Anda di halaman 1dari 17

Daftar Isi

Kata Pengantar
BAB I
Pendahuluan........................................................................................................................... 1
BAB II
Tinjauan Pustaka................................................................................................................... 2
Konsep tidur
1.1 Defenisi tidur................................................................................................... 2
1.2 Fisiologi tidur.................................................................................................. 2
1.3 Tahapan tidur................................................................................................. 3
1.4 Siklus tidur...................................................................................................... 4
1.5 Mekanisme tidur
1.5.1. Sistem serotoninergik........................................................................... 5
1.5.2. Sistem adrenergik................................................................................. 6
1.5.3. Sistem kolinergik.................................................................................. 6
1.5.4. Sistem histaminergik............................................................................ 6
1.5.5. Sistem hormon...................................................................................... 6
1.6. Kualitas Tidur
1.6.1. Tanda fisik............................................................................................. 7
1.6.2. Tanda psikologis................................................................................... 7
1.7. Gangguan Tidur
1.7.1 Insomnia................................................................................................. 10
1.7.2 Hipersomnia...........................................................................................10
1.7.3 Sleep apnea (apnea tidur)......................................................................10
1.7.4. Parasomnia............................................................................................11
1.7.5. Gangguan pergerakan nocturnal (nocturnal movement disorder). 12
1.8 Penanganan Gangguan Tidur
1.8.1 Terapi non farmakologi.........................................................................12
1.8.2 Terapi farmakologi................................................................................13
BAB III
Kesimpulan.............................................................................................................................14
Daftar pustaka........................................................................................................................15

KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur yang besar saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dan terimakasih kepada
dr. Donald F Sitompul SpKJ selaku pembimbing saya yang memberi kesempatan bagi saya
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi persyaratan penilaian Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSJ Prof M Ildrem Medan. Adapun judul makalah ini
Gangguan Tidur
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya selaku penyaji bahan juga menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna,
sehingga dengan senang hati saya akan menerima segala bentuk kritik dan saran yang
membangun. Demikian tulisan ini saya sampaikan, Atas kritik dan sarannya saya ucapkan
terimakasih.

Medan,

Juni 2016

Penulis

Rizky A Girsang

BAB I
PENDAHULUAN

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk
dapat berfungsi secara normal, maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup.
Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal.
Setiap individu mempunyai kebutuhan istirahat dan tidur yang berbeda. Pola istirahat dan
tidur yang baik dan teratur memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan. Namun dalam
keadaan sakit, pola tidur seseorang biasnya terganggu, sehingga dokter perlu berupaya untuk
membantu pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur klien.
Kebutuhan istirahat dan tidur pada individu yang sakit sangat diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhan. Oleh karena itu, kita harus mempunyai kompetensi yang
baik terkait dengan kebutuhan istirahat dan tidur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Tidur
1.1. Defenisi Tidur
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang
lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang
terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut
Chopra (2003), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh
beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat
itu juga otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan
dengan ketika beraktivitas di siang hari.
1.2. Fisiologi Tidur
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola
dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam
antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan
segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan
bintang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang
tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang
bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur
adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR)
yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf
pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian
atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan
perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan
emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan
katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya
pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak
tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).
1.3. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye
Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye
Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat
stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur
stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
1.3.1. Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat
terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap
pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat
(Patlak, 2005).
1.3.2. Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat
dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan
gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
1.3.3. Tidur stadium tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini
individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak
dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa
menit (Smith & Segal, 2010).

1.3.4. Tidur stadium empat


Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat
lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk
memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010).
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat
restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik
di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70
menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam
pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata
tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut
jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari
tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi
memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005).
1.4. Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi
berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM,
maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif,
kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika
NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
Tahap pra tidur

NREM tahap I

NREM tahap II

Tidur REM

NREM tahap III

NREM tahap IV

NREM tahap IV

NREM tahap III

Gambar 1. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)


Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari
24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan
keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis
dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).
1.5. Mekanisme Tidur
Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis.
NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat
serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang. REM
ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan
mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan
frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata
aktivitas otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh
yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).
Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul
setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang
tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I
dengan gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi
jantung dan nafas tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang
cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur
gelombang lambat atau NREM.
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang
disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini
meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity
System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular
Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti
sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).
1.5.1. Sistem serotoninergik

Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino


triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila
serotonin dalam triptofan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan
tidak bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang
mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis dengan
tidur REM.
1.5.2. Sistem adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan
sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang
mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
1.5.3. Sistem kolinergik
Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan
pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM.
Stimulasi jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti
dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan
dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi
pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang
menghambat pengeluaran kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan
pada fase awal dan penurunan REM.
1.5.4. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
1.5.5. Sistem hormon
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin
Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH),
Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara
teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini

secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefirn,


dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

1.6. Kualitas Tidur


Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang
tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan
apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata
perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk
(Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut American Psychiatric Association (2000),
dalam Wavy (2008), didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan
beberapa dimensi.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,
waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif
seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,1998).
Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat
dipengaruhi oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi
tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda
adalah 80-90% (Dament et al, 1985; Hayashi & Endo, 1982 dikutip dari Carpenito,
1998). Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur
ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari
seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur
tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di
pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain,
memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang.
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan laboraorium yaitu
EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari
permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas
listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat
eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit
lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,
betha, tetha dan delta (Guyyton & Hall, 1997).

Selain itu, menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda
psikologis. Di bawah ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang
dialami.
1.6.1. Tanda fisik
Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata,
konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan
(sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian),
terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.
1.6.2. Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas
berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi
penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau
keputusan menurun.
1.7. Gangguan Tidur
Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari
berbagai gangguan fisik, mental dan spiritual (Johanna & Jachens, 2004). Gangguan
tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan
tinggi dan rendah, orang muda serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut.
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan
perubahan-perubahan pada siklus tidur biologisnya, menurun daya tahan tubuh serta
menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi,
kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau
orang lain (Potter & Perry, 2001). Gangguan tidur merupakan masalah yang sangat
umum. Di Negara-negara industri khususnya, banyak orang menderita dari beberapa
bentuk gangguan tidur. Data tentang frekuensi bervariasi antara 25-50% dari populasi
(Johanna & Jachens, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi tidur yaitu :

1. Penyakit
Seseorang yang mengalami sakit memerlukan waktu tidur lebih banyak dari
normal. Namun demikian, keadaan sakit menjadikan pasien kurang tiduratau tidak
dapat tidur. Misalnya pada pasien dengan gangguan pernapasan seperti asma,
bronkitis, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit persyarafan.
2. Lingkungan
Pasien yang biasa tidur pada lingkungan yang tenang dan nyaman, kemudian
terjadi perubahan suasana seperti gaduh maka akan menghambat tidurnya.
3. Motivasi
Motivasi dapat mempengaruhi tidur dan dapat menimbulkan keinginan untuk tetap
bangun dan waspada menahan kantuk.
4. Kelelahan
Kelelahan dapat memperpendek periode pertama dari tahap REM.
5. Kecemasan
Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf simpatis sehingga
mengganggu tidurnya
6. Alkohol
Alkohol menekan REM secara normal, seseorang yang tahan minum alkohol dapat
mengakibatkan insomnia dan lekas marah
7. Obat-obatan
Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan tidur antara lain :
a. Diuretik : menyebabkan insomnia
b. Antidepresan : menyupresi REM
c. Kafein : meningkatkan saraf simpatik
d. Narkotika : menyupresi REM
Menurut International Classification of Sleep Disorders dalam Japardi (2002),
gangguan tidur terbagi atas: disomnia dan parasomnia. Disomnia terdiri atas gangguan
tidur spesifik di antaranya adalah narkolepsi, gangguan gerakan anggota gerak badan
secara periodik/ mioklonus nokturnal, sindroma kaki gelisah/ Restless Legs Syndrome
atau Ekboms Syndrome, gangguan pernafasan saat tidur/ sleep apnea dan pasca
trauma kepala; gangguan tidur irama sirkadian di antaranya adalah gangguan tidur

irama sirkadian sementara/ acute work shift/ jet lag, gangguan tidur irama sirkadian
menetap/ shift worker. Sedangkan parasomnia terdiri atas tiga, yaitu gangguan tidur
berjalan (sleep walking/ somnabulisme), gangguan terror tidur (sleep terror),
gangguan tidur berhubungan dengan fase REM.
1.7.1

Insomnia
Insomnia adalah kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur yang

menyebabkan kualitas dan kuantitas tidur berkurang. Wanita 1,4 kali lebih sering
terkena dibandingkan pria.
Berdasarkan lama terjadinya insomnia dapat dibagi menjadi transient insomnia,
insomnia akut, dan insomnia kronis. Transient insomnia berlangsung kurang dari 1
minggu. Jika insomnia berlangsung lebih dari 1 bulan maka dinamakan insomnia
kronik. Insomnia akut berlangsung diantaranya.
Berdasarkan penyebabnya insomnia dapat dibagi menjadi insomnia primer dan
sekunder. Insomnia primer belum diketahui secara pasti patogenesisnya sedangkan
insomnia sekunder dapat disebabkan stres psikososial, gangguan jiwa, penyakit kronis
yang diderita serta minuman/suplemen atau obat-obatan yang digunakan.
1.7.2 Hipersomnia
Hipersomnia adalah rasa kantuk yang berlebihan pada saat seseorang seharusnya
terjaga. Dapat disebabkan kualitas tidur yang buruk atau kuantitas tidur yang kurang.
Juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan atau penyakit seperti hipotiroid berat
(miksedema), hipoksia (kurang oksigen) dan hiperkapnea (kelebihan CO2). Kualitas
tidur yang buruk dapat disebabkan oleh sleep apnea dan efek samping dari obatobatan seperti antihistamin.
1.7.3 Sleep apnea (apnea tidur)
Sleep apnea adalah henti napas yang berlangsung saat tidur. Sleep apnea ditandai
dengan adanya mendengkur yang keras bersifat sementara, singkat diikuti episode
henti napas yang berlangsung lebih dari 10 detik sehingga penderita bisa mengalami
hipoksia dan dapat terbangun berkali-kali oleh karena sleep apnea ini dapat terjadi

berulang-ulang. Lebih sering terjadi saat berbaring terlentang oleh karena jalan napas
tertutup jaringan lunak seperti pangkal lidah. Usia tua lebih sering mengalami oleh
karena kekuatan otot jalan napas yang menurun. Juga dipicu obat-obatan yang
menekan fungsi saraf pusat dan penggunaan alkohol.
Ada tiga bentuk sleep apnea yaitu : sindrom apnea tidur obstruktif (Obstructive
Sleep Apnea), sindroma apnea tidur sentral dan sindrom hipoventilasi alveolar sentral.
1.7.4. Parasomnia
Parasomnia adalah perilaku aneh dan tidak lazim yang terjadi saat tidur.
Parasomnia terjadi antara peralihan fase tidur atau peralihan antara tidur dan
bangun.Pada usia muda dapat berupa somnambulism (sleep walking) dan sleep
terrors. Pada usia tua dapat berupa mimpi buruk dan nocturnal leg cramps. Lainnya
berupa sleep bruxism, nocturnal enuresis, sleep talking (menggigau), nocturnal
confusion dan REM Sleep Behavior Disorder (RSBD).
Parasomnia sering dipicu oleh obat-obatan. Nocturnal leg cramps sering dipicu
oleh kafein dan alkohol.
1.7.5. Gangguan pergerakan nocturnal (nocturnal movement disorder)
Ada 2 macam gangguan pergerakan nocturnal yaitu :
Restless Leg Syndrome (RLS)
RLS ditandai dorongan yang kuat untuk memindah-mindah kaki secara cepat
ketika mau masuk tidur. Penderita sering mengeluh kaki terasa sakit sehingga
terbangun dan berjalan untuk mengurangi rasa sakit. Hal ini membuat penderita
kesulitan untuk tidur. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
risiko antara lain : kekurangan vitamin terutama vitamin B, neuropati perifer (kaki
diabetes atau uremik pada gagal ginjal), Parkinson, varises, radikulopati lumbosakral,
hipoglikemi, hipotiroid, rematik dan asupan kafein yang berlebihan.
Periodic Limb Movement Disorder (PLMD) atau Mioklonus Nokturna

PLMD ditandai dengan gerakan kaki berulang, stereotipi dan durasi pendek.
Gerakannya fleksi cepat dan periodik berlangsung 2-4 detik. Penyebabnya belum
jelas. Beberapa faktor risiko antara lain usia lanjut, defisiensi besi dan genetic.
1.8 Penanganan Gangguan Tidur
Penanganan ganguan tidur dibagi menjadi 2 tahap yaitu : Tanpa menggunakan
obat-obatan (terapi non farmakologi) dan menggunakan obat-obatan (terapi
farmakologi)
1.8.1

Terapi non farmakologi


Merupakan pilihan utama sebelum menggunakan obat-obatan karena
penggunaan obat-obatan dapat memberikan efek ketergantungan. Ada pun cara
yang dapat dilakukan antara lain
a. Terapi relaksasi
Terapi ini ditujukan untuk mengurangi ketegangan atau stress yang
dapat mengganggu tidur. Bisa dilakukan dengan tidak membawa
pekerjaan kantor ke rumah, teknik pengaturan pernapasan, aromaterapi,
peningkatan spiritual dan pengendalian emosi.
b. Terapi tidur yang bersih,
Terapi ini ditujukan untuk menciptakan suasana tidur bersih dan
nyaman. Dimulai dari kebersihan penderita diikuti kebersihan tempat tidur
dan suasana kamar yang dibuat nyaman untuk tidur.
c.

Terapi pengaturan tidur,


Terapi ini ditujukan untuk mengatur waktu tidur perderita mengikuti
irama sirkardian tidur normal penderita. Jadi penderita harus disiplin
menjalankan waktu-waktu tidurnya

d. Terapi psikologi/psikiatri

Terapi ini ditujukan untuk mengatasi gangguan jiwa atau stress berat
yang menyebabkan penderita sulit tidur. Terapi ini dilakukan oleh tenaga
ahli atau dokter psikiatri
e. Mengubah gaya hidup
Bisa dilakukan dengan berolah raga secara teratur, menghindari rokok
dan alkohol, mengontrol berat badan dan meluangkan waktu untuk
berekreasi ke tempat-tempat terbuka seperti pantai dan gunung.
1.8.2

Terapi farmakologi
Mengingat banyaknya efek samping yang ditimbulkan dari obat-obatan seperti
ketergantungan, maka terapi ini hanya boleh dilakukan oleh dokter yang kompeten
di bidangnya. Obat-obatan untuk penanganan gangguan tidur antara lain :

1. Golongan obat hipnotik


2. Golongan obat antidepresan
3. Terapi hormone melatonin dan agonis melatonin
4. Golongan obat antihistamin.
Ada terapi khusus untuk kasus-kasus gangguan tidur tertentu selain yang telah
disebutkan di atas. Misalnya pada sleep apnea yang berat dapat dibantu dengan
pemakaian masker oksigen (Continuous positive airway pressure) atau tindakan
pembedahan jika disebabkan kelemahan otot atas pernapasan. Pada Restless Leg
Syndrome kita harus mencari penyakit dasarnya untuk dapat memperoleh terapi
yang akurat.

BAB III
KESIMPULAN
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.
Gangguan tidur sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari berbagai
gangguan fisik, mental dan spiritual. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah, orang muda serta yang
paling sering ditemukan pada usia lanjut.
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahanperubahan pada siklus tidur biologisnya, menurunkan daya tahan tubuh serta menurunkan
prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain.

Daftar Pustaka
Asmadi.2008. Tehnik prosedural keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Ganong, W. F. (1998). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. and Hall, J. E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
Japardi, I. (2001). Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dibuka
pada tanggal 26 Juni 2016 http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandarjapardi12.pdf
Johanna, Christa & Jachens. (2004). Sleep Disturbances & Healthy Sleep. The Association of
Waldorf Schools of North America. http://www.waldorflibrary.org/waldorf%20journals
%20project/SleepDisturbances.pdf. diakses 26 Juni 2016.
Kozier,B.,G.Erb. 2004. Fundamentals of Nursing: Concepts, process, and practice. Seventh
edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Mardjono, M. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Mubarak & Chayatin. 2008. Buku ajar kebutuhan dasar manusia, Teori dan aplikasi dalam
praktik. Jakarta : EGC
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi ke-4. Alih bahasa Renata Komalasari, S.Kp, dkk. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta : EGC
Tarwoto & Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi ke3. Jakarta : Salemba Medika.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
keperawatan. Edisi ke-4. Jakarta : Salemba Medika.
Wavy, W. (2008). The Relationship between Time Management, Perceived Stress, Sleep
Quality
and
Academic
Performance
among
University
Students.
http://libproject.hkbu.edu.hk/trsimage/hp/06636306.pdf. diakses: 16 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai