Anda di halaman 1dari 6

Paper UAS Teori Perancangan Arsitektur– Designer’s Position

Mutiara Fitrisari (04) - 1906434754

A. Teori dalam Perancangan Karya Arsitektur

Dalam perancangan arsitektur terdapat 2 hal penting, yaitu menguasai praktik merancang itu
sendiri dan memahami teori-teori yang berkaitan dengan perancangan sebagai dasar dari sebuah
desain. Teori merupakan hal yang penting bagi arsitek, tidak kalah penting dari kemampuan
berpraktik merancang yang dimiliki oleh arsitek tersebut. Namun sayangnya teori perancangan
arsitektur ini masih sering terlupakan oleh arsitek dalam praktiknya. Padahal teori perancangan ini
dapat membantu arsitek dalam proses merancang dari mulai menentukan dasar-dasar yang harus
diperhatikan saat perancangan dimulai hingga bagaimana cara agar desain yang arsitek rancang
dapat memberikan solusi bagi masalah yang ada.

Teori perancangan arsitektur tidak hanya memberikan pengertian terhadap apa itu desain,
namun juga memberikan penjelasan bagaimana sebuah desain dapat menjadi solusi atas sebuah
masalah pada konteks tertentu, serta bagaimana sebuah desain dapat menimbulkan masalah
lainnya, sehingga arsitek harus dapat mengantisipasinya. Dengan memahami teori mengenai
perancangan arsitektur, arsitek juga mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana untuk
menyelesaikan banyak masalah terdapat banyak opsi yang dapat dipertimbangkan sesuai dengan
konteks yang ada.

Tentunya setiap masalah dengan konteks yang berbeda memerlukan penerapan teori yang
berbeda pula. Contohnya adalah penerapan metode dan framework arsitektur pada proses
mendesain. Berdasarkan buku “Revealing Architectural Design: Methods, Frameworks, and
Tools” karya Plowright, terdapat 3 framework dasar dalam mendesain karya arsitektur yaitu
pattern based framework, force based framework, dan concept based framework. Ketiga
framework ini memiliki metode yang berbeda-beda untuk menyelesaikan masalah melalui
desainnya.

Pattern based framework merupakan metode desain yang biasanya digunakan untuk masalah
yang membutuhkan desain yang memiliki pola tertentu untuk menjadi solusinya seperti rumah
sakit yang memerlukan ruang-ruang khusus dan tata susuanan yang sesuai dengan kebutuhanya.
Biasanya bangunan seperti inisudah memilikistandari sasi khusus untuk penataan raugnya,
standarisasi inilah pattern yang menjadi dasar dalam mendesain bangunan tesebut agar kegiatan
di sana dapat berjalan dengan lancar, jika hal ini tidak terpenuhi maka akan fatal akibatnya.

Force based framework adalah metode desain yang memfokuskan pemecahan masalah
melalui konteks yang ada. Konteks tersebut dapat berbagai macam bentuknya, mulai dari konteks
alam, keadaan sosial, sampai dengan budaya yang ada. Konteks ini akan menjadi asset dan
hambatan dalam desain yang dapat saling dinegosiasi untuk menciptakan kualitas ruang tertentu
seperti yang diharapakan oleh arsitek.

Concept based framework merupakan metode desain yang melibatkan inspirasi yang biasanya
bersifat abstrak untuk dijadikan ide dasar sebuah desain. Ide ini dapat diperoleh baik dari dalam
amupun dari luar ranah arsitektur. Jika ide dasar diperoleh dari luar ranah arsitektur, maka harus
ditranslasikan dulu ke dalam sintax arsitektur, barulah kemudian dapat diterapkan ke dalam
desain. Untuk menerapkan sebuah ide dasar ke dalam desain, diperlukan adanya mapping ide
dasar ke dalam konteks desain untuk dicari relevansinya (degree of relevance) sehingga desain
yang tercipta dapat menjadi solusi bagi masalah yang ada.

B. Force Based Framework

Dari ketiga metode desain menurut Plowright tersebut, menurut saya force based framework
merupakan metode yang menarik untuk dikembangkan dalam praktik desain. Hal ini karena force
based framework memberikan banyak potensi bagi seorang arsitek untuk mengembangkan
desainnya berdasarkan konteks yang ada. Dengan menjadikan konteks dan kebutuhan pengguna
yang ada sebagai starting bias, arsitek dapat menarik ide yang berbeda-beda berdasarkan
negosiasi antara asset dan hambatan yang ada sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Dengan begitu setiap konteks akan menghasilkan desain yang berbeda dan dapat membuat
seorang arsitek terus berkembang dalam praktiknya.

Bahkan dengan konteks yang sama, program dan betuk desain yang dihasilkan dapat memiliki
perbedaan. Hal ini dikarenakan proses negosiasi antara asset dan hambatan dapat menjadi
berbeda-beda juga hasilnya tergantung dengan intensi arsitek, ingin memanfaatkan bagian aset
yang mana pada sebuah konteks untuk menjadi dasar dari desainnya. Kemudian aset tersebut
kemudian akan dimanfaatkan untuk menciptakan kualitas ruang serta memenuhi kebutuhan
pengguna di dalam desain.

Dalam force based framework menurut Viollet-le-Duc sangat memprioritaskan program dan
konteks site sebagai faktor utama yang akan menggerakkan proses desain arsitektural. Dengan
begitu bias yang dijadikan dasar luas cakupannya dan dapat diperluas lagi sampai ke konteks
social, sehingga membuat proses desain menjadi lebih fleksibel.

Dengan menggunakan metode force based ini, berarti force yang menjadi dasar tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dengan bagaimana desain nantinya akan mentranslasikan force
tersebut ke dalam bentuk bangunan. Dengan begitu desain yang dihasilkan melalui metode force
based ini akan kuat kualitas ruangnya yang dihasilkan dengan menegosiasi aset dan hambatan
yang ada.

Gambar 1. Framework proses desain dengan metode force-based

Dalam proses mendesain dengan menggunakan force based framework yang


mempertimbangkan berbagai elemen dalam sebuah konteks, tentunya tidak pattern tertentu yang
dapat langsung diterapkan, sehingga proses membentuk form akan memerlukan penyesuaian terus
menerus. Seperti yang dijelaskan pada gambar 1, proses desain dari membentuk form hingga
mengaitkannya dengan program untuk membuat suatu system membutuhkan refinement atau
penyesuaian agar mendapatkan sebuah system yang paling efektif.

Untuk melakukan proses refinement tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama,
karena banyak hal yang akan diubah-ubah sehingga diperlukan banyak alternatif desain. Untuk
mempermudah dan mempercepat proses pengerjaan tersebut, di sini lah media desain digital
berperan. Pada metode ini, desain digital akan sangat membantu, tidak hanya dalam proses
pembentukan form, namun juga dalam hal analisis. Media digital dapat digunakan untuk
menganalisis site dan juga kinerja desain sehingga dapat diketahui dengan benar apakah sebuah
desain dapat menjadi solusi terhadap masalah yang ada.

C. Penerapan Media Desain Digital pada Force Based Framework

Media desain digital sudah menjadi salah satu media yang banyak digunakan dalam
mendesain arsitektur. Perkembangannya juga pesat seiring dengan berjalannya waktu. Dulu media
yang hanya digunakan untuk alat menggambar kini dapat membantu arsitek dalam mendesain dan
membuat perhitungan dalam perancangan.

Perhitungan-perhitungan ini dilakukan oleh computer dengan memasukan data-data yang


diperlukan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, khususnya pada metode desain berdasarkan
force kini media desain digital banyak digunakan untuk menganalisis tapak dan juga kinerja
desain arsitekur sebelum desain tersebut dibangun. Dengan menggunakan mesin komputer, desain
digital dapat melakukan analisis dan perhitungan dengan presisi dalam waktu yang cepat sehingga
dapat membuat pekerjaan mendesain menjadi lebih cepat dan efektif.

Untuk menganalisis kinerja bangunan, arsitek dapat menggunakan performance based design
yang dilakukan menggunakan komputer. Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan
aplikasi rekayasa virtual yang menghadirkan konteks-kontek di dalam site dengan merekayasa
site tersebut sehingga dapat dinalisis bagaimana konteks dan desain nantinya akan saling
mempengaruhi satu sama lain. Selain itu kinerja bangunan juga dapat dianalisis menggunakan
aplikasi ini sehingga akan berperan penting dalam proses refinement dalam metode force based
design.

Tidak hanya itu, desain digital juga dapat membantu arsitek untuk mendapatkan form, sesuai
dengan kriteria atau parameter yang telah ditetapkan, proses ini disebut proses form generation.
Dalam proses form generation ini, kriteria atau parameter yang digunakan merupakan force yang
berupa aset dan hambatan. Komputer akan membantu arsitek dalam melakukan negosisasi antara
aset dan hambatan tersebut sehingga terbentuk berbagai variasi form yang nantinya dapat arsitek
sortir kembali sesuai dengan kualitas ruang seperti apa yang ingin dihasilkan.

D. Skenario Masa Depan

Menurut saya, untuk dapat terus mendalami proses mendesain dengan menggunakan metode
force based, terdapat beberapa bekal yang harus disiapkan. Tidak hanya dengan kemampuan
mendesain, namun juga dibutuhkan teori-teori lain untuk membantu menopang pekerjaan saya
sebagai arsitek yang ingin mengembangkan perancagannya dengan menggunakan metode force
based. Diantaranya yang penting adalah teori tentang bagaimana bangunan dan lingkungan dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Dalam hal ini lingkungan merupakan konteks tempat bagunan akan didirikan. Untuk agar
bangunan dan lingkungan dapat saling berdampingan, bangunan sebisa mungkin tidak boleh
merusak lingkungan, bahkan diusahakan untuk dapat merevitalisasi keadaan lingkungan menjadi
seperti semula atau lebih baik. Untuk itu dibutuhkan adanya pengetahuan mengenai sustainability.
Selain itu, agar bangunan dapat merspon lingkungannya dengan baik, maka akan dibutuhkan juga
pengetahuan mengenai fisika bangunan.

Selain itu menurut saya amempelajari lebih dalam tentang desain digital dan bagaimana cara
penerapannya di dalam proses mendesain khususnya dengan menggunakan metode force based
juga merupakan salah satu hal yang diperlukan untuk dapat mengembangkan kemampuan
mendesain saya.

Selama ini saya merasa tertarik dengan bagaimana cara kerja desain digital dapat memberikan
analisa-analisa kinerja bangunan yang tidak hanya berhubungan dengan struktur dan kenyamanan
ruang yang dihasilkannya seperti dalam fisika bangunan, namun juga bagaimana hasil analisis
tersebut dapat menggambarkan banyaknya energi yang dikeluarkan sebuah bangunan serta
dampaknya pada lingkungan sekitar. Begitu juga dengan penggunaan desain parametric, yang
dapat membantu menyesuaikan form yang ingin dihasilkan berdasarkan force yang ada di
lingkungan sekitar.

Dalam metode force based ini, parametric design dapat menjadi sebuah teknik untuk
menciptakan sebuah form berdasarkan analisa logika yang dilakukan oleh komputer. Analisa
tersebut dikontrol dengan parameter-parameter berupa aset dan hambatan. Dengan menggunakan
proses algorithmic, komputer akan mmenghasilkan form berdasarkan parameter-parameter
tersebut.

Menurut saya dengan menyiapkan bekal-bekal ini nantinya teori-teori tersebut tidak hanya
akan membantu proses mendesain menggunakan metode force based saja, namun dengan
menggabungkan berbagai teori tersebut dan mengaplikasikannya ke dalam desain dengan begitu
arsitek juga dapat memperkaya teori itu sendiri. Kemungkinan dengan menggunakan desain
digital maka, metode desain force based yang bisa dibilang fleksibel juga akan semakin
berkembang dan membuka potensi baru di dalam metode tersebut. Menurut saya dengan begitu,
selama melakukan proses perancangan tdak hanya arsiteknya saja yang akan berkembang, namun
juga metode dan teori yang digunakan oleh arsitek itu sendiri.

Referensi

 Oxman, Rivka, 2014. Theories of the Digital in Architecture. London: Routledge.


 Plowright, Philip D. 2014. Revealing Architectural Design : Methods, Frameworks and
Tools. New York: Routledge
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mutiara Fitrisari

NPM : 1906434754

Menyatakan bahwa tugas yang saya kumpulkan

Judul tugas : Paper UAS Teori Perancangan Arsitektur – Designer’s Position

Mata kuliah : Teori Perancangan Arsitektur

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan semua gagasan dan materi dalam karya
ini yang bukan merupakan gagasan atau materi milik saya sendiri telah dicantumkan
sumbernya secara tepat. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan akademik yang berlaku.

Depok, 28/02/2020

(Mutiara Fitrisari)

Anda mungkin juga menyukai