Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit


atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi

fungsi

insulin.

Insufisiensi

fungsi

insulin

dapat

disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia
mengidap

diabetes

mellitus.

Jumlah

ini

diperkirakan

akan

meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian
besar peningkatan itu akan terjadi di negaranegara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di
Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di
Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti
lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes.
Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia
mencapai 5 juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai
12 juta penderita (Promosi Kesehatan Online, Juli 2005). Walaupun
Diabetes

mellitus

merupakan

penyakit

kronik

yang

tidak

menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat


fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan
penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat
dan terapi obat. Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor
kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam
keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi, memberikan
konseling

dan

bekerja

sama

erat

dengan

penderita

dalam

penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat

merupakan salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu


penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan
ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul,

mencegah

dan

mengendalikan

efek

samping

obat,

memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang


harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang
merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu
ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang
sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker.
Demikian pula apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari
pengetahuan tentang etiologi dan patofisiologi diabetes sampai
dengan farmakoterapi dan pencegahan komplikasi yang semuanya
dapat diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami, disesuaikan
dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita. Pentingnya peran
apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi
lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan
pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita
diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada
frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan
pelayanan kefarmasian yang profesional.

II.
II.1.

ISI

Diabetes Melitus

II.1.1. Definisi
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan sistemik
yang ditandai dengan hiperglikemia karena glukosa beredar
dalam sirkulasi darah dan tidak seluruhnya masuk ke dalam sel
karena insulin yang membantu masuknya glukosa ke dalam sel
terganggu sekresinya, glukosa diperlukan dalam metabolisme
seluler dalam proses pembentukan energi. Secara garis besar
diabetes melitus terkait dengan supply dan demand insulin
berdasarkan kualitas dan kuantitas dari insulin itu sendiri
(PERKENI, 2006).
Menurut WHO (World Health Organization), diabetes melitus
adalah keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh
faktor

lingkungan

dan

keturunan

secara

bersama-sama,

mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis yang tidak dapat


disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Diabetes mellitus adalah
penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas
untuk menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup atau
ketidakmampuan

tubuh

untuk

menggunakan

insulin

yang

diproduksi secara efektif.


2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi
1. Diabetes tipe 1
terjadi

karena

adanya

gangguan

pada

pankreas,

menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin

dengan optimal. Pankres memproduksi insulin dengan kadar


yang sedikit dan dan dapat berkembang menjadi tidak
mampu

lagi

memproduksi

insulin.

Akibatnya,

penderita

diabetes tipe 1 harus mendapat injeksi insulin dari luar


(Sutanto, 2013). Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan
kejadian ini masih belum dapat dicegah dengan ilmu yang
ada pada saat ini. Gejala gejalanya meliputi frekuensi ekskresi
urin yang berlebihan (polyuria), kehausan (polydipsia), lapar
yang terus menerus, berat badan berkurang, gangguan
penglihatan, dan kelelahan. Gejala-gejala ini dapat muncul
secara tiba-tiba (WHO, 2013).
2. Diabetes tipe 2
merupakan penyakit diabetes yang disebabkan karena sel-sel
tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan oleh pankreas.
Diabetes tipe 2 dialami hampir 90% manusia di dunia, dan
secara umum penyakit ini adalah hasil dari berat badan
berlebih dan kurangnya aktifitas fisik. Gejala-gejala mirip
dengan

diabetes

tipe

1,

tetapi

biasanya

tidak

terasa.

Hasilnya, penyakit ini terdiagnosa bertahun tahun setelah


awal mula terjadinya penyakit, ketika sudah timbul komplikasi
(WHO, 2013).
3. Diabetes gestational adalah diabetes yang disebabkan karena
kondisi kehamilan (sutanto, 2013). Gejala diabetes gestational
mirip dengan gejala diabetes tipe 2. Diabetes gestational
lebih sering terdiagnosa melalui prenatal screening dari pada
gejala yang dilaporkan (WHO, 2013).

2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


a. Biosintesis dan Kerja Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam
amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Sintesis insulin
dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin,
yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory
vesicles) dalam sel tersebut. Dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C yang keduanya
sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran
sel.
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan
kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase atau dengan
nama lain dinamakan biphasic. Fase 1 (acute insulin secretion
response = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah
ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga
cepat. Setelah fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained
phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat
secara perlahan dan bertahan dalam waktu yang relatif lama
(Suyono, 2006).
Semua tipe diabetes terjadi akibat defisiensi relatif kerja
insulin. Selain itu, pada diabetes tipe 1 dan 2, kadar glukagon
tampak meningkat secara abnormal. Gangguan metabolik yang
terjadi bergantung pada derajat penurunan kerja insulin. Jaringan

adiposa paling peka terhadap kerja insulin. Karena itu, rendahnya


aktivitas insulin dapat menyebabkan penekanan lipolisis dan
peningkatan penyimpangan lemak. Kadar insulin yang lebih tinggi
diperlukan untuk melawan efek glukagon di hati dan menghambat
pengeluaran glukosa oleh hati. Pada orang normal, kadar basal
aktivitas insulin mampu mementarai berbagai respon tersebut.
Namun, kemampuan otot dan jaringan peka-insulin lainnya untuk
berespon terhadap pemberian glukosa dengan menyerap glukosa
(melalui

perantara

insulin)

memerlukan

sekresi

insulin

yang

terstimulasi dari pankreas.


Penurunan ringan kerja insulin mula-mula bermanifestasi
sebagai ketidak-mampuan jaringan peka-insulin untuk mengurangi
beban glukosa. Secara klinis, hal ini menimbulkan hiperglikemia
pasca makan (postprandial hyperglycemia). Pengidap diabetes tipe
2 yang masih menghasilkan insulin tetapi mengalami peningkatan
resistensi insulin, akan mengalami peningkatan gangguan uji
toleransi glukosa. Namun, kadar glukosa puasa tetap normal karena
aktivitas insulin masih cukup untuk mengimbangi pengeluaran
glukosa (yang diperantarai oleh glukagon) oleh hati. Jika efek insulin
semakin menurun, efek glukagon terhadap hati tidak mendapat
perlawanan

yang

berarti

sehingga

terjadi

hiperglikemia

pascamakan dan hiperglikemia puasa (Funk, 2007)


2.1.4. Komplikasi
2.1.4.1. Komplikasi Akut
a. Reaksi Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh
kekurangan glukosa , dengan tanda rasa lapar, gemetar, keringat
dingin, pusing. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita

dapat menjadi koma. Karena koma pada penderita disebabkan oleh


kekurangan glukosa di dalam darah, maka koma disebut Koma
Hipoglikemik
b. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
Koma

Hiperosmolar

Hiperglikemik

Non

Ketotik

merupakan

komplikasi akut yang ditandai oleh hiperglikemik, hiperosmolar


tanpa disertai adanya ketosis, faktor yang memulai timbulnya tanpa
disertai adanya ketosis. Faktor yang memulai timbulnya HHNK
adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan
pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin yang akan
semakin memperberat derajat kehilangan air. Hilangnya air yang
lebih

banyak

dibandingkan

natrium

menyebabkan

keadaan

hiperosmolar. Keadaan dimana insulin yang tidak tercukupi akan


menyebabkan

hiperglikemia.

Hiperglikemia

yang

terjadi

menyebabkan diuresis osmotik dan menurunnya cairan secara total


(PERKENI, 2006).
c. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis, dan ketosis.
Pada Ketoasidosis Diabetik terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif. Gejala yang timbul dapat terjadi secara tiba-tiba dan bisa
berkembang dengan cepat. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi
tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula
tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang
lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton dan asam lemak
bebas yang berlebihan. Keton merupakan senyawa kimia yang
berbahaya

yang

dapat

menyebabkan

darah

menjadi

asam

(ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa


haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut
(terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi cepat dan dalam
karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau
nafas penderita seperti bau keton dan derajat kesadaran dapat
dijumpai mulai kompos mentis, delirium atau depresi sampai koma.

2.1.4.2. Komplikasi Kronis


Komplikasi kronis terjadi pada semua pembuluh darah seluruh
bagian tubuh yang disebut sebagai angiopati diabetik.
Komplikasi kronis tersebut antara lain :
a. Mikrovaskuler
komplikasi mikrovaskuler adalah komplikasi pada pembuluh darah
kecil, diantaranya : retinopati diabetika, yaitu kerusakan mata
seperti katarak dan glukoma atau meningkatnya tekanan pada bola
mata. Bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk
retinopati yang dapat menyebabkan kebutaan. Nefropati diabetik
yaitu gangguan ginjal yang diakibatkan karena penderita menderita
diabetes dalam waktu yang cukup lama (White C,2007).
b. Makrovaskuler
komplikasi

makrovaskuler

adalah

komplikasi

yang

mengenai

pembuluh darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan


artherosklorosis. Akibat arterosklerosis antara lain timbul penyakit
jantung koroner, hipertensi, stroke, dan gangren pada kaki (White
C,2007).
c. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik yaitu gangguan sistem saraf pada penderita DM.


Indera perasa pada kaki dan tangan berkurang disertai dengan
kesemutan, perasaan baal atau tebal serta perasaan seperti
terbakar (American Diabetes Association,2007).

2.2. Ulkus Diabetik


2.2.1. Definisi
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput
lendir disertai kematian jaringan yang luas dan invasi kuman sprofit.
Ulkus diabetik adalah salah satu komplikasi kronis diabetes melitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai
adanya kematian jaringan setempat
2.2.2. Diagnosis Klinis
Penangan ulkus diabetic terdiri dari penentuan dan perbaikan
penyakit dasar penyebab ulkus, perawatan luka yang baik, dan
pencegahan kekambuhan ulkus. Penyebab ulkus diabetic dapat
ditentukan

secara

tepat

melalui

riwayat

anamnesis

dan

pemeriksaan fisik yang cermat.


2.2.3. Riwayat Anamnesis
Adanya gejala neuropati perifer, sebagian besar orang yang
menderita penyakit atherosclerosis pada ekstremitas bawah tidak
menunjukkan gejala (asimtomatik). Penderita yang menunjukkan
gejala didapatkan claudication, nyeri iskemik saat istirahat, luka

yang tidak sembuh, dan nyeri kaki yang jelas. Kram, kelemahan dan
rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh penderita.
2.2.4. Pemeriksaan Fisik
Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga gangren
panas, karena walaupun nekrosis daerah akral tampak merah dan
terasa hangat oleh peradangan, biasanya ulkus diabetik pada
telapak

kaki

menyebabkan

(Waspadji
sumbatan

et.al,

2001).

pembuluh

Proses

darah,

makroangiopati

dan

bila

terjadi

sumbatan kronik gambaran kliniknya menurun pola dari fontaine


yaitu :
Stadium I : Asimstomatik atau gejala tidak khas (semutan,
geringgingan).
Stadium II : Klaudikasio intermiten (nyeri otot ekstermitas bawah
sehingga jarak tempuh memendek).
Stadium III : Nyeri saat istirahat.
Stadium IV : Manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (sekresi,
ulkus).

Menurut berat ringannya lesi, kelainan diabetik dibagi dalam enam


derajat menurut Wagner :
1. Wagner O (Kulit Utuh)
Kaki neuropati : pes planovalgus, paralisis otot kecil di dalam kaki,
jari palu, jari sikat cakar, hiperemia, pembuluh vena melebar
2. Wagner I
Tukak, neuropati superfisial : telapak kaki di kelilingi kalus,
hiperemia.

3. Wagner 2
Tukak superfisial dorsum dan lateral kaki, tukak neurosiskemik,
meluas subkutan, selulitis sekitarnya, ulkus dipinggir.
4. Wagner 3
Tukak dalam (neuroiskemik) sampai tulang tumit, osteomilitik.
5. Wagner 4
Iskemia : ulkus 2 jari dan sebagian kaki depan hiperemis.

2.2.5. Pemeriksaan Laboratorium


- Pemeriksaan darah : Lekositosis mungkin menandakan adanya
abses atau infeksi lainya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat
oleh adanya anemia.
- Profil metabolik : Pengukuran kadar gula darah, glikohemoglobin
dan kreatinin serum membantu untuk menentukan kecukupan
regulasi glukosa dan fungsi ginjal.
- Pemeriksaan laboratorium vascular non invasive : Pulse Volume
Recording (PVR), atau Plethymosgrafi (Sjamsochidajat, 1997)
2.2.6. Penatalaksanaan Ulkus Diabetik
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetic adalah
penutupan luka. Penatalaksanaan ulkus diabetic secara garis besar
ditentukan oleh derajat keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya
infeksi (Monalisa, 2002).
PENATALAKSANAAN
1. Diet pada penderita diabetes melitus

Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan


berat badan ideal.
Komposisi energi :
- 60 70 % dari karbohidrat
- 10 15 % dari protein
- 20 25 % dari lemak
Beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
orang yang diabetes
1. Memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25 30 kalori/kgBB ideal, ditambah dan dikurangi
bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur,
aktivitas, kehamilan/laktasi, adanya komplikasi dan berat badan.
Dengan pegangan kasar yaitu :
- Kurus : 2300 2500 kalori
- Normal : 1700 2100 kalori
- Gemuk : 1300 1500 kalori

II. Olahraga
- Dianjurkan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu) 0,5 jam
- Latihan pilihan adalah : jalan kaki jogging, lari, renang dan
bersepeda.
- Zona sasaran / latihan yaitu 75-85% denyut nadi maksimal

III. Obat anti diabetik


Pada kasus ulkus diabetikum dalam praktek digunakan terapi anti
diabetik yaitu insulin, yang diindikasikan untuk diabetes tipe I dan

juga tipe II yang hiperglikemianya tidak berespon terhadap terapi


diet dan obat-obat hipoglikemik oral (Karam et.al, 1998).
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
1. Semua penderita diabetes melitus dari setiap umur dalam
keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
2. Koma hiperosmolar dan asidosis laktat
3. DM dengan berat badan menurun secara cepat/kurus
4. DM yang mengalami stress berat ( infeksi sistemik, operasi berat,
dll )
5. DM dengan kehamilan
6. DM tipe I
7. Kegagalan pemakaian hipoglikemik oral (OHD)
Dari sekian banyak jenis insulin, untuk praktisnya hanya tiga jenis
yang penting menurut cara kerjanya.

Kerja
singkat

Kerja
sedang
Kerja
panjang

Tipe insulin

Mulai kerja

Lama kerja

15-30 menit

Kerja
puncak
1-3 jam

Regular,
actrapid,
vosulin
Semilente,
semitard
Lente,
lentard,
monotard
Ultralente,
ultratand

30-60 menit

4-6 jam

12-16 jam

2-4 jam

8-10 jam

18-24 jam

4-5 jam

8-14 jam

25-36 jam

5-7 jam

A. Insulin kerja singkat


1. Insulin Reguler ( Regular Iletin I atau II, atau Humulin [Lilly],
Insulin Injection Actrapid atau Novolin-R [Novo-Nordisk], Velosulin
[Novo Nordisk]) adalah kristal insulin Seng kerja singkat, larut, yang

efek hipoglikemiknya segera terlihat dalam 15 menit sesudah


injeksi subkutan, mencapai puncak 1-3 jam, dan berlanjut hingga 57 jam yaitu bila diberikan dalam dosis lazim, misalnya 5-15 unit.
Insulin ini khususnya bermanfaat dalam pengobatan
ketoasidosis diabetik dengan dosis awal pada penderita yaitu
sebesar 0,3 unit/ kgBB sampai didapatkan sedikitnya penurunan
kadar plasma 10% dalam jam pertama, jika gagal diulangi dengan
dosis yang sama dengan dosis awal.Dan Insulin pada golongan ini
juga bermanfat pada kebutuhan insulin yang berubah cepat,
misalnya sesudah pembedahan atau pada infeksi.
2. Insulin Semilente (Insulin Semilente [lilly] dan Semitard [Novo
Nordisk]) adalah suatu bentuk amorf (mikrokristalin) dari insulin dan
Seng dalam dapar Asetat. Mula kerjanya adalah 30-60 menit,
dengan puncak tercapai dalam 6 jam dan lama kerjanya 12-16 jam.

B. Insulin Kerja Sedang.


1. Insulin Lente adalah campuran dari 30% Semilente denga 70%
Insulin Ultralente (Lente Iletin I dan II, dan Humulin-L [Lilly], Lente
Insulin [sapi], Monotard [babi], Lentard [sapi-babi], dan Novolin-L
[Novo-Nordisk]). .Mula kerjanya biasanya tertunda hingga 2-4 jam,
dan respon puncak biasanya tercapai dalam 8-10 jam, karena lama
kerjanya yang kurang dari 24 jam (dengan rentan 18-24 jam) maka
kebanyakan pasien memerlukan setidaknya dua injeksi dalam
sehari untuk mempertahankan efek insulin
2. Insulin NPH (neutral protamine Hagedorn, atau isophane), (NPH
Iletin I dan II atau Humulin-N [Lilly], NPH Insulin Protaphane dan
Novolin-N [novo-Nordisk], Insulatard NPH [babi atau manusia]
[Nordisk]). NPH adalah suatu insulin larut dengan satu bagian
insulin Seng Protamin, kerja puncak dan lamanya kerja insulin NPH
serupa dengan Insulin Lente.

C. Insulin Kerja Lama

Insulin Ultralente-Iletin I Ultralente (Lilly), Ultratard (Novo Nordisk)


adalah suatu suspensi kristal insulin kerja panjang yang mula
kerjanya cukup lambat, dimana efek puncak tercapai sesudah 8-14
jam dan lama kerjanya berlangsung hingga 36 jam (Suryono, 1980).

2.3 Ketoasidosis metabolik


Ketoasidosis

Diabetikum

(KAD)

merupakan

salah

satu

komplikasi akut DM akibat defisiensi (absolut ataupun relatif)


hormon insulin. Komplikasi akut pada Diabetes Melitus merupakan
keadaan darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak mendapat
perawatan dan pengobatan yang cepat dan adekuat. Walaupun KAD
paling

sering

ditemukan

pada

penderita

diabetes

melitus

tergantung insulin (DM Tipe 1 = Insulin Dependent Diabetes


Mellitus/IDDM ), penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin
(DM Tipe 2 = Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM ),
pada keadaan tertentu juga beresiko untuk mendapatkan KAD
(Bakta, 1999).

2.3.1 PATOFISIOLOGI
Gejala dan tanda KAD dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis. Defisiensi insulin
menyebabkan berkurangnya penggunaan glukosa oleh jaringan tepi

dan

bertambahnya

menyebabkan

hiperglikemia.

bertambahnya
menimbulkan

glukoneogenesis

kadar

Defisiensi

glukagon

peningkatan

dan

lipolisis

di

di

hati.

insulin

menyebabkan

perubahan
jaringan

Keduanya
rasio

lemak

ini
serta

ketogenesis di hati. Lipolisis terjadi karena defisiensi insulin


merangsang kegiatan lipase di jaringan lemak dengan akibat
bertambahnya pasokan asam lemak bebas ke hati. Di dalam
mitokondria hati enzim karnitil asil transferase I terangsang untuk
mengubah asam lemak bebas ini menjadi benda keton, bukan
mengoksidasinya

menjadi

CO2

atau

menimbunnya

menjadi

trigliserid. Proses ketosis ini menghasilkan asam betahidroksibutirat


dan asam asetoasetat yang menyebabkan asidosis. Aseton tidak
berperan dalam kejadian ini walaupun penting untuk diagnosis
ketoasidosis (Perkeni, 2006).

2.3.2 FAKTOR PENCETUS


KAD

biasanya

dicetuskan

oleh

suatu

faktor

yang

mempengaruhi fungsi insulin. Mengatasi pengaruh faktor ini penting


dalam pengobatan dan pencegahan KAD selanjutnya. Berikut ini
merupakan faktor-faktor pencetus yang penting :
1. Infeksi
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Pada
keadaan infeksi kebutuhan tubuh akan insulin tiba-tiba meningkat.
Infeksi yang biasa dijumpai adalah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Jika ada keluhan nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis,
atau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon yang

baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari infeksi yang


tersembunyi (misalnya sinusitis, abses gigi, dan abses perirektal).
2. Infark Miokard Akut (IMA)
Pada IMA terjadi peningkatan kadar hormon epinefrin yang
cukup untuk menstimulasi lipolisis, hiperglikemia, ketogenesis dan
glikogenolisis.
3. Pengobatan insulin dihentikan
Akibatnya insulin berkurang sehingga terjadi hiperglikemia
dan diuresis osmotik yang mengakibatkan dehidrasi dan gangguan
elektrolit.
4. Stres
Stres jasmani, kadang-kadang stres kejiwaan dapat
menyebabkan KAD, kemungkinan karena kenaikan kadar kortisol
dan adrenalin.

5. Hipokalemia.
Akibat hipokalemia adalah penghambatan sekresi insulin dan
turunnya kepekaan insulin. Ini dapat terjadi pada penggunaan
diuretik.
6. Obat
Banyak obat diketahui mengurangi sekresi insulin atau
menambah resistensi insulin. Obat-obatan yang sering digunakan
dan harus dipertimbangkan perlu tidaknya pada pasien diabetes
antara lain: hidroklortiazid, -blocker, Ca-channel blocker, dilantin,

dan kortisol. Alkohol mungkin menghambat sekresi insulin karena


dapat menyebabkan pankreatitis subklinis dan mempengaruhi sel .

2.3.3 GAMBARAN KLINIS


Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala klinis dan diperkuat
dengan pemeriksaan laboratorium.
A. Gejala Klinis :
1. Polidipsia, poliuria, dan kelemahan merupakan gejala
tersering yang ditemukan, dimana beratnya gejala tersebut
tergantung dari beratnya hiperglikemia dan lamanya
penyakit.
2. Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering
pada anak-anak) dapat dijumpai dan ini mirip dengan
kegawatan abdomen. Ketonemia diperkirakan sebagai
penyebab dari sebagian besar gejala ini. Beberapa penderita
diabetes bahkan sangat peka dengan adanya keton dan
menyebabkan mual dan muntah yang berlangsung dalam
beberapa jam sampai terjadi KAD.
3. Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis
osmotik) dan dilatasi lambung dapat terjadi dan ini sebagai
predisposisi terjadinya aspirasi.
4. Pernapasan kussmaul (pernapasan cepat dan dalam)
sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik dan terjadi
bila pH < 7,2.

5. Secara neurologis, 20% penderita tanpa perubahan


sensoris, sebagian penderita lain dengan penurunan
kesadaran dan 10% penderita bahkan sampai koma.

B. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Glukosa
Glukosa

serum

biasanya

>

250

mg/dl.

Kadar

glukosa

mencerminkan derajat kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan


cairan yang berat menyebabkan aliran darah ginjal berkurang dan
menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat hiperglikemia
menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan
hiperosmolaritas (umumnya sampai 340 mOsm/kg).
2. Keton
Tiga

benda

keton

utama

adalah

betahidroksibutirat,

asetoasetat, dan aseton. Kadar keton total umumnya melebihi 3


mM/L dan dapat meningkat sampai 30 mM/L (nilai normal adalah
sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari
kadar asetoasetat, namun berbeda dengan keton lainnya aseton
tidak berperan dalam terjadinya asidosis. Betahidroksibutirat dan
asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1
(KAD ringan) sampai 15:1 (KAD berat).
3. Asidosis.
Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di
bawah 15 mEq/l dan pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama
disebabkan oleh penumpukan betahidroksibutirat dan asetoasetat
di dalam serum.

4. Elektrolit.
Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi.
Hiperglikemia menyebabkan masuknya cairan intraseluler ke ruang
ekstraseluler. Hal ini menyebabkan hiponatremia walaupun terjadi
dehidrasi dan hiperosmolaritas. Hipertrigliseridemia dapat juga
menyebabkan menurunnya kadar natrium serum.
Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi.
Kadar kalium mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat
asidosis dan derajat kontraksi intravaskuler. Karena hal di atas dan
hal lain, kadar kalium yang normal atau tinggi tidak mencerminkan
defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi sekunder
akibat diuresis osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang
rendah pada awal pemeriksaan harus dikelola dengan cepat.
Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah
sakit. Seperti halnya kadar kalium kadar fosfat tidak mencerminkan
defisit tubuh yang sesungguhnya, walaupun terjadi perpindahan
fosfat intraseluler ke ruang ekstraseluler, sebagai bagian dari
keadaan katabolik. Fosfat kemudian hilang melalui urin akibat
diuresis osmotik.

5. Lain-lain
Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl.
Lekosit sering meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD,

maka dari itu tidak dapat dipakai sebagai satu-satunya bukti


adanya infeksi. Amilase serum dapat meningkat. Penyebabnya tidak
diketahui, mungkin berasal dari pankreas (namun tidak terbukti ada
pankreatitis) atau kelenjar ludah. Transaminase juga meningkat.

2.3.4. Kriteria Diagnosis


Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan
gejala seperti pada kriteria berikut ini :1,4
1. Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran
menurun, napas cepat dan dalam (kussmaul), dan tanda-tanda
dehidrasi.
2. Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut,
infark miokard akut, stroke, dan sebagainya.
3. Laboratorium :
- hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl).
- asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l).
- ketosis (ketonuria dan ketonemia).

2.3.5. PENATALAKSANAAN
Sasaran pengobatan KAD adalah :

1. Memperbaiki volume sirkulasi dan perfusi jaringan.


2. Menurunkan kadar glukosa darah.
3. Memperbaiki asam keto di serum dan urin ke keadaan normal.
4. Mengoreksi gangguan elektrolit.
Untuk mencapai sasaran di atas, hal yang perlu diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita KAD adalah perawatan umum, rehidrasi
cairan, pemberian insulin dan koreksi elektrolit (Perkeni, 2006).

A. TINDAKAN UMUM
- Penderita dikelola dengan baring. Bila kesadaran menurun
penderita dipuasakan dan untuk membantu pernapasan dipasang
oksigen nasal (bila PO2 < 80 mgHg).
-

Pemasangan

sonde

hidung-lambung

diperlukan

untuk

mengosongkan lambung, supaya aspirasi isi lambung dapat dicegah


bila pasien muntah.
- Kateter urin diperlukan untuk mempermudah balans cairan, tanpa
mengabaikan resiko infeksi.
- Untuk keperluan rehidrasi, drip insulin, dan koreksi kalium
dipasang infus 3 jalur.
- EKG perlu direkam secepatnya, antara lain untuk pemantauan
kadar K plasma.
- Antibiotik diberikan sesuai hasil kultur dengan hasil pembiakan
kuman dari urin, usap tenggorok, atau dari bahan lain (Sjaifullah,
2006).

B. REHIDRASI CAIRAN
Dehidrasi dan hiperosmolaritas (bila ada) perlu diobati
secepatnya dengan cairan. Pilihan antara NaCl 0,9% atau NaCl
0,45% tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tinggi rendahnya
kadar natrium. Pada umumnya dibutuhkan 1-2 liter dalam jam
pertama. Kemungkinan diperlukan juga pemasangan CVP. Rehidrasi
tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan, sehingga jumlah
cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 liter. Pedoman untuk
menilai hidrasi adalah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin
dan pemantauan keseimbangan cairan.

C. PEMBERIAN INSULIN
Insulin baru

diberikan pada jam kedua. 180 mU/kgBB

diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan drip insulin 90


mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila kadar glukosa darah turun
hingga kurang dari 200 mg% kecepatan drip insulin dikurangi
himgga 45 mU/jam/kgBB. Bila glukosa darah stabil sekitar 200-300
mg% selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U per jam di samping
dilakukan sliding scale setiap 6 jam. Setelah sliding scale tiap 6 jam
dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari bila penderita sudah
makan, yaitu 3 kali sehari sebelum makan secara subkutan (bakta,
1999).
Insulin kerja pendek: Actrapid Human 40, Actrapid Human 100
Insulin kerja menengah: Monotard Human 100, Insulatard, NPH
Insulin kerja panjang: PZI

Insulin campuran: Mixtard

Cara pemakaian insulin :


Insulin kerja cepat/pendek : diberikan 15-30 menit sebelum makan
Insulin analog : diberikan sesaat sebelum makan
Insulin kerja menengah : 1-2 kali sehari, 15-30 menit sebelum
makan. 1

D. KOREKSI ELEKTROLIT
Kalium
Karena kalium serum menurun segera setelah insulin mulai
bekerja, pemberian kalium harus dimulai bila diketahui kalium
serum dibawah 6 mEq/l. Ini tidak boleh terlambat lebih dari 1-2 jam.
Sebagai tahap awal diberikan kalium 50 mEq/l dalam 6 jam (dalam
infus). Selanjutnya setelah 6 jam kalium diberikan sesuai ketentuan
berikut :
- kalium < 3 mEq/l, koreksi dengan 75 mEq/6 jam
- kalium 3-4,5 mEq/l, koreksi dengan 50 mEq/6 jam
- kalium 4,5-6 mEq/l, koreksi dengan 25 mEq/6 jam
- kalium > 6 mEq/l, koreksi dihentikan

Bikarbonat

Bikarbonat baru diperlukan bila pH < 7,0 dan besarnya disesuaikan


dengan pH. Bila pH meningkat maka kalium akan turun, oleh karena
itu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium,
dengan ketentuan sebagai berikut:

pH
<7

Bikarbonat
100 mEq

Kalium
26

7-7,1

50 mEq

mEq
13

>7,1

0 mEq

mEq
0 mEq

Hal-hal yang harus dipantau selama pengobatan adalah :


1. Kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer.
2. Kadar elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya
tergantung keadaan.
3. Analisa gas darah; bila pH < 7 waktu masuk, periksa setiap
6 jam sampai pH > 7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil.
4. Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas,
dan temperatur setiap jam.
5. Keadaan hidrasi, balans cairan.
6. Waspada terhadap kemungkinan DIC

KOMPLIKASI

Pada pengobatan KAD diperlukan pengawasan yang ketat,


karena pengobatan KAD sendiri dapat menyebabkan beberapa
komplikasi yang membahayakan diantaranya dapat timbul keadaan
hipoksemia dan sindrom gawat napas dewasa (adult respiratory
distress syndrom, ARDS). Patogenesis terjadinya hal ini belum jelas.
Kemungkinan akibat rehidrasi yang berlebih, gagal jantung kiri, atau
perubahan permeabilitas kapiler paru (Perkeni, 2006).
Selain

itu

masih

ada

komplikasi

iatrogenik,

seperti

hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema serebral, dan


hipokalsemia yang dapat dihindari dengan pemantauan yang ketat
dengan

menggunakan

lembar

evaluasi

ketoasidosis yang baku (Perkeni, 2006).

penatalaksanaan

III.

PENUTUP

Secara umum tujuan utama penanganan ulkus diabetikum adalah


adalah penutupan luka. Penatalaksanaan ulkus diabetic secara garis
besar ditentukan oleh derajat keparahan ulkus, vaskular isasi dan
adanya infeks

memerlukan pemberian tiga hal berikut:


-

Melakukan diet pola makan


Melakukan pola hidup sehat
Mendapatkan terapi obat seperti injeksi insulin

Secara umum Penanganan DKA (diabetic ketoacidosis) memerlukan


pemberian tiga agent berikut:
- Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi
cairan yang hebat dan adalah penting untuk mengekspansi
nilai ECF nya dengan saline untuk memulihkan sirkulasinya.
- Insulin. Insulin intravena paling umum dipergunakan.
Insulin intramuscular adalah alterantif bila pompa infusi tidak
tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya
pada anak anak kecil.
- Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal,
namun semua pasienpenderita DKA mengalami deplesi kalium
tubuh yang mungkin terjadi secara hebat.

DAFTAR PUSTAKA

Bakta IM, Suastika IK. Gawat Darurat Di Bidang Penyakit Dalam,


Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1999.
John H. Karam, MD, Peter H. Forsham,MD Hormon-Hormon Pankreas
&
Diabetes Melitus. Editor. Endokrinologi dasar & klinik bab XV,
Edisi IV, Jakarta, EGC; 1998.p. 781 808.
PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
Jakarta.
2002
Sjaifoellah, Noer., Waspadji S, Rahman AM. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam,
jilid 1, edisi III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2006
Sjamsochidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC, 1997.p. 1238
1239.
Slamet Suryono, Dasar Dasar Pengobatan Diabetes Melitus, dalam
Diabetes
Melitus Simposium Berkala , Jakarta, FKUI, 1980.p.87 90.
Tambunan
Monalisa.
Penatalaksanaan

Perawatan

Kaki

Diabetik,

dalam

Diabetes Melitus Terpadu , Jakarta, FKUI, 2002.p. 293 298.


Waspadji Sarwono. Gambaran Klinis, Diabetes Melitus, dalam Noer
Sjaifoellah, Rachman A, dkk. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi III, Jakarta, BP FKUI, 2001.p. 586 589.

MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT


Penatalaksanaan Diabetes tipe-II dengan
Komplikasi Ulkus Diabetikum dan
Ketoasidosis

OLEH

ANNISA KARIMAH, S.Farm


1641012120

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2016

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karunia yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul

Penatalaksanaan diabetes mellitus

tipe-II dengan ulkus diabetikum dan ketoasidosis. Makalah ini merupakan tugas
mata kuliah Farmasi Rumah Sakit yang merupakan salah satu mata kuliah wajib
selama menempuh Program Studi Pofesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas
Andalas Padang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Safitri,M.Si, Apt.
selaku dosen pengampu yang telah mengarahkan penulis selama penyusunan makalah
ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan
saran atas kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat di kemudian hari.

Padang,

Mei 2016

Wassalam
Penulis

Anda mungkin juga menyukai