Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum ke-1

MK. Gizi dan Pembangunan

Tanggal Mulai
Tanggal Selesai

: 05 September 2016
: 05 September 2016

ANGKA KEMATIAN ANAK


Oleh:
Kelompok 3
Emi Nur Cholidah
Bahriyatul Marifah
Esty Asriyana Suryana
Dira Asmarani

I151160201
I151160241
I151160251
I141100391

Asisten Praktikum:
Teguh Jati Prasetyo, S.Gz

Koordinator Mata Kuliah:


Prof.Dr.Ir.Hidayat Syarief, MS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

ANGKA KEMATIAN ANAK


Angka kematian anak (AKA) merupakan jumlah kematian anak berusia 1-4
tahun selama satu tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan
tahun itu, tetapi tidak termasuk angka kematian bayi. Angka kematian anak
(AKA) juga mencerminkan kondisi kesehatan lingkungan yang langsung
mempengaruhi tingkat kesehatan anak sehingga dengan melihat angka kematian
anak yang tinggi maka dapat diindikasikan terjadi keadaan salah gizi
(malnutrition) atau gizi buruk, rendahkan sanitasi, tingginya prevalensi penyakit
menular pada anak atau kecelakaan yang terjadi di dalam atau di sekitar rumah
(Budi Utomo 1985).
Menurut data SDKI 2007 dan 2012, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi angka kematian anak (AKA), di antaranya adalah faktor sosial,
faktor ekonomi dan faktor demografis.
1. Angka kematian anak menurut karakteristik sosial ekonomi
1.1 Rendahnya tingkat pendidikan ibu
Data SDKI menunjukkan bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan yang
terbalik dengan tingkat kematian anak. Anak dari ibu dengan pendidikan rendah
umumnya mempunyai tingkat kematian lebih tinggi dari anak yang dilahirkan dari
ibu berpendidikan tinggi, hal ini karena pendidikan membuat ibu mendapatkan
informasi tentang perawatan kehamilan dan anak yang lebih baik. Sebagai contoh,
angka kematian anak dari ibu yang tidak sekolah adalah 22 kematian per 1000
kelahiran hidup, dibandingkan dengan 8 kematian per 1000 kelahiran hidup untuk
anak dari ibu berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama atau lebih (SDKI
2007). Pada SDKI (2012) disebutkan juga bahwa angka kematian anak lebih
rendah pada anak yang ibunya berpendidikan perguruan tinggi dibanding anak
yang ibunya tidak berpendidikan (masing-masing 4 dan 33 kematian per 1000
kelahiran). SDKI sebelumnya juga menunjukan pola perbedaan yang lebar
menurut pendidikan terendah dan tertinggi.
2.2 Status ekonomi rumah tangga
Risiko kematian anak juga berhubungan dengan status ekonomi dari rumah
tangga Ada hubungan terbalik antara status kekayaan rumah tangga dan tingkat
kematian anak, anak yang tinggal dalam rumah tangga yang lebih kaya
mempunyai mortalitas yang lebih rendah daripada anak yang tinggal dalam rumah
tangga yang lebih miskin. Sebagai contoh, angka kematian anak di kelompok
kuantil terbawah adalah 23 kematian per 1000 kelahiran, dibandingkan 6 kematian
per 1000 kelahiran untuk anak di kelompok kuantil teratas. Dibandingkan dengan
pola pada SDKI 2002-2003, terjadi penurunan perbedaan angka kematian anak
antara kuantil terendah dan kuantil tertinggi. Pada SDKI (2012) risiko kematian
balita di kuintil terbawah adalah 19 kematian per 1000 kelahiran dibandingkan
dengan 6 kematian per 1000 kelahiran untuk anak di kelompok kuantil teratas.
2. Angka kematian anak menurut karakteristik demografi
2.1 Umur ibu saat melahirkan
Dalam kerangka kerja untuk mempelajari kematian anak di negara
berkembang yang dikembangkan oleh Mosley dan Chen (1984) menyatakan

bahwa ada berbagai faktor yang secara langsung mempengaruhi kematian anak,
yang meliputi karakteristik ibu seperti umur, paritas, dan jarak kelahiran,
kontaminasi lingkungan, gizi, kecelakaan, dan penyakit. Faktor sosial ekonomi
mempengaruhi kematian melalui faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung.
Data SDKI (2007) menunjukkan bahwa umur ibu saat melahirkan dapat
mempengaruhi kesempatan kelangsungan hidup anak, yaitu semakin tua umur ibu
saat melahirkaan maka semakin tinggi risiko terjadinya kematian anak. Sebagai
contoh, kematian anak pada wanita yang melahirkan di bawah umur 20 tahun
adalah 17 kematian per 1000 kelahiran hidup. Angka ini menurun pada wanita
yang melahirkan pada umur 20-29 tahun dan 30-39 tahun (masing-masing 10 dan
13 kematian per 1000 kelahiran hidup), dan kemudian meningkat menjadi 33
kematian per 1000 kelahiran hidup pada wanita yang melahirkan pada umur 40-49
tahun (SDKI 2007). Pada SDKI (2012) juga menunjukkan hal yang sama di mana
anak dari ibu yang sangat muda dan sangat tua memiliki risiko kematian pada
anak yang tinggi saat melahirkan. Angka yang tinggi pada wanita yang lebih
muda dan lebih tua mungkin disebabkan oleh faktor biologis yang mengakibatkan
komplikasi selama kehamilan dan persalinan.
2.2 Urutan kelahiran
Data SDKI (2007) dan SDKI (2012) menunjukkan adanya hubungan positif
yang nyata antara urutan kelahiran dan peluang untuk meninggal. Urutan
kelahiran yang tinggi mempunyai risiko kematian yang tinggi. Sebagai contoh,
angka kematian anak untuk urutan kelahiran pertama adalah 9 kematian per 1000
kelahiran hidup, sedang angka kematian untuk urutan kelahiran ke tujuh atau lebih
adalah 29 kematian per 1000 kelahiran hidup. Seperti yang diharapkan, angka
kematian anak menurun ketika selang kelahiran meningkat. Sebagai contoh, angka
kematian bayi untuk anak yang lahir dengan selang kelahiran kurang dari dua
tahun setelah kelahiran sebelumnya hampir tiga kali lebih tinggi dari angka
kematian yang lahir dengan selang kelahiran empat tahun atau lebih (77
berbanding 28 kematian per 1000 kelahiran).
Selain beberapa faktor di atas yang dianalisis menurut data SDKI (2007 dan
2012), terdapat beberapa faktor penyebab lain yang mempengaruhi kematian
anak. Menurut Riskesdas (2007), kematian anak didominasi oleh penyakit
menular. Proporsi penyebab kematian pada anak (1-4 tahun) untuk tiga penyakit
terbesar, yaitu diare (11.3%) dan peneumonia (11.3%). Penyebab kematian yang
juga perlu diperhatikan adalah campak (6%), tenggelam (5%) dan TB (4%).
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan
penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Pneumonia adalah
penyakit yang disebabkan kuman Pneumococcus, Staphylococcus, Streptococcus
dan virus. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala,
batuk, mengeluarkan dahak dan sesak napas.
Penyebab masalah kematian pada anak terutama di bawah lima tahun ini
juga didukung oleh data UNICEF (2015) yang juga menyebutkan bahwa secara
global sebanyak 5.9 juta anak di bawah lima tahun hampir setengahnya
disebabkan oleh penyakit infeksi dan beberapa kondisi seperti pneumonia, diare,
malaria, meningitis, tetanus, cacar, sepsis dan AIDS. Secara umum, penyebab
kematian utama pada anak balita pada tahun 2015 adalah pneumonia (16%),
komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan (11%), diare (9%), neonatal
sepsis (7%) dan malaria (5%).

Penurunan kematian anak menjadi salah satu tujuan penting dalam


Millenium Development Goals (MDGs) poin 4 dan Deklarasi A World Fit for
Children (WFC) yang menekankan prinsip bahwa setiap anak berhak memulai
kehidupan dalam keadaan sebaik-baiknya. Penurunan kematian anak juga ada
dalam rancangan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 poin 3, yaitu
menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang
di segala usia. Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses panjang
yang berkesinambungan. Laporan Global United Nations Childrens Fund
(UNICEF) 2015 menyebutkan bahwa angka kematian anak balita indonesia
menurun dari 85 per 1000 kelahiran hidup (1990) menjadi 27 per 1000 kelahiran
hidup (2015). Pada tahun 1990, sebanyak 395000 anak meninggal sebelum usia
lima tahun dan menurun menjadi 147000 pada tahun 2015. Laporan tersebut
memposisikan Indonesia pada 24 dari 81 negara berkembang yang berhasil
mengurangi kematian anak hingga dua pertiga sesuai target Millenium
Development Goals (MDGs) pada periode tersebut. Pernyataan tersebut sejalan
dengan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan
pada tahun 2007 dan 2012. Berikut adalah tabel angka kematian anak berdasarkan
SDKI.
Tabel 1 Angka kematian anak (kematian per 1000 kelahiran)
Perkiraan tahun kalender
Angka kematian anak
SDKI 2008-2012
9
SDKI 2003-2007
10
Angka Kematian Anak per 1000 Kelahiran

SDKI 2003-2007
Angka Kematian Anak

SDKI 2008-2012

8.4 8.6 8.8 9 9.2 9.4 9.6 9.8 10

Gambar 1 Grafik angka kematian anak (kematian per 1000 kelahiran)


Tabel 1 menunjukan bahwa angka kematian anak mengalami penurunan dari
10 kematian per 1000 kelahiran hidup untuk periode 2003-2007 menjadi 9
kematian per 1000 kelahiran hidup untuk periode 2008-2012. Dalam periode
tersebut terdapat penurunan angka kelahiran anak sebesar 18.18%.
Penurunan angka kematian anak didukung oleh keberhasilan pemerintah
dalam mencanangkan berbagai program terkait peningkatan kesehatan anak.
Beberapa indikator kesehatan anak adalah berat badan lahir rendah, penanganan
komplikasi neonatal, pelayanan kesehatan bayi, pemberian ASI eksklusif 6 bulan,
pemberian vitamin A, penimbangan balita di posyandu, imunisasi dasar, dan
pelayanan kesehatan balita. Beberapa program kementerian kesehatan yang
berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan
kematian anak adalah program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak dengan
berbagai indikator dan capaian hingga tahun 2013 pada Tabel 2.
Tabel 2 Target dan capaian program pemerintah dalam upaya menurunkan angka
kematian anak tahun 2013
No.
Sasaran
Indikator kerja
Target Realisasi Capaian
srategis
1. Meningkatny Presentase ibu bersalin 89%
90.88%
102.11
a
status yang ditolong nakes
%
kesehatan
terlatih (cakupan PN)
cakupan 89%
92.33%
103.74
dan
gizi Presentase
kunjungan
neonatal
%
masyarakat
pertama (KN1)
Presentase
balita 80%
80.3%
100.4%
ditimbang berat badan
(D/S)
Imunisasi dasar lengkap, 90%
94.67%
105%
dengan imunisasi campak
yang mendapat perhatian
lebih karena menjadi
penyebab
kematian
terbesar pada anak
Distribusi vitamin A
90%
85.4%
94.8%

No.
2.

3.

4.

Sasaran
srategis
Menurunnya
disparitas
status
kesehatan
dan
status
gizi
anta
tingkat sosial
ekonomi
serta gender

Indikator kerja

Jumlah
fasilitas
pelayanan kesehatan (RS
dan
puskesmas)
memenuhi
standar
sarana, prasarana, dan
peralatan kesehatan
Jumlah
kota
yang
memiliki RS standar
kelas dunia
Presentase
fasilitas
kesehatan
yang
mempunyai
SDM
kesehatan sesuai standar
Jumlah pos kesehatan
desa beroperasi
Jumlah tenaga kesehatan
yang didayagunakan di
daerah terpencil dan
tertinggal
Meningkatny Presentase rumah tangga
a
perilaku yang
melaksanakan
Hidup Bersih PHBS
dan
Sehat
(PHBS) pada
tingkat rumah
tangga
Terpenuhinya Presentase ketersediaan
ketersediaan
vaksin dan obat
obat
dan
vaksin

Target

Realisasi

Capaian

394

478

121%

125%

75%

81.27%

108.36
%

57

54.731

96%

5.320
org

5.826
org

>100%

65%

55,06%

84,71%

95%

96,93%

102,03
%

Sumber : LAKIP Kemenkes RI 2013 dan Profil Kesehatan Indonesia 2011


Keberhasilan program pemerintah menurunkan angka kematian anak tidak
dapat menutup disparitas yang terjadi antar wilayah, sehingga pelaksanaan
program kesehatan belum merata sepenuhnya. Beberapa wilayah mempunyai
keterbatasan akses pelayanan kesehatan, keterbatasan kemampuan tenaga
kesehatan, keadaan sosial ekonomi daerah, sistem rujukan yang belum baik,
terlambatnya deteksi dini penyakit, dan kurangnya kesadaran orang tua dalam
mencari pertolongan kesehatan. Berikut ini adalah tabel sebaran angka kematian
anak menurut provinsi.
Tabel 3 Angka kematian anak menurut provinsi

Provinsi
Sumatera
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau

Angka kematian anak


SDKI 2007
SDKI 2012
21
22
16
11
9
11
20
13
8

6
15
7
4
3
9
7
8
6

16

9
10
6
3
10
13

10
9
7
5
4
7

4
21

4
18

24

14

Kalimantan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur

14
4
19

6
8
13

12

10

Sulawesi
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat

9
10
12
21
18

4
28
13
10
11

25

11

37
24
25
26

24
25
38
64

Jawa
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali dan Nusa Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur

Maluku dan Papua


Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Disparitas variasi angka kematian anak (AKA) antar provinsi masih cukup
besar, SDKI 2007 menunjukkan provinsi dengan AKA paling tinggi untuk periode
10 tahun sebelum survei adalah Maluku, yaitu 37 kematian per 1000 kelahiran
hidup, angka tersebut hampir sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan Provinsi
Kalimantan Tengah dan Bali dengan 4 kematian per 1000 kelahiran hidup. Lain
halnya dengan SDKI pada tahun 2012, hasil survei tersebut menunjukkan Papua
merupakan provinsi dengan AKA paling tinggi untuk periode 10 tahun sebelum
survei, yaitu 64 kematian per 1000 kelahiran hidup,a angka tersebut enam belas
kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Provinsi Bali, Jawa Timur, Riau, serta
Sulawesi Utara dengan 4 kematian per 1000 kelahiran hidup.
Adanya disparitas antar provinsi disebabkan oleh faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung yang menjadi penyebab tingginya AKA adalah
penyakit menular. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, diare dan
pneumonia menjadi penyebab kematian anak tertinggi, prevalensi diare dan
pneumonia lebih tinggi dari prevalensi nasional (>9%) pada provinsi dengan AKA
tertinggi. Faktor tidak langsung penyebab tingginya AKA adalah karakteristik
penduduk, akses terhadap pelayanan kesehatan yang tidak memadai, kesehatan
lingkungan, dan pemenuhan gizi yang cukup, selain itu perlu adanya upaya dalam
memperkecil kesenjangan antar provinsi. Karakteristik penduduk dilihat dari
status sosial-ekonominya, seperti pendidikan orang tua (ibu) dan indeks kekayaan
kuantil, angka kematian anak dari ibu yang tidak berpendidikan (tidak sekolah)
cenderung lebih tinggi, yaitu 22 dari 1000 kelahiran hidup dibanding dengan 8
dari 1000 kelahiran hidup untuk anak dari ibu berpendidikan lanjutan tingkat
pertama atau lebih, sedangkan menurut indeks kekayaan kuantil, AKA tertinggi
didominasi oleh rumah tangga dengan indeks kekayaan terbawah (23 dari 1000
kelahiran hidup) (SDKI 2007).
Akses terhadap pelayanan kesehatan yang tidak memadai menjadi salah satu
faktor pendukung mengapa Provinsi Papua menjadi provinsi dengan AKA
tertinggi, karena berdasarkan hasil Riskesdas (2007), Papua menjadi salah satu
provinsi dengan proporsi rumah tangga terendah dalam mengetahui beberapa
pelayanan kesehatan yang keberadaannya dekat dengan mereka, seperti
puskesmas/pustu (83.5%), praktek bidan (28.2%), dan posyandu (52.2%). Terlebih
lagi, bidan dan posyandu merupakan pelayanan kesehatan pertama yang bisa
dimanfaatkan, jika terjadi permasalahan kesehatan pada anak. Bertolak belakang
dengan Papua, Provinsi Bali menjadi provinsi dengan proporsi tertinggi pada
rumah tangga yang mengetahui keberadaan pelayanan kesehatan, seperti Rumah
Sakit (95.2%), praktek dokter (87.4%), dan praktek bidan (88.8%), hal tersebut
menjadikan Bali termasuk ke dalam provinsi yang memiliki AKA terendah di
Indonesia. Faktor kesehatan lingkungan yang meliputi akses terhadap air bersih,
pemakaian air bersih, dan jenis sumber air minum, serta kecukupan gizi anak di
setiap provinsi memiliki persentase yang bervariasi.
Provinsi dengan AKA tertinggi berada di kawasan Indonesia timur dan
menurut indikator MDGs yang terkait dengan hak-hak anak (MDGs 1 sampai 4),
provinsi yang berada di kawasan timur, provinsi yang baru dibentuk, dan provinsi
yang terkena dampak konflik merupakan provinsi-provinsi miskin dalam hal
indikator kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan gizi, penyataan tersebut sejalan
dengan faktor-faktor penyebab tingginya AKA.

Angka Kematian Anak (AKA) mencerminkan tingkat pembangunan


kesehatan dari suatu negara serta kualitas hidup dari masyarakatnya. Angka ini
digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi program serta kebijakan
kependudukan dan kesehatan. Di dalam studi ilmu kependudukan terdapat
komponen yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah,
yaitu kematian atau mortalitas. Peristiwa kematian dapat disebabkan oleh banyak
faktor salah satunya adalah kesehatan. Suatu korelasi timbal balik antara
mortalitas dengan kesehatan masyarakat ada dua macam, yaitu korelasi yang
bersifat positif atau menguntungkan maupun korelasi yang bersifat negatif atau
merugikan.
Korelasi yang bersifat positif atau menguntungkan antara mortalitas dengan
kesehatan masyarakat adalah dengan adanya mortalitas maka kelajuan
pertumbuhan penduduk yang tidak dapat terkendali dapat ditekan dan secara
otomatis, kepadatan penduduk pun dapat berkurang sehingga terjadi pula
perubahan fungsi lahan yang semula untuk perumahan menjadi fungsi lain yang
lebih bermanfaat misalnya pertanian, lahan perkebunan, sumber lapangan
pekerjaan, dan lain-lain. Dengan demikian kesejahteraan penduduk akan semakin
meningkat begitu pula derajat kesehatan masyarakat. Sebagai ilustrasi pada suatu
wilayah yang padat penduduknya maka letak bangunan yang satu dengan lainnya
saling berhimpitan sehingga menimbulkan banyak permasalahan kesehatan,
seperti sanitasi yang kurang memadai, kurangnya lahan sumber oksigen, dan
sebagainya.
Korelasi yang bersifat negatif atau merugikan antara mortalitas dengan
kesehatan masyarakat adalah terkait penyebab kematian di suatu wilayah itu
sendiri, artinya ketika masih terdapat penyebab tingginya angka kematian, maka
dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut masih memiliki derajat kesehatan
masyarakat yang masih rendah. Dalam studi ilmu kesehatan masyarakat dipelajari
berbagai faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat atau lebih
dikenal dengan teori H.L. Blum, diantaranya adalah karena faktor perilaku
individu atau masyarakat, pelayananan kesehatan, lingkungan, dan genetik.
Kematian dapat disebabkan karena perilaku dan pola hidup yang tidak bersih dan
sehat sehingga menimbulkan penyakit, apabila penyakit tersebut menyebar ke
masyarakat maka dapat terjadi kematian penduduk dalam jumlah yang banyak.
Kedua, kematian dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang
memadai, hal ini terkait dengan kebijakan kesehatan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, seperti adanya penyelewengan dana penyediaan alkes, pembagian
jamkesmas yang tidak merata dan sesuai sasaran menyebabkan terjadinya
kematian penduduk terutama penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan.
Ketiga, banyak penyakit yang bersumber dari lingkungan. Misalnya, lingkungan
yang kumuh memiliki sedikit sumber oksigen, sedikitnya lahan untuk membuang
sampah rumah tangga sehingga mencemari tanah, air, dan udara. Keempat,
banyaknya kematian juga dipengaruhi oleh faktor genetik, di mana seorang bayi
yang lahir cacat bahkan meninggal dunia dapat diakibatkan oleh gen orang tua
yang mengandungnya, misalnya sang orang tua tidak gemar mengkonsumsi zat
gizi yang baik bagi kandungannya atau terdapat penyakit keturunan yang dibawa
oleh orang tuanya (Blum 1974).

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International.2007.Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2007. Maryland (US) : BPS dan Macro International.
Blum, Hendrik L.1974.Planning for Health, Development and Aplication
of Social Changes Theory. New York (US) : Human Sciences Press.
Budi Utomo, 1985. Mortalitas : pengertian dan contoh kasus di Indonesia.
Proyek Penelitian Morbiditas dan Mortalitas. Jakarta (ID) : Universitas
Indonesia.
[LAKIP] Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementrian Kesehatan.2013.Jakarta (ID):
Kementrian Kesehatan RI.
Mosley, W.Henry, Chen L.C.1984.An analytical framework for study of child
survival in developing countries.Population and Development
Review.10:25-45.
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar.2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan Rpublik Indonesia [internet]. [diunduh
2016
Sept
5].
Terdapat
pada
:
http//www.kemenkes.go.id/download/riskesdas.
[UNICEF] United Nations Childrens Fund. 2015. Commiting to Child Survival :
A Promise Renewed Progress Report. New York (US) : UNICEF.

Anda mungkin juga menyukai