Anda di halaman 1dari 14

ETIKA & PRANATA PEMBANGUNAN

Tugas 1

Nama

Rizki Aditya Nugraha

NRP

21-2013-211

Mata Kuliah

AR-422 Etika & Pranata Pembangunan

ITENAS
Institut Teknologi Nasional
Fakultas Teknik Sipil dan Perencananaan
Jurusan Teknik Arsitektur

BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas mengenai profesi arsitektur sekarang ini, ada baiknya
untuk memahami terlebih dahulu apa itu profesi. Blankenship mendefinisikan profesi
melalui karakteristik umum yang biasa terlihat. Profesi adalah (1) pekerjaan penuh
waktu (2) yang melalui pendidikan/pelatihan khusus (3) memiliki organisasi profesi (4)
mempunyai komponen izin kerja (lisensi) dan pengakuan dari masyarakat (5)
mempunyai kode etik dan hak pengelolaan mandiri (Dana Cuff, Architecture : The Story
of Practice, 1992, p23). Dari ke lima karakekter umum tersebut kita bisa melihat
bagaimana posisi profesi arsitektur di dunia modern pada umumnya dan di Indonesia
pada khususnya.
Arsitektur Barat berkembang di Eropa sebelum menyebar ke Amerika dan benua
benua lainnya. Pada awal permulaannya, profesi arsitek merupakan profesi kelas
tertentu dan merupakan profesi yang turun temurun dan atau melalui proses
pemagangan dalam waktu yang cukup lama. Revolusi Industri yang bermula di akhir
abad ke 18 yang membawa perubahan besar dalam struktur ekonomi, sosial,dan
teknologi juga memberikan dampak yang sangat besar di dalam arsitektur.
Di Indonesia sendiri, profesi arsitek modern mulai dikenal ketika para arsitek
kebangsaan Belanda yang menempuh pendidikan dan pelatihan arsitektur di Eropa,
kembali dan berpraktek di Indonesia. Sedangkan pendidikan arsitektur formal pertama
di Indonesia dibuka di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1950, dan mulai
menelurkan lulusannya di tahun 1958. Sebelum itu, bangsa Indonesia yang berprofesi
sebagai arsitek mempelajari ilmunya dengan bekerja pada para arsitek Belanda.
Bahkan F. Silaban, salah satu arsitek berpengaruh di Indonesia tidak memiliki
pendidikan formal arsitektur melainkan lulusan dari sekolah menegah kejuruan atau
STM.
Pendidikan arsitektur dimulai sekitar tahun 1950-an, kemudian diikuti oleh bebrapa
organisasi keprofesian dan semakin berkembang kepada munculnya sejumlah
spesialisasi keahlian. Beraitan dengan hal tersebut, apresiasi masyarakat pada
keahlian ini pun tumbuh dengan pesat, sehingga pembangunan sarana dan prasarana
kian menjadi andalan untuk melakukan pembangunan ekonomi. Kini peran profesi
arsitek di Indonesia telah banyak mewarnai pembangunan fisik negeri ini, bahkan
sudah sampai tahap memfasilitasi pembangunan bagi masyaraat kurang mampu di
daerah kumuh, perumahan dan pemuiman korban bencana alam sehingga tidak hanya
dinikmati kalangan maysrakat mampu.
Cepatnya pertumbuhan pembangunan dan jasa konstrusi ternyata disertai juga
dengan banyaknya bermunculan kasus kasus ataupun perilaku kurang terpuji sejumlah

oknum dan badan usaha yang merugian pengguna jasa, lingkungan, masyarakat
sekitar bahan sampai kepada hilangnya nilai - nilai budaya karena rusakknya situs
bangunan yang merupakan cagar budaya / bagunan bersejarah. Hal tersebut dilatar
belakangii karena belum memadainya peraturan perundang - undangan tentang
profesiarsitek, sehinga oknum ahli ataupun yang mengaku ahli semakin berpotensi
meluas bahkan nantinya bias saja jadi tidak terkendali.

BAB II
ISI
A. Peran dan Fungsi dari Etika Profesi Arsitek dan Peran dari
Tata Laku Profesi Arsitek
Pekerjaan arsitektur melibatkan pihak pihak : arsitek, klien, penyandang dana
(investor), konsultan profesi lain yang terkait, penduduk dan lingkungannya. Melalui
kode etik, diatur hak dan kewajiban dari seorang arsitek secara umum, Hak dan
kewajiban arsitek terhadap publik, klien, profesi, rekan seprofesi, dan lingkungan. Di
Indonesia, atau di IAI pada khususnya, kode etik ini diatur dalam Kode Etik Arsitek dan
Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek.Kode etik ini pertama kali dibuat dan disepakati pada
tahun 1992 di Kaliurang, kemudian diperbaharui melalui kongres di Jakarta pada tahun
2005.
Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek ini terdiri dari beberapa
bagian, yaitu:
Mukadimah,

5 (lima) Kaidah Dasar,

21 (dua puluh satu) Standar Etika dan

45 (empat puluh lima) Kaidah Tata Laku.

Kaidah Dasar, merupakan kaidah pengarahan secara luas sikap ber-etika seorang
Arsitek. Standar Etika, merupakan tujuan yang lebih spesifik dan baku yang harus
ditaati dan diterapkan oleh anggota dalam bertindak dan berprofesi. Kaidah Tata Laku,
bersifat wajib untuk ditaati, pelanggaran terhadap kaidah tata laku akan dikenakan
tindakan, sanksi keorganisasian IAI. Dalam beberapa kondisi/situasi merupakan
penerapan akan satu atau lebih kaidah maupun standar etika.

Untuk etika berprofesi, IAI melengkapi diri dengan Dewan Kehormatan Profesi:
Sebuah badan yang beranggotakan anggota profesional yang memiliki
integrasi profesi dan menjunjung tinggi Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata
Laku Profesi Arsitek.
Dewan ini berfungsi untuk melakukan tinjauan atas kode etik yang sudah
ada untuk kemudian membuat usulan penyempurnaan, memberikan
edukasi etika profesi kepada anggota, dan menjadi badan tempat
menyelesaikan permasalah dan pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh anggota IAI.
Mukadimah
Panggilan Nurani Seorang Arsitek

Menyadari profesinya yang luhur, arsitek membaktikan diri kepada bidang


perencanaan, perancangan, dan pengelolaan lingkungan binaan dengan
segenap wawasan, kepakarannya, dan kecakapannya.

Menerapkan taraf profesional tertinggi disertai integritas dan kepeloporannya


untuk mempersembahkan karya terbaiknya kepada pengguna jasa dan
masyarakat, memperkaya lingkungan, dan khasanah budaya.

Profesi arsitek mengacu ke masa depan dan bersama anggota profesi lainnya
selalu memelihara dan memacu perkembangan kebudayaan dan peradabannya
demi keberlanjutan habitatnya

Profesi arsitek selalu menaati perangkat etika, yang bersumber pada nilai luhur
keyakinan spiritual yang dianutnya, sebagai pedoman berpikir, bersikap, dan
berperilaku dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawab profesionalnya.

B. Kriteria Khusus dan Kompetensi Khusus Profesi Arsitek


dalam Kesepakatan MEA

Siapkah anda menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita


bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan
industry negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang
terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA
merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir industry ekonomi di kawasan Asia
Tenggara.

Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi
yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy,
consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce.
Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan
berupa industry jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya
pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan
terintegrasi; menghilangkan industry Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan
dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan
ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM).
Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi
akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya
manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global.
Dengan dengan membangun sebuah industri untuk meningkatkan koordinasi terhadap
negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara di kawasan Asia
Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis
kepada negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang.
Tak gampang bagi seorang insinyur agar dapat dikatakan sebagai insinyur
professional menurut MRA. Pasalnya, insinyur tadi harus memenuhi persyaratan dari
ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) yang terbilang tinggi. Persyaratan itu,
antara lain; telah lulus sarjana teknik dari universitas/lembaga pendidikan yang
terakreditasi di salah satu negara ASEAN; memiliki sertifikat/ lisensi sebagai tenaga ahli
teknik yang diterbitkan oleh Professional Regulatory Authority (PRA) dari negara
anggota ASEAN; memiliki pengalaman kerja di bidang teknik minimal tujuh tahun dan
pengalaman kerja yang menangani proyek teknik yang signifikan minimal dua tahun;
mematuhi ketentuan Continuing Professional Development (CPD) sesuai dengan
kebijakan negara asal; tidak memiliki catatan pelanggaran terhadap standar teknis,
professional ataupun etika, baik di tingkat local maupun internasional. Kriteria tersebut
sekaligus menjadi pembeda antara sarjana teknik (graduate engineer) dan profesi
insinyur (professional engineer). Perbedaan utama terletak pada pengalaman kerja dan
sertikasi dari PRA. Di Indonesia, badan yang berfungsi sebagai PRA adalah Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi. Setelah mendapat sertifikasi dari PRA, insinyur
profesional dapat mengajukan diri ke ASEAN Chartered Professional Engineer
Coordinating Committee (ACPECC) untuk mendapat pengakuan sah sebagai ACPE.
Pengakuan sebagai ACPE pun tidak serta merta mengizinkan insinyur profesional
untuk bekerja di Negara lain di ASEAN. Soalnya, seorang insinyur ACPE harus
memenuhi lagi kriteria sebagai Insinyur Profesional Asing Teregistrasi atau Registered
Foreign Professional Engineer (RFPE), di Negara lain tempat ia akan bekerja.
Persyaratannya adalah sebagai berikut; mematuhi kode etik profesionalitas sebagai
insinyur sesuai dengan kebijakan (UU No. 11 Tahun 2014 tentang Jasa Konstruksi);

mematuhi hukum dan peraturan di negara tujuan; berafiliasi dengan insinyur profesional
lokal di Negara tujuan. Meski punya keterbatasan, insinyur Indonesia ternyata memiliki
keunggulan. Pasalnya, jumlah insinyur Indonesia yang tercatat sebagai ACPE
merupakan yang terbesar di ASEAN. Hingga saat ini, ada 987 insinyur yang tercatat
sebagai ACPE. Yaitu, 290 dari Indonesia, 218 dari Singapura, 203 dari Malaysia, 134
dari Vietnam, 85 dari Myanmar, 55 dari Filipina, dan 2 dari Brunei Darussalam.

C. Prasyarat-prasyarat apa saja yang perlu dipersiapkan oleh


Calon-calon Arsitek Indonesia
Arsitektur sebagai sebuah bidang profesi, banyak berhubungan dengan beberapa
isu penting dalam kehidupan masyarakat saat ini, misalnya seperti pengeksplorasian
cara-cara baru dalam berkehidupan, penelitian terhadap teknologi-teknologi dan
material baru and meyakinkan bahwa apa yang dibangun oleh si arsitek telah
berkelanjutan terhadap lingkungan. Tetapi berbicara secara umum tentang profesi
arsitektur, ia mencakup bagaimana merancang sesuatu yang dapat digunakan dengan
baik oleh manusia namun tidak lupa juga tetap diindah dipandang secara visual.
Arsitek harus mempelajari ranah yang cukup luas untuk menguasai berbagai
macam kemampuan yang berkaitan dengan pemenuhan tuntutan terhadap dirinya
dalam perjalanannya menuju profesi arsitektur, meski kemudian harus melintasi dan
berdiri di atas batas antara ilmu seni dan ilmu sains.
Ada beberapa ketentuan mengenai standar profesionalisme arsitek yang
ditentukan oleh UIA. Yang pertama adalah mengikuti pendidikan untuk menjadi arsitek
profesional selama lima tahun, bila di Indonesia yaitu

Program strata satu/S1). Yang kedua adalah menjalani magang di kantor


selama minimal dua tahun. Selanjutnya adalah
mampu melewati kualifikasi kompetensi dengan penguasaan tiga belas
pengetahuan dan kemampuan dasar arsitektural.

Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang berbasis RIBA, misalnya


Malaysia, Singapura serta Australia dengan Royal Australian Institute of Architects
(RAIA)-nya yang juga bermula dari RIBA, maka pembahasan mengenai sistem dan
metode yang digunakan oleh baik UIA maupun RIBA perlu sedikit dibahas. Karena
tanpa sertifikasi sebagai pengakuan kompetensi internasional yang diberikan oleh
asosiasi setempat maka seorang arsitek tidak mempunyai hak untuk berpraktik di
negara lain tersebut.

Sistem penambahan satu tahun ini diserahkan kepada masing-masing institusi


pendidikan oleh legitimasi yang dilakukan oleh IAI dan Departemen Pendidikan Tinggi
(Depdikti) dengan cakupan 20-40 sks. Setelah lulus program penambahan ini,
seseorang akan memperoleh gelar Sarjana Arsitektur. Kemudian untuk mendapatkan
lisensi profesi IAI, seorang sarjana arsitektur tadi harus mengikuti ujian yang dilakukan
oleh Dewan Keprofesian Arsitek yang bisa diambil apabila telah menjalani proses
pemagangan selama minimal dua tahun. Jenis keanggotaan yang diterima pada tahap
ini adalah keanggotan biasa atau lisensi tingkat C. Setelah melewati tahun ke empat,
baru dilakukan penilaian lagi untuk memperoleh lisensi tingkat B melalui evaluasi oleh
Dewan Keprofesian Arsitek dan Dewan Lisensi Arsitek. Pada tahun ke delapan, akan
dilakukan penilaian lagi untuk memperoleh rekomendasi IAI untuk tingkat A.
Tiga belas butir ini diturunkan dari 37 kemampuan dasar yang harus dikuasai fresh
graduate menurut standar AIA, badan ikatan profesi arsitek Amerika Serikat.
Ketiga belas butir tersebut antara lain adalah:
1. Kemampuan untuk menghasilkan rancangan arsitektur yang memenuhi ukuran
estetika dan persyaratan teknis, dan yang bertujuan melestarikan lingkungan.
(Ability to create architectural designs that satisfy both aesthetic and technical
requirements, and which aim to be environmentally sustainable)
2. Pengetahuan yang memadai tentang sejarah dan teori arsitektur termasuk seni,
teknologi dan ilmu-ilmu pengetahuan manusia. (Adequate knowledge of the
history and theories of architecture and related arts, technologies, and human
sciences)
3. Pengetahuan tentang seni dan pengaruhnya terhadap kualitas rancangan
arsitektur. (Knowledge of the fine arts as an influence on the quality of
architectural design)
4. Pengetahuan yang memadai tentang perancanaan dan perancangan kota serta
ketrampilan yang dibutuhkan dalam proses perancanaan itu. (Adequate
knowledge on urban design, planning, and the skills involved in the planning
process)
5. Mengerti hubungan antara manusia dan bangunan, dan antara bangunan dan
lingkungannya, serta kebutuhan/niat menghubungkan bangunan-bangunan
dengan ruang di antaranya untuk kepentingan manusia dan skalanya.
(Understanding of the relationship between people and buildings and between
buildings and their environments, and of the need to relate spaces between them
to human needs and scale)
6. Pengetahuan yang memadai tentang cara mencapai perancangan yang dapat
mendukung lingkungan yang berkelanjutan. (An adequate knowledge of the
means of achieving environmentally sustainable design)

7. Mengerti makna profesi dan peran arsitek dalam masyarakat terutama pada halhal yang menyangkut kepentingan masalah-masalah sosial. (Understanding of
the profession of architecture and the role of sarchitects in society, in particular in
preparing briefs that account for social factors)
8. Mengerti persiapan untuk sebuah pekerjaan perancangan dan cara-cara
pengumpulan data. (Understanding of the methods of investigation and
preparation of the brief for a design project)
9. Mengerti masalah-masalah perancangan struktur, konstruksi dan enjinering yang
berhubungan dengan rancangan bangunan. (Understanding of the structural
design, construction, and engineering problems associated with building design)
10. Pengetahuan yang memadai tentang masalah fisika bangunan, teknologi dan
fungsi bangunan dalam kaitannya dengan kenyamanan bangunan dan
perlindungan terhadap iklim. (Adequate knowledge of physical problems and
technologies and of the function of buildings so as to provide them with internal
conditions of comfort and protection against climate)
11. Memiliki ketrampilan merancang yang memenuhi kebutuhan bangunan dalam
batas-batas yang diberikan oleh anggaran biaya dan peraturan bangunan.
(Necessary design skills to meet building users requirements within the
constraints imposed by cost factors and buildign regulations)
12. Pengetahuan yang memadai tentang industri, organisasi, dan prosedur dalam
penerjemahan konsep rancangan menjadi wujud bangunan serta menyatukan
rencana ke dalam suatu perencanaan menyeluruh. (Adequate knowledge of the
industries, organizations, regulations, and procedures involved in translating
design concepts into buildings and integrating plans into overall planning)
13. Pengetahuan yang memadai mengenai pandangan manajemen proyek dan
pengendalian biaya. (Adequate knowledge of project financing, project
management and cost control).

BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan penduduk
dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil, pemekaran wilayah atau
perubahan status desa menjadi kelurahan. Ruang dilihat sebagai wadah dimana
keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan
sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan) berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan
lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk
hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya
secara optimal.
Lalu mengenai kesiapan Arsitek Indonesia mengahadapi MEA (Masyarakat
Ekonomi ASEAN). Bagi Indonesia terutama profesi Arsitek, kesepakatan itu bisa
menjadi pedang bermata dua. Jika diolah dan dikelola dengan baik, produk dan tenaga
kerja Indonesia berpotensi merajai pasar Asia Tenggara. Sebaliknya, jika tak siap
berkompetisi, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara anggota ASEAN lain.
Lalu, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar, yakni 250 juta orang atau 40
persen dari total penduduk ASEAN. Jumlah ini menandakan Indonesia merupakan
potensi pasar terbesar sekaligus pemilik sumber daya manusia terbanyak di ASEAN.
Para insinyur Indonesia harus meningkatkan kualitas agar bisa menang bersaing
dengan insinyur dari negara-negara ASEAN lain. Kompetensi insinyur Indonesia perlu
ditingkatkan. Memang tak gampang bagi seorang insinyur agar dapat dikatakan
sebagai insinyur professional menurut MRA. Pasalnya, insinyur tadi harus memenuhi
persyaratan dari ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) yang terbilang tinggi.
Persyaratan itu, antara lain; telah lulus sarjana teknik dari universitas/lembaga
pendidikan yang terakreditasi di salah satu negara ASEAN; memiliki sertifikat/ lisensi
sebagai tenaga ahli teknik yang diterbitkan oleh Professional Regulatory Authority
(PRA) dari negara anggota ASEAN; memiliki pengalaman kerja di bidang teknik minimal
tujuh tahun dan pengalaman kerja yang menangani proyek teknik yang signifikan
minimal dua tahun; mematuhi ketentuan Continuing Professional Development (CPD)
sesuai dengan kebijakan negara asal; tidak memiliki catatan pelanggaran terhadap
standar teknis, professional ataupun etika, baik di tingkat local maupun internasional.
Meski punya keterbatasan, insinyur Indonesia ternyata memiliki keunggulan.
Pasalnya, jumlah insinyur Indonesia yang tercatat sebagai ACPE merupakan yang
terbesar di ASEAN. Hingga saat ini, ada 987 insinyur yang tercatat sebagai ACPE.
Yaitu, 290 dari Indonesia, 218 dari Singapura, 203 dari Malaysia, 134 dari Vietnam, 85
dari Myanmar, 55 dari Filipina, dan 2 dari Brunei Darussalam.
Satu2nya jalan ya harus memperkuat diri sendiri dengan kualitas (!) Kualitas
pendidikan arsitektur Kualitas praktik profesi arsitek Kualitas peraturan Kualitas hasil
arsitektur Ingat yang IAI jaga adalah Profesi arsitek & arsitektur Indonesia (!) Ada satu

lagi Kelemahan kita: 'Architecture literacy' Soal melek/paham arsitektur


Konsekuensinya adalah soal bagaimana masyarakat mendapatkan arsitektur
Pemerintah masih punya paradigma 'bangunan termurah, bukan desain terbaik'
Masyarakat masih belum mau bayar desain Masih baru maunya bayar 'barang', bukan
kualitas Maunya bayar kontraktor Belum mau bayar desain arsitektur.

DAFTAR PUSTAKA
https://artvisualizer.wordpress.com/2009/08/05/arsitek-indonesia-menghadapi-duniaprofesi-internasional/
http://www.penataran-iai.org/iai/
http://furuhitho.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/31156/2+Kode+Etik+Arsitek+dan
+Kaidah+Tata+Laku+Profesi.ppt.
Architecture, A Profession for the Future, (www.he.coursescareers.com/architecture.htm)
Johannes Widodo, Pendidikan Arsitektur Indonesia : Masa Transisi dipublikasikan di
website Desain!Arsitektur, (http://darsitektur.tripod.com/art4.html)
Martin Luqman Katoppo dan Tony Sofian, Pendidikan Arsitektur yang Membebaskan
dan Memanusiakan, dipublikasikan di website Desain!Arsitektur,
(http://darsitektur.tripod.com/art3.html)
M. Ridwan Kamil, Arus Kapitalisme Global dan Masa Depan Arsitektur Indonesia
dipublikasikan di website Desain!Arsitektur. (http://darsitektur.tripod.com/art6.html)

LAMPIRAN

MEA 2016: Tantangan dan Peluang bagi Arsitek


Indonesia
(http://www.itb.ac.id/news/5045.xhtml)
BANDUNG, itb.ac.id - Tahun 2016 merupakan gerbang masuk Indonesia di kancah
internasional pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Demi mencapai tujuan MEA
yaitu penyamarataan taraf ekonomi profesi-profesi tertentu juga bebas bersaing di
perdagangan jasa lintas negara di Asia Tenggara, salah satunya arsitek. Terkait hal
tersebut, seminar bertajuk "Arsitek Indonesia Menghadapi AEC dan MRA" yang
diselenggarakan oleh Arsitektur ITB ini mengupas tentang posisi arsitek Indonesia
dalam persaingan dengan arsitek-arsitek dari sembilan negara ASEAN lainnya.
Seminar yang dilaksanakan pada Senin (18/01/15) bertempat di Galeri Gedung
Arsitektur Labtek IX B ITB ini menghadirkan tiga pembicara utama yang telah
berpengalaman di dunia profesional arsitek yaitu Adriyan Kusuma, Ahmad Djuhara, dan
Robby Dwikojuliardi.
Ketika berbicara mengenai profesi arsitek, perlu digarisbawahi bahwa arsitek yang
terkualifikasi untuk lintas jasa di MEA adalah arsitek profesional yang telah
bersertifikasi. Sertifikasi yang diakui di Indonesia sendiri adalah Sertifikat Keahlian
(SKA) Arsitek. Sayangnya, dari total sekitar 11.000 arsitek Indonesia, yang telah
bersertifikasi SKA kurang dari 50%. Hal ini dinilai dapat menghambat iklim kompetisi
arsitek Indonesia di MEA nanti.

Sistem dan tata alur keprofesian seperti hierarki perundang-undangan serta standar
dan perizinan juga menjadi sorotan untuk dibenahi. Hal ini dikarenakan selain
kompetensi pribadi dari seorang arsitek, sistem dan tata alur keprofesian dibutuhkan
untuk mendukung karir arsitek Indonesia di skala internasional. Tak dapat disangkal
bahwa sistem dan tata alur keprofesian arsitek di Indonesia dapat dikatakan masih
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia. Akibatnya, kolaborasi arsitek Indonesia dengan negara-negara lain masih
merupakan hal langka sehingga kurang terbiasa dengan iklim kompetisi internasional.
Meskipun demikian, bukan berarti Indonesia serta merta tidak akan mampu bersaing di
MEA dalam bidang keprofesian arsitek. Indonesia punya potensi Sumber Daya Manusia
(SDM) dengan kemampuan individu yang tak kalah dengan arsitek-arsitek lainnya di
Asia Tenggara. "Arsitek Indonesia bahkan diakui oleh asing, hanya saja kurang
kesempatan untuk unjuk kemampuan," ujar Ahmad Djuhara.
Kekayaan budaya Indonesia juga menjadi aspek 'menjual' di MEA ini. Karya-karya anak
bangsa yang unik dan berbeda lahir dari perpaduan nuansa nusantara dan teknologi
masa kini. Pembangunan-pembangunan yang sedang digalakkan di Indonesia seperti
tol Trans Jawa dan bandara-bandara baru juga menjadi peluang yang harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Jangan "Keok"... Arsitek Indonesia Harus Jadi Tuan!


(http://properti.kompas.com/read/2016/02/23/124701921/Jangan.Keok.Arsitek.Indonesi
a.Harus.Jadi.Tuan.)
DEPOK, KOMPAS.com - Banyak pengguna jasa arsitek, dalam hal ini developer atau
pengembang properti, tidak yakin menggunakan jasa arsitek dalam negeri. Di sisi lain,
tak sedikit arsitek Indonesia merasa kurang percaya diri.
Demikian hal itu mengemuka pada seminar 'Archipreneur: Bisnis Arsitektur Menghadapi
MEA' yang diselenggarakan oleh (Ikatan Alumni/Iluni) ARS Universitas Indonesia,
Ikatan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik UI, dan Departemen Arsitektur UI, Sabtu
(20/2/2016) lalu di Kampus UI, Depok.
Namun sebenarnya, kesimpulan seminar itu memaparkan bahwa kualitas sumber daya
manusia (SDM) arsitek Indonesia tidak kalah dengan arsitek luar negeri atau asing.
Saat ini semakin banyak arsitek anak bangsa yang karyanya mumpuni dan diakui di
luar negeri.
Sandiaga Salahuddin Uno, Founder of PT Saratoga Investama Sedaya, yang menjadi

narasumber menyatakan sepakat dengan pendapat tersebut. Menurut dia, agar dapat
bersaing di area Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) para arsitek Indonesia harus
membuka diri terhadap arus globalisasi, terutama untuk transfer teknologi.
"Tidak perlu khawatir akan didominasi arsitek asing, karena mereka akan tunduk
dengan regulasi yang ada di Indonesia," ujar Sandiaga.
"Arsitek kita harus melihat ini sebagai peluang. Kalau melihat perkembangan bisnis
arsitek di tanah air, saya optimistis arsitek kita bisa bersaing dengan arsitek-arsitek luar
negeri dan bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri," tambah Sandiaga yang sedang
digadang-gadang maju dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Dia menambahkan, untuk bisa bersaing, arsitek Indonesia harus berkolaborasi dan
meningkatkan daya saingnya lewat bermacam inovasi. Mereka juga harus secara
kreatif menggabungkan berbagai aspek arsitek dengan entrepreneur menjadi
archipreneur.
Pada kesempatan sama, anggota Badan Pertimbangan Organisasi DPP REI, Pribudhi
Tasman Suriawidjaja, mengakui pada era 1990-an kualitas konsultan arsitek dalam
negeri belum sebaik sekarang. Kondisi itu sangat berbeda dengan saat ini.
"Dulu itu, kalau kita mengundang konsultan asing, mereka langsung memberikan
masukan rencana pengembang alternatif yang komprehensif, sementara konsultan
Indonesia malah bertanya kita mau buat apa. Sekarang sudah berbeda, arsitek
Indonesia sudah jauh lebih baik. Mereka mampu mengusulkan tidak hanya konsep
desain, tapi apa yang bisa dijual. Arsitek kita sudah banyak pengalaman," kata Pribudhi.
REI sendiri, lanjut Pribudhi, mendorong anggotanya, khususnya pengembang daerah
untuk memanfaatkan jasa arsitek lokal. Selain lebih murah, kualitas pekerjaannya pun
tidak kalah dengan orang bule.
"Di era MEA sudah dipastikan akan banyak investasi asing masuk. Mereka mungkin
bawa konsultan dari negaranya, tapi mereka tetap butuh partner di sini. Kenapa, karena
mereka tidak menguasai budaya dan adat istiadat lokal," katanya.
Sementara itu, Ketua Departemen Arsitektur UI Prof. Yandi Andri Yatmo mengatakan,
perkembangan desain dan bisnis arsitektur di Indonesia sangat pesat. Sayangnya,
menurut dia, hal itu tidak didukung dengan infrastruktur perundang-undangan yang
jelas.
"Belum ada perlindungan terhadap praktik-praktik berarsitektur di Indonesia," ujar
Yandi.
Dia berharap, Undang-undang Arsitektur yang masih digodok DPR dapat selesai tahun
ini. Tak lain sebabnya, lanjut Yandi, di area MEA nanti profesi arsitek termasuk yang

sangat membutuhkan regulasi itu.


"Kita harus berhati-hati, karena Indonesia merupakan pasar yang sangat besar.
Mestinya arsitek kita yang diserap. Untuk itu, mulai cara bisnis, cara bekerja, dan sikap
merasa jagoan sebagai orang lokal harus diubah," ucap Yandi.
Yandi menyarankan, arsitek Indonesia harus percaya menghadapi pihak asing. Sebagai
tuan rumah, arsitek lokal unggul karena lebih tahu negaranya.
"Harusnya tak ada masalah dengan MEA, karena justru investor asing yang butuh
arsitek Indonesia," ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai