Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Profesi Arsitek di Indonesia dan

Tantangan-Nya

Nama

Rizki Aditya Nugraha

NRP

21-2013-211

Mata Kuliah

AR-422 Etika & Pranata Pembangunan

ITENAS
Institut Teknologi Nasional
Fakultas Teknik Sipil dan Perencananaan
Jurusan Teknik Arsitektur

BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas mengenai profesi arsitektur sekarang ini, ada
baiknya untuk memahami terlebih dahulu apa itu profesi. Blankenship
mendefinisikan profesi melalui karakteristik umum yang biasa terlihat. Profesi
adalah (1) pekerjaan penuh waktu (2) yang melalui pendidikan/pelatihan khusus
(3) memiliki organisasi profesi (4) mempunyai komponen izin kerja (lisensi) dan
pengakuan dari masyarakat (5) mempunyai kode etik dan hak pengelolaan
mandiri (Dana Cuff, Architecture : The Story of Practice, 1992, p23). Dari ke lima
karakekter umum tersebut kita bisa melihat bagaimana posisi profesi arsitektur di
dunia modern pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Arsitektur Barat berkembang di Eropa sebelum menyebar ke Amerika dan
benua benua lainnya. Pada awal permulaannya, profesi arsitek merupakan
profesi kelas tertentu dan merupakan profesi yang turun temurun dan atau
melalui proses pemagangan dalam waktu yang cukup lama. Revolusi Industri
yang bermula di akhir abad ke 18 yang membawa perubahan besar dalam
struktur ekonomi, sosial,dan teknologi juga memberikan dampak yang sangat
besar di dalam arsitektur.
Di Indonesia sendiri, profesi arsitek modern mulai dikenal ketika para
arsitek kebangsaan Belanda yang menempuh pendidikan dan pelatihan
arsitektur di Eropa, kembali dan berpraktek di Indonesia. Sedangkan pendidikan
arsitektur formal pertama di Indonesia dibuka di Institut Teknologi Bandung pada
tahun 1950, dan mulai menelurkan lulusannya di tahun 1958. Sebelum itu,
bangsa Indonesia yang berprofesi sebagai arsitek mempelajari ilmunya dengan
bekerja pada para arsitek Belanda. Bahkan F. Silaban, salah satu arsitek
berpengaruh di Indonesia tidak memiliki pendidikan formal arsitektur melainkan
lulusan dari sekolah menegah kejuruan atau STM.
Pendidikan arsitektur dimulai sekitar tahun 1950-an, kemudian diikuti oleh
bebrapa organisasi keprofesian dan semakin berkembang kepada munculnya
sejumlah spesialisasi keahlian. Beraitan dengan hal tersebut, apresiasi
masyarakat pada keahlian ini pun tumbuh dengan pesat, sehingga
pembangunan sarana dan prasarana kian menjadi andalan untuk melakukan
pembangunan ekonomi. Kini peran profesi arsitek di Indonesia telah banyak
mewarnai pembangunan fisik negeri ini, bahkan sudah sampai tahap
memfasilitasi pembangunan bagi masyaraat kurang mampu di daerah kumuh,

perumahan dan pemuiman korban bencana alam sehingga tidak hanya dinikmati
kalangan maysrakat mampu.
Cepatnya pertumbuhan pembangunan dan jasa konstrusi ternyata disertai
juga dengan banyaknya bermunculan kasus kasus ataupun perilaku kurang
terpuji sejumlah oknum dan badan usaha yang merugian pengguna jasa,
lingkungan, masyarakat sekitar bahan sampai kepada hilangnya nilai - nilai
budaya karena rusakknya situs bangunan yang merupakan cagar budaya /
bagunan bersejarah. Hal tersebut dilatar belakangii karena belum memadainya
peraturan perundang - undangan tentang profesiarsitek, sehinga oknum ahli
ataupun yang mengaku ahli semakin berpotensi meluas bahkan nantinya bias
saja jadi tidak terkendali.

BAB II
ISI
A. Peran dan Fungsi dari Etika Profesi Arsitek dan Peran dari
Tata Laku Profesi Arsitek
Pekerjaan arsitektur melibatkan pihak pihak : arsitek, klien, penyandang
dana (investor), konsultan profesi lain yang terkait, penduduk dan lingkungannya.
Melalui kode etik, diatur hak dan kewajiban dari seorang arsitek secara umum,
Hak dan kewajiban arsitek terhadap publik, klien, profesi, rekan seprofesi, dan
lingkungan. Di Indonesia, atau di IAI pada khususnya, kode etik ini diatur dalam
Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek.Kode etik ini pertama kali
dibuat dan disepakati pada tahun 1992 di Kaliurang, kemudian diperbaharui
melalui kongres di Jakarta pada tahun 2005.
Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek ini terdiri dari
beberapa bagian, yaitu: Mukadimah,

5 (lima) Kaidah Dasar,

21 (dua puluh satu) Standar Etika dan

45 (empat puluh lima) Kaidah Tata Laku.

Kaidah Dasar, merupakan kaidah pengarahan secara luas sikap ber-etika


seorang Arsitek. Standar Etika, merupakan tujuan yang lebih spesifik dan baku
yang harus ditaati dan diterapkan oleh anggota dalam bertindak dan berprofesi.
Kaidah Tata Laku, bersifat wajib untuk ditaati, pelanggaran terhadap kaidah tata
laku akan dikenakan tindakan, sanksi keorganisasian IAI. Dalam beberapa
kondisi/situasi merupakan penerapan akan satu atau lebih kaidah maupun
standar etika.
Untuk etika berprofesi, IAI melengkapi diri dengan Dewan Kehormatan
Profesi:
Sebuah badan yang beranggotakan anggota profesional yang
memiliki integrasi profesi dan menjunjung tinggi Kode Etik Arsitek
dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek.
Dewan ini berfungsi untuk melakukan tinjauan atas kode etik yang
sudah ada untuk kemudian membuat usulan penyempurnaan,
memberikan edukasi etika profesi kepada anggota, dan menjadi
badan tempat menyelesaikan permasalah dan pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh anggota IAI.
Mukadimah
Panggilan Nurani Seorang Arsitek

Menyadari profesinya yang luhur, arsitek membaktikan diri kepada bidang


perencanaan, perancangan, dan pengelolaan lingkungan binaan dengan
segenap wawasan, kepakarannya, dan kecakapannya.

Menerapkan taraf profesional tertinggi disertai integritas dan


kepeloporannya untuk mempersembahkan karya terbaiknya kepada
pengguna jasa dan masyarakat, memperkaya lingkungan, dan khasanah
budaya.

Profesi arsitek mengacu ke masa depan dan bersama anggota profesi


lainnya selalu memelihara dan memacu perkembangan kebudayaan dan
peradabannya demi keberlanjutan habitatnya

Profesi arsitek selalu menaati perangkat etika, yang bersumber pada nilai
luhur keyakinan spiritual yang dianutnya, sebagai pedoman berpikir,
bersikap, dan berperilaku dalam menunaikan kewajiban dan tanggung
jawab profesionalnya.

B. Kriteria Khusus dan Kompetensi Khusus Profesi Arsitek


dalam Kesepakatan MEA

Siapkah anda menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya


kita bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang.
Indonesia dan industry negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk
sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir industry
ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat
kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi
competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR),
taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan
yang adil; terdapat perlindungan berupa industry jaringan dari agen-agen
perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta;
menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi;
menghilangkan industry Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan
dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki
perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha
Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan
ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini,
kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan
kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian
global. Dengan dengan membangun sebuah industri untuk meningkatkan
koordinasi terhadap negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi
negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui
pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara Anggota ASEAN yang
kurang berkembang.

Tak gampang bagi seorang insinyur agar dapat dikatakan sebagai insinyur
professional menurut MRA. Pasalnya, insinyur tadi harus memenuhi persyaratan
dari ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE) yang terbilang tinggi.
Persyaratan itu, antara lain; telah lulus sarjana teknik dari universitas/lembaga
pendidikan yang terakreditasi di salah satu negara ASEAN; memiliki sertifikat/
lisensi sebagai tenaga ahli teknik yang diterbitkan oleh Professional Regulatory
Authority (PRA) dari negara anggota ASEAN; memiliki pengalaman kerja di
bidang teknik minimal tujuh tahun dan pengalaman kerja yang menangani
proyek teknik yang signifikan minimal dua tahun; mematuhi ketentuan
Continuing Professional Development (CPD) sesuai dengan kebijakan negara
asal; tidak memiliki catatan pelanggaran terhadap standar teknis, professional
ataupun etika, baik di tingkat local maupun internasional. Kriteria tersebut
sekaligus menjadi pembeda antara sarjana teknik (graduate engineer) dan
profesi insinyur (professional engineer). Perbedaan utama terletak pada
pengalaman kerja dan sertikasi dari PRA. Di Indonesia, badan yang berfungsi
sebagai PRA adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi. Setelah
mendapat sertifikasi dari PRA, insinyur profesional dapat mengajukan diri ke
ASEAN Chartered Professional Engineer Coordinating Committee (ACPECC)
untuk mendapat pengakuan sah sebagai ACPE.
Pengakuan sebagai ACPE pun tidak serta merta mengizinkan insinyur
profesional untuk bekerja di Negara lain di ASEAN. Soalnya, seorang insinyur
ACPE harus memenuhi lagi kriteria sebagai Insinyur Profesional Asing
Teregistrasi atau Registered Foreign Professional Engineer (RFPE), di Negara
lain tempat ia akan bekerja. Persyaratannya adalah sebagai berikut; mematuhi
kode etik profesionalitas sebagai insinyur sesuai dengan kebijakan (UU No. 11
Tahun 2014 tentang Jasa Konstruksi); mematuhi hukum dan peraturan di negara
tujuan; berafiliasi dengan insinyur profesional lokal di Negara tujuan. Meski
punya keterbatasan, insinyur Indonesia ternyata memiliki keunggulan. Pasalnya,
jumlah insinyur Indonesia yang tercatat sebagai ACPE merupakan yang terbesar
di ASEAN. Hingga saat ini, ada 987 insinyur yang tercatat sebagai ACPE. Yaitu,
290 dari Indonesia, 218 dari Singapura, 203 dari Malaysia, 134 dari Vietnam, 85
dari Myanmar, 55 dari Filipina, dan 2 dari Brunei Darussalam.

C. Prasyarat-prasyarat apa saja yang perlu dipersiapkan oleh


Calon-calon Arsitek Indonesia
Arsitektur sebagai sebuah bidang profesi, banyak berhubungan dengan
beberapa isu penting dalam kehidupan masyarakat saat ini, misalnya seperti
pengeksplorasian cara-cara baru dalam berkehidupan, penelitian terhadap
teknologi-teknologi dan material baru and meyakinkan bahwa apa yang
dibangun oleh si arsitek telah berkelanjutan terhadap lingkungan. Tetapi
berbicara secara umum tentang profesi arsitektur, ia mencakup bagaimana
merancang sesuatu yang dapat digunakan dengan baik oleh manusia namun
tidak lupa juga tetap diindah dipandang secara visual.
Arsitek harus mempelajari ranah yang cukup luas untuk menguasai
berbagai macam kemampuan yang berkaitan dengan pemenuhan tuntutan
terhadap dirinya dalam perjalanannya menuju profesi arsitektur, meski kemudian
harus melintasi dan berdiri di atas batas antara ilmu seni dan ilmu sains.
Ada beberapa ketentuan mengenai standar profesionalisme arsitek yang
ditentukan oleh UIA. Yang pertama adalah mengikuti pendidikan untuk menjadi
arsitek profesional selama lima tahun, bila di Indonesia yaitu

Program strata satu/S1). Yang kedua adalah menjalani magang di


kantor selama minimal dua tahun. Selanjutnya adalah
mampu melewati kualifikasi kompetensi dengan penguasaan tiga
belas pengetahuan dan kemampuan dasar arsitektural.

Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang berbasis RIBA,


misalnya Malaysia, Singapura serta Australia dengan Royal Australian Institute
of Architects (RAIA)-nya yang juga bermula dari RIBA, maka pembahasan
mengenai sistem dan metode yang digunakan oleh baik UIA maupun RIBA perlu
sedikit dibahas. Karena tanpa sertifikasi sebagai pengakuan kompetensi
internasional yang diberikan oleh asosiasi setempat maka seorang arsitek tidak
mempunyai hak untuk berpraktik di negara lain tersebut.
Sistem penambahan satu tahun ini diserahkan kepada masing-masing
institusi pendidikan oleh legitimasi yang dilakukan oleh IAI dan Departemen

Pendidikan Tinggi (Depdikti) dengan cakupan 20-40 sks. Setelah lulus program
penambahan ini, seseorang akan memperoleh gelar Sarjana Arsitektur.
Kemudian untuk mendapatkan lisensi profesi IAI, seorang sarjana arsitektur tadi
harus mengikuti ujian yang dilakukan oleh Dewan Keprofesian Arsitek yang bisa
diambil apabila telah menjalani proses pemagangan selama minimal dua tahun.
Jenis keanggotaan yang diterima pada tahap ini adalah keanggotan biasa atau
lisensi tingkat C. Setelah melewati tahun ke empat, baru dilakukan penilaian lagi
untuk memperoleh lisensi tingkat B melalui evaluasi oleh Dewan Keprofesian
Arsitek dan Dewan Lisensi Arsitek. Pada tahun ke delapan, akan dilakukan
penilaian lagi untuk memperoleh rekomendasi IAI untuk tingkat A.
Tiga belas butir ini diturunkan dari 37 kemampuan dasar yang harus
dikuasai fresh graduate menurut standar AIA, badan ikatan profesi arsitek
Amerika Serikat.
Ketiga belas butir tersebut antara lain adalah:
1. Kemampuan untuk menghasilkan rancangan arsitektur yang memenuhi
ukuran estetika dan persyaratan teknis, dan yang bertujuan melestarikan
lingkungan. (Ability to create architectural designs that satisfy both
aesthetic and technical requirements, and which aim to be environmentally
sustainable)
2. Pengetahuan yang memadai tentang sejarah dan teori arsitektur termasuk
seni, teknologi dan ilmu-ilmu pengetahuan manusia. (Adequate knowledge
of the history and theories of architecture and related arts, technologies,
and human sciences)
3. Pengetahuan tentang seni dan pengaruhnya terhadap kualitas rancangan
arsitektur. (Knowledge of the fine arts as an influence on the quality of
architectural design)
4. Pengetahuan yang memadai tentang perancanaan dan perancangan kota
serta ketrampilan yang dibutuhkan dalam proses perancanaan itu.
(Adequate knowledge on urban design, planning, and the skills involved in
the planning process)
5. Mengerti hubungan antara manusia dan bangunan, dan antara bangunan
dan lingkungannya, serta kebutuhan/niat menghubungkan bangunanbangunan dengan ruang di antaranya untuk kepentingan manusia dan
skalanya. (Understanding of the relationship between people and buildings
and between buildings and their environments, and of the need to relate
spaces between them to human needs and scale)

6. Pengetahuan yang memadai tentang cara mencapai perancangan yang


dapat mendukung lingkungan yang berkelanjutan. (An adequate
knowledge of the means of achieving environmentally sustainable design)
7. Mengerti makna profesi dan peran arsitek dalam masyarakat terutama
pada hal-hal yang menyangkut kepentingan masalah-masalah sosial.
(Understanding of the profession of architecture and the role of sarchitects
in society, in particular in preparing briefs that account for social factors)
8. Mengerti persiapan untuk sebuah pekerjaan perancangan dan cara-cara
pengumpulan data. (Understanding of the methods of investigation and
preparation of the brief for a design project)
9. Mengerti masalah-masalah perancangan struktur, konstruksi dan
enjinering
yang
berhubungan
dengan
rancangan
bangunan.
(Understanding of the structural design, construction, and engineering
problems associated with building design)
10.
Pengetahuan yang memadai tentang masalah fisika bangunan,
teknologi dan fungsi bangunan dalam kaitannya dengan kenyamanan
bangunan dan perlindungan terhadap iklim. (Adequate knowledge of
physical problems and technologies and of the function of buildings so as
to provide them with internal conditions of comfort and protection against
climate)
11.Memiliki ketrampilan merancang yang memenuhi kebutuhan bangunan
dalam batas-batas yang diberikan oleh anggaran biaya dan peraturan
bangunan. (Necessary design skills to meet building users requirements
within the constraints imposed by cost factors and buildign regulations)
12.
Pengetahuan yang memadai tentang industri, organisasi, dan
prosedur dalam penerjemahan konsep rancangan menjadi wujud
bangunan serta menyatukan rencana ke dalam suatu perencanaan
menyeluruh. (Adequate knowledge of the industries, organizations,
regulations, and procedures involved in translating design concepts into
buildings and integrating plans into overall planning)
13.
Pengetahuan yang memadai mengenai pandangan manajemen
proyek dan pengendalian biaya. (Adequate knowledge of project financing,
project management and cost control).

BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan
penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil,
pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan. Ruang
dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi
manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan
ekosistem (sumberdaya alam dan sumberdaya buatan) berlangsung. Ruang
perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan
dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.
Lalu mengenai kesiapan Arsitek Indonesia mengahadapi MEA (Masyarakat
Ekonomi ASEAN). Bagi Indonesia terutama profesi Arsitek, kesepakatan itu bisa
menjadi pedang bermata dua. Jika diolah dan dikelola dengan baik, produk dan
tenaga kerja Indonesia berpotensi merajai pasar Asia Tenggara. Sebaliknya, jika
tak siap berkompetisi, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara anggota
ASEAN lain. Lalu, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar, yakni 250
juta orang atau 40 persen dari total penduduk ASEAN. Jumlah ini menandakan
Indonesia merupakan potensi pasar terbesar sekaligus pemilik sumber daya
manusia terbanyak di ASEAN. Para insinyur Indonesia harus meningkatkan
kualitas agar bisa menang bersaing dengan insinyur dari negara-negara ASEAN
lain. Kompetensi insinyur Indonesia perlu ditingkatkan. Memang tak gampang
bagi seorang insinyur agar dapat dikatakan sebagai insinyur professional
menurut MRA. Pasalnya, insinyur tadi harus memenuhi persyaratan dari ASEAN
Chartered Professional Engineer (ACPE) yang terbilang tinggi. Persyaratan itu,
antara lain; telah lulus sarjana teknik dari universitas/lembaga pendidikan yang
terakreditasi di salah satu negara ASEAN; memiliki sertifikat/ lisensi sebagai
tenaga ahli teknik yang diterbitkan oleh Professional Regulatory Authority (PRA)
dari negara anggota ASEAN; memiliki pengalaman kerja di bidang teknik minimal
tujuh tahun dan pengalaman kerja yang menangani proyek teknik yang signifikan
minimal dua tahun; mematuhi ketentuan Continuing Professional Development
(CPD) sesuai dengan kebijakan negara asal; tidak memiliki catatan pelanggaran
terhadap standar teknis, professional ataupun etika, baik di tingkat local maupun
internasional.
Meski punya keterbatasan, insinyur Indonesia ternyata memiliki
keunggulan. Pasalnya, jumlah insinyur Indonesia yang tercatat sebagai ACPE

merupakan yang terbesar di ASEAN. Hingga saat ini, ada 987 insinyur yang
tercatat sebagai ACPE. Yaitu, 290 dari Indonesia, 218 dari Singapura, 203 dari
Malaysia, 134 dari Vietnam, 85 dari Myanmar, 55 dari Filipina, dan 2 dari Brunei
Darussalam.

DAFTAR PUSTAKA
https://artvisualizer.wordpress.com/2009/08/05/arsitek-indonesiamenghadapi-dunia-profesi-internasional/
http://www.penataran-iai.org/iai/
http://furuhitho.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/31156/2+Kode+Etik+
Arsitek+dan+Kaidah+Tata+Laku+Profesi.ppt.
Architecture, A Profession for the Future, (www.he.coursescareers.com/architecture.htm)
Johannes Widodo, Pendidikan Arsitektur Indonesia : Masa Transisi
dipublikasikan di website Desain!Arsitektur,
(http://darsitektur.tripod.com/art4.html)
Martin Luqman Katoppo dan Tony Sofian, Pendidikan Arsitektur yang
Membebaskan dan Memanusiakan, dipublikasikan di website Desain!
Arsitektur, (http://darsitektur.tripod.com/art3.html)
M. Ridwan Kamil, Arus Kapitalisme Global dan Masa Depan Arsitektur
Indonesia dipublikasikan di website Desain!Arsitektur.
(http://darsitektur.tripod.com/art6.html)

Anda mungkin juga menyukai