Anda di halaman 1dari 101

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS FAKTOR RISIKO MALARIA SECARA SPESIFIK


LOKAL DI INDONESIA (ANALISIS HASIL RISKESDAS 2007 DAN
RISKESDAS 2010)

SKRIPSI

VERONIKA DWI UTAMI


0806337245

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN
DEPOK
JULI 2012

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS FAKTOR RISIKO MALARIA SECARA


SPESIFIK LOKAL DI INDONESIA (ANALISIS HASIL
RISKESDAS 2007 DAN RISKESDAS 2010)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

VERONIKA DWI UTAMI


0806337245

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN
DEPOK
JULI 2012

ii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

iii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama

: Veronika Dwi Utami

NPM

: 0806337245

Mahasiswa Program : Strata Satu (S1) Reguler Kesehatan Masyarakat


Tahun Akademik

: 2008

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi/
tesis/disertasi saya yang berjudul:
Analisis Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010)
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Depok, Juli 2012

Veronika Dwi Utami

iv
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh

Nama

: Veronika Dwi Utami

NPM

: 0806337245

Program Studi

: Strata Satu (S1)

Judul Skripsi

: Analisis Faktor Risiko Malaria Secara Spesifik Lokal


di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat pada Program Studi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD (..)

Penguji Dalam : Laila Fitria, SKM, MKM

()

Penguji Luar : Dr. Riris Nainggolan, SKM, M.Si

(.)

Ditetapkan di : Depok
Tanggal

: 10 Juli 2012

v
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmatNya dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi
ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Kesehatan Maayarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, M.P.H., Ph.D. selaku dosen pembimbing
akademi saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini;
(2) Dr. Riris Nainggolan selaku penguji skripsi saya, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji.
(3) Laila Fitria, S.K.M, M.K.M selaku dosen penguji, yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji.
(4) Randy, Fernia, dan Erna yang menjadi teman seperjuangan selama menjalani
bimbingan skripsi
(5) Orang tua saya yang selalu setia mendukung dan mendoakan saya, kakak dan
adik saya sebagai orang-orang yang tidak pernah lelah memberikan dukungan
dan motivasi ketika kuliah dan mengerjakan skripsi
(6) Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2008 yang telah bersama selama 3
tahun menjalani perkuliahan. Terima kasih untuk canda, tawa, dan berbagai
pengalaman yang sudah kalian berikan.
(7) Keluarga POSA FKM UI, Pengurus POSA FKM 2010, Pengurus POSA FKM
UI 2011 untuk persekutuan yang indah selama di FKM. Terima kasih untuk
setiap doa dan dukungan yang kalian berikan
(8) Adik-adik ku Hana, Natalina, Twina, Stela, Suti, Putri yang telah terus
memberikan senyum dan doa kepadaku

vi
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

(9) Sahabat, teman dan orang-orang yang saya kasihi yang telah banyak
memberikan dukungan, menguatkan dan mendoakan dalam menyelesaikan
skripsi saya
(10) Seluruh pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak
langsung
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Skrpsi ini dapat membawa
manfaat bagi perbaikan dan pengembangan ilmu. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
Bekasi, Juli 2012

Penulis

vii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR


UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama

: Veronika Dwi Utami

NPM

: 0806337245

Program Studi

: Strata Satu (S1)

Departemen

: Kesehatan Lingkungan

Fakultas

: Kesehatan Masyarakat

Jenis Karya

: Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tanggal : Juli 2012
Yang menyatakan

(Veronika Dwi Utami)

viii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

ABSTRAK
Nama

: Veronika Dwi Utami

Program Studi : S1 Reguler Kesehatan Masyarakat


Judul
: Analisis Faktor Risiko Malaria Secara Spesifik Lokal di Indonesia
(Analisis Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010)
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu, Kementerian Kesehatan RI

mengadakan riset kesehatan dasar (Riskesdas)

berbasis kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah melihat faktor risiko secara
spesifik lokal yang paling dominan di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010, mengetahui
manfaat Riskesdas sebagai indikator pengendalian malaria. Penelitian ini menggunakan studi
ekologi berbasis populasi yang dilaksanakan pada tahun 2011 dengan sumber data dari
Laporan Riskesdas. Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor risiko kepadatan hunian 8m2
adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent
adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2010. Propinsi Papua, Papua barat,
dan NTT adalah propinsi yang paling berisiko terhadap kejadian malaria. Hasil Riskesdas
2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan kesehatan
suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara
spesifik lokal pada setiap faktor risiko

Kata kunci:
malaria, faktor risiko malaria, spesifik lokal, Riskesdas

ix
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS. Iii
SURAT PERNYATAAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
KATA PENGANTAR. vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vii
ABSTRAK.
viii
DAFTAR ISI .
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL.
xii
DAFTAR LAMPIRAN.
xiii
1. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang......... 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Pertanyaan Penelitian 6
1.4 Tujuan Penelitian 6
1.5 Manfaat Penelitian 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Riset Kesehatan Dasar
2.1.1 Latar Belakang
2.1.2 Metode Penelitian
2.2 Konsep Terjadinya Penyakit
2.3 Faktor Risiko Terjadinya Malaria
2.3.1 Lingkungan Fisik
2.3.2 Lingkungan Kimia
2.3.3 Lingkungan Biologi
2.3.4 Lingkungan Sosial Ekonomi
2.3.5 Faktor Nyamuk
2.3.6 Faktor Parasit.
2.4 Epidemiologi Lokal
2.5 Permasalahan Spesifik Lokal
2.6 Pengendalian Malaria

8
8
9
10
14
14
16
16
17
18
22
23
25
26

3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI


OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori .. 27
3.2 Kerangka Konsep.... 28
3.3 Definisi Operasional. 29
x
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Studi
4.2 Rancangan Sampel.
4.3 Pengumpulan Data
4.4 Analisis Data
4.4.1 Manajemen Data
4.4.2 Analisis Data

31
31
31
32
32

5. HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Situasi Malaria di Indonesia 35
5.2 Analisis Univariat .. 36
5.2.1 Kejadian malaria 36
5.3 Analisis Bivariat 37
5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007
..38
5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas
2010..41
5.4 Analisis Multivariat.. 44
6. PEMBAHASAN
6.1 Malaria di Indonesia.. 53
6.2 Faktor Risiko Malaria di Indonesia.. 54
6.2.1 Lama Waktu Ambil Air 54
6.2.2 Lingkungan Luar Rumah 55
6.2.3 Lingkungan Fisik Rumah58
6.2.4 Pemeliharaan Ternak 59
6.2.5 Penggunaan Repelent 60
60
6.2.6 Penggunaan Kelambu
6.2.7 Penggunaan Kasa Nyamuk pada ventilasi 61
6.2.8 Perilaku Buang Air Besar Sembaranga 62
6.3 Konsistensi Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria 63
6.4 Malaria Sebagai Masalah Lokal Spesifik.. 64
6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik 68
6.6 Keterbatasan Penelitian 70
7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 71
7.2 Saran. 72
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN

xi
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram Skematik Patogenesis Penyakit 11
Gambar 5.1 Grafik prevalensi malaria per propinsi di Indonesia 36
Gambar 5.2 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007) 40
Gmabar 5.3 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2010) 43
Gambar 5.4 Peta risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)

48

Gambar 5.5 Peta risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)52

xii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 201010
Tabel 2.2 Karakteristik spesies plasmodium di Indonesia 23
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi prevalensi malaria 37
Tabel 5.3 Hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria 37
Tabel 5.4 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada
Riskesdas 2007......................................................................................

46

Tabel 5.5 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada
Riskesdas 2010.

xiii
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

49

DAFTAR LAMPIRAN
1. DATA RISKESDAS 2007
2. DATA RISKESDAS 2010
3. OUTPUT SPSS

xiv
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu cara
untuk mencapai tujuan nasional bangsa. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan
nasional, maka diperlukan pembangunan berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian menyeluruh, terarah, dan terpadu. Pembangunan kesehatan merupakan
kegiatan atau upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang nantinya akan
berdampak kepada kualitas sumber daya manusia di Indonesia, peningkatan
ketahanan, dan daya saing bangsa serta ketahanan nasional (UU no 36 tahun 2009
tentang Kesehatan).
Pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan harus
berdasarkan kepada data atau evidence base. Dengan berbasis data maka
pembangunan kesehatan akan tepat sasaran sehingga peningkatan derajat kesehatan
masyarakat akan tercapai. Diperlukan survey atau penelitian baik tingkat nasional
maupun daerah mengenai situasi kesehatan di masyarakat.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyadari bahwa
perlunya informasi kesehatan berbasis bukti. Oleh karena itu Kementerian Kesehatan
RI membuat riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang berfungsi sebagai dasar dalam
membuat kebijakan kesehatan diberbagai jenjang administrasi. Informasi yang valid,
reliable, dan comparable dari proses pemantauan penilaian sesungguhnya dapat
berkontribusi bagi ketersediaan evidence pada skala nasional, propinsi, dan
kabupaten/kota.
Pelaksanaan riset kesehatan dasar telah dilaksanakan dua kali yaitu pada tahun
2007 dan 2010. Hasil riset kesehatan dasar ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang
tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah.

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

Riset kesehatan dasar yang telah dilakukan mencakup beberapa masalah


kesehatan, salah satunya adalah penyakit menular. Penyakit menular yang masuk
dalam survey ini antara lain malaria, demam berdarah dengue, dan tuberkolosis.
Penyakit tersebut masih menjadi masalah dan memiliki angka kesakitan dan kematian
yang tinggi menurut Riskesdas 2007.
Penyakit malaria masih menjadi sepuluh penyakit menular yang terjadi pada
semua kelompok umur di Indonesia (Riskesdas, 2007). Selain itu, malaria juga
merupakan penyakit yang masuk kedalam 10 besar penyebab kematian
penduduk

di

daerah

pedesaan

dibandingkan

dengan

daerah

pada

perkotaan

(Riskesdas,2007).
Malaria tidak dapat dipisahkan dari masalah sosial, budaya, dan ekonomi
yang berakibat kepada kemiskinan. Malaria selalu dihubungkan dengan kemiskinan
yang mempengaruhi perkembangan dari suatu negara dan biaya kesehatan yang harus
dikeluarkan. Kejadian malaria di daerah hutan dan area dekat hutan menyumbang
40% dari total angka kejadian malaria (WHO,2012). Malaria yang terjadi di hutan
dan area dekat hutan merupakan masalah yang serius yang berhubungan dengan
tingginya penularan dari vektor, multi transmisi, waktu transmisi yang panjang, dan
adanya resistensi vektor terhadap obat (WHO,2012). Hutan yang semakin
dieksploitasi untuk diambil sumber daya alamnya, membuat masyarakat semakin
dekat dengan wilayah epidemic malaria(Saputra,2011).
Penelitian yang dilakukan di Malawi menunjukkan kelompok penghasilan
terendah menghabiskan 32% dari pendapatan mereka untuk mengobati penyakit
malaria sedangkan pada kelompok penghasilan dari rendah ke tinggi hanya
menghabiskan 4% pendapatan mereka(www.news-medical). Dampak ekonomi
mencakup biaya perawatan kesehatan, hari kerja yang hilang karena sakit, hari hilang
dalam pendidikan, penurunan produktivitas akibat anemia dan kerusakan otak dan
kehilangan investasi dan pariwisata (http://www.news-medical.net/MalariadanBudaya).

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Populasi yang berisiko terinfeksi malaria adalah populasi yang umumnya


tinggal di daerah-daerah terpencil atau penduduk dengan mobilitas tinggi dan pergi
mengunjungi daerah endemis malaria. Penduduk yang tinggal di daerah endemis
diperkirakan ada 85,1 juta dengan tingkat endemisitas rendah hingga tinggi
(Achmadi,2008). Akibat mobilitas arus barang, jasa, dan manusia terjadi persebaran
nyamuk vektor penular malaria dan juga plasmodiumnya. Plasmodium ovale dan
Plasmodium malariae yang semula hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan
Papua, pada akhir tahun 1990 ditemukan juga di Lampung dan Pulau Nias
(Achmadi,2008).
Di Indonesia, penderita malaria umumnya merupakan penduduk wilayah
terpencil,

sulit

dijangkau

dan

berada

pada

kantong-kantong

kemiskinan

(Achmadi,2008). Data Situasi Angka Kesakitan Malaria selama tahun 2000-2006


menunjukkan penurunan dan bila dibandingkan dengan target yang diinginkan yaitu
pada tahun 2000 angka kesakitan malaria sebesar 51,6 per 1000 dan menurun menjadi
19,6 per 1000 pada tahun 2006. Berdasarkan data dari P2PL Kemenkes
kecenderungan penurunan adalah kontribusi dari wilayah Jawa-Bali, sedangkan untuk
wilayah luar Jawa-Bali penurunannya sangat lamban. Untuk wilayah Jawa-Bali angka
kasus malaria yang sudah dikonfirmasi per seribu penduduk atau yang dikenal dengan
Annual Parasite Incidence (API) selama tahun 2006 sebesar 0,19%. Sedangkan untuk
wilayah luar Jawa-Bali angka klinis malaria per seribu penduduk atau yang dikenal
dengan Annual Malaria Incidence (AMI) selama tahun 2006 sebesar 23,98%
(Harijanto,2009).
Kejadian malaria dipengaruhi oleh faktor risiko yang ada di lingkungan
tempat tinggal penduduk. Faktor risiko penyakit malaria adalah berbagai faktor yang
memiliki peran dalam kejadian atau timbulnya penyakit malaria. Faktor risiko malaria
dibagi dalam 2 kelompok besar, yakni faktor yang memengaruhi siklus hidup
Plasmodium dalam tubuh nyamuk dan siklus hidup Plasmodium dalam tubuh
manusia.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Dalam perspektif faktor risiko, kejadian malaria bersifat sangat spesifik lokal,
karena disamping tergantung pada ekosistem juga tergantung pada faktor
kependudukan yang beraneka ragam(Achmadi,2008). Faktor risiko malaria selalu
berbeda pada setiap populasi, Populasi yang tinggal di daerah perkotaan memiliki
risiko yang berbeda dengan populasi yang tinggal di daerah pedesaan. Penduduk di
pedesaan lebih berisiko karena disana terdapat sawah, rawa-rawa, sungai yang
merupakan habitat dari nyamuk Anopheles. Pekerjaan penduduk pedesaan juga lebih
berisiko dibandingkan penduduk perkotaan (Riskesdas,2007).
Jenis nyamuk pada setiap daerah berbeda dan setiap nyamuk memiliki sifat
dan habitat yang berbeda satu sama lain. Pemerintah dan penduduk yang berada di
daerah yang berisiko tinggi terhadap penularan malaria perlu mengetahui jenis
nyamuk dan bionomiknya. Nyamuk Anopheles sundaicus adalah nyamuk yang
banyak ditemukan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Di
Mandailing jentik nyamuk ini ditemukan pada air tawar dengan ketinggian 210 meter
sedangkan di Danau Toba ditemukan pada ketinggian 1000 meter (Elyazar et
al,2011). Identifikasi nyamuk pada masing-masing daerah perlu dilakukan sehingga
pengendalian yang dilakukan dapat sesuai dengan bionomik nyamuk dan intervensi
terhadap perilaku penduduk setempat dapat ebih efektif.
Berdasarkan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah,
pemerintah daerah berhak membuat kebijakan otonom terkait permasalahan
kesehatan yang ada di daerahnya. Untuk membuat kebijakan ini diperlukan data atau
bukti mengenai masalah kesehatan yang paling banyak didaerahnya, karakteristik
penduduk dan juga faktor risiko terjadinya masalah kesehatan.
Desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada wilayah otonom yang
juga merupakan strategi untuk lebih menampung aspirasi masyarakat dalam
pembangunan. Desentralisasi telah digunakan sebagai alat untuk mencapai
pemerataan kesehatan melalui reformasi kesehatan atau

merupakan alat untuk

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

meningkatkan kualitas pemerataan kesehatan menjadi lebih efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan masyarakat lokal (Achmadi,2008).
Sejak diberlakukannya sistem desentralisasi pada negara Indonesia, belum ada
studi yang membuktikan apakah desentralisasi telah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat pada tingkat kabupaten secara merata atau belum. Beberapa data
menunjukkan telah terjadi kesenjangan pencapaian angka malaria. Selama 6 tahun
desentralisasi, terjadi kesenjangan angka Annual Malaria Incidence (15) di pulau
Jawa dan Bali dengan angka Annual Malaria Incidence (30) di luar pulau Jawa dan
Bali (Achmadi,2008).
Program elliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria di
Indonesia dilakukan secara bertahap dari satu pulau ke pulau lain sampai seluruh
pulau tercakup hingga terwujud masyarakat yang terbebas dari malaria dan penularan
malaria sampai tahun 2030.
Pembangunan kesehatan yang sesungguhnya ada pada tingkat kabupaten atau
kota (Achmadi,2008). Pengendalian malaria memerlukan informasi yang bersifat
lokal spesifik sehingga pengendalian dapat efektif dan efisien. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk menunjang informasi yang berbasis lokal spesifik seperti
penelitian di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Maluku dimana keberadaan kandang
ternak mampu menurunkan risiko 3,2 kali untuk terkena malaria (Erdinal dkk,2010),
dan perilaku masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah yang memiliki kebiasaan
mandi di sungai dan tidak memakai baju saat masuk ke dalam hutan (P2PM Dinkes
Bangka Tengah dalam vivanews.com).

1.2 Rumusan Masalah


Penyakit menular salah satunya malaria merupakan penyakit yang bersifat
spesifik lokal. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan secara nasional

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

tidak didisain untuk melihat masalah kesehatan secara spesifik lokal. Padahal
pengendalian dan pemberantasan malaria harus dilakukan secara spesifik lokal agar
program tersebut efektif. Selain itu hasil Riskesdas melihat faktor risiko secara
nasional dan belum secara spesifik lokal sehingga intervensi yang dilakukan belum
sesuai dengan kondisi lingkungan dan kependudukan di daerah tersebut. Oleh karena
hal itu, peneliti ingin melihat faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di
Indonesia (Analisis Hasil Riskesdas 2007 dan 2010).
1.3 Pertanyaan penelitian
1. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat menggambarkan
kejadian malaria secara spesifik lokal?
2. Seberapa jauh hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria di
Indonesia baik pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010?
3. Apakah ada konsistensi hubungan variabel terkait kejadian malaria di
Indonesia pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010?
4. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan indikator
untuk pengendalian malaria pada tingkat kabupaten/kota?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1

Tujuan Umum
Mengetahui faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di Indonesia
(Analisis Laporan Riskesdas 2007 dan 2010)

1.4.2

Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kejadian malaria secara spesifik lokal berdasarkan
Riskesdas 2007 dan 2010 di Indonesia
2. Mengetahui hubungan antara kejadian malaria dengan faktor risiko
malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dann 2010
3. Mengetahui konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan
kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010
4. Mengetahui manfaat Riskesdas 2007 dan 2010 sebagai indikator dalam
upaya mengendalikan malaria pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1

Bagi Tempat Penelitian


Penelitian ini

dapat memberikan gambaran

bagi

pemerintah pusat

(Kementrian Kesehatan) dan pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) terkait


faktor risiko malaria di Indonesia dan perlunya pendekatan secara spesifik
lokal terkait pengendalian dan pemberantasan malaria sehingga dapat
memutus rantai dinamika penularan malaria di Indonesia pada umumnya dan
di daerah pada khususnya.
1.5.2

Bagi Perkembangan Keilmuan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan juga dapat
dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dalam menganalisis faktor risiko malaria di daerah-daerah di Indonesia

1.5.3

Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan ajang pembelajaran bagi peneliti karena dapat
mengaplikasikan serta mengembangkan ilmu yang telah didapat selama kuliah
serta mampu melakukan analisis mengenai masalah kesehatan yang ada di
masyarakat. Dan juga untuk mengetahui faktor risiko apa saja yang
berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor risiko malaria di Indonesia
dengan menganalisis laporan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Faktor risiko yang
dimaksud adalah faktor kependudukan, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor
lingkungan luar rumah. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita malaria yang
terdiagnosis saat Riskesdas berlangsung. Penelitian ini dilakukan karena prevalensi
malaria di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat dan akan berpengaruh
kepada kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Riset Kesehatan Dasar
2.1.1 Latar Belakang
Visi Kementrian Kesehatan adalah masyarakat sehat yang mandiri dan
berkeadilan. Sedangkan misi Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan
masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya
upaya kesehatan yang parpurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin
ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik.
Salah satu strateginya adalah Meningkatkan pelayanan kesehatan yang
merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan
mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. Oleh karena itu diperlukan data
kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan riset kesehatan berbasis
komunitas beskala nasional sampai tingkat kabupaten. Riskesdas ini direncanakan
secara periodic dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program
kesehatan yang telah dilaksanakan, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan
kesehatan.
Data kesehatan dasar yang dikumpulkan meliputi semua indikator kesehatan
yang utama tentang status kesehatan , kesehatan lingkungan, pengetahuan-sikapperilaku kesehatan dan beberapa aspek mengenai pelayanan kesehatan. Data
kesehatan tersebut bukan saja berskala nasional tetapi juga dapat menggambarkan
indicator kesehatan minimal sampai tingkat kabupaten.

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

Indikator Riskesdas berdasarkan atas kebutuhan untuk pencapaian indicator


pembangunan kesehatan seperti Milenium Development Goals (MDGs), Rencana
dan strategis (Renstra) Kemenkes, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN).
Riskesdas didisain untuk mendukung pengembangan kebijakan kesehatan
berbasis bukti ilmiah. Riskesdas 2007 didisain dengan memperhatikan teori dasar
tentang hubungan antara berbagai penentu yang mempengaruhi status kesehatan
masyarakat. Riskesdas menyediakan data dasar yang dikumpulkan secara nasional
sehingga hasilnya dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan kesehatan bahkan
sampai ke tingkat kabupaten/kota.
Riskesdas

2010

merupakan

riset

kedua

yang

memfokuskan

pada

pengumpulan data untuk mengevaluasi keberhasilan pencapaian target Millenium


Development Goals (MDGs). Hasil dari Riskesdas yang kedua ini adalah untuk
penyusunan strategi 5 tahun mendatang dalam percepatan pencapaian target MDGs
dan juga untuk melaporkan situasi pencapaian target MDGs yang berbasis
masyarakat.
2.1.2 Metode Penelitian
Metode penelitian dari Riskesdas adalah desain study cross sectional
deskriptif. Disain Riskesdas terutama untuk menggambarkan masalah kesehatan
penduduk di seluruh pelosok di Indonesia, secara menyeluruh, akurat dan berorientasi
pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif.
Riset kesehatan dasar didisain untuk mendukung pengembangan kebijakan
kesehatan berbasis

bukti

ilmiah. Disain Riskesdas

dikembangkan

dengan

memperhatikan teori dasar tentang hubungan antara berbagai penentu yang


mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Riskesdas menyediakan data dasar yang
dikumpulkan melalui survey berskala nasional sehingga hasilnya dapat digunakan
untuk penyusunan kebijakan kesehatan bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

10

Tabel 2.1 Perbedaan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010

Variabel

Riskesdas 2007

Riskesdas 2010

Sampel rumah tangga

280.000

70.000

Representasi

Kabupaten,

propinsi, Propinsi dan nasional

nasional
Unit sampel

Blok Sensus

Blok sensus

Jumlah Blok Sampel (BS)

18000

2800

Pemilihan sampel BS

Sama dengan Blok Sensus Independen


Susenas

Susenas

Jumlah RT per BS

16

25

Data yang dikumpulkan

Perilaku, gizi, PM, PTM, Gizi,


kesehatan lingkungan

KIA,

dengan

PM

(TB,

Malaria,HIV/AIDS),
sanitasi

Biomedis

Lengkap

Malaria dan TB

2.2 Konsep Terjadinya Penyakit


Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu yang mempelajari hubungan interaktif
antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan berbagai
variabel kependudukan seperti perilaku, pendidikan, dan umur (Achmadi,2008).
Dalam hubungan interaksi, faktor komponen lingkungan seringkali mengandung atau
memiliki potensi timbulnya penyakit. Misalnya ketika menghirup udara, manusia
berinterkasi dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya. Interaksi ini kemudian
dikenal sebagai proses perpindahan agent penyakit atau proses kejadian penyakit.
Proses kejadian penyakit atau pathogenesis penyakit pada setiap penyakit
berbeda-beda. Dengan mengetahui pathogenesis penyakit, maka dapat menentukan
pada titik mana atau disimpul mana dapat dilakukan pencegahan.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

11

Kejadian penyakit merupakan hasil interaksi antara manusia dengan


lingkungannya yang memiliki potensi penyakit. Manusia dalam lingkungannya
memiliki perilaku yang berkaitan dengan budaya yang telah berakar. Perilaku
penduduk yang telah membudaya ini merupakan salah satu variabel kependudukan.
Pathogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat
digambarkan dalam teori simpul, sebagai berikut:

Sumber
Penyakit

Komponen
Lingkungan
(media transisi)

Penduduk

Sakit/sehat

Variabel lain yang berpengaruh

Sumber: Achmadi, 2008


Gambar 2.1 Diagram Skematik Patogenesis Penyakit

Dengan mengacu kepada diagram diatas, maka proses pathogenesis penyakit


dapat diuraikan kedalam empat simpul. Simpul pertama disebut sebagai sumber
penyakit, simpul kedua disebut sebagai komponen lingkungan yang merupakan
media transmisi, simpul ketiga disebut sebagai variabel kependudukan, dan simpul
keempat adalah hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan apakah menjadi
sehat atau sakit. Teori Simpul Kejadian Penyakit menurut Achmadi (2003):
1. Simpul 1: Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent
penyakit. Agent merupakan faktor yang harus ada pada sebab penyakit dan
merupakan substansi yang ada atau tidaknya, bila diikuti dengan kontak baik
secara langsung maupun melalui media perantara yang efektif pada manusia yang
rentan, akan menjadi rangsangan atau stimulasi bagi terjadinya suatu penyakit.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

12

Agent suatu penyakit dapat dikelompokkan menjadi menjadi 3 kelompok


besar yaitu
a. Kelompok agent biologi seperti protozoa, bakteri, virus, jamur, parasit,
dan lain-lain
b. Kelompok agent fisik, misalnya radiasi, intensitas suara, panas, terang
cahaya dan lain-lain
c. Kelompok agent kimia, misalnya logam berat (merkuri, cadmium, timbal),
asbes, minuman keras, dan lain-lain.
Setiap kelompok agent memiliki karakteristik, terutama agent biologi.
Karakteristik agen biologi adalah
-

inheren (morfologi, fisiologi, reproduksi, toksin,dll),

viabilitas adalah kemampuan hidup di alam bebas

infektifitas adalah kemampuan menginfeksi pejamu

patogenisitas adalah kemampuan menimbulkan reaksi pada pejamu

virulensi adalah derajat berat ringannya reaksi yang ditimbulkan oleh agen

Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun kadang-kadang


mengeluarkan satu atau lebih agen penyakit. Berdasarkan sumbernya, sumber
penyakit dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
a. sumber penyakit alami, misalnya gunung berapi yang mengeluarkan gasgas beracun dan debu beracun, proses pembusukan yang terjadi secara
alamiah.
b. hasil kegiatan manusia misalnya industry, rumah tangga, transportasi.
Sumber penyakit pada kejadian penyakit menular dapat berasal dari penderita
penyakit menular itu sendiri atau juga dapat berasal dari binatang yang
merupakan reservoir yaitu binatang yang menularkan penyakit tetapi binatang
tersebut tidak mengalami sakit. Sedangkan pada kejadian penyakit tidak menular,
sumber penyakit bukanlah dari kelompok agent biologi.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

13

2. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit


Komponen lingkungan yang dapat menjadi media transmisi dari agen
penyakit terdapat 5 komponen, yaitu air, udara, tanah,/pangan, binatang/serangga,
dan manusia. Media tersebut tidak akan menjadi transmisi penyakit jika tidak
terdapat agen didalamnya.
3. Simpul 3: Variabel kependudukan/Perilaku Pemajanan
Agent penyakit dengan atau tanpa melalui media transmisi masuk ke dalam
tubuh melalui suatu proses yang dikenal sebagai hubungan interaktif. Hubungan
interaktif ini dipengaruhi juga oleh faktor intrinsik dari manusia. Faktor intrinsik
dari variabel kependudukan antara lain umur, ras, jenis kelamin, status sosioekonomi, perilaku,dll.
Hubungan

interaktif

antara

komponen

lingkungan

dengan

variabel

kependudukan dapat diukur dalam konsep yang disebut perilaku pemajanan atau
behavioural exposure (Achmadi dalam Achmadi,2008). Perilaku pemajanan
adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang
berrisiko menyebabkan suatu penyakit. Jumlah kontak antar individu berbeda satu
dengan lainnya karena dipengaruhi oleh perilakunya. Perilaku seseorang antara
lain dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, pengalaman, budaya, dan lainnya.
Agent penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui route of entry, yaitu
sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem reproduksi, dan melalui permukaan
kulit.
4. Simpul 4: Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit adalah outcome dari hubungan interaksi antara penduduk
dengan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit. Seseorang
dikatakan sakit jika memiliki kelainan dibandingkan dengan penduduk yang

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

14

lainnya. Jika interaksi yang terjadi antara penduduk dan lingkungan tidak
menimbulkan kelainan maka outcome adalah sehat.
Untuk menetapkan seseorang sakit atau tidak diperlukan adanya indicator
yang normal dalam tubuh, misalnya kandungan timbal dalam darah,
ditemukannya basil tahan asam (BTA) dalam sputum atau bisa menggunakan
gejala klinis dari suatu penyakit.
2.3 Faktor Risiko terjadinya Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang ditularkan melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles betina. Interaksi antara
agent dan host terkait malaria dipengaruhi oleh faktor lain yang mendukung.
Berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian penyakit malaria disebut faktor
risiko.
2.3.1 Lingkungan Fisik
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk.
Suhu yang optimum berkisar antara 20-300C. Makin tinggi suhu makin
pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) begitu juga sebaliknya semakin
rendah suhu semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Suhu dipengaruhi
oleh iklim, didaerah beriklim tropis transmisi malaria dapat berlangsung
sepanjang tahun (Parasitologi Kedokteran, 1998). Suhu ruangan dalam rumah
dipengaruhi oleh dinding, lantai, atap, dan permukaan jendela. Agar suhu
ruangan berada pada suhu ideal maka tidak boleh ada perbedaan suhu yang
terlalu tinggi antara dinding, lantai, atap, dan jendela (Saputra, 2011).
b. Kelembaban
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk,
meskipun tidak berpengaruh terhadap parasit. Tingkat kelembaban 60%
merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan nyamuk hidup.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

15

Kelembaban yang tinggi membuat nyamuk lebih agresif dan lebih sering
mengigit, sehingga akan meningkatkan penularan malaria. Apabila kondisi
dalam rumah memiliki kelembaban yang tinggi, maka akan mempengaruhi
kebiasaan mangigit dan istiahat nyamuk (Nugroho dalam Yawan,2010).
Kelembaban dalam rumah dipengaruhi oleh keberadaan ventilasi,
jendela, jenis lantai, jenis dinding , jenis atap, dan juga kepadatan hunian.
Apabila suatu rumah memiliki kriteria rumah sehat maka rumah tersebut
memiliki kelembaban udara dalam ruang yang berada pada batas normal tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Rumah dengan jenis lantai tanah dan
kepadatan hunian tinggi akan meningkatkan kelembaban dalam ruang yang
akan mempengaruhi kebiasaan mengigit dan istirahat nyamuk (Saputra,
2011).
c. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangbiakan nyamuk dan
memicu terjadinya epidemic malaria. Penularan malaria lebih tinggi pada
musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau (Kemenkes, 2008) Besar
kecilnya pengaruh hujan, tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor,
dan jenis tempat perindukan. Dengan bertambahnya tempat perindukan
nyamuk maka populasi nyamuk malaria juga bertambah dan akan
meningkatkan risiko penularan (Kemenkes,2008). Hujan yang diselingi
dengan panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk
Anopheles.. Hujan juga akan mempengaruhi tingkat kelembaban dan suhu
dalam ruangan akibat kondisi fisik rumah yang tidak baik
d. Ketinggian
Malaria semakin berkurang dengan semakin bertambahnya ketinggian. Pada
ketinggian 2000 m jarang terjadi transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila
terjadi pemanasan bumi dan dampak El-Nino. Ketinggian yang paling tinggi
masih memungkinkan transmisi malaria adalah 2500 m diatas permukaan laut.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

16

e. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan
ikut mempengaruhi terjadinya kontak antara nyamuk dan manusia.
f. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh. Anopheles hyrcanus sp
dan Anopheles pinculatus sp lebih menyukai tempat yang terbuka dan
Anopheles barbirostris dapat hidup di tempat yang teduh maupun terang.
g. Arus air
Setiap nyamuk memiliki tempat perindukan yang berbeda-beda. Anopheles
barbirostrosis menyukai tempat perindukan yang airnya mengalir lambat,
sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras dan Anopheles
letifer menyukai air tergenang.
2.3.2 Lingkungan Kimiawi
Lingkungan kimiawi yang berisiko terhadap kejadian malaria adalah salinitas.
Anopheles sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18%
dan tidak berkembang pada kadar garam lebih dari 40% (Harijanto,2009).
2.3.3 Lingkungan Biologi
Keberadaan vegetasi seperti bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi
kehidupan larva karena dapat menghalangi sinar matahari atau juga untuk melindungi
diri dari serangan pemangsa. Keberadaan predator alami dari larva nyamuk seperti
ikan kepala timah, gambusia, nila, dan mujair akan mempengaruhi populasi nyamuk
(P2PL Kemenkes RI,2009). Adanya ternak seperti sapi, kerbau, dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, Apabila kandang ternak berada
tidak jauh dari rumah. Keberadaan ternak ini menjadi barrier bagi penghuni rumah.
Jarak kandang ternak dengan tempat tinggal harus disesuaikan dengan jarak terbang
nyamuk Anopheles yaitu 20 meter. Jadi keberadaan kandang ternak harus berada
pada jarak lebih dari 20 meter.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

17

2.3.4 Lingkungan Sosial Ekonomi


1. Budaya
Perilaku penduduk merupakan bagian dari sebuah kebudayaan. Setiap daerah
memiliki kekhasan masing-masing yang juga akan membentuk perilaku dari
penduduk di sana. Kebiasaan berkumpul dengan tetangga pada malam hari di balai
desa, kebiasaan menonton wayang atau layar tancap, pesta adat, dan lainnya
merupakan perilaku yang berisiko. Hal ini berkenaan dengan bionomik nyamuk
Anopheles yang memiliki kebiasaan mengigit dari sore hingga pagi dini hari.
Karakteristik mengigit dari nyamuk berbeda pada setiap spesies Anopheles.
Selain kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari, kebiasaan buang air
besar diluar rumah dan mengambil air dari sumber mata air yang jauh juga berisiko
terinfeksi malaria. Kebiasaan buang air besar sembarangan dan aktifitas mengambil
air menjadi berisiko karena penduduk berisiko kontak dengan nyamuk Anopheles saat
berada di ruang terbuka dan dalam waktu yang lama terutama pada saat nyamuk
berada pada aktifitas mengigit (Achmadi,2008). Kebiasaan tersebut juga berkenaan
dengan terbatasnya akses sanitasi dan air bersih sehingga memaksa penduduk disana
untuk pergi ke daerah yang merupakan tempat perindukan nyamuk. Jika akses
sanitasi dan air bersih sudah baik maka akan mengurangi risiko penduduk setempat
untuk terinfeksi malaria.
2. Pendidikan
Pendidikan berhubungan dengan pengetahuan penduduk setempat. Semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan
yang baik akan berpengaruh kepada sikap dan perilakunya. Jika pengetahuan tentang
malaria sudah baik maka diharapkan penduduk dapat melakukan pencegahan atau
mengurangi perilaku berisiko untuk terinfeksi malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

18

3. Pekerjaan
Pekerjaan penduduk berhubungan dengan risiko kontak dengan malaria di
dalam atau di luar rumah. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi intensitas seseorang
untuk berada di dalam atau di luar rumah. Pekerjaan yang setiap harinya kontak
dengan lingkungan luar akan memiliki risiko yang berbeda dengan pekerjaan yang
dilakukan di dalam ruangan.
4. Kemiskinan
Hubungan malaria dan kemiskinan, bersifat timbal balik (Achmadi,2008).
Malaria pada individu menyebabkan penderita tidak dapat bekerja, tidak bisa belajar.
Produktivitas wilayah akan terganggu baik langsung maupun tidak langsung.
Penderita akan kehilangan peluang untuk mendapatkan upah, kerugian ekonomi
dikarenakan biaya pengobatan. Selain itu pengobatan yang tidak efektif dapat
menyebabkan anemia berkepanjangan, dan memerlukan makanan dengan gizi yang
baik. Apabila dijumlahkan secara kolektif, maka wilayah kabupaten akan kehilangan
peluang membangun sumber daya manusia dan peluang ekonomi (Achmadi dalam
Achmadi 2008).
2.3.5 Faktor Nyamuk
1 Jenis Nyamuk
Malaria ditularkan kepada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk
betina Anopheles. Nyamuk betina memerlukan darah manusia untuk mematangkan
telur.
Terdapat 3500 spesies nyamuk yang digolongkan menjadi 41 genus, dan
terdapat 430 spesies Anopheles dan hanya 30-40 spesies yang menularkan malaria.
Malaria ditularkan oleh nyamuk yang berbeda untuk setiap parasit yang dibawa, hal
ini tergantung dari wilayah dan lingkungan.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

19

Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropis dan subtropics dan


banyak ditemukan di dataran rendah. Nyamuk Anopheles betina mengigit antara
waktu senja dan subuh. Jarak terbang dari nyamuk ini terbatas, biasanya tidak lebih
dari 2-3 km dari tempat perindukkan. Namun, nyamuk ini bisa terbawa angin sampai
30 km.
Kebiasaan makan dan istirahat nyamuk Anopheles dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
- endofili: suka tinggal dalam rumah/bangunan
- eksofili: suka tinggal diluar rumah
- endofagi: mengigit dalam rumah/bangunan
- eksofagi: mengigit diluar rumah/bangunan
-antropofili: suka menggigit manusia
-zoofili: suka menggigit binatang
Vektor utama malaria di Pulau Jawa dan Sumatera adalah An. sundaicus, An.
maculates, An. aconitus, dan An. balabacensis. Sedangkan diluar kedua pulau
tersebut khususnya Indonesia bagian tengah dan timur adalah An. barbirostris, An.
farauti, An. koliensis, An. punculatus, An. subpictus, dan An. balabacencis. Berikut
ini adalah contoh bionomik dari beberapa spesies tersebut(.
1. Anopheles aconitus
Nyamuk ini memiliki karakteristik mengigit antara pukul 18.00 sampai 22.00.
Jarak terbang nyamuk ini antara 1-2 km. Nyamuk ini lebih senang beristirahat di
luar rumah seperti di tebing sungai, pada cekungan tanah, maupun ditempat basah
dan lembab. Tempat perindukan utama nyamuk ini adalah sawah berteras dan
saluran irigasi. Selain itu tempat perindukan nyamuk dapat ditemukan di tepi
sungai dengan aliran lambat atau kolam yang bersifat alkalis.
2. Anopheles balabacencis
Spesies ini merupakan spesies yang antropofilik yang memiliki kebiasaan
mengigit pada tengah malam hingga menjelang fajar sekitar pukul 4 pagi. Habitat
nyamuk ini adalah di hutan dan berkembang biak di genangan air tawar.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

20

3. Anopheles barbirostris
Waktu mengigit dari nyamuk spesies ini antara pukul 23.00 sampai 05.00 pagi
dan setelah menggigit nyamuk ini akan beristirahat di kebun. Tempat
perindukannya di genangan air tawar yang banyak ditumbuhi tumbuhan air antara
lain rawa, sawah, kolam darat.
4. Anopheles subpictus
Spesies nyamuk ini umumnya ditemukan di daerah pantai dan memiliki
tempat perindukan di air payau yang terdapat tanaman air dan hutan bakau yang
terkena sinar matahari. Nyamuk ini aktif sepanjang malan dan beristirahat di
dinding rumah.
5. Anopheles maculates
Anopheles maculates lebih menyukai darah binatang ternak, memiliki
kebiasaan mengigit antara pukul 23.00 sampai 03.00 pagi. Nyamuk ini lebih
sering mengigit manusai di luar rumah serta suka beristirahat di luar rumah
seperti di kebun, rumput-rumput. Sedangkan untuk tempat perindukan nyamuk ini
menyukai sungai kecil, air jernih, dan mata air yang langsung kena cahaya
matahari.
2 Siklus Hidup Nyamuk
Nyamuk Anopheles memiliki siklus hidup seperti pada nyamuk lainnya yaitu
telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Tiga fase hidup pertama dari nyamuk ini
membutuhkan air sebagai media dan selanjutnya hidup 5-14 hari tergantung dari
spesies nyamuk itu sendiri dan juga kondisi lingkungan.
Nyamuk betina Anopheles mampu menghasilkan telur sebanyak 50-200 telur
setiap bertelur. Telur dari nyamuk ini memiliki ciri yang khas yaitu memiliki
sepasang pelampung di kedua sisi telur dan diletakkan secara single. Telur Anopheles
tidak tahan terhadap kondisi kering dan hanya mampu bertahan selama 2-3 hari
Larva nyamuk Anopheles tidak memiliki siphon sehingga posisi dari larva ini
sejajar dengan permukaan air. Larva nyamuk bernafas melalui spirakel yang berlokasi

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

21

di segmen delapan dari perut. Makanan dari larva nyamuk adalah alga, bakteri, dan
mikroorganisme yang ada pada permukaan air. Larva nyamuk ini berkembang
melalui 4 tahap atau instars, setelah itu larva nyamuk akan berubah menjadi pupa.
Nyamuk Anopheles senang meletakkan telurnya di air yang bersih dan tidak
tercemar. Oleh karena itu, larva nyamuk Anopheles sering ditemukan di air payau,
hutan bakau, sawah, sungai. Sebagian besar spesies nyamuk Anopheles memilih
perairan yang ditumbuhi oleh tanaman
Setelah melewati masa larva, maka akan berubah menjadi pupa. Pupa nyamuk
ini berbentuk seperti koma. Sama seperti fase larva, fase pupa dari nyamuk ini juga
berada di permukaan air untuk memudahkan proses pernapasan. Setelah b

eberapa

hari menjadi pupa, nyamuk dewasa baru pun keluar.


Waktu yang dibutuhkan nyamuk Anopheles dari fase telur menjadi nyamuk
dewasa tergantung dari spesiesa dan juga sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan.
Secara keseluruhan, waktu yang diperlukan dari fase telur menjadi nyamuk sekitar 5
hari dan jika pada daerah tropis membutuhkan waktu 10-14 hari.
Nyamuk Anopheles memiliki ciri khusus yang dapat membedakannya dengan
nyamuk lain. Perbedaan itu terletak pada panjang probosis yang sama dengan palpi
dan juga keberadaan bintik-bintik hitam dan putih pada sayap. Hal yang membedakan
lainnya adalah posisi nyamuk saat mengigit mangsanya yaitu tegak lurus atau
membentuk sudut 900 dengan tubuh mangsanya.
Nyamuk betina yang sudah kenyang akan mencari tempat istirahat untuk
mematangkan telur-telurnya. Proses pematangan ini tergantung dari suhu lingkungan
tetapi biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari pada kondisi tropis. Setelah telur-telur
matang maka nyamuk betina akan mencari area untuk bertelur. Siklus ini akan
berlangsung terus menerus sampai nyamuk betina mati. Umur nyamuk betina
Anopheles dapat mencapai satu bulan tetapi kebanyakan berumur tidak lebih dari 1-2

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

22

minggu. Kemampuan bertahan dari nyamuk ini tergantung dari suhu dan kelembaban
disamping terpenuhinya kebutuhan asupan darah dari mangsanya.
2.3.6 Faktor Parasit
Parasit malaria berada pada dua tipe host untuk menunjang siklus hidupnya
yaitu pada manusia dan pada nyamuk Anopheles betina. Pada tubuh manusia parasit
malaria membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan gametosit jantan dan
betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Pada tubuh nyamuk parasit harus
menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk Anopheles yang antropofilik
agar sporogoni dapat menghasilkan sporozoit yang infektif.
Genus Parasit malaria terbagi menjadi 3 sub-genus yaitu subgenus
plasmodium P.vivax, P.ovale, P.malariae, subgenus Laverania P. falciparum, dan
subgenus Vinckeia yang tidak menginfeksi manusia. Sifat-sifat spesifik dari parasit
malaria berbeda untuk setiap parasit dan juga akan mempengaruhi terjadinya
manifestasi klinik.
Daur hidup parasit malaria terjadi dalam hospes perantara (manusia) dan
hospes definitive (nyamuk). Proses ini terdiri dari fase aseksual eksogen (sprogoni)
dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes
perantara. Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu: 1) daur eritrosit dalam darah
(skizogoni eritrosit) dan 2) daur dalam parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit)natau
stadium jaringan dengan a) skizogoni praeritrosit (skizogoni eksoertirosit primer)
setelah sporozoit masuk dalam kati dan b) skizogoni eksoeritrosit sekunder yang
berlangsung dalam hati.
Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae hanya terdapat satu generasi
aseksual dalam hati sebelum daur dalam darah dimulai, sesudah itu daur dalam hati
tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi P.vivax dan P.ovale daur eksoeritrosit
berlangsung terus sampai bertahun-tahun melengkapi perjalanan penyakit yang dapat
berlangsung lama (bila tidak diobati) disertai banyak relaps.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

23

Karakteristik berbagai spesies plasmodium pada manusiadapat dilihat dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Karakteristik Spesies Plasmodium di Indonesia
Karakteristik

P. falciparum

Siklus eksoeritrositik

P. vivax

P. ovale

P.malariae

5-7

14-15

48

48

50

72

Masa prepaten (hari)

6-25

8-27

12-20

18-59

Masa inkubasi (hari)

7-27

13-17

14

23-69

Keluarnya gametosit

8-15

5-23

30-40.000

10.000

15.000

15.000

9-22

8-16

12-14

16-35

Nyeri kepala,

Demam

Demam

Demam

pegal linu,

terjadi setiap

setiap 48

setiap 72

demam tidak

48 jam pada

jam

jam

begitu nyata,

waktu siang

gagal ginjal

atau sore,

primer (hari)
Siklus

aseksual

dalam darah (jam)

(hari)
Jumlah merozoit per
sizon jaringan
Siklus

sporogoni

dalam nyamuk (hari)


Gejala

Pembengkak
an limpa
Sumber: Bruce Chwatt dalam Harijanto

2.4 Epidemiologi Lokal


Indonesia sebagai negara tropis meupakan kawasan endemic berbagai
penyakit menular, seperti malaria, TBC, filariasis, diare, dan lainnya. Disamping itu,
di era globalisasi seperti saat ini maka Indonesia juga ikut berperan dalam era ini

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

24

yang tak bisa menghindari masuknya berbagai penyakit lain seperti SARS, avian
influenza, flu babi dan lainnya.
Permasalahan kesehatan yang sudah menjadi masalah global perlu ditangani
secara global dan juga terintegrasi. Badan kesehatan dunia (WHO) memiliki
komitmen untuk mengatasi masalah kesehatan dunia dengan membuat program
pengendalian atau pemberantasan seperti program tuberkolosis, malaria, kusta, dan
HIV/AIDS. Program-program yang ada harus juga menjadi komitmen pada setiap
negara.

Komitmen

nasional

juga

menjadi

komitmen

provinsi,

komitmen

kabupaten/kota. Apabila diwilayahnya terdapat prioritas local yang dianggap perlu


maka dapat ditambahkan.
Strategi pengendalian penyakit menular pada dasarnya adalah untuk
menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus secara
aktif, kemudian memastikan lalu memberikan pengobatan yang efektif. Manajemen
pemberantasan dan pengendalian penyakit menular memiliki dua perspektif:
a. Epidemiologi global yakni perjalanan penyakit antar benua, antar negara
b. Epidemiologi local yang intinya dinamika transmisi penyakit tertentu pada
wilayah tertentu
Penyakit menular bersifat global. Misalnya malaria yang terbentang pada
wilayah yang beriklim tropis yang memiliki karakteristik ekosistem yang sama. Peta
endemisitas malaria secara gobal terbentang dari Afrika sampai Amerika Latin.
Dalam perspektif global, setiap daerah di Indonesia dianggap sebagai bagian dari
komunitas dunia dimana setiap daerah adalah wilayah yang terkena risiko yang sama
terkait malaria.
Epidemiologi global harus mempelajari kejadian, perjalanan penyakit dan
penyebaran pada tingkat global. Wilayah yang menjadi jalur transmisi sebaiknya
memiliki kapasitas dan akses untuk memperoleh informasi terkait transmisi penyakit
yang paling berisiko terjadi di daerahnya.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

25

Epidemiologi local berkaitan dengan dinamika transmisi local, misalnya


malaria, dan filariasis. Pemerintah daerah terutama Dinas Kesehatan seharusnya
mampu memetakan atau menggambarkan model dinamika transmisi penyakit yang
khas didaerahnya. Sebagai contoh, penyakit malaria setiap daerah yang berbeda
memerlukan pemetaan dan penggambaran yang berbeda pula. Jenis nyamuk pada satu
daerah berbeda dengan daerah lain. Perbedaan jenis nyamuk maka bionomik nyamuk
akan berbeda dan pola perilaku penduduk yang berisiko pun tidak sama. Semua
komponen variabel yang berperan harus diidetifikasi dan dipelajari.
2.5 Permasalahan Spesifik Lokal
Permasalahan kesehatan di Indonesia banyak yang bersifat spesifik local.
Permasalahan spesifik local pada dasarnya ditentukan oleh:
a. berbagai variabel iklim, topografi, serta kondisi lingkungan
b. variabel social budaya ekonomi
c. ekosistem dan habitat binatang penular penyakit
Ketiga variabel pada daerah tersebut harus selalu diperhatikan, setiap daerah
berbeda satu dengan lainnya. Untuk itu diperlukan penggambaran dari masingmasing variabel yang akan memberikan pola penularan penyakit yang berbeda
walaupun penyakitnya sama pada daerah yang berbeda.
Penggambaran dinamika transmisi penyakit pada suatu daerah akan
membantu dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian dan
pemberantasan penyakit tersebut. Dengan mengetahui dinamika trasnmisi maka
setiap program dapat memutus rantai penularan dengan lebih efektif, apakah pada
variabel kependudukan atau ekosistem daerah.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

26

2.6 Pengendalian Malaria


Pemberantasan malaria harus dilaksanakan berbasis wilayah, setiap wilayah
administrasi pembangunan menggunakan strategi sebagai berikut:
1. Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasus
Melakukan pencarian dan pengobatan kasus secara komprehensif yang
merupakan upaya pokok menghilangkan sumber penularan malaria. Dapat
dilakukan dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaan
Juru Malaria Desa.
2. Pemberantasan Penyakit Bebasis Lingkungan dan Perilaku Sehat
Penyakit menular seperti malaria memiliki basis lingkungan dan perilaku
penduduk setempat dan keduanya sulit dipisahkan. oleh karena itu, upaya
perbaikan saniasi lingkungan harus diikuti atau diintegrasikan dengan upaya
perbaikan perilaku penduduk setempat untuk hidup bersih dan sehat
3. Penggalangan Upaya kemitraan
Masalah kesehatan khususnya faktor risiko penyakit menular berkaitan erat
dengan unit, sektor, individu, hal dimana di luar kewenangan administrasi
bidang kesehatan. Jadi permasalahan kesehatan harus diselesaika secara
bersama-sama. Untuk itu diperlukan upaya bersama yang bersifat kemitraan
dengan pihak-pihak yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang
dihadapi.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori

Manajemen

Sumber
Penyakit
Penderita Malaria
(parasit malaria)

Program Pemberantasan Malaria


Jumlah Tenaga Kesehatan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Media

Variabel

Transmisi

Kependudukan

Kejadian

Penyakit

Malaria

Nyamuk
Anopheles
penular
malaria

Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat tinggal
Pengetahuan
terkait Malaria
- Perilaku terkait
pencegahan
malaria
- Perilaku berisiko
malaria

Topografi
Kelembaban udara
Suhu udara
Lingkungan tempat tinggal
Rumah sehat

(Achmadi, 2003 dalam Achmadi, 2008 dengan modifikasi)

Menurut Achmadi 2003 terjadinya suatu penyakit merupakan hasil


hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan
yang memiliki potensi penyakit. Dapat disimpulkan gangguan kesehatan

27
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

28

merupakan resultan dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variabel


kependudukan.
Demikian juga penyakit malaria, akan terjadi jika komponen-komponen
itu ada dan saling berinteraksi. Sumber dari penyakit malaria adalah plasmodium
yang berada pada penderita malaria. Plasmodium ini akan menimbulkan penyakit
malaria jika penderita malaria digigit oleh nyamuk Anopheles yang kemudian
mengigit penduduk yang beresiko. Kejadian malaria juga dipengaruhi oleh faktor
lain yang mempengaruhi siklus hidup Plasmodium serta siklus kehidupan
Plasmodium dalam tubuh penderita beserta perilaku kependudukannya. Faktor
lain ini antara lain adanya manajemen malaria dan faktor lingkungan seperti
topografi, suhu, kelembaban dan kondisi fisik rumah.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah ditampilkan sebelumnya,
penyederhanaan bentuk menjadi kerangka konsep dibuat untuk menggambarkan
arah penelitian yang akan dilakukan. Kerangka konsep penelitian ini adalah
Faktor Risiko Malaria
Riskesdas 2007
-

Faktor perilaku berisiko


dan pencegahan malaria
Faktor lingkungan fisik
rumah
Faktor lingkungan luar
rumah

Faktor risiko Malaria Riskesdas


2010
-

Kejadian
Malaria

Faktor perilaku berisiko


dan pencegahan malaria
Faktor lingkungan fisik
rumah
Faktor lingkungan luar
rumah

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

29

Kejadian Malaria di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor risiko,


penelitian ini melihat faktor risiko apa sajakah yang mempengaruhi kejadian
malaria pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Faktor risiko yang dilihat
adalah faktor risiko perilaku penduduk, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor
risiko lingkungan luar rumah.
3.3 Definisi Operasional

No

Variabel

Definisi
Operasional

1.

Kejadian
Malaria

2.

Pengukuran

Skala

Sumber
data

Jumlah responden di proporsi


propinsi yang
memiliki gejala
klinis malaria saat
wawancara dibagi
jumlah responden
per propinsi

Rasio

Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010

Lingkungan
fisik rumah

Lingkungan sehat
yang
menggambarkan
kondisi rumah
secara fisik (lantai,
atap, dinding,
pencahayaa,
ventilasi, kepadatan
hunian) dibagi
jumlah responden
per propinsi

proporsi

Rasio

Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010

Lingkungan
luar rumah

Lingkungan yang
menggambarkan
kondisi lingkungan
yang buruk sekitar
tempat tinggal
(keberadaan ternak
dan jarak sumber air
bersih) dibagi
jumlah responden
per propinsi

Proporsi

Rasio

Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

30

Lanjutan Definisi Operasional


No

Variabel

Definisi
Operasional

Pengukuran Skala

P erilaku
berisiko

Perilaku berisiko
Proporsi
yang biasa
dilakukan oleh
responden
(perilaku BAB
sembarangan,
perilaku
pencegahan
malaria, perilaku
memelihara ternak)
dibagi jumlah
responden per
propinsi

Rasio

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Sumber
Data
Riskesdas
2007 dan
Riskesdas
2010

Universitas Indonesia

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Studi
Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi ekologi.
Desain studi ekologi adalah studi epidemiologi yang bertujuan untuk
mendeskripsikan hubungan korelatif antara penyakit dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian penyakit (Muthi,1997)
Desain studi ekologi memiliki tujuan untuk melihat hubungan karakteristik
umum suatu populasi dengan suatu masalah kesehatan dalam kurun waktu yang
sama pada beberapa populasi atau pada populasi yang sama dalam kurun waktu
yang berbeda. Studi ekologi mengacu kepada populasi, sehingga tidak bisa
menghubungkan antara pemajanan dan penyakit terhadap individu. Unit analisis
dari desain studi ini adalah kelompok individu, komunitas ataupun populasi yang
lebih besar. Rancangan studi ini tepat digunakan untuk penyelidikan awal
hubungan paparan faktor dan penyakit (Murthi,1997).
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah suatu faktor risiko malaria
yaitu faktor perilaku berisiko dan pencegahan, faktor lingkungan fisik rumah, dan
faktor lingkungan luar rumah berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.

4.2 Rancangan Sampel


4.2.1

Populasi
Populasi penelitian ini adalah penduduk yang tercatat dalam Badan Pusat
Statistik

4.2.2

Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua sampel Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010. Pada penelitian ini melihat malaria pada 33 propinsi di Indonesia.

4.3 Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berasal dari laporan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 yang dikeluarkan

31

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

32

oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes)


Kementerian Kesehatan RI.
Pelaksanaan Riskesdas 2007 dan 2010 menggunakan alat dan cara
pengumpulan data, pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan kuesioner, untuk pengumpulan data individu pada
berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
kuesioner, untuk data tinggi badan diukur dengan alat ukur
4.4 Analisis Data
4.4.1

Manajemen Data

1) Editing
Merupakan kegiatan penyuntingan data yang telah terkumpul, yaitu cara
pengisian dan kesalahan pengisian.
2) Entry
Memasukkan data yang telah diperoleh ke dalam komputer
3) Cleaning
Mengecek apakah data yang sudah di entry ke komputer benar atau tidak.
4.4.2

Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis yang dipakai dalam penelitian adalah analisis univariat yang
bertujuan menampilkan distribusi frekuensi dari variabel yang ada. Pada
penelitian ini analisis univariat untuk melihat gambaran kejadian malaria.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel
yaitu dependen dan independen. Menggunakan uji korelasi dan regresi linier
yang menguji variabel numeric dan numeric. Uji korelasi untuk menentukan
koefisien korelasi, yang dapat diperoleh dari formulasi:

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

33

r=

Nilai korelasi r berkisaar 0 sd 1 dengan disertai arah nilainya 1- s.d +1.


r=0 tidak ada hubungan
r=-1 hubungan linier negative
r= +1 hubungan linier positif
Selain untuk mengetahui derajat hubungan, uji korelasi juga dapat
mengetahui arah hubungan dua variabel. Kekuatan hubungan dua variabel
dapat dibagi dalam 4 (Sutanto, 2007) yaitu:
r= 0,00-0,25 tidak ada hubungan/hubungan lemah
r= 0,26 -0,50 hubungan sedang
r= 0,51-0,75 hubungan kuat
r= 0,76-1,00 hubungan sangat kuat
Analisis ini digunakan untuk melihat seberapa jauh hubungan faktor
risiko malaria yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor
lingkungan luar rumah dengan kejadian malaria.
3. Analisis Multivariat
Setelah memperoleh variabel predictor penting melalui korelasi,
langkah selanjutnya adalah memasukkan variabel-variabel itu ke dalam model
multivariate. Syarat suatu variabel masuk ke dalam model adalah memiliki
nilai p<0,25. Variabel-variabel di dalam model kalau perlu dikeluarkan lagi
jika tidak memiliki cukup kemaknaan statistik dalam model multivariat.
Teknik yang dipakai pada penelitian ini adalah seleksi mundur.
Prinsipnya adalah memasukkan semua variabel ke dalam model, tetapi
kemudian dikeluarkan satu per satu dari model berdasarkan kriteria
kemaknaan statistic tertentu, sampai tidak ada lagi variabel dalam model yang
tidak sapat disingkirkan oleh kriteria eliminasi itu.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

34

Variabel yang dikeluarkan pertama kali adalah variabel yang


mempunyai korelasi parsial terkecil dengan variabel respons. Variabel yang
memiliki p<0,05 adalah variabel yang merupakan faktor predictor terjadinya
malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Situasi Malaria di Indonesia


Situasi malaria terkini dapat dilihat dari hasil laporan Riskesdas 2007 dan
Riskesdas 2010. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, prevalensi malaria tersebar
merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria terendah pada kelompok umur
<1 tahun dan tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun. Pada Riskesdas 2010
distribusi prevalensi malaria tersebar merata pada semua kelompok umur. Prevalensi
malaria terendah sama dengan kelompok umur pada Riskesdas 2007 yaitu umur <1
tahun dan untuk prevalensi malaria tertinggi pada kelompok umur 15 tahun.
Situasi malaria dapat juga dilihat dari perbedaan prevalensi malaria dengan
jenis kelamin. Baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010 terlihat bahwa
prevalensi malaria pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan
Prevalensi malaria di Indonesia juga terdapat perbedaan pada tingkat
pendidikan. Prevalensi malaria terendah pada tingkat pendidikan tamat Perguruan
Tinggi dan prevalensi malaria tertinggi pada tingkat pendidikan tidak sekolah.
Prevalensi malaria baik pada Riskesdas 2007 dan 2010 pada tingkat pekerjaan
terdapat perbedaan. Pada kelompok petani/nelayan/buruh prevalensi malaria memiliki
angka tertinggi dan pada kelompok pegawai/TNI/POLRI memiliki prevalensi malaria
terendah.
Pada Riskesdas 2007 terlihat perbedaan angka prevalensi malaria di pedesaan
dan di perkotaan. Prevalensi malaria di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan
perkotaan.Prevalensi malaria pada tingkat pengeluaran per kapita memperlihatkan
prevalensi malaria tinggi pada tingkat pengeluaran per kapita rendah dan terendah
pada tingkat pengeluaran per kapita tinggi.
Berdasarkan hasil test Rapid Diagnostic Test Riskesdas 2010, terlihat proporsi
jenis parasit terbesar adalah Plasmodium falciparum diikuti Plasmodium vivax.

36

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

36

5.2 Analisis Univariat


5.2.1 Kejadian Malaria

Prevalensi Malaria per Propinsi di


Indonesia
PAPUA
IRIAN JAYA BARAT
MALUKU UTARA
MALUKU
SULAWESI BARAT
GORONTALO
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI UTARA
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN BARAT
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
BALI
BANTEN
JAWA TIMUR
DI YOGYAKARTA
JAWA TENGAH
JAWA BARAT
DKI JAKARTA
KEPULAUAN RIAU
KEP. BANGKA BELITUNG
LAMPUNG
BENGKULU
SUMATERA SELATAN
JAMBI
RIAU
SUMATERA BARAT
SUMATERA UTARA
NAD

0,00

Prevalensi 2010
Prevalensi 2007

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

Gambar 5.1 Grafik Prevalensi Malaria per Propinsi di Indonesia (2007 dan 2010)

Grafik diatas memperlihatkan Propinsi Papua Barat dan Papua baik pada
tahun 2007 maupun 2010 memiliki prevalensi yang tinggi. Sedangkan pada propinsi
Gorontalo terjadi peningkatan prevalensi yang cukup tinggi. Dari grafik dapat terlihat
rata-rata prevalensi malaria per propinsi mengalami peningkatan.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

37

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Malaria pada Riskesdas 2007 dan 2010

Prevalensi
Malaria

Mean

SD

Min-Max

2007

4,11

5,48

0,18-26,14

2,17-6,06

2010

12,66

5,93

4,50-28,00

10,55-14,76

95% CI

Hasil analisis distribusi frekuensi prevalensi malaria memperlihatkan rata-rata


prevalensi malaria pada tahun 2007 sebesar 4,11% (95%CI: 2,17-6,06), dengan
standar deviasi 5,48%. Prevalensi malaria terrendah 0,18% dan prevalensi tertinggi
26,14%. Untuk prevalensi malaria 4,11% diyakini bahwa rata-rata prevalensi malaria
di Indonesia berada pada selang 0,18% sampai 26,14%.
Prevalensi malaria tahun 2010, rata-rata prevalensi malaria 12,66% (95%CI:
4,50-28,00) dan standar deviasi 5,93%. Prevalensi malaria terendah 4,5% dan
prevalensi tertinggi 28,00%. Untuk prevalensi malaria 12,66% diyakini bahwa ratarata prevalensi malaria di Indonesia berada pada selang 10,55% sampai 14,76%.
5.3 Analisis Bivariat
Tabel 5.3 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria pada Riskesdas 2007 dan
2010

Tahun Variabel
2007 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit)
Proporsi Jarak Sumber air >1km
Rumah Sehat
- Proporsi Lantai Bukan Tanah
- Proporsi 8m2
Proporsi pemeliharaan ternak sedang
Proporsi pemeliharaan ternak besar
Buang Air besar sembarangan
2010 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit)
Proporsi Jarak Sumber air
Proporsi Rumah Sehat
Proporsi pemakaian repellent
Proporsi pemakaian kelambu
Proporsi pemakaian kassa nyamuk
Proporsi Buang Air besar sembarangan

r
0,366
0,315

R2
0,134
0,1

nilai p
0,036
0,074

-0,374
-0,646
0,315
-0,117
0,291
0,401
0,041
-0,184
-0,485
0,079
-0,306
0,378

0,14
0,417
0,099
0,014
0,085
0,16
0,002
0,034
0,235
0,006
0,093
0,143

0,032
0,001
0,074
0,518
0,1
0,021
0,882
0,304
0,004
0,661
0,084
0,030

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

38

5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007
1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air
(30-60 menit) menunjukkan hubungan sedang (r= 0.366) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air (>30 menit) semakin tinggi angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 134 artinya variabel
proporsi lama waktu mengambil air mempengaruhi kejadian malaria sebesar 13,4%.
Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria
dengan proprosi lama waktu mengambil air (p=0.036).
2. Proporsi Jarak Sumber air Lebih dari 1 km
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km
menunjukkan hubungan sedang (r= 0.315) dan berpola positif artinya semakin tinggi
proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0,1 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 10%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber air
>1km (p=0.074).
3. Proporsi Rumah Sehat
Indikator Rumah Sehat pada Riskesdas 2007 hanya melihat 2 karakteristik
yaitu lantai bukan tanah dan kepadatan hunian 8m2. Hubungan antara kejadian
malaria dan proporsi lantai rumah bukan tanah menunjukkan hubungan sedang (r= 0.374) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi lantai rumah bukan tanah
semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 14
artinya variabel proporsi lantai rumah bukan tanah mempengaruhi kejadian malaria
sebesar 14%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara
kejadian malaria dengan proprosi lantai rumah bukan tanah (p=0.032).
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi kepadatan hunian 8m2
menunjukkan hubungan kuat (r= -0.646) dan berpola negatif artinya semakin tinggi

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

39

proporsi kepadatan hunian 8m2 semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0, 41 artinya variabel proporsi kepadatan hunian
8m2 mempengaruhi kejadian malaria sebesar 41%. Hasil uji statistik didapatkan ada
hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi kepadatan hunian
8m2 (p=0.001).
4. Proporsi Memelihara Ternak Sedang
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak sedang
(kambing, babi) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,315) dan berpola
positif artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak sedang semakin tinggi
angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 9 artinya variabel
proporsi memelihara ternak sedang mempengaruhi kejadian malaria sebesar 9%.
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memelihara ternak sedang (p=0.074).
5. Proporsi Memelihara Ternak Besar
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak besar
(sapi, kerbau, kuda) menunjukkan hubungan lemah (r= -0.117) dan berpola negatif
artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak besar semakin rendah angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 014 artinya variabel
proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 1,4%.
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memelihara ternak besar (p=0.518).
6. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi buang air besar sembarangan
menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,291) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin tinggi angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 085 artinya variabel
proporsi buang air besar sembarangan mempengaruhi kejadian malaria sebesar 8,5%.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

40

Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.100).
7. Peta Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan

Gambar 5.2 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)

Variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria pada Riskesdas


dituangkan dalam sebuah peta. Propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor
risiko rumah sehat berwarna merah tua sedangkan propinsi yang berisiko terhadap
malaria dengan faktor risiko lama waktu mengambil berwarna merah terang.
Pembuatan peta menggunakan software Arcview version 3.1
Gambar 5.2 menunjukkan propinsi di Indonesia yang berisiko terhadap
malaria berdasarkan keberadaan faktor risiko rumah sehat dan lama waktu
mengambil air. Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan
faktor risiko rumah sehat adalah Papua, Papua Barat, dan NTT. Sedangkan Propinsi

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

41

yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu
mengambil air adalah Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan
Maluku. Propinsi yang berisiko terhadap kedua faktor risiko tersebut adalah Papua,
Papua Barat, dan NTT.
5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2010
1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air
(30-60 menit) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,401) dan berpola positif
artinya semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air >30 menit semakin tinggi
angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 16 artinya variabel
proporsi lama waktu mengambil air >30 menit mempengaruhi kejadian malaria
sebesar 16%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara
kejadian malaria dengan proprosi lama waktu mengambil air >30 menit (p=0.021).
2. Proporsi Jarak Sumber Air >1km
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km
menunjukkan hubungan lemah (r=0,041) dan berpola positif artinya semakin tinggi
proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0, 114 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 11,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber
air >1km (p=0.518).
3. Proporsi Rumah Sehat
Pada Riskesdas 2010 kriteria rumah sehat yang digunakan berdasarkan
Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Kesehatan Perumahan. Kriteria
rumah sehat bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen
(tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, vantilasi cukup,
pencahayaan alami cukup dan tidak padat huni (lebih dari 8m2).

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

42

Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi rumah sehat menunjukkan


hubungan lemah (r= -0.184) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi
rumah sehat semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan
determinasi 0, 034 artinya variabel proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi
kejadian malaria sebesar 3,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi rumah sehat (p=0.304).
4. Proporsi Memakai Repelent
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memakai repelent
menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= -0.485) dan berpola negatif artinya
semakin tinggi proporsi memakai repelent semakin rendah angka prevalensi malaria.
Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 23 artinya variabel proporsi memakai repelent
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 23%. Hasil uji statistik didapatkan ada
hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memakai repellent
(p=0,004).
5. Proporsi Memakai Kelambu
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memakai kelambu
menunjukkan hubungan lemah (r= 0,079) dan berpola negatif artinya semakin tinggi
proporsi memelihara ternak besar semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai
koefisensi dengan determinasi 0,006 artinya variabel proporsi memakain kelambu
mempengaruhi kejadian malaria sebesar 0,6%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memakai kelambu
(p=0,661).
6. Proporsi Memakai Kasa pada Ventilasi
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi mamakai kasa pada ventilasi
menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= -0.306) dan berpola negatif artinya
semakin tinggi proporsi memakai kasa pada ventilasi semakin rendah angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0,093 artinya variabel
proporsi memakai kasa pada ventilasi mempengaruhi kejadian malaria sebesar 9,3%.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

43

Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
malaria dengan proprosi memakai kasa pada ventilasi (p=0.084).
7. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara buang air besar
sembarangan menunjukkan hubungan lemah (r=0,378) dan berpola positif artinya
semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin rendah angka
prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 143 artinya variabel
proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 14,3%.
Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria
dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.030).
8. Peta Faktor Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan

Gambar 5.3 Peta Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

44

Variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria pada Riskesdas 2010


dituangkan dalam sebuah peta. Propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor
risiko buang air besar (BAB) sembarangan

berwarna merah tua, propinsi yang

berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko lama waktu mengambil air berwarna
merah terang sedangkan propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko
memakai repellent berwarna merah muda. Pembuatan peta menggunakan software
Arcview version 3.1
Gambar 5.3 menunjukkan propinsi di Indonesia yang berisiko terhadap
malaria berdasarkan keberadaan faktor risiko buang air besar (BAB) sembarangan,
lama waktu mengambil air, dan pemakaian repelent. Propinsi yang berisiko terhadap
malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko BAB sembarangan adalah Papua,
Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan NTT. Propinsi yang
berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu
mengambil air adalah Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku. Sedangkan Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang
dihubungkan dengan faktor risiko pemakaian repellent adalah Sumatera Barat,
Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Dan terdapat empat propinsi
yang berisiko terhadap ketiga faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan
Maluku Utara.
5.4 Analisis Multivariat
Hasil analisis bivariat yang memiliki nilai p kurang dari 0,25 dilanjutkan
analisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode backward
(mundur). Semua variabel yang merupakan faktor risiko dimasukkan ke dalam model
selanjutnya variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan satu per satu sampai
diperoleh variabel yang diperkirakan berperan penting dalam kejadian malaria.
Variabel yang dilanjutkan ke analisis statistik multivariat untuk Riskesdas
2007 adalah lama waktu mengambil air, jarak sumber air, lantai bukan tanah,
kepadatan hunian, memelihara ternak sedang, dan buang air besar sembarangan.
Untuk Riskesdas 2010 variabel yang dilanjutkan ke dalam analisis multivariat adalah

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

45

lama waktu ambil air, memakai repellent, memakai kasa pada ventilasi, dan buang air
besar sembarangan.
Analisis ini dimaksudkan untuk menentukan faktor risiko yang paling
berpengaruh terhadap kejadian malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2007 dan
Riskesdas 2010. Hasil analisis multivariat Riskesdas 2007 disajikan pada tabel 5.4
Hasil permodelan multivariat didapatkan ada satu variabel yang memiliki nilai
p<0,05. Namun,prinsip permodelan mulitvariat harus yang sederhana sehingga
masing-masing variabel perlu dicek p valuenya, variabel yang memiliki nilai p>0,05
dikeluarkan dari model secara bertahap dan dimulai dengan nilai p yang paling besar.
Perubahan nilai koefisien B tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut
dikeluarkan. Dari 6 variabel, ternyata variabel proporsi memelihara ternak memiliki
nilai p yang tertinggi (p=0,855). Maka variabel proporsi memelihara ternak adalah
variabel yang pertama dikeluarkan. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata
perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi
memelihara ternak dapat dikeluarkan dari model.
Selanjutnya pada model masih ada variabel yang nilai p>0,05, maka variabel
proporsi lama waktu mengambil air (p=0,831) dikeluarkan dari model. Setelah
variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan
demikian variabel proporsi lama waktu mengambil air dapat dikeluarkan dari model.
Permodelan multivariat selanjutnya mengeluarkan variabel dengan nilai p
tertinggi yaitu variabel proposi buang air besar sembarangan (p=0,428). Setelah
variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan
demikian variabel proporsi buang air besar sembarangan dapat dikeluarkan dari
model.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

46

Tabel 5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas
2007
unstandardized
coefficient
B
Std. Error
36,261
15,109

standardized
coefficients
Beta

Model
t
(constant)
2,400
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,128
0,476
0,078
0,269
Proporsi jarak sumber air
0,080
0,342
0,065
0,234
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,137
0,125
-0,232
-1,103
Proporsi kepadatan hunian
-0,283
0,086
-0,526
-3,277
Proporsi memelihara ternak
-0,020
0,111
-0,043
-0,184
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,061
0,076
0,132
0,809
Mengeluarkan Proporsi Memelihara Ternak
(constant)
34,461
11,308
3,048
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,092
0,427
0,056
0,216
Proporsi jarak sumber air
0,11
0,297
0,089
0,370
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,122
0,090
-0,205
-1,353
Proporsi kepadatan hunian
-0,281
0,084
-0,522
-3,344
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,059
0,073
0,127
0,805
Mengeluarkan Proporsi Lama Waktu Mengambil Air
(constant)
35,680
9,627
3,706
Proporsi jarak sumber air
0,161
0,174
0,130
0,925
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,129
0,083
-0,217
-1,543
Proporsi kepadatan hunian
-0,286
0,078
-0,532
-3,651
Proporsi Buang air besar
sembarangan
0,052
0,065
0,113
0,804
Mengeluarkan Proporsi BAB sembarangan
(constant)
38,937
8,680
4,486
Proporsi jarak sumber air
0,166
0,173
0,134
0,962
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,142
0,081
-0,239
-1,748
Proporsi kepadatan hunian
-0,296
0,077
-0,550
-3,840
Mengeluarkan Proporsi Jarak Sumber Air
(constant)
41,727
8,171
5,107
Proporsi lantai rumah bukan
tanah
-0,141
0,081
-0,238
-1,742
Proporsi kepadatan hunian
-0,318
0,073
-0,591
-4,325
Mengeluarkan Proporsi Lantai Bukan Tanah
(constant)
31,492
5,864
5,370
Proporsi kepadatan hunian
-0,347
0,074
-0,646
-4,706

Sig
0,024
0,790
0,817
0,280
0,003
0,855
0,426
0,005
0,831
0,714
0,187
0,002
0,428
0,001
0,363
0,134
0,001
0,428
0,000
0,344
0,091
0,001
0,000
0,092
0,000
0,000
0,000

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

47

Selanjutnya pada model ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai
p>0,05, maka variabel dengan nilai p terbesar yaitu proporsi jarak sumber air
(p=0,344) dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata
perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi jarak
sumber air dapat dikeluarkan dari model.
Pada model mulitivariat ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai
p>0,05 yaitu proporsi lantai bukan tanah (p=0,092). Maka variabel ini dikeluarkan
dari model. Setelah dikeluarkan dari model ternyata perubahan koefisien B tidak
lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi lantai bukan tanah dapat
dikeluarkan dari model.
Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi
kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi
linier didapat sebuah persamaan:
Prevalensi malaria = -0,347 proporsi Kepadatan hunian
Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi
malaria menggunakan variabel proporsi kepadatan hunian. Arti dari persamaan
tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi kepadatan hunian akan
mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,347 persen. Kolom beta dapat digunakan
untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta
semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar
pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu
sebesar 64,6%. %. Dengan hasil tersebut variabel proporsi kepadatan hunian adalah
faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas
2007.
Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka
variabel proporsi kepadatan hunian 8m2 dan kejadian malaria digambarkan dalam
sebuah peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi kepadatan hunian

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

48

memiliki hubungan negatif, sehingga penentuan nilai prioritas menjadi berbeda.


Kedua variabel di bagi menjadi tiga tingkat faktor risiko, berisiko tinggi diberi
prioritas pertama, risiko sedang prioritas kedua dan risiko rendah prioritas ketiga.
Setelah masing-masing variabel di bagi menjadi tiga, nilai kedua variabel
dijumlahkan pada setiap propinsi. Propinsi yang memiliki nilai yang paling kecil
adalah propinsi yang memiliki risiko tinggi sedangkan propinsi yang memiliki nilai
tertinggi merupakan propinsi dengan risiko rendah. Peta propinsi di Indonesia yang
paling berisiko terhadap malaria berdasarkan faktor risiko kepadatan hunian dapat
dilihat pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)

Pada gambar 5.4, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga kategori yaitu
berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk kedalam
wilayah berisiko tinggi terhadap malaria adalah NTT, Papua Barat, dan Papua. Ketiga

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

49

wilayah ini memiliki prevalensi malaria yang tinggi sedangkan proporsi kepadatan
hunian 8m2 masih rendah. Hal ini sesuai dengan uji statistic yang menunjukkan
bahwa proporsi kepadatan hunian memiliki hubungan yang negative dengan
prevalensi malaria.
Analisis multivariat faktor risiko malaria pada Riskesdas 2010 memasukan
empat variabel yang memiliki nilai p>0,25 Hasil analisis multivariat faktor risiko
malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2010 disajikan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas
2010
unstandardized
coefficient
Std.
B
Error
14,05
4,906

standardized
coefficients

Model
Beta
t
(constant)
2,864
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,592
0,416
0,245
1,423
Proporsi memakai repelent
-0,185
0,131
-0,302
-1,417
Proporsi memakai kasa
-0,047
0,153
-0,058
-0,305
Proporsi buang air besar
sembarangan
0,059
0,118
0,102
0,502
Mengeluarkan proporsi memakai kasa
(constant)
13,380
4,318
3,099
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,587
0,409
0,243
1,434
Proporsi memakai repellent -0,198
0,122
-0,322
-1,615
Proporsi buang air besar
sembarangan
0,069
0,112
0,119
0,621
Mengeluarkan proporsi BAB sembarangan
(constant)
15,515
2,587
5,998
Proporsi lama waktu
mengambil air
0,609
0,403
0,25
1,510
Proporsi memakai repellent -0,238
0,102
-0,38
-2,327
Mengeluarkan Proporsi Lama waktu mengambil air
(constant)
18,093
1,984
9,121
Proporsi memakai repellent -0,298
0,096
-0,485
-3,089

Sig
0,008
0,166
0,168
0,762
0,620
0,004
0,162
0,117
0,539
0,000
0,141
0,027
0,000
0,004

Hasil permodelan multivariat didapatkan tidak ada satupun variabel yang


memiliki nilai p<0,05. Sehingga satu per satu variabel yang memiliki nilai p>0,05

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

50

dikeluarkan dari model dan dimulai dari nilai p terbesar. Perubahan nilai koefisien B
tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut dikeluarkan. Dari 4 variabel yang
masuk ke dalam model, ternyata variabel proporsi memakai kasa memiliki nilai p
tertinggi (p=0,762) sehingga dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan
ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel
proporsi memakai kasa dapat dikeluarkan dari model.
Selanjutnya pada model masih terdapat variabel yang memiliki nilai p>0,05,
maka variabel proporsi buang air besar (BAB) sembarangan dikeluarkan dari model
(p=0,539). Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisisen B tidak
lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat
dikeluarkan dari model.
Pada model masih terdapat dua variabel dan hanya variabel proporsi lama
waktu mengambil air yang memiliki nilai p<0,05 maka variabel ini dikeluarkan dari
model. Setelah variabel dikeluarkan ternyata perubahan nilai koefisien B tidak lebih
dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat dikeluarkan
dari model.
Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi memakai
repellent memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi linier
didapat sebuah persamaan:
Prevalensi malaria = -0,298 Proporsi pemakaian
repellent
Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi
malaria menggunakan variabel proporsi pemakaian repellent . Arti dari persamaan
tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi pemakaian repelent akan
mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,298 persen. Kolom beta dapat digunakan
untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta
semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar
pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

51

sebesar 48,5%. Dengan hasil tersebut variabel proporsi memakai repellent adalah
faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas
2010.
Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka
variabel proporsi memakai repellent dan kejadian malaria digambarkan dalam sebuah
peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi memakai repellent memiliki
hubungan negatif, sehingga penentuan nilai prioritas menjadi berbeda. Kedua variabel
di bagi menjadi tiga tingkat faktor risiko, berisiko tinggi diberi prioritas pertama,
risiko sedang prioritas kedua dan risiko rendah prioritas ketiga. Setelah masingmasing variabel di bagi menjadi tiga, nilai kedua variabel dijumlahkan pada setiap
propinsi. Propinsi yang memiliki nilai yang paling kecil adalah propinsi yang
memiliki risiko tinggi sedangkan propinsi yang memiliki nilai tertinggi merupakan
propinsi dengan risiko rendah. Peta propinsi di Indonesia yang paling berisiko
terhadap malaria berdasarkan faktor risiko memakai repelent dapat dilihat pada
gambar 5.5.
Pada peta , wilayah Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori yaitu wilyah yang
berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk dalam
kategori risiko tinggi yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Propinsi yang
berisiko tinggi adalah propinsi yang memiliki angka prevalensi malaria yang tinggi
dan memiliki proporsi pemakaian repellent yang masih rendah. Hal ini sesuai dengan
uji statistic yang menunjukkan bahwa proporsi pemakaian repellent memiliki
hubungan yang negative dengan prevalensi malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

52

Gambar 5.5 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Malaria di Indonesia
Prevalensi malaria di Indonesia yang didapat dari Riskesdas 2007 dan 2010
mengalami peningkatan. Angka prevalensi malaria didapat dari hasil diagnosa
berdasarkan gejala klinis malaria. Angka prevalensi malaria tiap daerahnya tidak
cukup menggambarkan kejadian malaria.
Prevalensi adalah proporsi individu-individu yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu (Murti,1997). Prevalensi
berhubungan dengan insiden. Prevalensi merupakan fungsi laju insidensi dan durasi
dari fase klinik sampai fase akhir penyakit. Jika suatu insidensi penyakit rendah tetapi
durasi penyakit panjang, maka prevalensi akan tinggi dibandingkan dengan laju
insiden.
Prevalensi malaria mengalami peningkatan pada setiap daerah di Indonesia.
Peningkatan

prevalensi

ini

dapat

disebabkan meningkatkanya

pengetahuan

masyarakat mengenai gejala klinis malaria dan juga pengobatan yang tidak tuntas
sehingga sumber penular malaria masih ada di daerah tersebut. Peningkatan juga
terjadi pada daerah yang bukan wilayah endemis malaria seperti DKI Jakarta.
Meningkatnya prevalensi malaria bisa dikarenakan adanya kasus impor yang dibawa
oleh masyarakat setelah berkunjung ke wilayah endemis malaria.
Kejadian malaria seharusnya tidak lagi hanya mengandalkan diagnosa
berdasarkan gejala klinis tetapi juga pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah yang
dilakukan bagi suspect penderita yang mengalami gejala klinis untuk menguatkan
diagnosa dan juga untuk melihat jenis parasitnya. Untuk pelayanan pemeriksaan
darah parasit malaria belum tersedia di semua pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas
seharusnya menjadi ujung tombak dalam melakukan surveilans malaria dengan

53

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

54

menemukan kasus melalui pengambilan sediaan darah untuk pemeriksaan


parasitologi serta pengobatan sampai sembuh.
6.2 Faktor Risiko Malaria di Indonesia
6.2.1. Lama Waktu Ambil Air
Pada Riskesdas 2007 dan 2 010, lama waktu mengambil air masuk ke dalam
variabel sanitasi lingkungan. Hasil analisis antara kejadian malaria dengan lama
waktu ambil air >30 menit menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi
positif dan memiliki hubungan yang bermakna baik Riskesdas 2007 maupun 2010.
Akses sanitasi dapat menggambarkan apakah penduduk termasuk masyarakat miskin
atau tidak. Yang dimaksud dengan akses air bersih adalah jika kebutuhan air per
orang per hari terpenuhi 20 l/org/hari yang berasal dari sumber mata air terlindung
dan berjarak tidak lebih dari 1 km (Riskesdas 2007).
Menurut laporan Riskesdas 2007 wilayah pedesaan lebih banyak yang
memerlukan waktu lebih dari 30 menit untuk akses air bersih dibandingkan dengan
wilayah perkotaan. Akses air bersih yang buruk pada daerah pedesaan membuat
masyarakat harus menghabiskan waktu berada di lingkungan yang berisiko yaitu
lingkungan yang menjadi tempat perindukan nyamuk Anopheles lebih lama
dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Lama waktu pengambilan air semakin
berisiko jika waktu pengambilan air bersamaan dengan waktu nyamuk Anopheles
mengigit (18.00 sampai dini hari).
Studi mengenai lama waktu mengambil air dan waktu saat mengambil air
pada sumber air yang >1 km masih jarang. Oleh karena itu perlu adanya penggalian
lebih dalam mengenai informasi yang didapat dari Riskesdas sehingga didapatkan
evidence base yang bersifat local specific.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

55

6.2.2. Lingkungan Luar Rumah


Pada Riskesdas 2010, ditanyakan kepada responden lingkungan di sekitar
rumahnya. Apakah dekat dengan sawah,pantai, rawa-rawa, kandang ternak.
Lingkungan yang ditanyakan merupakan lingkungan yang berisiko menjadi tempat
perindukan nyamuk. Akan tetapi pada laporan Riskesdas 2010, hasil ini tidak
dicantumkan. Padahal hasil dari pertanyaan mengenai lokasi tempat tinggal yang
menjadi responden pada Riskesdas dapat memberi gambaran secara nasional maupun
daerah mengenai faktor risiko lingkungan yang berada pada daerah tempat tinggal
mereka. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah dapat memberikan intervensi
yang sesuai dengan faktor risiko lingkungan yang ada.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Maluku, keberadaan tempat
perindukan nyamuk pada lingkungan sekitar rumah responden berisiko 2,8 untuk
terserang malaria dibandingkan dengan lingkungan yang tidak terdapat tempat
perindukan nyamuk (Ernawati dkk,2006).
Penelitian yang dilakukan pada daerah endemis malaria di Lampung
menyatakan bahwa tiga kecamatan endemis malaria banyak ditemukan genangan
yang menjadi tempat perindukan nyamuk Anopheles yaitu genangan air tawar dan
genangan air payau. Adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, membuat banyak
tambak terlantar yang menambah tempat perindukan nyamuk. Keadaan geografis ini
terbukti berisiko meningkatkan risiko terkena malaria 1,10 kali dibanding dengan
daerah yang tidak terdapat tempat perindukan nyamuk (2011). Hasil pada penelitian
di Lampung ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Papua bahwa faktor
risiko keberadaan genangan air merupakan salah satu faktor risiko penularan malaria.
Orang yang memiliki rumah dekat dengan genangan air memiliki risiko terkena
malaria sebesar 3,683 kali dibandingkan dengan orang yang rumahnya tidak terdapat
genangan air.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang
panjang. Kondisi geografis berpengaruh terhadap kejadian malaria (Achmadi,2008).

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

56

Penelitian yang dilakukan secara nasional belum dapat menggambarkan secara


spesifik dari setiap daerah (spesifik lokal) terutama terkait penularan malaria. Setiap
daerah memiliki kondisi ekosistem yang berbeda dan perlu diperhatikan bahwa
malaria pada umumnya berbasis ekosistem. Apabila wilayah malaria itu bersifat lintas
wilayah administrasi kecamatan bahkan lintas batas kabupaten maka upaya
pengendalian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah tersebut. Faktor risiko
penularan malaria bersifat spesifik lokal maka masing-masing daerah seharusnya
menggambarkan model transmisi malaria berdasarkan studi dinamika penularan pada
daerah tersebut.
Daerah di Indonesia yang memiliki banyak daerah tambang adalah
Kalimantan, Sumatera. Seperti di Kalimantan daerah bekas penambangan emas yang
sudah tidak digunakan lagi menyisakan lubang-lubang bekas galian yang jika hujan
terisi air dan menimbulkan genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan baru
nyamuk Anopheles. Pengendalian malaria yang dapat dilakukan adalah dengan
menutup lubang-lubang galian atau dengan cara memberi ikan pemakan jentik
(Depkes RI,2006). Penelitian yang dilakukan di Sibolga (1990) menunjukan
hubungan antara sanitasi yang baik dengan penuruan angka kejadian malaria. Terjadi
penurunan kepadatan nyamuk An. sundaicus di Sibolga dari 80% menjadi 2% diikuti
penurunan angka kematian malaria dari 80 per 1000 menjadi 18 per 1000. Modifikasi
yang dilakukan di Sibolga adalah memperbaiki drainase muara sungai yang
menggenang akibat tertutup oleh sampah kelapa. Intervensi sanitasi yang spesifik,
efektif untuk memerangi malaria dengan target utama yaitu tempat perindukan
nyamuk dimana nyamuk secara aktif menularkan malaria (Takken et al,1990).
Faktor risiko lingkungan pada dasarnya adalah faktor-faktor yang membentuk
ekosistem seperti topografi, suhu lingkungan, dan musim. Topografi akan
mempengaruhi suhu, kelembaban, vegetasi suatu daerah. Kondisi lingkungan jika
sesuai dengan habitat dari vektor malaria maka lingkungan akan menjadi faktor
risiko. Penelitian mengenai jenis vektor dan topografi akan sangat berguna sebagai
dasar melakukan pengendalian malaria. Vektor malaria yang hidup di daerah pantai

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

57

maupun daratan tinggi terdiri dari berbagai jenis dan bionomik. Vektor yang hanya
hidup di daerah pantai, cara mengendalikannya dapat dilakukan dengan focus kepada
tempat perindukannya seperti memberi predator alami.
Lingkungan luar rumah dapat menandakan tingkat kemisikinan di daerah
tersebut. Karena miskin, maka penduduk di daerah tersebut harus terpaksa menuruni
tebing untuk mencari air yang berjarak jauh dari rumah. Di tempat sumber mata air
telah menunggu nyamuk Anopheles dan terjadilah penularan malaria. Dengan jarak
waktu yang jauh maka penduduk menghabiskan banyak waktu untuk sampai ke
sumber mata air.
Pada Riskesdas 2007 dan 2010, jarak sumber mata air masuk ke dalam
sanitasi lingkungan. Hasil analisis antara kejadian malaria dengan jarak sumber air
>1000 meter menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif dan untuk
Riskesdas 2007 secara statistik ada hubungan yang bermakna sedangkan untuk
Riskesdas 2010 tidak terdapat hubungan yang bermakna. Perbedaan hasil ini
dimungkinkan karena adanya perbedaan presentase antara hasil Riskesdas 2007 dan
Riskesdas 2010. Terjadi penurunan dari 2007 ke 2010 pada setiap propinsi terkait
jarak sumber air >1000 meter dan peningkatan prevalensi malaria. Padahal korelasi
antara jarak sumber air dan malaria bernilai positif. Hal ini juga dapat dipengaruhi
oleh faktor lain seperti pada responden Riskesdas 2010 yang telah sadar untuk
menggunakan pakaian yang tertutup saat mengambil air atau menggunakan repellent.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko tertular
malaria adalah membawa sumber air dekat ke pemukiman penduduk dan bukan lagi
penduduk yang mencari air ke sumber air yang berada jauh. Sumber air yang ada bisa
disalurkan melalui pipa ataupun membuat penampungan air yang jaraknya lebih
dekat <1000 meter. Hubungan variabel jarak sumber air ini dapat semakin
diperlengkapi dengan pertanyaan waktu mengambil air, memakai pakaian tertutup,
memakai repelent. Apakah penduduk mengambil air pada waktu nyamuk Anopheles
berada pada waktu mengigit atau tidak. Dengan mengetahui waktu mengambil air

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

58

maka pada setiap daerah di Indonesia dapat memberi edukasi kepada penduduk
setempat mengenai risiko tertular malaria saat mengambil air.
Intervensi lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi informasi
mengenai risiko terinfeki saat mengambil air sehingga penduduk setempat dapat
mengubah waktu ambil air dari waktu yang berisiko (dini hari) ke waktu yang tidak
berisiko (siang hari) atau dengan membuat tempat penampungan air sehingga tidak
perlu setiap hari mengambil air dari sumber air.
6.2.3. Lingkungan Fisik Rumah
Lingkungan fisik rumah yang disurvey pada Riset Kesehatan Dasar 2007
adalah jenis lantai bukan tanah dan kepadatan hunian sedangkan pada Riset
Kesehatan Dasar 2010 adalah 7 kriteria rumah sehat yaitu atap berplafon, jenis lantai
bukan tanah, terdapat ventilasi, pencahayaan cukup, dinding permanen, dan
kepadatan hunian. Hasil analisis antara kejadian malaria dan lingkungan fisik rumah
pada Riskesdas 2007 menunjukkan hasil bahwa ada hubungan lemah sampai kuat (0,374 - -0.646). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konradsen et
al bahwa konstruksi rumah yang buruk memiliki risiko sebesar 30% sebagai tempat
tinggal nyamuk Anopheles (Konradsen et al dalam Ernawati 2011). Kondisi fisik
rumah yang berupa kayu atau bambu yang tidak memiliki jendela secara signifikan
berisiko terhadap kejadian malaria dan untuk rumah yang memiliki kaca jendela
mengurangi 1,8 kali risiko dibandingkan dengan rumah yang tidak memiliki kaca
jendela. (Sanjana dkk,2006).
Sedangkan hasil analisis Riskesdas 2010 antara kejadian malaria dan
keberadaan rumah sehat menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan secara
statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil ini tidak sama dengan
penelitian yang dilakukan di Purworejo dimana penghuni yang dinding rumah yang
berupa bilik memiliki risiko 5,62 kali untuk terkena malaria dibandingkan dengan
penghuni yang rumahnya kayu dan kondisi rumah yang bersih memiliki hubungan
yang bermakna dalam menurunkan risiko malaria (p<0,05) (Sanjana dkk,2006).

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

59

Hal ini dapat juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti faktor perilaku dari
penduduk yang memiliki lingkungan rumah yang sehat. Kebiasaan keluar rumah di
malam hari, kebiasaan nongkrong diluar rumah juga ikut berpengaruh terhadap
kejadian malaria (Achmadi,2008). Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi kejadian malaria pada responden yang memiliki kebiasaan keluar malam
hari 1,04 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki aktivitas keluar pada malam
hari. Jika aktifitas keluar pada malam hari merupakan kebiasaan maka cara
pencegahan yang dapat dilakukan untuk kelompok yang berisiko ini adalah dengan
memberikan tanaman pengusir nyamuk seperti lavender pada tempat berisiko. Hal ini
dapat memperkecil risiko digigit nyamuk Anopheles saat berada di luar rumah pada
waktu aktifitas menggigit nyamuk.
6.2.4. Pemeliharaan Ternak
Perilaku memelihara ternak menjadi variabel yang menentukan terjadi malaria
atau tidak dikarenakan bionomik nyamuk Anopheles itu sendiri. Nyamuk Anopheles
memiliki kebiasaan mengigit yang berbeda antara spesies satu dan lainnya.
Pemahaman tentang bionomik nyamuk dapat digunakan sebagai landasan untuk
melakukan pemutusan dinamika penularan malaria. Nyamuk Anopheles yang
memiliki sifat zoofilik (suka menghisap darah binatang) dengan adanya ternak
disekitar rumah memberikan perlindungan seseorang dari gigitan nyamuk.
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan
berkorelasi negatif antara kejadian malaria dengan pemeliharaan ternak dan secara
statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Palupi di Kabupaten Pesawaran (2009) dan
Kusumajaya yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara memelihara
ternak dan malaria (Kusumajaya dalam Palupi, 2009). Hasil yang sama juga
didapatkan pada penelitian yang dilakukan di Purworejo, dimana 91% responden
yang memelihara ternak, kandangnya terletak 20 meter dari tempat tinggal tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (Sanjana dkk, 2006).

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

60

Pengetahuan masyarakat mengenai memelihara ternak dapat mengurangi


risiko terkena malaria masih rendah sehingga masyarakat Indonesia masih jarang
untuk memelihara ternak besar terutama di daerah pedesaan. Penyampaian informasi
mengenai ternak sebagai cattle barier gigitan nyamuk Anopheles pada manusia dapat
mendorong masyarakat terutama di daerah endemis malaria untuk memelihara ternak.
6.2.5. Penggunaan Repellent
Hasil penelitian secara statistik menunjukkan hubungan yang lemah dengan
korelasi negatif dan memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05). Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Susana dkk (2006) karena didapatkan
penggunaan repelent hanya dilakukan jika pergi keluar rumah pada malam hari
sedangkan responden yang memiliki kebiasaan keluar pada malam hari sedikit.
Penelitian yang dilakukan di Kamper (Susana dkk,2006) menunjukkan hasil
bahwa responden yang tidak memakai obat anti nyamuk pada waktu tidur berisiko
2,3 kali. Obat anti nyamuk yang dimaksud antara lain obat nyamuk bakar, obat
nyamuk semprot, ataupun obat anti nyamuk oles (repelent).
Penggunaan repelent juga merupakan salah satu rekomendasi dari WHO
untuk mengurangi angka kesakitan malaria. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari
memiliki hubungan yang bermakna terutama kebiasaan pergi ke danau dikarenakan
tempat berisitirahat nyamuk berada di luar rumah (Sansana,2006). Walaupun
penggunaan repellent tinggi pada daerah tersebut tetapi setiap malam masyarakat
berada di luar rumah maka risiko tertular malaria tetap tinggi. Penggunaan repellent
sebagai cara untuk mencegah malaria sangat efektif terutama untuk daerah dengan
vektor malaria yang tersebar secara merata di seluruh wilayah(Ndoen et al ,2010).
6.2.6. Penggunaan Kelambu
Penggunaan kelambu merupakan salah satu cara mencegah penularan malaria.
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan tidak bermakna
secara statistik (r=0,07 dan p>0,05) antara penggunaan kelambu dengan kejadian

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

61

malaria. Penggunaan kelambu pada hasil Riskesdas 2010 tidak menampilkan


konsistensi pemakaian kelambu setiap malamnya secara nasional sehingga hasil
penelitian ini tidak ada hubungan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kamper
(Susana dkk,2006) yang menyatakan responden yang tidak memakai kelambu pada
malam hari lebih berisiko 2,4 kali. Hal ini berarti program pemakaian kelambu yang
dilakukan oleh Depkes dapat mencegah infeksi malaria. Riskesdas 2010 yang
merupakan penelitian secara nasional tidak dapat menggambarkan secara spesfik
daerah yang memang memerlukan kelambu untuk mencegah terinfeksi malaria.
daerah perkotaan seperti DKI Jakarta perlu intervensi yang berbeda terkait
pencegahan malaria dibandingkan dengan daerah NTT yang merupakan daerah
endemis malaria.
Informasi mengenai pentingnya menggunakan kelambu pada malam hari juga
perlu disampaikan secara baik,sehingga masyarakat di daerah endemis malaria
mengetahui pentingnya dan manfaat penggunaan kelambu bagi penularan malaria.
Pengetahuan yang tidak baik mengenai malaria (penyebab, cara penularan, gejala,
dan cara pencegahan)

akan mempunyai risiko terinfeksi malaria 1,77 kali

dibandigkan dengan penduduk yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang


malaria (Hasan dalam Palupi, 2010).
Penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa rata-rata
masyarakat yang memiliki kelambu di dalam rumahnya, pemakaian kelambu tidak
mencakup semua anggota keluarga (Sansana dkk,2006). Hal ini dapat meningkatkan
risiko penularan malaria di dalam rumah antar anggota keluarga.
6.2.7. Penggunaan Kasa Nyamuk Pada Ventilasi
Hasil penelitian secara statistik antara kejadian malaria dengan penggunaan
kasa nyamuk menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi negatif dan tidak
memiliki hubungan yang bermakna. Hal ini sejalan dengan penelitian Palupi (2010)

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

62

dan Hidayat (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan antara penggunaan kasa
nyamuk pada ventilasi dengan kejadian malaria.
Malaria merupakan penyakit yang tidak hanya disebabkan oleh satu faktor
penentu saja, penggunaan kasa nyamuk adalah salah satu cara mencegah nyamuk
malaria masuk ke dalam rumah yang membuat penghuni rumah berisiko terinfeksi
malaria. Perilaku pencegahan lainnya juga

harus dilakukan sehingga dapat

mengurangi risiko terinfeksi malaria.


6.2.8. Perilaku BAB sembarangan
Hasil penelitian secara statistik antara kejadian malaria dengan perilaku BAB
sembarangan menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif. Pada
Riskesdas 2007 tidak ada hubungan yang bermakna antara malaria dengan perilaku
BAB sembarangan sedangkan pada Riskesdas 2010 ada hubungan bermakna.
Faktor kependudukan seperti perilaku dan kebiasaan merupakan faktor risiko
malaria. Perilaku BAB sembarangan menjadi perilaku yang berisiko karena dilakukan
di tempat terbuka seperti di pantai, rawa-rawa, sungai (Riskesdas 2007) yang
merupakan

tempat

perindukan

nyamuk

Anopheles.

Faktor

perilaku

BAB

sembarangan yang berisiko jika waktu BAB dilakukan pada saat nyamuk malaria
sedang aktif mengigit. Perilaku BAB sembarangan di tempat perindukan nyamuk
dengan waktu yang berisiko akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi malaria.
Pengendalian yang dapat dilakukan bagi penduduk yang tidak memiliki
jamban untuk buang air besar salah satunya dengan membuat jamban bersama yang
letaknya tidak jauh dari pemukiman dan jauh dari tempat perindukan nyamuk.
Penggalian lebih dalam terkait perilaku BAB sembarangan pada penduduk terutama
didaerah endemis malaria dapat memberi gambaran secara lokal specific mengenai
dinamika penularan malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

63

6.3 Konsistensi Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria


Pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010, hanya faktor risiko proporsi lama
waktu mengambil air saja yang sama-sama memberikan hubungan yang bermakna
terhadap kejadian malaria. Sedangkan lima variabel lainnya tidak menunjukkan
hubungan yang konsisten baik pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010.
Variabel yang menunjukkan hasil yang sama adalah variabel lama waktu
mengambil air >30 menit yaitu menunjukkan hubungan yang lemah dan secara
statistik memiliki hubungan yang bermakna (p>0,05). Hal ini berarti terjadi
konsistensi hubungan antara Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Perlu adanya upaya
dari pemerintah terutama pemerintah daerah untuk mengadakan program sanitasi
yaitu akses air bersih sampai kepada permukiman penduduk. Tidak semua daerah
memerlukan waktu yang lama untuk mengakses air bersih, untuk itu perlu adanya
survey kesehatan berbasis daerah.
Perbedaan hasil yang diperoleh pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
dapat menjadi dasar untuk melakukan intervensi pada faktor risiko. Selain itu,
perbedaan hasil juga dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam melakukan penelitian
kedepannya, apakah penelitian yang telah dilakukan sebanyak dua kali ini dan akan
dilakukan secara berkesinambungan benar-benar telah menjadi dasar pemerintah
untuk membuat kebijakan kesehatan terutama pengendalian malaria baik di tingkat
nasional maupun daerah. Konsistensi variabel faktor risiko malaria perlu diterapkan,
sehingga dapat dilihat tren dari faktor risiko dan juga kejadian malaria.
Terjadi inkonsistensi hubungan antara Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010.
Ketidaksamaan hasil ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor
perilaku dari responden pada masing-masing daerah, perbedaan waktu penelitian dan
adanya daerah yang tidak menjadi sampel pada Riskesdas 2010 tetapi ada pada
sampel Riskesdas 2007. Selain itu dapat juga terjadi kesalahan pada saat
pengumpulan data dilapangan. Perbedaan hasil pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas
2010 juga dapat disebabkan oleh perbedaan sample dan perbedaan unit analisis.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

64

6.4 Malaria sebagai Masalah Spesifik Lokal


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa malaria masih merupakan masalah
di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian timur. Tingginya prevalensi malaria
di Indonesia masih didominasi oleh daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Bali. Target
yang ingin dicapai pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kesakitan malaria
dapat tercapai jika malaria dilihat sebagai masalah spesifik lokal.
Penularan malaria di daerah Banjarnegara dan penularan malaria di daerah
NTT, sama sekali berbeda. Oleh karena itu setiap Kepala Dinas harus melakukan
serangkaian kajian dan pendekatan khas daerahnya. Prosedur yang telah ditetapkan
Pemerintah Pusat sebaiknya disesuaikan dengan kondisi didaerah. Pencegahan yang
dilakukan dengan memakai kelambu akan sia-sia apabila masyarakat sudah tertular
malaria ketika berada di luar rumah atau ketika buang air besar di luar rumah pada
pagi-pagi buta(Achmadi,2008).
Malaria adalah penyakit yang berkaitan erat dengan ekosistem dan juga
perilaku dari manusia itu sendiri. Malaria di daerah pesisir pantai berbeda dengan
malaria di daerah hutan dikarenakan jenis nyamuk Anopheles yang berbeda dan
bionomik nyamuk yang berbeda pula. Pengetahuan tentang jenis vektor,
penyebarannya, dan habitatnya adalah informasi yang dapat digunakan untuk
manajemen malaria dan prioritas pengendaliannya.
Faktor risiko malaria di Indonesia tidak dapat digeneralisasikan ke semua
daerah di Indonesia. Pada peta faktor risiko malaria baik pada Riskesdas 2007
maupun Riskesdas 2010 terlihat perbedaan pada setiap propinsi. pada Riskesdas
2007, Propinsi yang berisiko terhadap kedua faktor risiko yaitu rumah sehat dan lama
waktu mengambil air perlu diprioritaskan dalam pengendaliannya. Hal ini karena
propinsi tersebut semakin berisiko terhadap malaria. Penemuan faktor risiko yang
bersifat lokal dapat secara efektif mengendalikan malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

65

Pada Riskesdas 2010, terdapat empat propinsi yang berisiko terhadap tiga
faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan Maluku Utara. Empat propinsi
ini perlu diprioritaskan dalam upaya pengendaliannya terutama pengendalian faktor
risiko lama waktu ambil air, BAB sembarangan, dan pemakaian repellent. Penemuan
faktor risiko yang bersifat lokal ini diharapkan dapat menurunkan risiko penularan
malaria di empat propinsi tersebut.
Contohnya, faktor risiko malaria di Mandailing lebih dikarenakan merupakan
eksosistem persawahan yang pada musim menanam menjadi tempat yang berpotensi
menjadi tempat perindukan nyamuk. Sedangkan faktor risiko malaria di Sibolga
adalah kondisi ekosistem pantai yang derajat salinitas perairannya sesuai dengan
habitat nyamuk Anopheles.
Pada peta risiko malaria baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010
terlihat propinsi yang memiliki risiko yang berbeda. Pada Riskesdas 2007, 3 propinsi
yaitu Papua, Papua Barat, dan NTT berisiko tinggi terhadap malaria dikarenakan
masih tingginya rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi. Pemerintah daerah dari
ketiga

propinsi

tersebut

dapat

melakukan

intervensi

dengan

memberikan

perlindungan khusus yaitu dengan penggunaan kelambu saat tidur dan juga pencarian
kasus baru pada setiap rumah. Penemuan kasus baru pada setiap rumah dapat
menurunkan risiko penularan malaria dalam rumah yang kemudian didukung dengan
pengobatan malaria sampai tuntas.
Pada peta risiko Riskesdas 2010, masih ada 13 propinsi yang memiliki risiko
tinggi terhadap malaria dikarenakan masih rendahnya penggunaan repellent sebagai
salah satu pencegahan malaria. Pemerintah daerah dari ke 13 propinsi ini dapat
melakukan intervensi dengan memberikan pengetahuan terkait manfaat pernggunaan
repellent dan juga intervensi mengenai kebiasaan keluar rumah pada malam hari.
dengan mengetahui faktor risiko di daerahnya, maka pemerintah dapat menyusun
program pengendalian yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

66

Pada peta risiko Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 terdapat 3 propinsi yang
selalu menjadi daerah yang berisiko tinggi yaitu Papua dan Papua Barat. Berikut ini
adalah uraian mengenai masalah malaria secara spesifik lokal pada ketiga propinsi
tersebut:
1. Papua
Malaria merupakan masalah kesehatan utama di propinsi Papua(Sorontou et
al,2007). Meluasnya penyebaran malaria dan penanganan program malaria yang tidak
teratur telah mengakibatkan situasi malaria di Papua semakin buruk. Suhu rata-rata di
Papua 250-350C, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu tersebut
merupakan suhu yang optimal untuk kehidupan nyamuk Anopheles. Penduduk Papua
mayoritas bekerja sebagai nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan yang berisiko
terekspos oleh nyamuk Anopheles karena nelayan berada di pantai pada waktu
nyamuk Anopheles memasuki waktu menggigit. Studi yang dilakukan di Papua
menunjukkan infeksi Plasmodium falciparum lebih banyak pada laki-laki dan juga
pada usia muda (Sorontuo et al,2007). Walaupun anak-anak memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena malaria tetapi pada kelompok dewasa memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk meninggal akibat malaria (Barcus et al,2007).
2. Papua Barat
Papua Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki kasus malaria
klinis yang tinggi. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan untuk
menurunkan kasus malaria, namun sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan
yang diharapkan. Salah satu spesies nyamuk Anopheles yang di Papua Barat adalah
A.punculatus. Spesies ini ditemukan mengigit manusia di dalam dan di luar rumah
secara fluktuatif dengan kecenderungan lebih bersifat exophilic, menyukai darah
manusia dan juga darah hewan terutama babi dan anjing (Bangs 1995 dalam Nugraha
dkk,2010). Informasi mengenai kondisi fisik lingkungan seperti suhu, kelembaban
udara,dan curah hujan, membantu dalam mengetahui tingkat kepadatan nyamuk. Pada
studi yang dilakukan didapatkan kelembaban udara memiliki hubungan yang

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

67

bermakna dengan kejadian malaria dan memiliki hubungan yang kuat ke arah negatif
(r= -0,981) (Nugraha,2010). Proprosi kepadatan hunian 8m2 di Papua barat masih
rendah. Hal ini berarti kelembaban udara dalam ruangan juga menjadi tinggi dan
meningktkan risiko unutk terigigit nyamuk Anopheles. Pada Riskesdas 2010,
pemakaian repellent merupakan faktor paling mempengaruhi kejadian malaria. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar penduduk tidur
tidak menggunakan kelambu dan masih banyak penduduk yang melakukan kegiatan
malam hari di luar rumah tanpa melindungi diri dari gigitan nyamuk (Nugraha,2010).
Berdasarkan studi yang dilakukan, peran dan anggaran (APBD)

pemerintah

Propinsis Papua Barat untuk program pemberantasan malaria masih rendah.


Pemerintah lebih mengandalkan dana bantuan dari Global Fund (GFATM) (KPMAK,
2012).
Propinsi yang memiliki risiko yang rendah terhadap penularan malaria dapat
terus meningkatkan pengawasan faktor risiko sehingga daerah tersebut dapat terbebas
dari malaria. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan harus mampu menemukan
dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif yaitu penderita penyakit
tersebut. Oleh karena itu, memerlukan manajemen pemberantasan penyakit dan
penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah dalam perspektif
yang komprehensif.
Otonomi daerah atau desentralisasi memudahkan identifikasi faktor risiko
yang bersifat lokal. Sehingga intervensi faktor risiko yang bersifat lokal bisa lebih
mudah dikendalikan. Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya
malaria di daerahnya, maka diperlukan kerja sama antar sektor sebagai upaya
pengendalian malaria.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah seharusnya bekerja sama
dalam mengidentifikasi faktor risiko yang ada di setiap daerah. Riset kesehatan yang
bersifat nasional dapat dijadikan dasar untuk melakukan riset kesehatan daerah yang
disesuaikan dengan kondisi lokal daerah. Dengan menerapkan prinsip malaria sebagai

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

68

masalah spesifik lokal maka pengendalian dan intervensi yang dilakukan dapat lebih
efektif untuk mengurangi angka kesakitan tingkat daerah maupun tingkat nasional.
6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik
Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 belum dapat menggambarkan
malaria sebagai masalah yang perlu ditangani secara spesifik lokal. Malaria yang
merupakan salah satu target MDGs sebaiknya upaya pengendaliannya dikembalikan
lagi ke Pemerintah daerah. Kepala daerah harus menjadi penggerak bagi
pengendalian malaria dengan menggandeng semua sektor.
Hasil Riskesdas 2007 dan 2010 sebaiknya tidak diterima secara menyeluruh
tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi dari setiap daerah. Penerapan hasil Riskesdas
secara menyeluruh akan berdampak kepada tidak efektifnya penanganan masalah
kesehatan yang memang menjadi masalah utama di daerahnya sedangkan secara
nasional masalah kesehatan tersebut bukanlah masalah yang perlu diutamakan.
Riskesdas tidak dirancang untuk melihat masalah secara spesifik lokal akan tetapi
hasil dari Riskesdas dapat dijadikan indikator dalam membuat kebijakan untuk
mengendalikan malariasecara spesifik lokal.
Diseminasi hasil Riskesdas seharusnya tidak hanya pada tingkat provinsi
tetapi juga tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota dengan hasil
Riskesdas tersebut sebagai dasar untuk menyusun kebijakan berdasar fakta. Dengan
mengacu kepada hasil Riskesdas, pemerintah daerah dapat melakukan identifikasi
lebih lanjut mengenai faktor risiko yang paling mempengaruhi kejadian malaria di
daerahnya.
Propinsi Papua dan NTT merupakan dua propinsi yang masih berisiko tinggi
terhadap malaria, hal ini dapat dilihat dari peta risiko malaria yang memperlihatkan
kedua propinsi ini selalu masuk menjadi daerah yang berisiko tinggi. Pengendalian
malaria yang dilakukan pada kedua Propinsi ini harus sesuai dengan faktor risiko
yang ada di daerah tersebut. Intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

69

adalah menyosialisasikan manfaat penggunaan repellent yang efektif sehingga dapat


menurunkan risiko tergigit nyamuk Anopheles dan juga membangun sarana air bersih
yang terjangkau. Penggunaan repellent tidak hanya saat di dalam rumah tetapi juga
pada saat keluar rumah di jam nyamuk Anopheles mengigit. Membangun sarana air
bersih yang terjangkau dari tempat tinggal dapat menurunkan risiko penduduk untuk
terekspos nyamuk Anopheles.
Studi yang dilakukan di Papua Barat menunjukkan bahwa peran pemerintah
daerah dalam menangani malaria masih rendah hal ini dibuktikan dengan anggaran
kesehatan untuk program pengendalian malaria masih jauh dari yang dibutuhkan.
Rata-rata kebutuhan dana satu tahun anggaran sebesar sekitar 600 juta sedangkan
dana yang tersedia pada tahun 2008 hanya sebesar 340 juta(KPMAK,2010).
Keterbatasan dana akan berdampak pada sasaran kegiatan pemberantasan malaria
yang tidak bisa terjangkau seluruhnya terutama pada daerah yang sulit dijangkau dan
terpencil (KPMAK,2010).
Selain melakukan intervensi terhadap faktor risiko tersebut, diperlukan juga
promosi kesehatan mengenai malaria yaitu penyebab malaria, jenis nyamuk
Anopheles yang terdapat di daerah tersebut beserta bionomiknya, gejala malaria,
pengobatan malaria, dan juga pencegahannya. Studi yang dilakukan di Sumbawa
membuktikan bahwa promosi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan atau mengubah perilaku memberi pengaruh terhadap angka kesakitan
malaria(Yoda et al,2007). Pengendalian malaria dapat lebih efektif jika didukung
oleh pengetahuan penduduk mengenai hubungan antara malaria dan faktor
lingkungan( Dale et al,2005 dalam Yoda et al,2007). Merubah perilaku seseorang
bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kesungguhan dan kekonsistenan pemerintah
untuk terus memberikan pengetahuan mengenai malaria (Yoda et al,2007).
Strategi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan malaria secara spesifik
lokal antara lain dengan melakukan pencarian dan pengobatan kasus sebagai upaya
menghilangkan sumber penularan, pemberantasan penyakit berbasis lingkungan dan

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

70

perilaku yang merupakan faktor risiko malaria dan juga penggalangan upaya
kemitraan. Studi yang dilakukan di Lombok dan Sumbawa menunjukkan bahwa
program pengendalian malaria berupa penemuan kasus dan pemberian kelambu
berinsektisida secara signifikan menurunkan insiden dan prevalensi malaria di Pulau
Lombok(Yoda et al,2007).
Tenaga kesehatan di wilayah kabupaten/kota harus mencari upaya
pengendalian malaria dengan cara perbaikan lingkungan tempat tinggal penderita,
tempat penderita bekerja, bahkan perjalanan yang akan dilakukan oleh penderita.
Tenaga kesehatan harus menguasai epidemiologi lingkungan, yaitu mencari faktor
risiko lingkungan yang berperan terhadap kejadian malaria di daerah tersebut
kemudian mencari upaya pengendalian dari aspek lingkungan. Malaria merupakan
penyakit menular yang berbasis lingkungan dan perilaku. Perubahan perilaku adalah
komponen yang penting dalam pengendalian malaria. Oleh karena itu, upaya
perbaikan lingkungan harus sejalan dengan upaya perbaikan perilaku hidup sehat.
Pengendalian malaria yang terfokus akan memberikan keuntungan secara langsung
tidak hanya kepada setiap individu tetapi juga kepada komunitas.
6.6 Keterbatasan Penelitian
Desain studi yang dilakukan adalah desain studi ekologi dimana tidak dapat
menganalisis hubungan sebab akibat pada tingkat populasi. Karena populasi sebagai
unit analisis untuk memberi inferensi kausal individu, maka pada saat itulah kita
melakukan kekeliruan yang dikenal sebagai kesalahan ekologi (Murty dalam Santoso,
2006).
Meski lemah untuk pengujian hipotesis etiologi penyakit, tetapi studi korelasi
populasi cocok untuk menilai efektifitas program intervensi kesehatan pada populasi
sasaran. Jika determinan penyakit sudah ditentukan maka efektifitas pengendalian
penyakit pada populasi dapat dievaluasi dengan menggunakan studi ini (Murty dalam
Santoso,2006)

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Prevalensi malaria di Indonesia mengalami kenaikan dari 4,11% (Riskesdas
2007) menjadi 12,66% (Riskesdas 2010).
2. Terdapat hubungan bermakna antara variabel rumah sehat yaitu lantai bukan
tanah (r= -0,374)dan kepadatan 8m2 (r= -0,646), jarak sumber air >1000
meter (r=0,315) dan lama waktu mengambil air >30 menit (r=0,366) terhadap
prevalensi malaria di Indonesia pada hasil Riskesdas 2007.
3. Terdapat hubungan bermakna antara perilaku BAB sembarangan (r=0.378),
lama waktu mengambil air >30 menit (r=0.401) dan pemakaian repelent
(r=-0.485) terhadap prevalensi malaria di Indonesia pada hasil laporan
Riskesdas 2010.
4. Kepadatan hunian 8m2 adalah faktor risiko yang paling dominan pada
Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent adalah faktor risiko paling dominan
pada Riskesdas 2010.
5. Konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan kejadian malaria pada
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 hanya pada variabel proporsi lama waktu
mengambil air >30 menit yaitu memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05)
6. Propinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan propinsi
yang memiliki risiko tinggi terhadap malaria baik berdasarkan Riskesdas 2007
maupun Riskesdas 2010.
7. Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk
membuat kebijakan kesehatan suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas
akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara spesifik lokal pada setiap faktor
risiko.

71

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Universitas Indonesia

72

7.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian secara spesifik terkait malaria di Indonesia sehingga
menjadi evidence base bagi program pengendalian malaria yang berbasis
masyarakat lokal.
2. Perlu adanya diseminasi hasil laporan Riskesdas sampai ke tingkat daerah
sehingga pemerintah daerah dapat membuat program pengendalian malaria
ataupun melakukan studi lanjutan terkait hasil Riskesdas di daerah pada
masing-masing propinsi di Indonesia.
3. Perlu adanya penyuluhan kepada penduduk terutama penduduk beresiko
tinggi mengenai malaria (gejala klinis, penularan, pencegahan, pengobatan)
dan manfaat yang didapat jika melakukan perilaku pencegahan. Dan
memberikan edukasi terkait perilaku beresiko sehingga dapat dilakukan
modifikasi terkait perilaku beresiko.
4.

Perlu diadakan riset kesehatan daerah yang disesuaikan dengan kriteria


masyarakat dan lingkungan yang spesifik lokal terutama menyangkut malaria.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi.(2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia.
Achmadi, Umar Fahmi.(2008).Horison Baru Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Jakarta:Penerbit Rineka Cipta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (2008). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (2010). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010.
Barcus, Mazie J et al. (2007).Demographic Risk Factors for Severe and Fatal
Vivax and Falciparum Malaria Among Hospital Admissions in
Northeastern Indonesian Papua. American Journal Society of Tropical
Medicine and Hygiene, Volume 77 No.5.Page :984-991.
Erdina, Susanna, Dewi., & Wulandari, Ririn Arminsih. (2006). Faktor-faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kampar Kiri
Tengah, Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10(2), 64-70.
Desember.
Ernawati, Kholis,dkk. (2011). Hubungan Faktor Risiko Individu dan Lingkungan
Rumah dengan Malaria di Punduh Kabupaten Pesawaran Propinsi
Lampung Indonesia 2010.Makara, Kesehatan, 15(2), 52-57.Desember
2011
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.(1998). Parasitologi Kedokteran (edisi
ketiga). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Gobel, Fatmah Afrianty (penulis).(2010, Desember 28) Kebijakan Pelayanan
Kesehatan Kepulauan (Kompasiana.com). Jakarta.
Harijanto, P.N. (2001). Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
dan Penanganan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Hidayat, Ahmad. (2010). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah Pada Malam hari
dan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan

73

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

74

Nongso dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009.
Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Iqbal R.F. Elyazar et al. (2011). Malaria Distribution, Prevalence, Drug
Resistance and Control in Indonesia. Adv Parasitol. 2011 ; 74: 41175.
Lokollo, Daniel Marinus (1993). Penanggulangan Malaria untuk Menyehatkan
Masyarakat dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Indonesia. Pidato Pengukuhan: Universitas Diponegoro.
Mahkota, Renti. (2010). Rancangan Studi Epidemiologi Deskriptif. Bahan Ajar
Epidemiologi Dasar. Depok: Departemen Epidemiologi FKM UI.
Markani.(2004). Dinamika Penularan dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan
dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito
Selatan Tahun 2004. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Murthi, Bhisma.(1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ndoen et al.(2010). Relationships Between Anopheline Mosquitoes And
Topography in West Timor and Java, Indonesia. Malaria Journal 2010,
9:242
Palupi, Niken Wastu.(2010). Hubungan Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk
dengan Kejadian Malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran
Tahun 2010. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Pelayanan

Kefarmasian

Untuk

Penyakit

Malaria.(2008).Direktorat

Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Lingkungan.


Priyo Hastono, Sutanto& Sabri, Luknis.(2008).Statistik Kesehatan.Jakarta:
Rajawali Press.
Roosihermiatie, Betty et al. (2000). The Human Behavioral and Socioeconomic
Determinants of Malaria in Bacan Island, North Maluku, Indonesia.
Journal of Epidemiology, 10 (4), 280-289.July,2000.
Sanjana, Parsa et al. (2006).Survey Of Community Knowledge, Attitudes, And
Practices During A Malaria Epidemic In Central Java, Indonesia.
American Journal Tropical Medicine Hygiene. 75(5), 2006, pp. 783789.
Saputra, Eko.(2011). Pengaruh Lingkungan Terhadap Nyamuk Anopheles pada
Proses Transmisi Malaria. uripsantoso.wordpress.com/2011/01/13.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

75

Saputro,G., Hadi, U. Kusumawati., & FX. Koesharto.(2010). Perilaku Nyamuk


Anopheles punctulatus dan Kaitannya dengan Epidemiologi Malaria di
Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Indonesian Journal
of Veterinary Science and Medicine.II(1),2010,pp 25-33.
Santoso, Arif. (2006). Faktor Pelayanan Kesehatan, Perilaku, dan Lingkungan
Yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Indonesia Tahun 20002004. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Syafruddin, Din et al (2008). Seasonal Prevalence of Malaria in West Sumba
district, Indonesia. Malaria Journal 8(8),2009,pp 1-8.
Wijaya, Awi Muliadi.(2006). Pola Penularan Malaria di Daerah Ekosistem
Pantai, Wilayah Kerja Puskesmas dengan Tempat Perawatan Bayah
Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2005-2006. Tesis. Depok:
Universitas Indonesia.
Yawan, Samuel Franklyn. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di
Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak
Numfor Papua. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Yoda et al.(2007). Evaluation of Malaria Control Project on Lombok and
Sumbawa Islands. Southeast Asian Journal Tropical Medical Public
Health,38(2), 213-222. March 2007.

Universitas Indonesia

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

2.
Bivariat riskesdas 2007
Correlations
prevmal
prevmal

Pearson Correlation

TS
1

Sig. (2-tailed)
N
TS

Pearson Correlation

.315

Sig. (2-tailed)

.074

N
TB

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

kepadatan

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

bkntnh

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

waktu

kepadatan

bkntnh

.315

.032

.036

.100

.074

33

33

33

33

33

-.293

**

.237

.161

-.080

.098

.000

.184

.372

.657

33

33

33

33

33

.200

-.355

-.197

.155

-.346

.263

.043

.271

.390

.048

33

33

33

33

33

.231

-.398

-.215

-.302

.196

.022

.230

.087

-.117

.074

.518

.000

33

33

**

.001
33

33

33

-.117

**

.551

.518

.001

33

33

.551

33

-.374

-.731

.366

**

-.293

.200

.000

.098

.263

33

33

33

33

33

33

33

33

**

.231

-.224

-.238

-.062

.209

.183

.730
33

-.646

-.374

-.731

-.355

.032

.000

.043

.196

33

33

33

33

33

33

33

-.224

-.106

Pearson Correlation

.366

.237

-.197

-.398

Sig. (2-tailed)

.036

.184

.271

.022

.209

33

33

33

33

33

Pearson Correlation

.291

.161

.155

-.215

Sig. (2-tailed)

.100

.372

.390

33

33

33

jarak
.291

.315

op
*

-.646

**

waktu

N
op

33

TB

.782

**

.556

.000

33

33

33

-.238

-.106

.098

.230

.183

.556

33

33

33

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

.586
33

33

jarak

Pearson Correlation

.315

-.080

-.346

-.302

-.062

Sig. (2-tailed)

.074

.657

.048

.087

33

33

33

33

**

.098

.730

.000

.586

33

33

33

.782

33

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Bivariat riskesdas 2010


Correlations
prevmal
prevmal

Pearson Correlation

rmhsehat
1

Sig. (2-tailed)
N
rmhsehat

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

kelambu

.005

.030

33

33

33

33

33

33

33

-.291

**

.238

-.404

-.138

-.438

.100

.000

.183

.020

.443

.011

33

33

33

33

33

33

.149

-.368

.324

.305

.305

.408

.035

.066

.084

.084

33

33

33

33

33

**

-.183

-.050

.003

.308

.784

.004

33

33

33

33

.661

.100

33

33

-.306

**

.149

.084

.000

.408

33

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

waktuair

.021

Pearson Correlation

.625

33

.506

33

33

33

**

.238

-.368

**

.004

.183

.035

.003

33

33

33

33

33

-.183

-.485

.401

-.404

.324

.506

-.385

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

-.385

-.425

.378

.004

33

.477

**

.084

.625

.401

.661

Sig. (2-tailed)

**

bab

.304

-.485

jarakair

-.306

-.291

Pearson Correlation

waktuair

.079

.304
33

repelen

-.184

.079

Sig. (2-tailed)

repelen

-.184

kasa

Pearson Correlation

N
kasa

33

kelambu

-.489

-.584

**

**

.027

.014

.000

33

33

33

**

.291

.874

Sig. (2-tailed)
N
jarakair

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

bab

.021

.020

.066

.308

.027

33

33

33

33

33

**

-.138

.305

-.050

-.425

.005

.443

.084

.784

.014

.000

33

33

33

33

33

33

33

33

.305

**

.291

.220

.477

-.489

**

-.584

.101

33

33

33

**

.220

.874

.218

Pearson Correlation

.378

Sig. (2-tailed)

.030

.011

.084

.004

.000

.101

.218

33

33

33

33

33

33

33

-.438

.000

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

33

3. multivariate riskesdas 2007

Model Summary

Model

Adjusted R

Std. Error of the

Square

Estimate

R Square

Durbin-Watson

.707

.500

.384

4.30476

.707

.499

.406

4.22704

.498

.427

4.15445

.706

.698

.487

.434

4.12906

.686

.470

.435

4.12397

1.516

a. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan, TS, waktu


b. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan, waktu
c. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan
d. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, kepadatan
e. Predictors: (Constant), bkntnh, kepadatan
f. Dependent Variable: prevmal

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error
36.261

15.109

TS

-.020

.111

kepadatan

-.283

bkntnh

Coefficients
Beta

Sig.
2.400

.024

-.043

-.184

.855

.086

-.526

-3.277

.003

-.137

.125

-.232

-1.103

.280

op

.061

.076

.132

.809

.426

waktu

.128

.476

.078

.269

.790

jarak

.080

.342

.065

.234

.817

34.461

11.308

3.048

.005

(Constant)

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

kepadatan

-.281

.084

-.522

-3.344

.002

bkntnh

-.122

.090

-.205

-1.353

.187

op

.059

.073

.127

.805

.428

waktu

.092

.427

.056

.216

.831

jarak

.110

.297

.089

.370

.714

(Constant)

35.680

9.627

3.706

.001

kepadatan

-.286

.078

-.532

-3.651

.001

bkntnh

-.129

.083

-.217

-1.543

.134

op

.052

.065

.113

.804

.428

jarak

.161

.174

.130

.925

.363

(Constant)

38.937

8.680

4.486

.000

kepadatan

-.296

.077

-.550

-3.840

.001

bkntnh

-.142

.081

-.239

-1.748

.091

.166

.173

.134

.962

.344

(Constant)

41.727

8.171

5.107

.000

kepadatan

-.318

.073

-.591

-4.325

.000

bkntnh

-.141

.081

-.238

-1.742

.092

jarak
5

a. Dependent Variable: prevmal

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error
14.050

4.906

waktuair

.592

.416

repelen

-.185

.131

Coefficients
Beta

Sig.
2.864

.008

.245

1.423

.166

-.302

-1.417

.168

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

kasa

-.047

.153

-.058

-.305

.762

bab

.059

.118

.102

.502

.620

13.380

4.318

3.099

.004

waktuair

.587

.409

.243

1.434

.162

repelen

-.198

.122

-.322

-1.615

.117

.069

.112

.119

.621

.539

15.515

2.587

5.998

.000

waktuair

.609

.403

.252

1.510

.141

repelen

-.238

.102

-.388

-2.327

.027

18.093

1.984

9.121

.000

-.298

.096

-3.089

.004

(Constant)

bab
3

(Constant)

(Constant)
repelen

-.485

a. Dependent Variable: prevmal

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Malaria 2007

Descriptives
Statistic
prevmal

Mean

12.6606

95% Confidence Interval for


Mean

Lower Bound

10.5567

Upper Bound

14.7645

5% Trimmed Mean

12.2749

Median

11.5000

Variance

Std. Error
1.03286

35.204

Std. Deviation

5.93332

Minimum

4.50

Maximum

28.00

Range

23.50

Interquartile Range

8.15

Skewness
Kurtosis

1.036

.409

.719

.798

Analisis univariat malaria 2010

Descriptives
Statistic

Std. Error

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

prevmal

Mean

12.6606

95% Confidence Interval for


Mean

Lower Bound

10.5567

Upper Bound

14.7645

5% Trimmed Mean

12.2749

Median

11.5000

Variance

35.204

Std. Deviation

5.93332

Minimum

4.50

Maximum

28.00

Range

23.50

Interquartile Range
Skewness
Kurtosis

1.03286

8.15
1.036

.409

.719

.798

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DATA LAPORAN RISKESDAS 2010 (Sumber Laporan Riskesdas 2010)

PROPINSI
prevmal rmhsehat kelambu kasa
repelen waktuair jarakair bab
NAD
11.5
29.8
73.3
27.5
17.3
3.3
7.3
22.2
SUMATERA UTARA
9.6
37.4
51.2
24.5
21
1.1
3.5
19.9
SUMATERA BARAT
11.9
26
17
8.6
14.1
0.8
2.9
28.9
RIAU
6
41.1
46.2
25.2
23.6
2.3
4.5
7.6
JAMBI
9.5
22.2
50.6
9.7
8.9
0
1.4
20.3
SUMATERA
SELATAN
8.4
28.6
55.5
15.5
14.4
0.8
4.5
26.3
BENGKULU
11.6
31.7
42.2
15.2
6.7
1.2
4.2
21
LAMPUNG
9.1
14.1
71.2
16.2
18.7
0.4
1
11.7
KEP. BANGKA
BELITUNG
17.9
34.5
38.6
14.8
14.5
2.3
8.7
29
KEP. RIAU
8.2
42.7
23.9
24.3
23
1.5
6.8
4.4
DKI JAKARTA
8.3
33.2
10.3
26
43.3
0.5
2
0.3
JAWA BARAT
10.6
24.4
11.6
12.6
31.2
0.5
2.1
9.5
JAWA TENGAH
7.6
18.8
25.7
8.9
25.9
0.9
1.9
17.2
DI YOGYAKARTA
4.6
27
19.5
14.2
35.7
0.7
1.5
5.2
JAWA TIMUR
7.2
24.6
22.6
7.5
26.1
1.1
2.6
19.9
BANTEN
10.5
22.4
15.1
20.3
42.4
1.2
3.3
23.1
BALI
4.5
32.6
9.9
15
18.6
1.5
7.9
13.5
NUSA TENGGARA
TIMUR
13
17.1
40.3
10.8
18.2
1.2
1.8
34.8
NUSA TENGGARA
BARAT
22.2
7.5
58.7
8.5
12.1
11.2
16.8
21.6
KALIMANTAN
11.2
28.1
65.7
12
12.9
2.7
5.9
34

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALMINATAN
TIMUR
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA

15

23.5

85.5

15.9

18.2

6.7

13.7

27.8

14

28.1

75.9

24.3

26.4

0.2

17

8.6
20.1
18.2

43.6
36
16.2

43.2
8.1
47.6

31.4
4.4
5

24.2
8.5
9.8

2
2.5
4.2

5.1
7.2
8.4

16.3
13.6
38.8

15.1

17.6

67.4

8.2

13.5

1.5

2.8

19.9

6.8
28
12.5
11.5
18.1
27.3
19.2

19.2
25.8
17.9
16.7
21.7
33.8
24

66.6
9.6
82
45.9
36.6
54.1
50.3

16.5
6.8
6.7
13.4
4.9
23.7
15.9

12.7
7.3
7.6
9.7
7
15.8
12.6

4.5
2.6
2.8
6.8
3.3
1.2
7.3

10.5
5.1
5.8
9.1
6.9
10
11

24.6
41.7
39.5
29.8
20
12.6
17.9

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

DATA LAPORAN RISKESDAS 2007 (Sumber Laporan Nasioanal Riskesdas 2007)

PROPINSI
NAD
SUMATERA
UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
TIMUR

Lantai
Prevalensi Ternak Ternak Kepadatan bukan
BAB
malaria
sedang Besar hunian
tanah waktu sembarangan jarak
3.66
13.9
12.1
79.5
86.7
2.2
32.2
7.4
2.86
1.65
2.03
3.23

11.4
4.7
3
5.9

3.7
11.3
2.4
6

80.7
82.2
83.3
86.1

94.5
96.7
96
94.9

4.7
2.2
10.4
0.4

17.4
31.2
9.9
23.1

7.4
5.8
18.5
1.3

1.63
7.14
1.42

4.9
6.3
15.3

3.2
5.9
12.6

76.1
79.6
89.1

89.7
90.2
80.3

1.5
5.2
1.9

19.1
28.2
23

6.2
10.2
3

7.09
1.41
0.51
0.42
0.41
0.3
0.18
0.32
0.31

0.6
0.9
0.3
7.6
15
17.4
14.3
7.5
32.1

0.2
0.7
0.1
1.5
10.9
18.9
20.4
1.4
28.7

89.1
78.8
62.3
84.6
95.8
93.2
92.6
80.1
82.5

97.7
94.8
97.5
93.2
71.6
88.3
78.9
89.3
93.7

4.1
14.9
0.3
1.3
2.4
2.2
0.6
2.2
1.4

32.3
6
0.7
16.9
25.4
8.2
25.8
32.8
20.2

10.1
16.3
2.2
3.4
3.6
2.3
2.4
5.2
2.5

3.75

5.6

9.4

73.6

88.4

0.6

49.1

3.3

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

NUSA TENGGARA
BARAT
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALMINATAN
TIMUR
SULAWESI UTARA
SULAWESI
TENGAH
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA

12.04

59.6

16.3

63.5

55.6

10.7

25.5

6.8

3.26

14.2

4.3

79.3

96.4

3.8

32.2

5.5

3.37

8.4

3.3

82.2

96.1

1.2

26.1

2.8

1.41

1.3

4.1

84.7

97.7

1.3

18.4

2.4

1.67
2.12

6.2
8.4

2.9
2.2

83.8
74.1

95.8
91.2

4.5
4.1

8.9
16.4

4.4
5.1

7.36

16.7

78.9

90.3

3.3

42.8

4.4

1.37

10.6

11

84.4

96

0.7

27.4

2.8

2.16
2.87
2.02
6.06
7.23
26.14
18.41

3.7
6
19.7
9
8.3
7.8
33.4

5.5
16.8
6.9
4.9
7
4.3
5.5

78
69.8
72.1
66.7
87.4
59
49

88.9
92.1
91.7
81.4
79.4
88.6
72.1

5
5.4
6.2
5.1
1.8
6.6
7.8

31.2
42.2
47.9
38.9
36.9
27.5
36.3

14.5
6.7
11.6
9.7
11
9.2
12.6

Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai