Anda di halaman 1dari 16

Pentingnya Pendidikan Politik untuk Mempertahankan dan

Mengembangkan Nilai-nilai Demokrasi Pancasila dan Nasionalisme


Oleh;
Dendi Nurwega, Sulkipani, Tina Septiana, Feriyansyah,
Jamaludin, H. Yayan Budi Sofyan, Sri Ramdiani dan
Muspardi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Generasi muda merupakan generasi penerus dari cita-cita luhur
bangsa Indonesia. Sehingga Generasi muda harus memiliki
political literacy yang tinggi untuk mampu melanjutkan cita-cita
luhur dari para pendiri negara Indonesia. Oleh karena itu negara
harus mendidik generasi muda menjadi generasi yang siap
berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh
karena itu, kualitas Negara Indonesia berbanding lurus dengan
kualitas generasi muda Indonesia
Generasi muda di Indonesia merupakan mayoritas penduduk. Hal
ini merupakan potensi yang tidak dimiliki oleh negara lain bahkan
di Eropa telah terjadi piramida terbalik yang menunjukan bahwa
jumlah generasi muda (Usia Produktif), sehingga potensi yang
luar biasa ini harus dikelola secara optimal agar lahir generasi
emas untuk kejayaan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.
Sebagaimana yang ditunjukka dalam gambar dibawah ini :

Bagan 1.1 Piramida Penduduk Indonesia


Sumber :
http://www.indexmundi.com/indonesia/age_structure.html
Jika usia pemuda dalam UU No. 20 Tahun 2010 dalam Pasal 1 ayat
1 diatur bahwa : Pemuda adalah warga negara Indonesia yang

memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan


yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. jika
kita hitung maka para pemuda paling tua lahir pada tahun 1983.
Dalam teori Generasi maka Generasi muda Indonesia saat ini
merupakan Generasi Y dan Generasi Z. Generasi yang lahir di era
kamajuan teknologi yang memiliki tantangan berbeda sebagai
dampak globalisasi sebagai anak kandung dari kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi.
Generasi muda saat ini berbeda dengan generasi sebelumnya.
Generasi muda saat ini memiliki tantangan yang sangat kompleks
karena mereka hidup di era kemajuan teknologi. Kemajuan
bidang teknologi (informasi, komunikasi dan transportasi) menjadi
tantangan tersendiri bagi mereka. Karena teknologi telah
merubah pola pikir dan budaya kehidupan generasi muda.
Pendidikan bagi warga negara merupakan salah satu ciri utama
dari suatu negara yang menganut sistem demokrasi yaitu dengan
adanya Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai negara demokrasi
Indonesia harus memenuhi syarat-syarat sbb:
Demokrasi
konstitusional adalah demokrasi yang berdarkan kontitusi atau
hukum
(rule
of
law)
sejumlah
syarat-syarat
dasar
terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of
law, sebagai berikut (1) perlindungan konstitusionil (2) badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak (3) pemilihan umum
yang bebas (4) kebebasan untuk menyatakan pendapat (5)
kebebasan untuk berserikat dan berorganisasi dan beroposisi (6)
Pendidikan
Kewarganegaraan
(Sapriya
dan
Winataputra
2004:117)
Fenomena yang terjadi saat ini generasi muda mengalami
fenomena perilaku politik yang tidak baik hal ini ditandai dengan
munculnya sinisme terhadap kehidupan politik dan pemerintah
yang dalam hal ini menunjukkan rendahnya tingkat Kepercayaan
dan Keyakinan Politik pemuda terhadap para pengelola negara.
Jika, sikap ini terus tumbuh dan berkembang akan mengakibatkan
rendahnya partisipasi warga negara muda. Selanjutnya akan
berdampak dari ketahanan dan berkembangnya sistem demokrasi
yang sedang dibangun oleh Indonesia.
Hal ini juga terlihat dari partisipasi pemilih pemula dalam
pemilihan umum. Karena sikap sinisme yang ada dalam diri
generasi muda akan menyebabkan rendahnya partispasi generasi
muda. Selain itu bahkan rasa respek terhadap lingkungan terus
menurun dengan sikap sinisme pemuda. Pemuda lebih bersifat
individualis pada sikap individualis ini sangat tidak sesuai dengan
semangat demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah
dan mufakat. Oleh karena itu perlu dididik agar menjadi generasi

yang optimis dan berinovasi sebagai generasi pewaris negeri ini.


Pendidikan politik sebagai sebuah usaha sadar untuk mendidik
warga negara muda untuk mempersiapkan mereka memasuki
kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah umum dalam makalah ini adalah : bagaimana
pentingnya pendidikan politik untuk mempertahankan dan
mengembangkan nilai-nilai demokrasi Pancasila dan
nasionalisme?.
Adapun masalah khusus yang akan dikaji adalah:
1. Apa pengertain dari pendidikan politik?
2. Bagaimanakah nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme?
3. Apa pentingnya pendidikan politik untuk mempertahankan
nilai-nilai demokrasi Pancasila dan nasionalisme?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui hakikat dari pendidikan politik,
b) Untuk mengetahui nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme,
c) Untuk mengetahui hakikat dari pentingnya pendidikan politik
untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi Pancasila dan
nasionalisme,
2. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi
dalam memahami pendidikan politk, urgensi pendidikan politik
sebgai usaha mengembangkan demokrasi Pancasila dan
Nasionalisme Indonesia.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Politik
Pendidikan politik berasal dari dua kata yaitu pendidikan dan
politik. Pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya
mengubah
sikap
dan
perilaku
yang
diinginkan,
yang
pelaksanaannya harus dilakukan secara terorganisir, berencana
dan berlangsung terus menerus kearah membina manusia
menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya yang dilandasi
oleh nilai-nilai budaya dan ideologi. Pendidikan harus dilakukan
secara terus menerus, menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah
proses yang terjadi di sekolah saja, namun juga di luar sekolah,
yakni di lingkungan pekerjaan dan pemukiman termasuk di
dalamnya pada lingkungan keluarga.
Adapun politik dapat dimaknai secara sederhana sebagai cara,
strategi, kewenangan atau kebijakan untuk memperoleh sesuatu

yang dicita-citakan atau untuk mempertahankan sesuatu. Pada


tatanan yang lebih luas, istilah politik juga merunut pada
berkenaan dengan negara, termasuk di dalamnya soal kekuasaan,
pengambilan keputusan, kebijakan serta pendistribusian dan
pengalokasian nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Secara terminologi pendidikan politik merupakan usaha sadar
yang dilakukan untuk mengubah sikap dan perilaku yang
diharapkan, sehingga dengan pendidikan politik dapat membantu
manusia menjadi insan yang memahami dan menghayati hak dan
kewajiban, berwawasan kedepan dan memiliki sikap tanggung
jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengertian pendidikan politik juga diungkapkan oleh para ahli
diantaranya yang menjelaskan titik poin pendidikan politik
sebagai sosialisasi politik (political socialization). Istilah political
socialization jika diartikan secara harfiah ke dalam bahasa
Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Seperti halnya yang
dikemukakan oleh Alfian (dalam Mashuri, 2011) bahwa pendidikan
politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah
proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka rnemahami
dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun. Senada dengan Alfian,
Surbakti, R(1999:117) juga menegaskan bahwa pendidikan politik
merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan dari sosialisasi
politik, memahami pendidikan politik berarti memahami
sosialisasi politik. Lebih jelas Surbakti mengungkapkan bahwa:
Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan
indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses
dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini
para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai,
norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai
pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai
politik.
Selanjutnya Greenstain, F.I (Suwarma Al Muuchtar, 2000:39)
dalam bukunya Political Socialization berpendapat bahwa:
Political sosialization is all political learning formal and informal,
deliberate and unplanne, at every stage of the life cycle inchiding
not only explicit political learning but also nominally nonpolitical
learning of political lie relevant social attitudes and the acquistion
of politically relevant personality characteristics.
Pendapat tersebut memberikan pemahaman bahwa pendidikan
politik merupakan proses pembelajaran yang berlangsung baik
secara formal dan nonformal yang tidak hanya eksplisit dalam
pendidikan resmi melainkan juga relevan dengan kehidupan sosial
masyarakat yang berkaitan dengan sistem politik.

Pengertian pendidikan politik dalam kaitannya dengan sosialisasi


politik yang dilakukan sebagai bentuk usaha untuk memberikan
pemahaman mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
politik. Dengan proses ini, akan membentuk manusia yang
menyadari hak dan kewajiban, serta memiliki kesadaran sebagai
warga negara yang ikut berpartisipasi dalam sistem politik yang
ada, baik dalam lingkungan terkecil dalam masyarakat, sampai
pada konteks yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan kata lain, Pendidikan politik mengajarkan
masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya
melalui proses sosialisasi politik. Melalui proses sosialisasi politik
inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi
terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat terhadap sistem politik
yang ada dalam suatu negara, Kartaprawira, R (1988:54)
mengartikan bahwa pendidikan politik sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat
berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Definisi
tersebut menyoroti bagaimana pendidikan politik pada akhirnya
dapat
menumbuhkan
dan
mengembangkan
partisipasi
masyarakat dalam arti keterlibatan diri dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan untuk kepentingan bersama. Dengan demikian
maka
pendidikan
politik
perlu
dilaksanakan
secara
berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan
pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami
perkembangan.
Pembelajaran
pendidikan
politik
yang
berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di
bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan berubahubah.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan politik adalah usaha yang dilakukan baik dalam
lingkup formal maupun nonformal agar terjadi perubahan sikap
dan perilaku diri individu menjadi manusia yang memahami dan
menghayati
nilai-nilai
sistem
politik,
yang
menyadari
keseimbangan hak dan kewajiban, mempunyai rasa tanggung
jawab dan kepedulian terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan
yang diwujudkan dengan partisipasi masyarakat terhadap
berbagai kegiatan politik, baik dalam lingkungan masyarakat
terkecil, maupun politik dalam lingkup yang lebih luas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme
1. Demokrasi
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di
dunia. Selain itu keunikan dari Indonesia merupakan

penduduknya yang mayoritas memeluk agama Islam, sehingga


Indonesia telah menjelma menjadi negara demokrasi yang
memiliki kekhasan tersendiri dari negara-negara lain yang juga
menganut demokrasi. Kekhasan Indonesia ini karena ideologi
negaranya
yaitu
Pancasila
sehingga
sistem
demokrasi
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga melahirkan yang disebut
dengan Demokrasi Pancasila.
USIS (1995:6) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang
memiliki 11 (sebelas) pilar atau soko guru, yakni Kedaulatan
Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari Yang
Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan
Hak-hak Azasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur,
Persamaan di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar,
Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme
Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme,
Kerja Sama dan Mufakat. Di lain pihak Sanusi (1998:4-12)
mengidentifikasi adanya 10 (sepuluh) pilar demokrasi
konstitusional menurut UUD 1945, yakni : Demokrasi yang
Ber-Ketuhanan
Yang
Maha
Esa,
Demokrasi Dengan
Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi
dengan Rule of Law, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan
Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi manusia, Demokrasi
dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi
Daerah, Demokrasi Dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang
Berkeadilan
Sosial
(cetak
tebal
dari
penulis).
Bila
dibandingkan , sesungguhnya secara esensial terdapat
kesesuaian antara 11 pilar demokrasi universal ala USIS (1995).
Selanjutnya Sanusi(1999) dalam Sapriya dan Winataputra
(2003:108) menjelaskan sepuluh pilar demokrasi konstitusional
Indonesia yang dikenal pula dengan The Ten Pilars of Indonesia
Constitusional Democracy berdasarkan filsafat bangsa yaitu
Pancasila dan Konstitusi Negara RI (UUDNRI tahun 1945) sebagai
berikut :
1. Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Demokrasi Berdasarkan Hak Asasi Manusia;
3. Demokrasi Berdasarkan Kedaulatan Rakyat;
4. Demokrasi Berdasarkan Kecerdasan Rakyat;
5. Demokrasi Berdasarkan Pemisahan Kekuasaan Negara;

6. Demokrasi Berdasarkan Otonomi Daerah;


7. Demokrasi Berdasarkan Supremasi Hukum (Rule of Law);
8. Demokrasi Berdasarkan Berdasarkan Peradilan yang Bebas;
9. Demokrasi Berdasarkan Kesejahteraan Rakyat;
10. Demokrasi Berdasarkan Keadilan Sosial.

Hal yang menjadi perbedaaan antara pilar demokrasi Indonesia


dengan pilar demokrasi universal adalah adalah salah satu pilar
demokrasi
Indonesia,
yakni
Demokrasi
Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, dan inilah yang merupakan
khasnya demokrasi Indonesia, yang dalam pandangan Maududi
dan kaum muslim (Elpoisito dan Voll,1999:28) disebut
teodemokrasi, yakni demokrasi dalam konteks kekuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Dengan kata lain demokrasi universal adalah
demokrasi yang bernuansa sekuler, sedangkan demokrasi
Indonesia adalah demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ada dua alasan menurut Azra (2001:3), mengapa pendidikan
demokrasi merupakan kebutuhan mendesak dan penting dalam
membangun budaya demokratik (democratic culture). Pertama,
meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy,
yakni tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja
demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara.
Kedua, meningkatnya apatisme politik (political apathism) yang
ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam
proses-proses politik. Atas argumentasi tersebut, maka
pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu upaya sistemik
penyemaian konsep, prinsip, nilai-nilai dan perilaku budaya
demokrasi.
Untuk mengembangkan pendidikan demokrasi di Indonesia,
maka
diperlukan
adanya
paradigma
baru
yang
lebih
mengembangkan kecerdasan warga negara (Civic Intelgence),
dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, dan sosial; tanggung
jawab warga negara (Civic Responsibility); serta partisipasi warga
negara (Civic Participation) agar terbentuknya warga negara
Indonesia yang baik. (Sapriya dan Winataputra 2004:117). Oleh
karena itu, partisipasi warga negara merupakan nafas panjang
dari sistem demokrasi, partisipasi ini harusnya dilandasi
kecerdasaaan serta keimanan dan ketakwaan sebagai wujud dari
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa .

Gandal dan Finn (1992:5-6) menyarankan dikembangkannya


pendidikan demokrasi dalam dua seting besar. Pertama, schoolbased democracy education model, yakni model pendidikan
demokrasi berbasis sekolah dalam konteks pendidikan formal.
Pengembangan model ini dilaksanakan melalui bentuk kegiatan
pembelajaran intra dan ekstra kurikuler yang bernuansa
demokratis. Kedua, society-based democracy education model,
yakni
pendidikan
demokrasi
dalam
konteks
kehidupan
masyarakat.
Kedua model pendidikan demokratis tersebut di atas, harus
dirancang secara sistemik dalam sistem pendidikan nasional
secara keseluruhan. Dan diciptakan interaksi fungsionalpedagogis dalam iklim sosial budaya di sekolah dan di luar
sekolah.
Pembelajaran
di
kelas
dikembangkan
sebagai
democratic laboratory, lingkungan sekolah sebagai micro
cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open
global democracy (Winataputra, 2001; 2005:17; 2007:226).
Sehingga, siswa akan terlibat langsung sebagai subjek dan objek
untuk tujuan berdemokrasi hal ini untuk mewujudkan dan melatih
siswa agar menjadi warga negara yang aktif sehingga
menumbuhkan partisipasi yang cerdas berlandaskan keimanan
dan katakwaan, karena dalam Demokrasi Pancasila, rakyat adalah
subjek demokrasi, artinya sebagai keseluruhan berhak ikut secara
efektif menentukan keinginan-keinginan dan pelaksana yang
melaksanakan keinginan-keinginan itu dengan turut serta dalam
menentukan garis-garis besar haluan negara danmenentukan
mandataris atau pimpinan nasional yang akan melaksanakan
garis-garis yang akan melaksanakan GBHN (Darmodiharjo et.al
1991:82)
Sebagaimana yang diungkapkan Alexis de Toqueville dalam
Branson 1998 dalam (Sapriya dan Winataputra 2003:117)
menyatatakan bahwa each new generation is a new people that
must acquire the knowledge, learn the skill, and develop the
dispositions or traits of private and public character that
undergird a constitustional democracy. Pendapat Alesix de
Toqueville dapat dimaknai bahwa masing-masing generasi
merupakan masyarakat baru yang harus diajarkan tentang
pengetahuan, keterampilan dan pembangunan watak atau sifat
character public dan character private yang mendukung
demokrasi konstitusional. Jadi, warga negara yang baik
merupakan sumber utama bagi penanaman nilai-nilai demokrasi
Pancasila. Warga negara muda harus terus dididik untuk
menghasilkan warga negara yang berpartisipasi secara cerdas.

Demokrasi Pancasila tidak saja demokrasi dalam bidang politik,


yang hanya mengatur masalah politik negara aatau yang
berhubungan dengan pengaturan kenegaraan, tetapi juga
mengatur
masalah
ekonomi,
sosial,
dan
kebudayaan.
(Darmodihardjo et.al 1991:83) Sehingga pendidikan demokrasi
dalam wujudnya pendidikan politik tidak hanya mempersiapkan
masyarakat dalam bidang politik, tetapi juga mempersiapkan
masyarakat yang mampu berkontribusi sebagai wujud Literacy
Politik dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Karena
warga negara yang ideal tidak hidup dalam ruang politik yang
terisolasi dari bidang-bidang kehidupan yang lain.
Harapannya ketika warga negara muda kelak setelah menjabat
dapat mengambil kebijaksanaan yang berdasar pada nilai-nilai
demokrasi Pancasila. sehingga Segala kebijaksanaan pemerintah
harus berdasar atau hasi musyawarah. Kearifan dalam mengambil
keputusan yang akan merupakan pedoman dan garis
kebijaksanaan itu adalah sesuai dengan jiwa Pancasila.
(Darmodihardjo et.al 1991:84)
Sejak Tahun 1998 kita telah berusaha untuk membangun sistem
demokrasi tersebut atas dasar serangkaian nilai-nilai yang
diyakini secara akademis dan empiris sebagai core values of
democracy sebagaimana yang berlaku di negara maju dan
memperoleh pengakuan dari PBB. Nilai-nilai dasar tersebut adalah
:
1. Prinsip

pemerintahan berdasar konstitusi


menjamin yang sehat.checks and balances

(baru)

yang

2. Pemilihan umum yang demokratis (free and fair), yang pada

akhirnya telah
kepada rakyat.

mengembalikan

kedaulatan

sepenuhnya

3. Desentralisasi kekuasan dan tanggung jawab atas dasar

sistem otonomi daerah untuk lebih mendekatkan rakyat


pada pengambilan keputusan.
4. Sistem

pembuatan undang-undang
aspiratif dan terbuka prosesnya.

yang

demokratis,

5. Sistem peradilan yang independen, yang bebas dari tekanan

atau pengaruh dari manapun datangnya.

6. Pembatasan kekuasaan kepresidenan atas dasar konstitusi.


7. Peran media yang bebas sebagai sarana kontrol sosial.

8. Jaminan terhadap peran kelompok-kelompok kepentingan

(civil society).

9. Hak masyarakat untuk tahu.


10. Promosi dan perlindungan HAM, termasuk perlindungan hak-

hak minoritas karena beda agama, ras, atau etnis.


11. Kontrol

sipil terhadap militer. (Asshidiqque tersedia di


http://www.jimlyschool.com/read/analisis/261/konsepsi-nilaidemokratis-kebersamaan-dan-ketaatan-hukum-dalammeningkatkan-pemahaman-nilainilai-konstitusi/).

2. Nasionalisme
Nasionalisme dalam banyak pengertian sering didefinisikan
sebagai sebuah faham tentang kecintaan terhadap keberadaan
bangsa yang berdaulat berdasarkan teritorian tertentu.
Sebagaimana Kalidjernih (2010:41) Nasionalisme ialah ideologi
yang menekankan bangsa sebagai prinsip sentral dari organisasi
politik dengan berbagai cita-cita dan tujuan. Dengan demikian
bangsa yang memiliki nasionalisme memiliki identitas nasional
sebagai pemersatu suatu bangsa. Sebagaimana Kartodirdjo
(2005:115) mengemukakan bahwa dengan diciptakan negara
nation, semua warga negara memperoleh identitas baru, yaitu
identitas nasional. Identitas ini tidak menghapus identitas
primordial, akan tetapi melampauinya (mentransendensi).
Nasionalisme merupakan tali pengikat antar warga negara, ikatan
ini yang menjaga warga negara untuk tetap berkontribusi dalam
mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, untuk dapat
berkontribusi maka warga negara perlu dipersiapkan untuk tetap
menjaga rasa nasionalisme dalam sistem demokrasi.
Kembali pada konsep nasionalisme sebagaimana dikemukakan
oleh Hertz (tersedia di http: // jeremiasjena. wordpress. com/
2008/06/20/memahami-nasionalisme) yang mengatakan empat
unsur yang merupakan poin-poin penting bagi terbentuknya
nasionalisme, sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri

atas kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan,


komunikasi dan solidaritas.

2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan

nasional yang sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan


campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negeri.

3. Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas,

keaslian, atau kekhasan.


bahasa nasional.

Misalnya,

menjunjung

tinggi

4. Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa

dalam mengejar kehormatan, pengaruh dan prestise.


Dari pendapat Hertz diatas, dapat disimpulkan bahwa sebuah
bengsa terbentuk karena adanya persamaan nasib, keinginan dan
cita-cita yang dapat merekatkan kelompok-kelompok masyarakat
menjadi satu bangsa dan membentuk negara, yang diyakini dapat
melindungi, menampung dan mewujudkan cita-citanya.
Konsep yang dikemukakan di atas, nampaknya sulit ditemui pada
praktik saat ini. Di mana di antara semakin merebaknya isu
konflik antar suku dan antar golongan yang terjadi sebagai akibat
tidak ketidakmampuan menekan gesekan-gesekan antar suku dan
tidak fahamnya mengenai konsep negara bangsa seperti
Indonesia.
C. Pentingnya Pendidikan Politik untuk Mempertahankan
Nilai-nilai Demokrasi Pancasila dan Nasionalisme
Pentingnya pendidikan politik didasarkan atas arti pentingnya
pendidikan politik itu sendiri, baik dilihat dari filosofi, tujuan,
keterkaitannya dengan sistem pendidikan nasional maupun dari
sudut esensi pengembangan generasi muda.
Dikaji dari filosofisnya, pendidikan politik mempunyai nilai penting
karena ia bertolak dari arti kesamaan dan keutuhan konsepsi dan
motivasi tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam kaitan ini, pendidikan politik merupakan upaya
menanamkan, menumbuhkan dan memelihara kesadaran dan
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Ditinjau dari akarnya, filosofi pendidikan politik terkait dengan
jiwa dan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mana Pancasila menjadi nilai sentralnya. Dikaji dari sudut ini,
pendidikan politik berdasarkan Pancasila bertolak dari pemikiran
bahwa nilai dan sifat khas bangsa yang telah tumbuh dan
berkembang melalui proses sejarah yang panjang yang dijalin dari
inti kesamaan nilai budaya bangsa.
Dari segi kemanusiaan, filosofi pendidikan politik serta maknanya
dengan harkat manusia sebagai zoon politicon. Dari sudut ini,
pendidikan politik dibutuhkan dalam rangka sosialisasi, yakni
menanamkan kesadaran dan membekali sejumlah keterampilan
kepada manusia sebagai warga sebuah bangsa. Sudut pandang
ini amat sulit dipisahkan dari sejarah panjang bangsa yang telah
melewati beberapa tahap sejarah.

Dengan kata lain, pendidikan politik merupakan refleksi semangat


dan nilai budaya bangsa yang terwujud dalam tekad karya dan
perjuangan politik. Sehingga yang menjadi penekanan pendidikan
politik adalah sentuhan nurani yang dapat menumbuhkan sikap
dan tingkah laku yang selaras dengan tujuan pembangunan
nasional. Artinya nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial merupakan jiwa dan semangat
proses pendidikan politik.
Dilihat dari tujuannya, pendidikan politik dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran, baik dalam kaitannya sebagai anggota
organisasi maupun sebagai warga negara. Pendidikan politik
dipandang perlu dalam menumbuhkan kesadaran akan hak dan
kewajiban serta tanggung jawab selaku anggota. Dari segi ini,
pendidikan politik dipandang perlu untuk membina anggota agar
menaati consensus normative, keteraturan dan keselarasan hidup
bermasyarakat dalam rangka mencapai tujuan organisasi, seperti
yang dinyatakan dalam deklarasi kesepakatan, maupun seperti
yang tersurat dalam AD/ART.
Pentingnya pendidikan politik adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam menentukan arah masa depan bangsa dan

negara;
2. Mendorong warga negara untuk berpikir ke depan;
3. Mengenali

peluang dan
lingkungan eksternal;

ancaman

yang

muncul

dari

4. Membuat organisasi lebih terarah;


5. Penggunaan sumber daya menjadi lebih terfokus dan efisien

(dalam Sunatra, 2013)


Pendidikan politik merupakan suatu proses membangun
masyarakat yang mampu berkontribusi dalam kehidupan politik
sehingga menciptakan masyarakat yang demokratis. TAP MPR RI
No. IV/ MPR/ 1999 tentang GBHN pada Bab Arah kebijakan bagian
politik sbb : (f) Meningkatkan pendidikan politik secara intensif
dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan
budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman
aspirasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi
manusia berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945 dan pada
bagian (i) Membangun bangsa dan watak bangsa (nation and
character building ) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia

yang maju bersatu, rukun damai dan demokratis dinamis toleran


sejahtera adil dan makmur. Demokrasi Pancasila ialah paham
demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah
hidup bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti ketentuanketentuan dalam pembukaan dan UUDNRI (Darmodiharjo et.al
1991:81)
Pendidikan demokrasi dalam wujud pendidikan politik harus
dirancang secara sistemik dalam sistem pendidikan nasional
secara keseluruhan. Dan diciptakan interaksi fungsionalpedagogis dalam iklim sosial budaya di sekolah dan di luar
sekolah.
Pembelajaran
di
kelas
dikembangkan
sebagai
democratic laboratory, lingkungan sekolah sebagai micro
cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open
global democracy (Winataputra, 2001; 2005:17; 2007:226).
Sehingga, siswa akan terlibat langsung sebagai subjek dan objek
untuk tujuan berdemokrasi, hal ini untuk mewujudkan dan
melatih siswa agar menjadi warga negara yang aktif sehingga
menumbuhkan partisipasi yang cerdas berlandaskan keimanan
dan katakwaan, karena dalam Demokrasi Pancasila, rakyat adalah
subjek demokrasi, artinya sebagai keseluruhan berhak ikut secara
efektif menentukan keinginan-keinginan dan pelaksana yang
melaksanakan keinginan-keinginan itu dengan turut serta dalam
menentukan garis-garis besar haluan negara danmenentukan
mandataris atau pimpinan nasional yangaan melaksanakan garisgaris yang akan melaksanakan GBHN (Darmodiharjo et.al
1991:82)
Sebagaimana yang diungkapkan Alexis de Toqueville dalam
Branson 1998 dalam (Sapriya dan Winataputra 2003:117)
menyatatakan bahwa each new generation is a new people that
must acquire the knowledge, learn the skill, and develop the
dispositions or traits of private and public character that
undergird a constitustional democracy. Pendapat Alesix de
Toqueville dapat dimaknai bahwa masing-masing generasi
merupakan masyarakat baru yang harus diajarkan tentang
pengetahuan, keterampilan dan pembangunan watak atau sifat
character public dan character private yang mendukung
demokrasi konstitusional. Jadi, warga negara yang baik
merupakan sumber utama bagi penanaman nilai-nilai demokrasi
Pancasila. Warga negara muda harus terus dididik untuk
menghasilkan warga negara yang berpartisipasi secara cerdas.
Demokrasi Pancasila tidak saja demokrasi dalam bidang politik,
yang hanya mengatur masalah politik negara atau yang
berhubungan dengan pengaturan kenegaraan, tetapi juga
mengatur
masalah
ekonomi,
sosial,
dan
kebudayaan.

(Darmodihardjo et.al 1991:83) Sehingga pendidikan demokrasi


dalam wujudnya pendidikan politik tidak hanya mempersiapkan
masyarakat dalam bidang politik, tetapi juga mempersiapkan
masyarakat yang mampu berkontribusi sebagai wujud literacy
politik dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Karena
warga negara yang ideal tidak hidup dalam ruang politik yang
terisolasi dari bidang-bidang kehidupan yang lain.
Pendidikan politik hasilnya terlihat, ketika warga negara muda
kelak setelah menjabat dapat mengambil kebijaksanaan yang
berdasar pada nilai-nilai demokrasi Pancasila. Sehingga segala
kebijaksanaan pemerintah harus berdasar atau hasi musyawarah.
Kearifan dalam mengambil keputusan yang akan merupakan
pedoman dan garis kebijaksanaan itu adalah sesuai dengan jiwa
Pancasila. (Darmodihardjo et.al 1991:84)
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Adapun masalah khusus yang akan dikaji adalah:
1. Pendidikan politik merupakan adalah usaha yang dilakukan
baik dalam lingkup formal maupun nonformal agar terjadi
perubahan sikap dan perilaku diri individu menjadi manusia yang
memamahi dan menghayati nilai-nilai sistem politik, yang
menyadari keseimbangan hak dan kewajiban, mempunyai rasa
tanggung jawab dan kepedulian terhadap kehiduapn sosial
kemasyarakatan yang diwujudkan dengan partisipasi masyarakat
terhadap berbagai kegiatan politik, baik dalam lingkungan
masyarakat terkecil, maupun politik dalam lingkup yang lebih luas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.
Bagaimanakah
nilai-nilai
demokrasi
Pancasila
dan
nasionalisme?
Demokrasi Pancasila merupakan Demokrasi Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya, Demokrasi Pancasila
bukan hanya dalam sistem politik tetapi juga harus terwujud
dalam bidang ekonomi sosial dan budaya, karena ketiganya selalu
terkait dengan cita-cita negara.
Nasionalisme merupakan tali pengikat antar warga negara, ikatan
ini yang menjaga warga negara untuk tetap berkontribusi dalam
mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, untuk dapat
berkontribusi maka warga negara perlu dipersiapkan untuk tetap
menjaga rasa nasionalisme dalam sistem demokrasi.
3. Urgensi pendidikan politik untuk mempertahankan nilai-nilai
demokrasi Pancasila dan nasionalisme karena masing-masing
generasi merupakan masyarakat baru yang harus diajarkan

tentang pengetahuan, keterampilan dan pembangunan watak


atau sifat character public dan character privateyang mendukung
demokrasi konstitusional. Jadi, warga negara yang baik
merupakan sumber utama bagi penanaman nilai-nilai demokrasi
Pancasila. Warga negara muda harus terus dididik untuk
menghasilkan warga negara yang berpartisipasi secara cerdas
yang terwujud secara aplikatif yaitu :
1. Membantu dalam menentukan arah masa depan bangsa dan
negara;
2. Mendorong warga negara untuk berpikir ke depan;
3. Mengenali peluang dan ancaman yang muncul dari lingkungan
eksternal;
4. Membuat organisasi lebih terarah;
5. Penggunaan sumber daya menjadi lebih terfokus dan efisien
(dalam Sunatra, 2013)
B. Saran
Pendiddikan Politik merupakan hal yang sangat urgen, karena
Pendidikan Politik merupakan proses penyiapan warga negara
muda untuk memasuki kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga perlu direncanakan secara sistematis baik secara hiden
kurikulum maupun dalam kurikulum di persekolahan.
Selain itu, pengkaryaan generasi muda merupakan salah satu
sarana penting dalam pendidikan politik. sehingga perlu sarana
dan prasarana untuk pengkaryaan generasi muda agar mereka
terbiasa beraktifitas dan untuk menumbuhkan jiwa volunteer.
DAFTAR PUSTAKA
Al Muchtar, Suwarma (2000) Pengantar Studi Sistem Politik
Indonesia. Bandung. Gelar Pustaka Mandiri.
Asshidiqie, Jimly. 2013. Konsepsi Nilai Demokratis, Kebersamaan
Dan Ketaatan Hukum Dalam Meningkatkan Pemahaman Nilai-Nilai
Konstitusi.
Tersedia
[Online]
dalam
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/261/konsepsi-nilaidemokratis-kebersamaan-dan-ketaatan-hukum-dalammeningkatkan-pemahaman-nilainilai-konstitusi/.
Diakses
24
November 2013 Pukul 6.30 WIB.
Azra, A. (2001). Pendidikan Kewargaan untuk Demokrasi di
Indonesia. Makalah Seminar Nasional II Civic Education di
Perguruan Tinggi, Mataram, 22-23 April.
Darmodiharjo, Darji,. Mardojo.,Pringgodigdo, A.G., et al (1991).
Santiaji Pancasila. Surabaya :Usaha Nasional
Gandal, M. and Finn, Jr.C.E. (1992). Teaching Democracy. Freedom
Paper USA, (2) 1-28.

Hertz. Tersedia di http: // jeremiasjena. wordpress. com/


2008/06/20/memahami-nasionalisme. Tersedia [Online]: Diakses
17 September 2013.
Kalidjernih, Freddy K.(2010). Kamus Studi Kewarganegaraan.
Bandung : Widya Aksara Pers.
Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu
Model PengantarBandung: Sinar Baru Algensindo
Kartodirdjo, Sartono.(2005). Sejak Indische sampai Indonesia.
Jakarta : Kompas.
Mashuri, U. (2011). Pendidikan Politik. Tersedia {online} di
http://uungmashuri.
blogspot.com/2011/01/pendidikanpolitik.html. Diakses pada 09 November 2013
Sanusi, A.
(1998b) Memberdayakan Masyarakat dalam
Pelaksanaan 10 Pilar Demokrasi, Bandung : Makalah.
United States Information Agency (1995)What is Democracy,
Washington: USIA.
Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Ringkasan
Desertasi Doktor pada FPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.
-------------(2005).
Pendidikan
Kewarganegaraan
Untuk
Membangun Masyarakat Demokratis Berkeadaban : Tinjauan
Filosofis-Pedagogis. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Dosen
PKn PTN dan PTS, Medan, 22 September.
-------------- dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education :
Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung : Prodi
PKn SPS UPI.
Sapriya
dan
Winataputra,
US.(2003).
Pendidikan
Kewarganegaraan
:
Model
Pengembangan
Materi
dan
pembelajaran. Bandung : Laboratorium PKn Jurusan PKN-FPIPS
Universitas Pendidikan Indonesia
Surbakti, Ramlan. (1999) Memahami Ilmu Polilik. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sosialisasi
Politik.
Tersedia
[Online]:
http://sutrisnodoswar.wordpress.com/2009/09/30/pendidikanpolitik/. Diakses Tanggal 12 November 13.

Anda mungkin juga menyukai