Anda di halaman 1dari 2

1. Dinamika dalam pembuatan undang-undang no.

22 tahun 2014 yang mengatur


pemilihan Gubernur, Bupati /Walikota dan kekuatan-kekuatan politik yang
mempengaruhinya.
UU No. 22 tahun 2014 adalah undang-undang pertama yang mengatur khusus
mengenai pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun UU ini hanya berusia
tidak lama setelah pada tanggal 26 september 2014 UU No. 22 tahun 2014 yang
mengatur pemilihan kepala daerah (mekanisme perwakilan atau pilkada tidak
langsung) disetujui oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna yang seminggu
kemudian pada tanggal 2 oktober 2014 dikeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014 yang
menyatakan UU NO. 22 tahun 2014 dicabut dan tidak berlaku lagi.
History lahirnya UU No. 22 tahun 2014 tidak terlepas dari rentetan peristiwa
pasca pemilu presiden tahun 2014. Demokrasi yang selama ini di perjuangkan dan
diinginkan oleh semua masyarakat kemudian akan dikebiri dan dipasung oleh elit
politik yang notabenenya adalah wakil rakyat itu sendiri. Wacana pengembalian
pemilihan calon kepala daerah melalui keterwakilan yang nantinya akan dipilih oleh
anggota DPR merupakan imbas persaingan dan perebutan kekuasaan sebagai dampak
dari pelaksanaan pemilu presiden. Kita ketahui bahwa dalam pemilu presiden terdapat
dua poros koalisi besar yaitu koalisi merah putih yang mengusung capres Prabowo
dan koalisi indonesia hebat yang mengusung Jokowi. Dalam pertarungan politik
koalisi Indonesia hebat berhasil memenangkan pilpres tetapi yang menjadi persoalan
adalah jumlah kursi di parlemen lebih kecil dari koalisi merah putih. Hal ini akan
menjadi masalah tersendiri nantinya bagi Presiden dalam menstimuluskan programprogram yang akan dijalankan. Kekalahan koalisi merah putih dalam pilpres (kalah di
eksekutif) tidak semata menyurutkan pertarungan politik ditingkatan parlemen bahkan
sampai terbentuknya koalisi permanen yang siap mengontrol jalanya roda
pemerintahan. Koalisi merah putih jelas memperhitungkan kekuatan koalisinya yang
lebih besar dibandingkan dengan koalisi indonesia hebat yang kemudian akan lebih
mudah dalam menentukan atau menyetujui akan dijalanya tau tidak suatu program
pemerintah (presiden). Jika banyak program yang kemudian tidak berhasil dijalankan
atau tidak sesuai dengan Visi Misnya maka dengan mudah anggota DPR melakukan
pemanggilan terhadap Presiden untuk melakukan dengar pendapat dan samapai pada
Mosi tidak percaya apabila memang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh presiden.
Pada awalnya bahwa sebagian kalangan fraksi DPR dan pemerintah
mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem perwakilan ,
yaitu dipilih oleh DPR. Namun Pasca pemilu dan pemilihan Presiden 2014 konstalasi

politik berubah dan memengaruhi sikap pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR. Gagasan
pilkada perwakilan berubah menjadi pilkada langsung. Melalui proses yang panjang
dan penuh dinamkika politik yang mengikutinya akhirnya pemerinytah dan DPR
sepakat menetapkan UU No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun
2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2014 tentang
pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi Undang-undang. Proses penetapan
UU No. 8 tahun 2015 yang didahului oleh Perpu No. 1 tahun 2014 sebagai ganti dari
UU No. 22 tahun 2014 berlangsung alot dan penuh liku-liku, tarrik ulur kepentingan
politik membuat UU tersebut menghadapi banyak masalah dalam pelaksanaanya atau
bisa disebut dengan kebuntuan jalan demokrasi.
2. Analisis alasan / penyebab seringnya Yudisial Review UU. No. 8 tahun 2015
Seringnya yudisial riview terhadap UU No. 8 tahun 2015 tidak terlepas dari
proses pembuatan Perda yang begitu singkat sehingga banyak yang jelas tidak
diperhintungkan secara mendalam terkait dengan benturan peraturan maupun
perundang-undangan lainya. Disamping itu juga yudisial review terhadap UU tersebut
jelas tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu yang merasa
dirugikan atau terhambat oleh UU No. 8 tahun 2015 tersebut. Misalnya ada beberapa
contoh yang kemudian dalam UU No. 8 tahun 2014 dianggap bertentangan dengan
UUD 1945 sepeti bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilh berdasarkan
ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, hal ini MK memutuskan
menganulir pasal 7 huruf g UU No. 8 tahun 2015 tentang pilkada yang akhirnya
memperbolehkan mantan narapidana menjadi kandidat dalam pilkada dengan syarat
yang bersangkutan mengumumkan kepublik secara terbuka dan jujur bahwa ia mantan
narapidana. Juga ketentuan diperbolehkanya keluarga petahana maju dalam [pilkada
tanpa harus menunggu jeda satu kali jabatan tentang pilkada karena dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Perihal lain dalam UU No. 8 tahun 2015 yang
banyak di perdebatkan dan dipertentangkan adalah soal ketentuan bagi PNS, Anggota
DPR, anggota DPD dan Anggota DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur setelah
secara resmi ditetapkan oleh KPU baik Provinsi maupun Kabupaten.

Anda mungkin juga menyukai