Ternak 59
6.2.5 Penggunaan Repelent 60
60
6.2.6 Penggunaan Kelambu
6.2.7 Penggunaan Kasa Nyamuk pada ventilasi 61
6.2.8 Perilaku Buang Air Besar Sembaranga 62
6.3 Konsistensi Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria 63
6.4 Malaria Sebagai Masalah Lokal Spesifik.. 64
6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik 68
6.6 Keterbatasan Penelitian 70
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 71
7.2 Saran. 72
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN
xi
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram Skematik Patogenesis Penyakit 11
Gambar 5.1 Grafik prevalensi malaria per propinsi di Indonesia 36
Gambar 5.2 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007) 40
Gmabar 5.3 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2010) 43
Gambar 5.4 Peta risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)
48
xii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 201010
Tabel 2.2 Karakteristik spesies plasmodium di Indonesia 23
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi prevalensi malaria 37
Tabel 5.3 Hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria 37
Tabel 5.4 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada
Riskesdas 2007......................................................................................
46
Tabel 5.5 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada
Riskesdas 2010.
xiii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
49
DAFTAR LAMPIRAN
1. DATA RISKESDAS 2007
2. DATA RISKESDAS 2010
3. OUTPUT SPSS
xiv
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu cara
untuk mencapai tujuan nasional bangsa. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan
nasional, maka diperlukan pembangunan berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian menyeluruh, terarah, dan terpadu. Pembangunan kesehatan merupakan
kegiatan atau upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang nantinya akan
berdampak kepada kualitas sumber daya manusia di Indonesia, peningkatan
ketahanan, dan daya saing bangsa serta ketahanan nasional (UU no 36 tahun 2009
tentang Kesehatan).
Pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan harus
berdasarkan kepada data atau evidence base. Dengan berbasis data maka
pembangunan kesehatan akan tepat sasaran sehingga peningkatan derajat kesehatan
masyarakat akan tercapai. Diperlukan survey atau penelitian baik tingkat nasional
maupun daerah mengenai situasi kesehatan di masyarakat.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyadari bahwa
perlunya informasi kesehatan berbasis bukti. Oleh karena itu Kementerian Kesehatan
RI membuat riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang berfungsi sebagai dasar dalam
membuat kebijakan kesehatan diberbagai jenjang administrasi. Informasi yang valid,
reliable, dan comparable dari proses pemantauan penilaian sesungguhnya dapat
berkontribusi bagi ketersediaan evidence pada skala nasional, propinsi, dan
kabupaten/kota.
Pelaksanaan riset kesehatan dasar telah dilaksanakan dua kali yaitu pada tahun
2007 dan 2010. Hasil riset kesehatan dasar ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang
tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah.
Universitas Indonesia
di
daerah
pedesaan
dibandingkan
dengan
daerah
pada
perkotaan
(Riskesdas,2007).
Malaria tidak dapat dipisahkan dari masalah sosial, budaya, dan ekonomi
yang berakibat kepada kemiskinan. Malaria selalu dihubungkan dengan kemiskinan
yang mempengaruhi perkembangan dari suatu negara dan biaya kesehatan yang harus
dikeluarkan. Kejadian malaria di daerah hutan dan area dekat hutan menyumbang
40% dari total angka kejadian malaria (WHO,2012). Malaria yang terjadi di hutan
dan area dekat hutan merupakan masalah yang serius yang berhubungan dengan
tingginya penularan dari vektor, multi transmisi, waktu transmisi yang panjang, dan
adanya resistensi vektor terhadap obat (WHO,2012). Hutan yang semakin
dieksploitasi untuk diambil sumber daya alamnya, membuat masyarakat semakin
dekat dengan wilayah epidemic malaria(Saputra,2011).
Penelitian yang dilakukan di Malawi menunjukkan kelompok penghasilan
terendah menghabiskan 32% dari pendapatan mereka untuk mengobati penyakit
malaria sedangkan pada kelompok penghasilan dari rendah ke tinggi hanya
menghabiskan 4% pendapatan mereka(www.news-medical). Dampak ekonomi
mencakup biaya perawatan kesehatan, hari kerja yang hilang karena sakit, hari hilang
dalam pendidikan, penurunan produktivitas akibat anemia dan kerusakan otak dan
kehilangan investasi dan pariwisata (http://www.news-medical.net/MalariadanBudaya).
Universitas Indonesia
sulit
dijangkau
dan
berada
pada
kantong-kantong
kemiskinan
Universitas Indonesia
Dalam perspektif faktor risiko, kejadian malaria bersifat sangat spesifik lokal,
karena disamping tergantung pada ekosistem juga tergantung pada faktor
kependudukan yang beraneka ragam(Achmadi,2008). Faktor risiko malaria selalu
berbeda pada setiap populasi, Populasi yang tinggal di daerah perkotaan memiliki
risiko yang berbeda dengan populasi yang tinggal di daerah pedesaan. Penduduk di
pedesaan lebih berisiko karena disana terdapat sawah, rawa-rawa, sungai yang
merupakan habitat dari nyamuk Anopheles. Pekerjaan penduduk pedesaan juga lebih
berisiko dibandingkan penduduk perkotaan (Riskesdas,2007).
Jenis nyamuk pada setiap daerah berbeda dan setiap nyamuk memiliki sifat
dan habitat yang berbeda satu sama lain. Pemerintah dan penduduk yang berada di
daerah yang berisiko tinggi terhadap penularan malaria perlu mengetahui jenis
nyamuk dan bionomiknya. Nyamuk Anopheles sundaicus adalah nyamuk yang
banyak ditemukan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Di
Mandailing jentik nyamuk ini ditemukan pada air tawar dengan ketinggian 210 meter
sedangkan di Danau Toba ditemukan pada ketinggian 1000 meter (Elyazar et
al,2011). Identifikasi nyamuk pada masing-masing daerah perlu dilakukan sehingga
pengendalian yang dilakukan dapat sesuai dengan bionomik nyamuk dan intervensi
terhadap perilaku penduduk setempat dapat ebih efektif.
Berdasarkan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
pemerintah daerah berhak membuat kebijakan otonom terkait permasalahan
kesehatan yang ada di daerahnya. Untuk membuat kebijakan ini diperlukan data atau
bukti mengenai masalah kesehatan yang paling banyak didaerahnya, karakteristik
penduduk dan juga faktor risiko terjadinya masalah kesehatan.
Desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada wilayah otonom yang
juga merupakan strategi untuk lebih menampung aspirasi masyarakat dalam
pembangunan. Desentralisasi telah digunakan sebagai alat untuk mencapai
pemerataan kesehatan melalui reformasi kesehatan atau
Universitas Indonesia
meningkatkan kualitas pemerataan kesehatan menjadi lebih efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan masyarakat lokal (Achmadi,2008).
Sejak diberlakukannya sistem desentralisasi pada negara Indonesia, belum ada
studi yang membuktikan apakah desentralisasi telah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat pada tingkat kabupaten secara merata atau belum. Beberapa data
menunjukkan telah terjadi kesenjangan pencapaian angka malaria. Selama 6 tahun
desentralisasi, terjadi kesenjangan angka Annual Malaria Incidence (15) di pulau
Jawa dan Bali dengan angka Annual Malaria Incidence (30) di luar pulau Jawa dan
Bali (Achmadi,2008).
Program elliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria di
Indonesia dilakukan secara bertahap dari satu pulau ke pulau lain sampai seluruh
pulau tercakup hingga terwujud masyarakat yang terbebas dari malaria dan penularan
malaria sampai tahun 2030.
Pembangunan kesehatan yang sesungguhnya ada pada tingkat kabupaten atau
kota (Achmadi,2008). Pengendalian malaria memerlukan informasi yang bersifat
lokal spesifik sehingga pengendalian dapat efektif dan efisien. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk menunjang informasi yang berbasis lokal spesifik seperti
penelitian di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Maluku dimana keberadaan kandang
ternak mampu menurunkan risiko 3,2 kali untuk terkena malaria (Erdinal dkk,2010),
dan perilaku masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah yang memiliki kebiasaan
mandi di sungai dan tidak memakai baju saat masuk ke dalam hutan (P2PM Dinkes
Bangka Tengah dalam vivanews.com).
Universitas Indonesia
tidak didisain untuk melihat masalah kesehatan secara spesifik lokal. Padahal
pengendalian dan pemberantasan malaria harus dilakukan secara spesifik lokal agar
program tersebut efektif. Selain itu hasil Riskesdas melihat faktor risiko secara
nasional dan belum secara spesifik lokal sehingga intervensi yang dilakukan belum
sesuai dengan kondisi lingkungan dan kependudukan di daerah tersebut. Oleh karena
hal itu, peneliti ingin melihat faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di
Indonesia (Analisis Hasil Riskesdas 2007 dan 2010).
1.3 Pertanyaan penelitian
1. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat menggambarkan
kejadian malaria secara spesifik lokal?
2. Seberapa jauh hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria di
Indonesia baik pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010?
3. Apakah ada konsistensi hubungan variabel terkait kejadian malaria di
Indonesia pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010?
4. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan indikator
untuk pengendalian malaria pada tingkat kabupaten/kota?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Mengetahui faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di Indonesia
(Analisis Laporan Riskesdas 2007 dan 2010)
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kejadian malaria secara spesifik lokal berdasarkan
Riskesdas 2007 dan 2010 di Indonesia
2. Mengetahui hubungan antara kejadian malaria dengan faktor risiko
malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dann 2010
3. Mengetahui konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan
kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010
4. Mengetahui manfaat Riskesdas 2007 dan 2010 sebagai indikator dalam
upaya mengendalikan malaria pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia
Universitas Indonesia
bagi
pemerintah pusat
1.5.3
Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan ajang pembelajaran bagi peneliti karena dapat
mengaplikasikan serta mengembangkan ilmu yang telah didapat selama kuliah
serta mampu melakukan analisis mengenai masalah kesehatan yang ada di
masyarakat. Dan juga untuk mengetahui faktor risiko apa saja yang
berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Riset Kesehatan Dasar
2.1.1 Latar Belakang
Visi Kementrian Kesehatan adalah masyarakat sehat yang mandiri dan
berkeadilan. Sedangkan misi Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan
masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya
upaya kesehatan yang parpurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin
ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik.
Salah satu strateginya adalah Meningkatkan pelayanan kesehatan yang
merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan
mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. Oleh karena itu diperlukan data
kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan riset kesehatan berbasis
komunitas beskala nasional sampai tingkat kabupaten. Riskesdas ini direncanakan
secara periodic dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program
kesehatan yang telah dilaksanakan, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan
kesehatan.
Data kesehatan dasar yang dikumpulkan meliputi semua indikator kesehatan
yang utama tentang status kesehatan , kesehatan lingkungan, pengetahuan-sikapperilaku kesehatan dan beberapa aspek mengenai pelayanan kesehatan. Data
kesehatan tersebut bukan saja berskala nasional tetapi juga dapat menggambarkan
indicator kesehatan minimal sampai tingkat kabupaten.
Universitas Indonesia
2010
merupakan
riset
kedua
yang
memfokuskan
pada
bukti
dikembangkan
dengan
Universitas Indonesia
10
Variabel
Riskesdas 2007
Riskesdas 2010
280.000
70.000
Representasi
Kabupaten,
nasional
Unit sampel
Blok Sensus
Blok sensus
18000
2800
Pemilihan sampel BS
Susenas
Jumlah RT per BS
16
25
KIA,
dengan
PM
(TB,
Malaria,HIV/AIDS),
sanitasi
Biomedis
Lengkap
Malaria dan TB
Universitas Indonesia
11
Sumber
Penyakit
Komponen
Lingkungan
(media transisi)
Penduduk
Sakit/sehat
Universitas Indonesia
12
virulensi adalah derajat berat ringannya reaksi yang ditimbulkan oleh agen
Universitas Indonesia
13
interaktif
antara
komponen
lingkungan
dengan
variabel
kependudukan dapat diukur dalam konsep yang disebut perilaku pemajanan atau
behavioural exposure (Achmadi dalam Achmadi,2008). Perilaku pemajanan
adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang
berrisiko menyebabkan suatu penyakit. Jumlah kontak antar individu berbeda satu
dengan lainnya karena dipengaruhi oleh perilakunya. Perilaku seseorang antara
lain dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, pengalaman, budaya, dan lainnya.
Agent penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui route of entry, yaitu
sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem reproduksi, dan melalui permukaan
kulit.
4. Simpul 4: Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit adalah outcome dari hubungan interaksi antara penduduk
dengan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit. Seseorang
dikatakan sakit jika memiliki kelainan dibandingkan dengan penduduk yang
Universitas Indonesia
14
lainnya. Jika interaksi yang terjadi antara penduduk dan lingkungan tidak
menimbulkan kelainan maka outcome adalah sehat.
Untuk menetapkan seseorang sakit atau tidak diperlukan adanya indicator
yang normal dalam tubuh, misalnya kandungan timbal dalam darah,
ditemukannya basil tahan asam (BTA) dalam sputum atau bisa menggunakan
gejala klinis dari suatu penyakit.
2.3 Faktor Risiko terjadinya Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang ditularkan melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles betina. Interaksi antara
agent dan host terkait malaria dipengaruhi oleh faktor lain yang mendukung.
Berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian penyakit malaria disebut faktor
risiko.
2.3.1 Lingkungan Fisik
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk.
Suhu yang optimum berkisar antara 20-300C. Makin tinggi suhu makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) begitu juga sebaliknya semakin
rendah suhu semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Suhu dipengaruhi
oleh iklim, didaerah beriklim tropis transmisi malaria dapat berlangsung
sepanjang tahun (Parasitologi Kedokteran, 1998). Suhu ruangan dalam rumah
dipengaruhi oleh dinding, lantai, atap, dan permukaan jendela. Agar suhu
ruangan berada pada suhu ideal maka tidak boleh ada perbedaan suhu yang
terlalu tinggi antara dinding, lantai, atap, dan jendela (Saputra, 2011).
b. Kelembaban
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk,
meskipun tidak berpengaruh terhadap parasit. Tingkat kelembaban 60%
merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan nyamuk hidup.
Universitas Indonesia
15
Kelembaban yang tinggi membuat nyamuk lebih agresif dan lebih sering
mengigit, sehingga akan meningkatkan penularan malaria. Apabila kondisi
dalam rumah memiliki kelembaban yang tinggi, maka akan mempengaruhi
kebiasaan mangigit dan istiahat nyamuk (Nugroho dalam Yawan,2010).
Kelembaban dalam rumah dipengaruhi oleh keberadaan ventilasi,
jendela, jenis lantai, jenis dinding , jenis atap, dan juga kepadatan hunian.
Apabila suatu rumah memiliki kriteria rumah sehat maka rumah tersebut
memiliki kelembaban udara dalam ruang yang berada pada batas normal tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Rumah dengan jenis lantai tanah dan
kepadatan hunian tinggi akan meningkatkan kelembaban dalam ruang yang
akan mempengaruhi kebiasaan mengigit dan istirahat nyamuk (Saputra,
2011).
c. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangbiakan nyamuk dan
memicu terjadinya epidemic malaria. Penularan malaria lebih tinggi pada
musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau (Kemenkes, 2008) Besar
kecilnya pengaruh hujan, tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor,
dan jenis tempat perindukan. Dengan bertambahnya tempat perindukan
nyamuk maka populasi nyamuk malaria juga bertambah dan akan
meningkatkan risiko penularan (Kemenkes,2008). Hujan yang diselingi
dengan panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk
Anopheles.. Hujan juga akan mempengaruhi tingkat kelembaban dan suhu
dalam ruangan akibat kondisi fisik rumah yang tidak baik
d. Ketinggian
Malaria semakin berkurang dengan semakin bertambahnya ketinggian. Pada
ketinggian 2000 m jarang terjadi transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila
terjadi pemanasan bumi dan dampak El-Nino. Ketinggian yang paling tinggi
masih memungkinkan transmisi malaria adalah 2500 m diatas permukaan laut.
Universitas Indonesia
16
e. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan
ikut mempengaruhi terjadinya kontak antara nyamuk dan manusia.
f. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh. Anopheles hyrcanus sp
dan Anopheles pinculatus sp lebih menyukai tempat yang terbuka dan
Anopheles barbirostris dapat hidup di tempat yang teduh maupun terang.
g. Arus air
Setiap nyamuk memiliki tempat perindukan yang berbeda-beda. Anopheles
barbirostrosis menyukai tempat perindukan yang airnya mengalir lambat,
sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras dan Anopheles
letifer menyukai air tergenang.
2.3.2 Lingkungan Kimiawi
Lingkungan kimiawi yang berisiko terhadap kejadian malaria adalah salinitas.
Anopheles sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18%
dan tidak berkembang pada kadar garam lebih dari 40% (Harijanto,2009).
2.3.3 Lingkungan Biologi
Keberadaan vegetasi seperti bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi
kehidupan larva karena dapat menghalangi sinar matahari atau juga untuk melindungi
diri dari serangan pemangsa. Keberadaan predator alami dari larva nyamuk seperti
ikan kepala timah, gambusia, nila, dan mujair akan mempengaruhi populasi nyamuk
(P2PL Kemenkes RI,2009). Adanya ternak seperti sapi, kerbau, dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, Apabila kandang ternak berada
tidak jauh dari rumah. Keberadaan ternak ini menjadi barrier bagi penghuni rumah.
Jarak kandang ternak dengan tempat tinggal harus disesuaikan dengan jarak terbang
nyamuk Anopheles yaitu 20 meter. Jadi keberadaan kandang ternak harus berada
pada jarak lebih dari 20 meter.
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
3. Pekerjaan
Pekerjaan penduduk berhubungan dengan risiko kontak dengan malaria di
dalam atau di luar rumah. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi intensitas seseorang
untuk berada di dalam atau di luar rumah. Pekerjaan yang setiap harinya kontak
dengan lingkungan luar akan memiliki risiko yang berbeda dengan pekerjaan yang
dilakukan di dalam ruangan.
4. Kemiskinan
Hubungan malaria dan kemiskinan, bersifat timbal balik (Achmadi,2008).
Malaria pada individu menyebabkan penderita tidak dapat bekerja, tidak bisa belajar.
Produktivitas wilayah akan terganggu baik langsung maupun tidak langsung.
Penderita akan kehilangan peluang untuk mendapatkan upah, kerugian ekonomi
dikarenakan biaya pengobatan. Selain itu pengobatan yang tidak efektif dapat
menyebabkan anemia berkepanjangan, dan memerlukan makanan dengan gizi yang
baik. Apabila dijumlahkan secara kolektif, maka wilayah kabupaten akan kehilangan
peluang membangun sumber daya manusia dan peluang ekonomi (Achmadi dalam
Achmadi 2008).
2.3.5 Faktor Nyamuk
1 Jenis Nyamuk
Malaria ditularkan kepada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk
betina Anopheles. Nyamuk betina memerlukan darah manusia untuk mematangkan
telur.
Terdapat 3500 spesies nyamuk yang digolongkan menjadi 41 genus, dan
terdapat 430 spesies Anopheles dan hanya 30-40 spesies yang menularkan malaria.
Malaria ditularkan oleh nyamuk yang berbeda untuk setiap parasit yang dibawa, hal
ini tergantung dari wilayah dan lingkungan.
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
3. Anopheles barbirostris
Waktu mengigit dari nyamuk spesies ini antara pukul 23.00 sampai 05.00 pagi
dan setelah menggigit nyamuk ini akan beristirahat di kebun. Tempat
perindukannya di genangan air tawar yang banyak ditumbuhi tumbuhan air antara
lain rawa, sawah, kolam darat.
4. Anopheles subpictus
Spesies nyamuk ini umumnya ditemukan di daerah pantai dan memiliki
tempat perindukan di air payau yang terdapat tanaman air dan hutan bakau yang
terkena sinar matahari. Nyamuk ini aktif sepanjang malan dan beristirahat di
dinding rumah.
5. Anopheles maculates
Anopheles maculates lebih menyukai darah binatang ternak, memiliki
kebiasaan mengigit antara pukul 23.00 sampai 03.00 pagi. Nyamuk ini lebih
sering mengigit manusai di luar rumah serta suka beristirahat di luar rumah
seperti di kebun, rumput-rumput. Sedangkan untuk tempat perindukan nyamuk ini
menyukai sungai kecil, air jernih, dan mata air yang langsung kena cahaya
matahari.
2 Siklus Hidup Nyamuk
Nyamuk Anopheles memiliki siklus hidup seperti pada nyamuk lainnya yaitu
telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Tiga fase hidup pertama dari nyamuk ini
membutuhkan air sebagai media dan selanjutnya hidup 5-14 hari tergantung dari
spesies nyamuk itu sendiri dan juga kondisi lingkungan.
Nyamuk betina Anopheles mampu menghasilkan telur sebanyak 50-200 telur
setiap bertelur. Telur dari nyamuk ini memiliki ciri yang khas yaitu memiliki
sepasang pelampung di kedua sisi telur dan diletakkan secara single. Telur Anopheles
tidak tahan terhadap kondisi kering dan hanya mampu bertahan selama 2-3 hari
Larva nyamuk Anopheles tidak memiliki siphon sehingga posisi dari larva ini
sejajar dengan permukaan air. Larva nyamuk bernafas melalui spirakel yang berlokasi
Universitas Indonesia
21
di segmen delapan dari perut. Makanan dari larva nyamuk adalah alga, bakteri, dan
mikroorganisme yang ada pada permukaan air. Larva nyamuk ini berkembang
melalui 4 tahap atau instars, setelah itu larva nyamuk akan berubah menjadi pupa.
Nyamuk Anopheles senang meletakkan telurnya di air yang bersih dan tidak
tercemar. Oleh karena itu, larva nyamuk Anopheles sering ditemukan di air payau,
hutan bakau, sawah, sungai. Sebagian besar spesies nyamuk Anopheles memilih
perairan yang ditumbuhi oleh tanaman
Setelah melewati masa larva, maka akan berubah menjadi pupa. Pupa nyamuk
ini berbentuk seperti koma. Sama seperti fase larva, fase pupa dari nyamuk ini juga
berada di permukaan air untuk memudahkan proses pernapasan. Setelah b
eberapa
Universitas Indonesia
22
minggu. Kemampuan bertahan dari nyamuk ini tergantung dari suhu dan kelembaban
disamping terpenuhinya kebutuhan asupan darah dari mangsanya.
2.3.6 Faktor Parasit
Parasit malaria berada pada dua tipe host untuk menunjang siklus hidupnya
yaitu pada manusia dan pada nyamuk Anopheles betina. Pada tubuh manusia parasit
malaria membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan gametosit jantan dan
betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Pada tubuh nyamuk parasit harus
menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk Anopheles yang antropofilik
agar sporogoni dapat menghasilkan sporozoit yang infektif.
Genus Parasit malaria terbagi menjadi 3 sub-genus yaitu subgenus
plasmodium P.vivax, P.ovale, P.malariae, subgenus Laverania P. falciparum, dan
subgenus Vinckeia yang tidak menginfeksi manusia. Sifat-sifat spesifik dari parasit
malaria berbeda untuk setiap parasit dan juga akan mempengaruhi terjadinya
manifestasi klinik.
Daur hidup parasit malaria terjadi dalam hospes perantara (manusia) dan
hospes definitive (nyamuk). Proses ini terdiri dari fase aseksual eksogen (sprogoni)
dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes
perantara. Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu: 1) daur eritrosit dalam darah
(skizogoni eritrosit) dan 2) daur dalam parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit)natau
stadium jaringan dengan a) skizogoni praeritrosit (skizogoni eksoertirosit primer)
setelah sporozoit masuk dalam kati dan b) skizogoni eksoeritrosit sekunder yang
berlangsung dalam hati.
Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae hanya terdapat satu generasi
aseksual dalam hati sebelum daur dalam darah dimulai, sesudah itu daur dalam hati
tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi P.vivax dan P.ovale daur eksoeritrosit
berlangsung terus sampai bertahun-tahun melengkapi perjalanan penyakit yang dapat
berlangsung lama (bila tidak diobati) disertai banyak relaps.
Universitas Indonesia
23
Karakteristik berbagai spesies plasmodium pada manusiadapat dilihat dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Karakteristik Spesies Plasmodium di Indonesia
Karakteristik
P. falciparum
Siklus eksoeritrositik
P. vivax
P. ovale
P.malariae
5-7
14-15
48
48
50
72
6-25
8-27
12-20
18-59
7-27
13-17
14
23-69
Keluarnya gametosit
8-15
5-23
30-40.000
10.000
15.000
15.000
9-22
8-16
12-14
16-35
Nyeri kepala,
Demam
Demam
Demam
pegal linu,
terjadi setiap
setiap 48
setiap 72
demam tidak
48 jam pada
jam
jam
begitu nyata,
waktu siang
gagal ginjal
atau sore,
primer (hari)
Siklus
aseksual
(hari)
Jumlah merozoit per
sizon jaringan
Siklus
sporogoni
Pembengkak
an limpa
Sumber: Bruce Chwatt dalam Harijanto
Universitas Indonesia
24
yang tak bisa menghindari masuknya berbagai penyakit lain seperti SARS, avian
influenza, flu babi dan lainnya.
Permasalahan kesehatan yang sudah menjadi masalah global perlu ditangani
secara global dan juga terintegrasi. Badan kesehatan dunia (WHO) memiliki
komitmen untuk mengatasi masalah kesehatan dunia dengan membuat program
pengendalian atau pemberantasan seperti program tuberkolosis, malaria, kusta, dan
HIV/AIDS. Program-program yang ada harus juga menjadi komitmen pada setiap
negara.
Komitmen
nasional
juga
menjadi
komitmen
provinsi,
komitmen
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Manajemen
Sumber
Penyakit
Penderita Malaria
(parasit malaria)
Media
Variabel
Transmisi
Kependudukan
Kejadian
Penyakit
Malaria
Nyamuk
Anopheles
penular
malaria
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat tinggal
Pengetahuan
terkait Malaria
- Perilaku terkait
pencegahan
malaria
- Perilaku berisiko
malaria
Topografi
Kelembaban udara
Suhu udara
Lingkungan tempat tinggal
Rumah sehat
27
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
28
Kejadian
Malaria
Universitas Indonesia
29
No
Variabel
Definisi
Operasional
1.
Kejadian
Malaria
2.
Pengukuran
Skala
Sumber
data
Rasio
Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010
Lingkungan
fisik rumah
Lingkungan sehat
yang
menggambarkan
kondisi rumah
secara fisik (lantai,
atap, dinding,
pencahayaa,
ventilasi, kepadatan
hunian) dibagi
jumlah responden
per propinsi
proporsi
Rasio
Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010
Lingkungan
luar rumah
Lingkungan yang
menggambarkan
kondisi lingkungan
yang buruk sekitar
tempat tinggal
(keberadaan ternak
dan jarak sumber air
bersih) dibagi
jumlah responden
per propinsi
Proporsi
Rasio
Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010
Universitas Indonesia
30
Variabel
Definisi
Operasional
Pengukuran Skala
P erilaku
berisiko
Perilaku berisiko
Proporsi
yang biasa
dilakukan oleh
responden
(perilaku BAB
sembarangan,
perilaku
pencegahan
malaria, perilaku
memelihara ternak)
dibagi jumlah
responden per
propinsi
Rasio
Sumber
Data
Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010
Universitas Indonesia
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Studi
Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi ekologi.
Desain studi ekologi adalah studi epidemiologi yang bertujuan untuk
mendeskripsikan hubungan korelatif antara penyakit dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian penyakit (Muthi,1997)
Desain studi ekologi memiliki tujuan untuk melihat hubungan karakteristik
umum suatu populasi dengan suatu masalah kesehatan dalam kurun waktu yang
sama pada beberapa populasi atau pada populasi yang sama dalam kurun waktu
yang berbeda. Studi ekologi mengacu kepada populasi, sehingga tidak bisa
menghubungkan antara pemajanan dan penyakit terhadap individu. Unit analisis
dari desain studi ini adalah kelompok individu, komunitas ataupun populasi yang
lebih besar. Rancangan studi ini tepat digunakan untuk penyelidikan awal
hubungan paparan faktor dan penyakit (Murthi,1997).
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah suatu faktor risiko malaria
yaitu faktor perilaku berisiko dan pencegahan, faktor lingkungan fisik rumah, dan
faktor lingkungan luar rumah berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.
Populasi
Populasi penelitian ini adalah penduduk yang tercatat dalam Badan Pusat
Statistik
4.2.2
Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua sampel Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010. Pada penelitian ini melihat malaria pada 33 propinsi di Indonesia.
31
Universitas Indonesia
32
Manajemen Data
1) Editing
Merupakan kegiatan penyuntingan data yang telah terkumpul, yaitu cara
pengisian dan kesalahan pengisian.
2) Entry
Memasukkan data yang telah diperoleh ke dalam komputer
3) Cleaning
Mengecek apakah data yang sudah di entry ke komputer benar atau tidak.
4.4.2
Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis yang dipakai dalam penelitian adalah analisis univariat yang
bertujuan menampilkan distribusi frekuensi dari variabel yang ada. Pada
penelitian ini analisis univariat untuk melihat gambaran kejadian malaria.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel
yaitu dependen dan independen. Menggunakan uji korelasi dan regresi linier
yang menguji variabel numeric dan numeric. Uji korelasi untuk menentukan
koefisien korelasi, yang dapat diperoleh dari formulasi:
Universitas Indonesia
33
r=
Universitas Indonesia
34
Universitas Indonesia
BAB V
HASIL PENELITIAN
36
Universitas Indonesia
36
0,00
Prevalensi 2010
Prevalensi 2007
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
Gambar 5.1 Grafik Prevalensi Malaria per Propinsi di Indonesia (2007 dan 2010)
Grafik diatas memperlihatkan Propinsi Papua Barat dan Papua baik pada
tahun 2007 maupun 2010 memiliki prevalensi yang tinggi. Sedangkan pada propinsi
Gorontalo terjadi peningkatan prevalensi yang cukup tinggi. Dari grafik dapat terlihat
rata-rata prevalensi malaria per propinsi mengalami peningkatan.
Universitas Indonesia
37
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Malaria pada Riskesdas 2007 dan 2010
Prevalensi
Malaria
Mean
SD
Min-Max
2007
4,11
5,48
0,18-26,14
2,17-6,06
2010
12,66
5,93
4,50-28,00
10,55-14,76
95% CI
Tahun Variabel
2007 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit)
Proporsi Jarak Sumber air >1km
Rumah Sehat
- Proporsi Lantai Bukan Tanah
- Proporsi 8m2
Proporsi pemeliharaan ternak sedang
Proporsi pemeliharaan ternak besar
Buang Air besar sembarangan
2010 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit)
Proporsi Jarak Sumber air
Proporsi Rumah Sehat
Proporsi pemakaian repellent
Proporsi pemakaian kelambu
Proporsi pemakaian kassa nyamuk
Proporsi Buang Air besar sembarangan
r
0,366
0,315
R2
0,134
0,1
nilai p
0,036
0,074
-0,374
-0,646
0,315
-0,117
0,291
0,401
0,041
-0,184
-0,485
0,079
-0,306
0,378
0,14
0,417
0,099
0,014
0,085
0,16
0,002
0,034
0,235
0,006
0,093
0,143
0,032
0,001
0,074
0,518
0,1
0,021
0,882
0,304
0,004
0,661
0,084
0,030
Universitas Indonesia
38
5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007
1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air
(30-60 menit) menunjukkan hubungan sedang (r= 0.366) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air (>30 menit) semakin tinggi angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 134 artinya variabel
proporsi lama waktu mengambil air mempengaruhi kejadian malaria sebesar 13,4%.
Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria
dengan proprosi lama waktu mengambil air (p=0.036).
2. Proporsi Jarak Sumber air Lebih dari 1 km
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km
menunjukkan hubungan sedang (r= 0.315) dan berpola positif artinya semakin tinggi
proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0,1 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 10%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber air
>1km (p=0.074).
3. Proporsi Rumah Sehat
Indikator Rumah Sehat pada Riskesdas 2007 hanya melihat 2 karakteristik
yaitu lantai bukan tanah dan kepadatan hunian 8m2. Hubungan antara kejadian
malaria dan proporsi lantai rumah bukan tanah menunjukkan hubungan sedang (r= 0.374) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi lantai rumah bukan tanah
semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 14
artinya variabel proporsi lantai rumah bukan tanah mempengaruhi kejadian malaria
sebesar 14%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara
kejadian malaria dengan proprosi lantai rumah bukan tanah (p=0.032).
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi kepadatan hunian 8m2
menunjukkan hubungan kuat (r= -0.646) dan berpola negatif artinya semakin tinggi
Universitas Indonesia
39
proporsi kepadatan hunian 8m2 semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0, 41 artinya variabel proporsi kepadatan hunian
8m2 mempengaruhi kejadian malaria sebesar 41%. Hasil uji statistik didapatkan ada
hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi kepadatan hunian
8m2 (p=0.001).
4. Proporsi Memelihara Ternak Sedang
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak sedang
(kambing, babi) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,315) dan berpola
positif artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak sedang semakin tinggi
angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 9 artinya variabel
proporsi memelihara ternak sedang mempengaruhi kejadian malaria sebesar 9%.
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memelihara ternak sedang (p=0.074).
5. Proporsi Memelihara Ternak Besar
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak besar
(sapi, kerbau, kuda) menunjukkan hubungan lemah (r= -0.117) dan berpola negatif
artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak besar semakin rendah angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 014 artinya variabel
proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 1,4%.
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memelihara ternak besar (p=0.518).
6. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi buang air besar sembarangan
menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,291) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin tinggi angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 085 artinya variabel
proporsi buang air besar sembarangan mempengaruhi kejadian malaria sebesar 8,5%.
Universitas Indonesia
40
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.100).
7. Peta Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan
Universitas Indonesia
41
yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu
mengambil air adalah Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan
Maluku. Propinsi yang berisiko terhadap kedua faktor risiko tersebut adalah Papua,
Papua Barat, dan NTT.
5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2010
1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air
(30-60 menit) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,401) dan berpola positif
artinya semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air >30 menit semakin tinggi
angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 16 artinya variabel
proporsi lama waktu mengambil air >30 menit mempengaruhi kejadian malaria
sebesar 16%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara
kejadian malaria dengan proprosi lama waktu mengambil air >30 menit (p=0.021).
2. Proporsi Jarak Sumber Air >1km
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km
menunjukkan hubungan lemah (r=0,041) dan berpola positif artinya semakin tinggi
proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0, 114 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 11,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber
air >1km (p=0.518).
3. Proporsi Rumah Sehat
Pada Riskesdas 2010 kriteria rumah sehat yang digunakan berdasarkan
Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Kesehatan Perumahan. Kriteria
rumah sehat bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen
(tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, vantilasi cukup,
pencahayaan alami cukup dan tidak padat huni (lebih dari 8m2).
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memakai kasa pada ventilasi (p=0.084).
7. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara buang air besar
sembarangan menunjukkan hubungan lemah (r=0,378) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin rendah angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 143 artinya variabel
proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 14,3%.
Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria
dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.030).
8. Peta Faktor Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan
Universitas Indonesia
44
berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko lama waktu mengambil air berwarna
merah terang sedangkan propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko
memakai repellent berwarna merah muda. Pembuatan peta menggunakan software
Arcview version 3.1
Gambar 5.3 menunjukkan propinsi di Indonesia yang berisiko terhadap
malaria berdasarkan keberadaan faktor risiko buang air besar (BAB) sembarangan,
lama waktu mengambil air, dan pemakaian repelent. Propinsi yang berisiko terhadap
malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko BAB sembarangan adalah Papua,
Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan NTT. Propinsi yang
berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu
mengambil air adalah Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku. Sedangkan Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang
dihubungkan dengan faktor risiko pemakaian repellent adalah Sumatera Barat,
Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Dan terdapat empat propinsi
yang berisiko terhadap ketiga faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan
Maluku Utara.
5.4 Analisis Multivariat
Hasil analisis bivariat yang memiliki nilai p kurang dari 0,25 dilanjutkan
analisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode backward
(mundur). Semua variabel yang merupakan faktor risiko dimasukkan ke dalam model
selanjutnya variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan satu per satu sampai
diperoleh variabel yang diperkirakan berperan penting dalam kejadian malaria.
Variabel yang dilanjutkan ke analisis statistik multivariat untuk Riskesdas
2007 adalah lama waktu mengambil air, jarak sumber air, lantai bukan tanah,
kepadatan hunian, memelihara ternak sedang, dan buang air besar sembarangan.
Untuk Riskesdas 2010 variabel yang dilanjutkan ke dalam analisis multivariat adalah
Universitas Indonesia
45
lama waktu ambil air, memakai repellent, memakai kasa pada ventilasi, dan buang air
besar sembarangan.
Analisis ini dimaksudkan untuk menentukan faktor risiko yang paling
berpengaruh terhadap kejadian malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2007 dan
Riskesdas 2010. Hasil analisis multivariat Riskesdas 2007 disajikan pada tabel 5.4
Hasil permodelan multivariat didapatkan ada satu variabel yang memiliki nilai
p<0,05. Namun,prinsip permodelan mulitvariat harus yang sederhana sehingga
masing-masing variabel perlu dicek p valuenya, variabel yang memiliki nilai p>0,05
dikeluarkan dari model secara bertahap dan dimulai dengan nilai p yang paling besar.
Perubahan nilai koefisien B tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut
dikeluarkan. Dari 6 variabel, ternyata variabel proporsi memelihara ternak memiliki
nilai p yang tertinggi (p=0,855). Maka variabel proporsi memelihara ternak adalah
variabel yang pertama dikeluarkan. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata
perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi
memelihara ternak dapat dikeluarkan dari model.
Selanjutnya pada model masih ada variabel yang nilai p>0,05, maka variabel
proporsi lama waktu mengambil air (p=0,831) dikeluarkan dari model. Setelah
variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan
demikian variabel proporsi lama waktu mengambil air dapat dikeluarkan dari model.
Permodelan multivariat selanjutnya mengeluarkan variabel dengan nilai p
tertinggi yaitu variabel proposi buang air besar sembarangan (p=0,428). Setelah
variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan
demikian variabel proporsi buang air besar sembarangan dapat dikeluarkan dari
model.
Universitas Indonesia
46
Tabel 5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas
2007
unstandardized
coefficient
B
Std. Error
36,261
15,109
standardized
coefficients
Beta
Model
t
(constant)
2,400
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,128
0,476
0,078
0,269
Proporsi jarak sumber air
0,080
0,342
0,065
0,234
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,137
0,125
-0,232
-1,103
Proporsi kepadatan hunian
-0,283
0,086
-0,526
-3,277
Proporsi memelihara ternak
-0,020
0,111
-0,043
-0,184
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,061
0,076
0,132
0,809
Mengeluarkan Proporsi Memelihara Ternak
(constant)
34,461
11,308
3,048
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,092
0,427
0,056
0,216
Proporsi jarak sumber air
0,11
0,297
0,089
0,370
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,122
0,090
-0,205
-1,353
Proporsi kepadatan hunian
-0,281
0,084
-0,522
-3,344
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,059
0,073
0,127
0,805
Mengeluarkan Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
(constant)
35,680
9,627
3,706
Proporsi jarak sumber air
0,161
0,174
0,130
0,925
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,129
0,083
-0,217
-1,543
Proporsi kepadatan hunian
-0,286
0,078
-0,532
-3,651
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,052
0,065
0,113
0,804
Mengeluarkan Proporsi BAB sembarangan
(constant)
38,937
8,680
4,486
Proporsi jarak sumber air
0,166
0,173
0,134
0,962
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,142
0,081
-0,239
-1,748
Proporsi kepadatan hunian
-0,296
0,077
-0,550
-3,840
Mengeluarkan Proporsi Jarak Sumber Air
(constant)
41,727
8,171
5,107
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,141
0,081
-0,238
-1,742
Proporsi kepadatan hunian
-0,318
0,073
-0,591
-4,325
Mengeluarkan Proporsi Lantai Bukan Tanah
(constant)
31,492
5,864
5,370
Proporsi kepadatan hunian
-0,347
0,074
-0,646
-4,706
Sig
0,024
0,790
0,817
0,280
0,003
0,855
0,426
0,005
0,831
0,714
0,187
0,002
0,428
0,001
0,363
0,134
0,001
0,428
0,000
0,344
0,091
0,001
0,000
0,092
0,000
0,000
0,000
Universitas Indonesia
47
Selanjutnya pada model ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai
p>0,05, maka variabel dengan nilai p terbesar yaitu proporsi jarak sumber air
(p=0,344) dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata
perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi jarak
sumber air dapat dikeluarkan dari model.
Pada model mulitivariat ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai
p>0,05 yaitu proporsi lantai bukan tanah (p=0,092). Maka variabel ini dikeluarkan
dari model. Setelah dikeluarkan dari model ternyata perubahan koefisien B tidak
lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi lantai bukan tanah dapat
dikeluarkan dari model.
Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi
kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi
linier didapat sebuah persamaan:
Prevalensi malaria = -0,347 proporsi Kepadatan hunian
Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi
malaria menggunakan variabel proporsi kepadatan hunian. Arti dari persamaan
tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi kepadatan hunian akan
mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,347 persen. Kolom beta dapat digunakan
untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta
semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar
pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu
sebesar 64,6%. %. Dengan hasil tersebut variabel proporsi kepadatan hunian adalah
faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas
2007.
Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka
variabel proporsi kepadatan hunian 8m2 dan kejadian malaria digambarkan dalam
sebuah peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi kepadatan hunian
Universitas Indonesia
48
Pada gambar 5.4, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga kategori yaitu
berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk kedalam
wilayah berisiko tinggi terhadap malaria adalah NTT, Papua Barat, dan Papua. Ketiga
Universitas Indonesia
49
wilayah ini memiliki prevalensi malaria yang tinggi sedangkan proporsi kepadatan
hunian 8m2 masih rendah. Hal ini sesuai dengan uji statistic yang menunjukkan
bahwa proporsi kepadatan hunian memiliki hubungan yang negative dengan
prevalensi malaria.
Analisis multivariat faktor risiko malaria pada Riskesdas 2010 memasukan
empat variabel yang memiliki nilai p>0,25 Hasil analisis multivariat faktor risiko
malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2010 disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas
2010
unstandardized
coefficient
Std.
B
Error
14,05
4,906
standardized
coefficients
Model
Beta
t
(constant)
2,864
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,592
0,416
0,245
1,423
Proporsi memakai repelent
-0,185
0,131
-0,302
-1,417
Proporsi memakai kasa
-0,047
0,153
-0,058
-0,305
Proporsi buang air besar
sembarangan
0,059
0,118
0,102
0,502
Mengeluarkan proporsi memakai kasa
(constant)
13,380
4,318
3,099
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,587
0,409
0,243
1,434
Proporsi memakai repellent -0,198
0,122
-0,322
-1,615
Proporsi buang air besar
sembarangan
0,069
0,112
0,119
0,621
Mengeluarkan proporsi BAB sembarangan
(constant)
15,515
2,587
5,998
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,609
0,403
0,25
1,510
Proporsi memakai repellent -0,238
0,102
-0,38
-2,327
Mengeluarkan Proporsi Lama waktu mengambil air
(constant)
18,093
1,984
9,121
Proporsi memakai repellent -0,298
0,096
-0,485
-3,089
Sig
0,008
0,166
0,168
0,762
0,620
0,004
0,162
0,117
0,539
0,000
0,141
0,027
0,000
0,004
Universitas Indonesia
50
dikeluarkan dari model dan dimulai dari nilai p terbesar. Perubahan nilai koefisien B
tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut dikeluarkan. Dari 4 variabel yang
masuk ke dalam model, ternyata variabel proporsi memakai kasa memiliki nilai p
tertinggi (p=0,762) sehingga dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan
ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel
proporsi memakai kasa dapat dikeluarkan dari model.
Selanjutnya pada model masih terdapat variabel yang memiliki nilai p>0,05,
maka variabel proporsi buang air besar (BAB) sembarangan dikeluarkan dari model
(p=0,539). Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisisen B tidak
lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat
dikeluarkan dari model.
Pada model masih terdapat dua variabel dan hanya variabel proporsi lama
waktu mengambil air yang memiliki nilai p<0,05 maka variabel ini dikeluarkan dari
model. Setelah variabel dikeluarkan ternyata perubahan nilai koefisien B tidak lebih
dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat dikeluarkan
dari model.
Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi memakai
repellent memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi linier
didapat sebuah persamaan:
Prevalensi malaria = -0,298 Proporsi pemakaian
repellent
Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi
malaria menggunakan variabel proporsi pemakaian repellent . Arti dari persamaan
tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi pemakaian repelent akan
mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,298 persen. Kolom beta dapat digunakan
untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta
semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar
pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu
Universitas Indonesia
51
sebesar 48,5%. Dengan hasil tersebut variabel proporsi memakai repellent adalah
faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas
2010.
Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka
variabel proporsi memakai repellent dan kejadian malaria digambarkan dalam sebuah
peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi memakai repellent memiliki
hubungan negatif, sehingga penentuan nilai prioritas menjadi berbeda. Kedua variabel
di bagi menjadi tiga tingkat faktor risiko, berisiko tinggi diberi prioritas pertama,
risiko sedang prioritas kedua dan risiko rendah prioritas ketiga. Setelah masingmasing variabel di bagi menjadi tiga, nilai kedua variabel dijumlahkan pada setiap
propinsi. Propinsi yang memiliki nilai yang paling kecil adalah propinsi yang
memiliki risiko tinggi sedangkan propinsi yang memiliki nilai tertinggi merupakan
propinsi dengan risiko rendah. Peta propinsi di Indonesia yang paling berisiko
terhadap malaria berdasarkan faktor risiko memakai repelent dapat dilihat pada
gambar 5.5.
Pada peta , wilayah Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori yaitu wilyah yang
berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk dalam
kategori risiko tinggi yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Propinsi yang
berisiko tinggi adalah propinsi yang memiliki angka prevalensi malaria yang tinggi
dan memiliki proporsi pemakaian repellent yang masih rendah. Hal ini sesuai dengan
uji statistic yang menunjukkan bahwa proporsi pemakaian repellent memiliki
hubungan yang negative dengan prevalensi malaria.
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Malaria di Indonesia
Prevalensi malaria di Indonesia yang didapat dari Riskesdas 2007 dan 2010
mengalami peningkatan. Angka prevalensi malaria didapat dari hasil diagnosa
berdasarkan gejala klinis malaria. Angka prevalensi malaria tiap daerahnya tidak
cukup menggambarkan kejadian malaria.
Prevalensi adalah proporsi individu-individu yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu (Murti,1997). Prevalensi
berhubungan dengan insiden. Prevalensi merupakan fungsi laju insidensi dan durasi
dari fase klinik sampai fase akhir penyakit. Jika suatu insidensi penyakit rendah tetapi
durasi penyakit panjang, maka prevalensi akan tinggi dibandingkan dengan laju
insiden.
Prevalensi malaria mengalami peningkatan pada setiap daerah di Indonesia.
Peningkatan
prevalensi
ini
dapat
disebabkan meningkatkanya
pengetahuan
masyarakat mengenai gejala klinis malaria dan juga pengobatan yang tidak tuntas
sehingga sumber penular malaria masih ada di daerah tersebut. Peningkatan juga
terjadi pada daerah yang bukan wilayah endemis malaria seperti DKI Jakarta.
Meningkatnya prevalensi malaria bisa dikarenakan adanya kasus impor yang dibawa
oleh masyarakat setelah berkunjung ke wilayah endemis malaria.
Kejadian malaria seharusnya tidak lagi hanya mengandalkan diagnosa
berdasarkan gejala klinis tetapi juga pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah yang
dilakukan bagi suspect penderita yang mengalami gejala klinis untuk menguatkan
diagnosa dan juga untuk melihat jenis parasitnya. Untuk pelayanan pemeriksaan
darah parasit malaria belum tersedia di semua pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas
seharusnya menjadi ujung tombak dalam melakukan surveilans malaria dengan
53
Universitas Indonesia
54
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
Universitas Indonesia
57
maupun daratan tinggi terdiri dari berbagai jenis dan bionomik. Vektor yang hanya
hidup di daerah pantai, cara mengendalikannya dapat dilakukan dengan focus kepada
tempat perindukannya seperti memberi predator alami.
Lingkungan luar rumah dapat menandakan tingkat kemisikinan di daerah
tersebut. Karena miskin, maka penduduk di daerah tersebut harus terpaksa menuruni
tebing untuk mencari air yang berjarak jauh dari rumah. Di tempat sumber mata air
telah menunggu nyamuk Anopheles dan terjadilah penularan malaria. Dengan jarak
waktu yang jauh maka penduduk menghabiskan banyak waktu untuk sampai ke
sumber mata air.
Pada Riskesdas 2007 dan 2010, jarak sumber mata air masuk ke dalam
sanitasi lingkungan. Hasil analisis antara kejadian malaria dengan jarak sumber air
>1000 meter menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif dan untuk
Riskesdas 2007 secara statistik ada hubungan yang bermakna sedangkan untuk
Riskesdas 2010 tidak terdapat hubungan yang bermakna. Perbedaan hasil ini
dimungkinkan karena adanya perbedaan presentase antara hasil Riskesdas 2007 dan
Riskesdas 2010. Terjadi penurunan dari 2007 ke 2010 pada setiap propinsi terkait
jarak sumber air >1000 meter dan peningkatan prevalensi malaria. Padahal korelasi
antara jarak sumber air dan malaria bernilai positif. Hal ini juga dapat dipengaruhi
oleh faktor lain seperti pada responden Riskesdas 2010 yang telah sadar untuk
menggunakan pakaian yang tertutup saat mengambil air atau menggunakan repellent.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko tertular
malaria adalah membawa sumber air dekat ke pemukiman penduduk dan bukan lagi
penduduk yang mencari air ke sumber air yang berada jauh. Sumber air yang ada bisa
disalurkan melalui pipa ataupun membuat penampungan air yang jaraknya lebih
dekat <1000 meter. Hubungan variabel jarak sumber air ini dapat semakin
diperlengkapi dengan pertanyaan waktu mengambil air, memakai pakaian tertutup,
memakai repelent. Apakah penduduk mengambil air pada waktu nyamuk Anopheles
berada pada waktu mengigit atau tidak. Dengan mengetahui waktu mengambil air
Universitas Indonesia
58
maka pada setiap daerah di Indonesia dapat memberi edukasi kepada penduduk
setempat mengenai risiko tertular malaria saat mengambil air.
Intervensi lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi informasi
mengenai risiko terinfeki saat mengambil air sehingga penduduk setempat dapat
mengubah waktu ambil air dari waktu yang berisiko (dini hari) ke waktu yang tidak
berisiko (siang hari) atau dengan membuat tempat penampungan air sehingga tidak
perlu setiap hari mengambil air dari sumber air.
6.2.3. Lingkungan Fisik Rumah
Lingkungan fisik rumah yang disurvey pada Riset Kesehatan Dasar 2007
adalah jenis lantai bukan tanah dan kepadatan hunian sedangkan pada Riset
Kesehatan Dasar 2010 adalah 7 kriteria rumah sehat yaitu atap berplafon, jenis lantai
bukan tanah, terdapat ventilasi, pencahayaan cukup, dinding permanen, dan
kepadatan hunian. Hasil analisis antara kejadian malaria dan lingkungan fisik rumah
pada Riskesdas 2007 menunjukkan hasil bahwa ada hubungan lemah sampai kuat (0,374 - -0.646). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konradsen et
al bahwa konstruksi rumah yang buruk memiliki risiko sebesar 30% sebagai tempat
tinggal nyamuk Anopheles (Konradsen et al dalam Ernawati 2011). Kondisi fisik
rumah yang berupa kayu atau bambu yang tidak memiliki jendela secara signifikan
berisiko terhadap kejadian malaria dan untuk rumah yang memiliki kaca jendela
mengurangi 1,8 kali risiko dibandingkan dengan rumah yang tidak memiliki kaca
jendela. (Sanjana dkk,2006).
Sedangkan hasil analisis Riskesdas 2010 antara kejadian malaria dan
keberadaan rumah sehat menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan secara
statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil ini tidak sama dengan
penelitian yang dilakukan di Purworejo dimana penghuni yang dinding rumah yang
berupa bilik memiliki risiko 5,62 kali untuk terkena malaria dibandingkan dengan
penghuni yang rumahnya kayu dan kondisi rumah yang bersih memiliki hubungan
yang bermakna dalam menurunkan risiko malaria (p<0,05) (Sanjana dkk,2006).
Universitas Indonesia
59
Hal ini dapat juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti faktor perilaku dari
penduduk yang memiliki lingkungan rumah yang sehat. Kebiasaan keluar rumah di
malam hari, kebiasaan nongkrong diluar rumah juga ikut berpengaruh terhadap
kejadian malaria (Achmadi,2008). Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi kejadian malaria pada responden yang memiliki kebiasaan keluar malam
hari 1,04 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki aktivitas keluar pada malam
hari. Jika aktifitas keluar pada malam hari merupakan kebiasaan maka cara
pencegahan yang dapat dilakukan untuk kelompok yang berisiko ini adalah dengan
memberikan tanaman pengusir nyamuk seperti lavender pada tempat berisiko. Hal ini
dapat memperkecil risiko digigit nyamuk Anopheles saat berada di luar rumah pada
waktu aktifitas menggigit nyamuk.
6.2.4. Pemeliharaan Ternak
Perilaku memelihara ternak menjadi variabel yang menentukan terjadi malaria
atau tidak dikarenakan bionomik nyamuk Anopheles itu sendiri. Nyamuk Anopheles
memiliki kebiasaan mengigit yang berbeda antara spesies satu dan lainnya.
Pemahaman tentang bionomik nyamuk dapat digunakan sebagai landasan untuk
melakukan pemutusan dinamika penularan malaria. Nyamuk Anopheles yang
memiliki sifat zoofilik (suka menghisap darah binatang) dengan adanya ternak
disekitar rumah memberikan perlindungan seseorang dari gigitan nyamuk.
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan
berkorelasi negatif antara kejadian malaria dengan pemeliharaan ternak dan secara
statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Palupi di Kabupaten Pesawaran (2009) dan
Kusumajaya yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara memelihara
ternak dan malaria (Kusumajaya dalam Palupi, 2009). Hasil yang sama juga
didapatkan pada penelitian yang dilakukan di Purworejo, dimana 91% responden
yang memelihara ternak, kandangnya terletak 20 meter dari tempat tinggal tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (Sanjana dkk, 2006).
Universitas Indonesia
60
Universitas Indonesia
61
Universitas Indonesia
62
dan Hidayat (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan antara penggunaan kasa
nyamuk pada ventilasi dengan kejadian malaria.
Malaria merupakan penyakit yang tidak hanya disebabkan oleh satu faktor
penentu saja, penggunaan kasa nyamuk adalah salah satu cara mencegah nyamuk
malaria masuk ke dalam rumah yang membuat penghuni rumah berisiko terinfeksi
malaria. Perilaku pencegahan lainnya juga
tempat
perindukan
nyamuk
Anopheles.
Faktor
perilaku
BAB
sembarangan yang berisiko jika waktu BAB dilakukan pada saat nyamuk malaria
sedang aktif mengigit. Perilaku BAB sembarangan di tempat perindukan nyamuk
dengan waktu yang berisiko akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi malaria.
Pengendalian yang dapat dilakukan bagi penduduk yang tidak memiliki
jamban untuk buang air besar salah satunya dengan membuat jamban bersama yang
letaknya tidak jauh dari pemukiman dan jauh dari tempat perindukan nyamuk.
Penggalian lebih dalam terkait perilaku BAB sembarangan pada penduduk terutama
didaerah endemis malaria dapat memberi gambaran secara lokal specific mengenai
dinamika penularan malaria.
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
Universitas Indonesia
65
Pada Riskesdas 2010, terdapat empat propinsi yang berisiko terhadap tiga
faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan Maluku Utara. Empat propinsi
ini perlu diprioritaskan dalam upaya pengendaliannya terutama pengendalian faktor
risiko lama waktu ambil air, BAB sembarangan, dan pemakaian repellent. Penemuan
faktor risiko yang bersifat lokal ini diharapkan dapat menurunkan risiko penularan
malaria di empat propinsi tersebut.
Contohnya, faktor risiko malaria di Mandailing lebih dikarenakan merupakan
eksosistem persawahan yang pada musim menanam menjadi tempat yang berpotensi
menjadi tempat perindukan nyamuk. Sedangkan faktor risiko malaria di Sibolga
adalah kondisi ekosistem pantai yang derajat salinitas perairannya sesuai dengan
habitat nyamuk Anopheles.
Pada peta risiko malaria baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010
terlihat propinsi yang memiliki risiko yang berbeda. Pada Riskesdas 2007, 3 propinsi
yaitu Papua, Papua Barat, dan NTT berisiko tinggi terhadap malaria dikarenakan
masih tingginya rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi. Pemerintah daerah dari
ketiga
propinsi
tersebut
dapat
melakukan
intervensi
dengan
memberikan
perlindungan khusus yaitu dengan penggunaan kelambu saat tidur dan juga pencarian
kasus baru pada setiap rumah. Penemuan kasus baru pada setiap rumah dapat
menurunkan risiko penularan malaria dalam rumah yang kemudian didukung dengan
pengobatan malaria sampai tuntas.
Pada peta risiko Riskesdas 2010, masih ada 13 propinsi yang memiliki risiko
tinggi terhadap malaria dikarenakan masih rendahnya penggunaan repellent sebagai
salah satu pencegahan malaria. Pemerintah daerah dari ke 13 propinsi ini dapat
melakukan intervensi dengan memberikan pengetahuan terkait manfaat pernggunaan
repellent dan juga intervensi mengenai kebiasaan keluar rumah pada malam hari.
dengan mengetahui faktor risiko di daerahnya, maka pemerintah dapat menyusun
program pengendalian yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut.
Universitas Indonesia
66
Pada peta risiko Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 terdapat 3 propinsi yang
selalu menjadi daerah yang berisiko tinggi yaitu Papua dan Papua Barat. Berikut ini
adalah uraian mengenai masalah malaria secara spesifik lokal pada ketiga propinsi
tersebut:
1. Papua
Malaria merupakan masalah kesehatan utama di propinsi Papua(Sorontou et
al,2007). Meluasnya penyebaran malaria dan penanganan program malaria yang tidak
teratur telah mengakibatkan situasi malaria di Papua semakin buruk. Suhu rata-rata di
Papua 250-350C, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu tersebut
merupakan suhu yang optimal untuk kehidupan nyamuk Anopheles. Penduduk Papua
mayoritas bekerja sebagai nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan yang berisiko
terekspos oleh nyamuk Anopheles karena nelayan berada di pantai pada waktu
nyamuk Anopheles memasuki waktu menggigit. Studi yang dilakukan di Papua
menunjukkan infeksi Plasmodium falciparum lebih banyak pada laki-laki dan juga
pada usia muda (Sorontuo et al,2007). Walaupun anak-anak memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena malaria tetapi pada kelompok dewasa memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk meninggal akibat malaria (Barcus et al,2007).
2. Papua Barat
Papua Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki kasus malaria
klinis yang tinggi. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan untuk
menurunkan kasus malaria, namun sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan
yang diharapkan. Salah satu spesies nyamuk Anopheles yang di Papua Barat adalah
A.punculatus. Spesies ini ditemukan mengigit manusia di dalam dan di luar rumah
secara fluktuatif dengan kecenderungan lebih bersifat exophilic, menyukai darah
manusia dan juga darah hewan terutama babi dan anjing (Bangs 1995 dalam Nugraha
dkk,2010). Informasi mengenai kondisi fisik lingkungan seperti suhu, kelembaban
udara,dan curah hujan, membantu dalam mengetahui tingkat kepadatan nyamuk. Pada
studi yang dilakukan didapatkan kelembaban udara memiliki hubungan yang
Universitas Indonesia
67
bermakna dengan kejadian malaria dan memiliki hubungan yang kuat ke arah negatif
(r= -0,981) (Nugraha,2010). Proprosi kepadatan hunian 8m2 di Papua barat masih
rendah. Hal ini berarti kelembaban udara dalam ruangan juga menjadi tinggi dan
meningktkan risiko unutk terigigit nyamuk Anopheles. Pada Riskesdas 2010,
pemakaian repellent merupakan faktor paling mempengaruhi kejadian malaria. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar penduduk tidur
tidak menggunakan kelambu dan masih banyak penduduk yang melakukan kegiatan
malam hari di luar rumah tanpa melindungi diri dari gigitan nyamuk (Nugraha,2010).
Berdasarkan studi yang dilakukan, peran dan anggaran (APBD)
pemerintah
Universitas Indonesia
68
masalah spesifik lokal maka pengendalian dan intervensi yang dilakukan dapat lebih
efektif untuk mengurangi angka kesakitan tingkat daerah maupun tingkat nasional.
6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik
Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 belum dapat menggambarkan
malaria sebagai masalah yang perlu ditangani secara spesifik lokal. Malaria yang
merupakan salah satu target MDGs sebaiknya upaya pengendaliannya dikembalikan
lagi ke Pemerintah daerah. Kepala daerah harus menjadi penggerak bagi
pengendalian malaria dengan menggandeng semua sektor.
Hasil Riskesdas 2007 dan 2010 sebaiknya tidak diterima secara menyeluruh
tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi dari setiap daerah. Penerapan hasil Riskesdas
secara menyeluruh akan berdampak kepada tidak efektifnya penanganan masalah
kesehatan yang memang menjadi masalah utama di daerahnya sedangkan secara
nasional masalah kesehatan tersebut bukanlah masalah yang perlu diutamakan.
Riskesdas tidak dirancang untuk melihat masalah secara spesifik lokal akan tetapi
hasil dari Riskesdas dapat dijadikan indikator dalam membuat kebijakan untuk
mengendalikan malariasecara spesifik lokal.
Diseminasi hasil Riskesdas seharusnya tidak hanya pada tingkat provinsi
tetapi juga tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota dengan hasil
Riskesdas tersebut sebagai dasar untuk menyusun kebijakan berdasar fakta. Dengan
mengacu kepada hasil Riskesdas, pemerintah daerah dapat melakukan identifikasi
lebih lanjut mengenai faktor risiko yang paling mempengaruhi kejadian malaria di
daerahnya.
Propinsi Papua dan NTT merupakan dua propinsi yang masih berisiko tinggi
terhadap malaria, hal ini dapat dilihat dari peta risiko malaria yang memperlihatkan
kedua propinsi ini selalu masuk menjadi daerah yang berisiko tinggi. Pengendalian
malaria yang dilakukan pada kedua Propinsi ini harus sesuai dengan faktor risiko
yang ada di daerah tersebut. Intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
perilaku yang merupakan faktor risiko malaria dan juga penggalangan upaya
kemitraan. Studi yang dilakukan di Lombok dan Sumbawa menunjukkan bahwa
program pengendalian malaria berupa penemuan kasus dan pemberian kelambu
berinsektisida secara signifikan menurunkan insiden dan prevalensi malaria di Pulau
Lombok(Yoda et al,2007).
Tenaga kesehatan di wilayah kabupaten/kota harus mencari upaya
pengendalian malaria dengan cara perbaikan lingkungan tempat tinggal penderita,
tempat penderita bekerja, bahkan perjalanan yang akan dilakukan oleh penderita.
Tenaga kesehatan harus menguasai epidemiologi lingkungan, yaitu mencari faktor
risiko lingkungan yang berperan terhadap kejadian malaria di daerah tersebut
kemudian mencari upaya pengendalian dari aspek lingkungan. Malaria merupakan
penyakit menular yang berbasis lingkungan dan perilaku. Perubahan perilaku adalah
komponen yang penting dalam pengendalian malaria. Oleh karena itu, upaya
perbaikan lingkungan harus sejalan dengan upaya perbaikan perilaku hidup sehat.
Pengendalian malaria yang terfokus akan memberikan keuntungan secara langsung
tidak hanya kepada setiap individu tetapi juga kepada komunitas.
6.6 Keterbatasan Penelitian
Desain studi yang dilakukan adalah desain studi ekologi dimana tidak dapat
menganalisis hubungan sebab akibat pada tingkat populasi. Karena populasi sebagai
unit analisis untuk memberi inferensi kausal individu, maka pada saat itulah kita
melakukan kekeliruan yang dikenal sebagai kesalahan ekologi (Murty dalam Santoso,
2006).
Meski lemah untuk pengujian hipotesis etiologi penyakit, tetapi studi korelasi
populasi cocok untuk menilai efektifitas program intervensi kesehatan pada populasi
sasaran. Jika determinan penyakit sudah ditentukan maka efektifitas pengendalian
penyakit pada populasi dapat dievaluasi dengan menggunakan studi ini (Murty dalam
Santoso,2006)
Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Prevalensi malaria di Indonesia mengalami kenaikan dari 4,11% (Riskesdas
2007) menjadi 12,66% (Riskesdas 2010).
2. Terdapat hubungan bermakna antara variabel rumah sehat yaitu lantai bukan
tanah (r= -0,374)dan kepadatan 8m2 (r= -0,646), jarak sumber air >1000
meter (r=0,315) dan lama waktu mengambil air >30 menit (r=0,366) terhadap
prevalensi malaria di Indonesia pada hasil Riskesdas 2007.
3. Terdapat hubungan bermakna antara perilaku BAB sembarangan (r=0.378),
lama waktu mengambil air >30 menit (r=0.401) dan pemakaian repelent
(r=-0.485) terhadap prevalensi malaria di Indonesia pada hasil laporan
Riskesdas 2010.
4. Kepadatan hunian 8m2 adalah faktor risiko yang paling dominan pada
Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent adalah faktor risiko paling dominan
pada Riskesdas 2010.
5. Konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan kejadian malaria pada
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 hanya pada variabel proporsi lama waktu
mengambil air >30 menit yaitu memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05)
6. Propinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan propinsi
yang memiliki risiko tinggi terhadap malaria baik berdasarkan Riskesdas 2007
maupun Riskesdas 2010.
7. Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk
membuat kebijakan kesehatan suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas
akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara spesifik lokal pada setiap faktor
risiko.
71
Universitas Indonesia
72
7.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian secara spesifik terkait malaria di Indonesia sehingga
menjadi evidence base bagi program pengendalian malaria yang berbasis
masyarakat lokal.
2. Perlu adanya diseminasi hasil laporan Riskesdas sampai ke tingkat daerah
sehingga pemerintah daerah dapat membuat program pengendalian malaria
ataupun melakukan studi lanjutan terkait hasil Riskesdas di daerah pada
masing-masing propinsi di Indonesia.
3. Perlu adanya penyuluhan kepada penduduk terutama penduduk beresiko
tinggi mengenai malaria (gejala klinis, penularan, pencegahan, pengobatan)
dan manfaat yang didapat jika melakukan perilaku pencegahan. Dan
memberikan edukasi terkait perilaku beresiko sehingga dapat dilakukan
modifikasi terkait perilaku beresiko.
4.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
73
Universitas Indonesia
74
Nongso dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009.
Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Iqbal R.F. Elyazar et al. (2011). Malaria Distribution, Prevalence, Drug
Resistance and Control in Indonesia. Adv Parasitol. 2011 ; 74: 41175.
Lokollo, Daniel Marinus (1993). Penanggulangan Malaria untuk Menyehatkan
Masyarakat dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Indonesia. Pidato Pengukuhan: Universitas Diponegoro.
Mahkota, Renti. (2010). Rancangan Studi Epidemiologi Deskriptif. Bahan Ajar
Epidemiologi Dasar. Depok: Departemen Epidemiologi FKM UI.
Markani.(2004). Dinamika Penularan dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan
dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito
Selatan Tahun 2004. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Murthi, Bhisma.(1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ndoen et al.(2010). Relationships Between Anopheline Mosquitoes And
Topography in West Timor and Java, Indonesia. Malaria Journal 2010,
9:242
Palupi, Niken Wastu.(2010). Hubungan Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk
dengan Kejadian Malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran
Tahun 2010. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Pelayanan
Kefarmasian
Untuk
Penyakit
Malaria.(2008).Direktorat
Bina
Universitas Indonesia
75
Universitas Indonesia
2.
Bivariat riskesdas 2007
Correlations
prevmal
prevmal
Pearson Correlation
TS
1
Sig. (2-tailed)
N
TS
Pearson Correlation
.315
Sig. (2-tailed)
.074
N
TB
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
kepadatan
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
bkntnh
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
waktu
kepadatan
bkntnh
.315
.032
.036
.100
.074
33
33
33
33
33
-.293
**
.237
.161
-.080
.098
.000
.184
.372
.657
33
33
33
33
33
.200
-.355
-.197
.155
-.346
.263
.043
.271
.390
.048
33
33
33
33
33
.231
-.398
-.215
-.302
.196
.022
.230
.087
-.117
.074
.518
.000
33
33
**
.001
33
33
33
-.117
**
.551
.518
.001
33
33
.551
33
-.374
-.731
.366
**
-.293
.200
.000
.098
.263
33
33
33
33
33
33
33
33
**
.231
-.224
-.238
-.062
.209
.183
.730
33
-.646
-.374
-.731
-.355
.032
.000
.043
.196
33
33
33
33
33
33
33
-.224
-.106
Pearson Correlation
.366
.237
-.197
-.398
Sig. (2-tailed)
.036
.184
.271
.022
.209
33
33
33
33
33
Pearson Correlation
.291
.161
.155
-.215
Sig. (2-tailed)
.100
.372
.390
33
33
33
jarak
.291
.315
op
*
-.646
**
waktu
N
op
33
TB
.782
**
.556
.000
33
33
33
-.238
-.106
.098
.230
.183
.556
33
33
33
.586
33
33
jarak
Pearson Correlation
.315
-.080
-.346
-.302
-.062
Sig. (2-tailed)
.074
.657
.048
.087
33
33
33
33
**
.098
.730
.000
.586
33
33
33
.782
33
Pearson Correlation
rmhsehat
1
Sig. (2-tailed)
N
rmhsehat
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
kelambu
.005
.030
33
33
33
33
33
33
33
-.291
**
.238
-.404
-.138
-.438
.100
.000
.183
.020
.443
.011
33
33
33
33
33
33
.149
-.368
.324
.305
.305
.408
.035
.066
.084
.084
33
33
33
33
33
**
-.183
-.050
.003
.308
.784
.004
33
33
33
33
.661
.100
33
33
-.306
**
.149
.084
.000
.408
33
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
waktuair
.021
Pearson Correlation
.625
33
.506
33
33
33
**
.238
-.368
**
.004
.183
.035
.003
33
33
33
33
33
-.183
-.485
.401
-.404
.324
.506
-.385
-.385
-.425
.378
.004
33
.477
**
.084
.625
.401
.661
Sig. (2-tailed)
**
bab
.304
-.485
jarakair
-.306
-.291
Pearson Correlation
waktuair
.079
.304
33
repelen
-.184
.079
Sig. (2-tailed)
repelen
-.184
kasa
Pearson Correlation
N
kasa
33
kelambu
-.489
-.584
**
**
.027
.014
.000
33
33
33
**
.291
.874
Sig. (2-tailed)
N
jarakair
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
bab
.021
.020
.066
.308
.027
33
33
33
33
33
**
-.138
.305
-.050
-.425
.005
.443
.084
.784
.014
.000
33
33
33
33
33
33
33
33
.305
**
.291
.220
.477
-.489
**
-.584
.101
33
33
33
**
.220
.874
.218
Pearson Correlation
.378
Sig. (2-tailed)
.030
.011
.084
.004
.000
.101
.218
33
33
33
33
33
33
33
-.438
.000
33
Model Summary
Model
Adjusted R
Square
Estimate
R Square
Durbin-Watson
.707
.500
.384
4.30476
.707
.499
.406
4.22704
.498
.427
4.15445
.706
.698
.487
.434
4.12906
.686
.470
.435
4.12397
1.516
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
36.261
15.109
TS
-.020
.111
kepadatan
-.283
bkntnh
Coefficients
Beta
Sig.
2.400
.024
-.043
-.184
.855
.086
-.526
-3.277
.003
-.137
.125
-.232
-1.103
.280
op
.061
.076
.132
.809
.426
waktu
.128
.476
.078
.269
.790
jarak
.080
.342
.065
.234
.817
34.461
11.308
3.048
.005
(Constant)
kepadatan
-.281
.084
-.522
-3.344
.002
bkntnh
-.122
.090
-.205
-1.353
.187
op
.059
.073
.127
.805
.428
waktu
.092
.427
.056
.216
.831
jarak
.110
.297
.089
.370
.714
(Constant)
35.680
9.627
3.706
.001
kepadatan
-.286
.078
-.532
-3.651
.001
bkntnh
-.129
.083
-.217
-1.543
.134
op
.052
.065
.113
.804
.428
jarak
.161
.174
.130
.925
.363
(Constant)
38.937
8.680
4.486
.000
kepadatan
-.296
.077
-.550
-3.840
.001
bkntnh
-.142
.081
-.239
-1.748
.091
.166
.173
.134
.962
.344
(Constant)
41.727
8.171
5.107
.000
kepadatan
-.318
.073
-.591
-4.325
.000
bkntnh
-.141
.081
-.238
-1.742
.092
jarak
5
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
14.050
4.906
waktuair
.592
.416
repelen
-.185
.131
Coefficients
Beta
Sig.
2.864
.008
.245
1.423
.166
-.302
-1.417
.168
kasa
-.047
.153
-.058
-.305
.762
bab
.059
.118
.102
.502
.620
13.380
4.318
3.099
.004
waktuair
.587
.409
.243
1.434
.162
repelen
-.198
.122
-.322
-1.615
.117
.069
.112
.119
.621
.539
15.515
2.587
5.998
.000
waktuair
.609
.403
.252
1.510
.141
repelen
-.238
.102
-.388
-2.327
.027
18.093
1.984
9.121
.000
-.298
.096
-3.089
.004
(Constant)
bab
3
(Constant)
(Constant)
repelen
-.485
Malaria 2007
Descriptives
Statistic
prevmal
Mean
12.6606
Lower Bound
10.5567
Upper Bound
14.7645
5% Trimmed Mean
12.2749
Median
11.5000
Variance
Std. Error
1.03286
35.204
Std. Deviation
5.93332
Minimum
4.50
Maximum
28.00
Range
23.50
Interquartile Range
8.15
Skewness
Kurtosis
1.036
.409
.719
.798
Descriptives
Statistic
Std. Error
prevmal
Mean
12.6606
Lower Bound
10.5567
Upper Bound
14.7645
5% Trimmed Mean
12.2749
Median
11.5000
Variance
35.204
Std. Deviation
5.93332
Minimum
4.50
Maximum
28.00
Range
23.50
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
1.03286
8.15
1.036
.409
.719
.798
PROPINSI
prevmal rmhsehat kelambu kasa
repelen waktuair jarakair bab
NAD
11.5
29.8
73.3
27.5
17.3
3.3
7.3
22.2
SUMATERA UTARA
9.6
37.4
51.2
24.5
21
1.1
3.5
19.9
SUMATERA BARAT
11.9
26
17
8.6
14.1
0.8
2.9
28.9
RIAU
6
41.1
46.2
25.2
23.6
2.3
4.5
7.6
JAMBI
9.5
22.2
50.6
9.7
8.9
0
1.4
20.3
SUMATERA
SELATAN
8.4
28.6
55.5
15.5
14.4
0.8
4.5
26.3
BENGKULU
11.6
31.7
42.2
15.2
6.7
1.2
4.2
21
LAMPUNG
9.1
14.1
71.2
16.2
18.7
0.4
1
11.7
KEP. BANGKA
BELITUNG
17.9
34.5
38.6
14.8
14.5
2.3
8.7
29
KEP. RIAU
8.2
42.7
23.9
24.3
23
1.5
6.8
4.4
DKI JAKARTA
8.3
33.2
10.3
26
43.3
0.5
2
0.3
JAWA BARAT
10.6
24.4
11.6
12.6
31.2
0.5
2.1
9.5
JAWA TENGAH
7.6
18.8
25.7
8.9
25.9
0.9
1.9
17.2
DI YOGYAKARTA
4.6
27
19.5
14.2
35.7
0.7
1.5
5.2
JAWA TIMUR
7.2
24.6
22.6
7.5
26.1
1.1
2.6
19.9
BANTEN
10.5
22.4
15.1
20.3
42.4
1.2
3.3
23.1
BALI
4.5
32.6
9.9
15
18.6
1.5
7.9
13.5
NUSA TENGGARA
TIMUR
13
17.1
40.3
10.8
18.2
1.2
1.8
34.8
NUSA TENGGARA
BARAT
22.2
7.5
58.7
8.5
12.1
11.2
16.8
21.6
KALIMANTAN
11.2
28.1
65.7
12
12.9
2.7
5.9
34
BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALMINATAN
TIMUR
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
15
23.5
85.5
15.9
18.2
6.7
13.7
27.8
14
28.1
75.9
24.3
26.4
0.2
17
8.6
20.1
18.2
43.6
36
16.2
43.2
8.1
47.6
31.4
4.4
5
24.2
8.5
9.8
2
2.5
4.2
5.1
7.2
8.4
16.3
13.6
38.8
15.1
17.6
67.4
8.2
13.5
1.5
2.8
19.9
6.8
28
12.5
11.5
18.1
27.3
19.2
19.2
25.8
17.9
16.7
21.7
33.8
24
66.6
9.6
82
45.9
36.6
54.1
50.3
16.5
6.8
6.7
13.4
4.9
23.7
15.9
12.7
7.3
7.6
9.7
7
15.8
12.6
4.5
2.6
2.8
6.8
3.3
1.2
7.3
10.5
5.1
5.8
9.1
6.9
10
11
24.6
41.7
39.5
29.8
20
12.6
17.9
PROPINSI
NAD
SUMATERA
UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
TIMUR
Lantai
Prevalensi Ternak Ternak Kepadatan bukan
BAB
malaria
sedang Besar hunian
tanah waktu sembarangan jarak
3.66
13.9
12.1
79.5
86.7
2.2
32.2
7.4
2.86
1.65
2.03
3.23
11.4
4.7
3
5.9
3.7
11.3
2.4
6
80.7
82.2
83.3
86.1
94.5
96.7
96
94.9
4.7
2.2
10.4
0.4
17.4
31.2
9.9
23.1
7.4
5.8
18.5
1.3
1.63
7.14
1.42
4.9
6.3
15.3
3.2
5.9
12.6
76.1
79.6
89.1
89.7
90.2
80.3
1.5
5.2
1.9
19.1
28.2
23
6.2
10.2
3
7.09
1.41
0.51
0.42
0.41
0.3
0.18
0.32
0.31
0.6
0.9
0.3
7.6
15
17.4
14.3
7.5
32.1
0.2
0.7
0.1
1.5
10.9
18.9
20.4
1.4
28.7
89.1
78.8
62.3
84.6
95.8
93.2
92.6
80.1
82.5
97.7
94.8
97.5
93.2
71.6
88.3
78.9
89.3
93.7
4.1
14.9
0.3
1.3
2.4
2.2
0.6
2.2
1.4
32.3
6
0.7
16.9
25.4
8.2
25.8
32.8
20.2
10.1
16.3
2.2
3.4
3.6
2.3
2.4
5.2
2.5
3.75
5.6
9.4
73.6
88.4
0.6
49.1
3.3
NUSA TENGGARA
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALMINATAN
TIMUR
SULAWESI UTARA
SULAWESI
TENGAH
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
12.04
59.6
16.3
63.5
55.6
10.7
25.5
6.8
3.26
14.2
4.3
79.3
96.4
3.8
32.2
5.5
3.37
8.4
3.3
82.2
96.1
1.2
26.1
2.8
1.41
1.3
4.1
84.7
97.7
1.3
18.4
2.4
1.67
2.12
6.2
8.4
2.9
2.2
83.8
74.1
95.8
91.2
4.5
4.1
8.9
16.4
4.4
5.1
7.36
16.7
78.9
90.3
3.3
42.8
4.4
1.37
10.6
11
84.4
96
0.7
27.4
2.8
2.16
2.87
2.02
6.06
7.23
26.14
18.41
3.7
6
19.7
9
8.3
7.8
33.4
5.5
16.8
6.9
4.9
7
4.3
5.5
78
69.8
72.1
66.7
87.4
59
49
88.9
92.1
91.7
81.4
79.4
88.6
72.1
5
5.4
6.2
5.1
1.8
6.6
7.8
31.2
42.2
47.9
38.9
36.9
27.5
36.3
14.5
6.7
11.6
9.7
11
9.2
12.6