TINJAUAN TEORITIS
1. PENGERTIAN
Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Dengue yang ditransmisikan
oleh nyamuk sebagai vektornya dengan karekteristik penyakit diantaranya seperti demam,
sakit kepala, nyeri otot dan sendi, adanya rash atau petechiae. Beberapa infeksi dapat
menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang secara cepat dapat menyebabkan
penderita jatuh ke dalam syok, yang disebut sebagai dengue shock syndrome.
Home
Your Label
Your Label
Your Label
More Label..
Error 404
Penyakit Dengue Shock Syndrom (dss) adalah penyakit DHF yang mengalami renjatan atau
shock ( Mansjoer, Arief.dkk;2001.428)
2. ETIOLOGI
Virus dengue sejenis arbo virus (Arthropod borne viruses ) artinya virus yang
ditularkan melalui gigitan antropoda misal nyamuk aedes aegypti ( betina ) .Infeksi yang
pertama kali dapat memberi gejala sebagai dengue fever dengan gejala utama demam,nyeri
otot/sendi.
Virus dengue termasuk genus Flavirus, keluarga flaviridae.Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2,DEN -3,DEN-4. Keempatnya ditemukan diindonesia dengan DEN-3
serotype terbanyak . Infeksi salah satu serotype akan menimbulkan antibody terhadap
serotype yang bersangkutan, sedangkan tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotype lain tersebut . Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotype selama hidupnya.Keempat serotype virus dengue
dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia ( sujono, 2010 )
3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang terutama pada Dengue Shock Syndrom ialah tejadinya peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan
plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang
interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi
5. DERAJAT DBD
Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap individu. Masa
penyembuhan bisa terjadi cepat, namun seringkali bisa cukup panjang. WHO pada tahun
1997 membagi derajat DBD dalam empat stadium dan sudah diperbaharui dengan kriteria
dengue WHO tahun 2009 yang manifestasi klinisnya 15 lebih banyak untuk membantu
menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi penentuan derajat penyakit ini yang bermanfaat
secara klinis maupun epidemiologis dalam penanganan awal di rumah sakit (WHO, 2009)
(Kemenkes RI, 2013). Derajat penyakit DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat berikut
ini.
Derajat I yaitu Demam disertai gejala klinis yang tidak khas dan satu-satunya gejala
perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Derajat II yaitu gejala yang muncul seperti dialami
pada derajat I ditambah adanya perdarahan spontan biasanya di kulit, perdarahan gusi dan
atau perdarahan lainnya. Derajat III yaitu derajat I ataupun II serta adanya kegagalan
sirkulasi, yaitu dengan tanda denyut nadi yang lemah dan lebih cepat, perbedaan tekanan
nadi sistolik dan diastolik sama atau kurang dari 20 mmHg (hipotensi) disertai kulit yang
teraba dingin dan lembab, sianosis di sekitar mulut, dan kelihatan penderita gelisah. Derajat
IV yaitu seperti dengan derajat III, ditambah juga adanya syok yang berat (profound shock)
dengan nadi tidak dapat teraba dan tidak dapat terukurnya tekanan darah (WHO, 2009)
(Kemenkes RI, 2013).
DSS dimasukan pada tingkat DBD derajat III dan derajat IV. DSS merupakan kasus
DBD yang gawat darurat yaitu adanya kegagalan sirkulasi yang dapat ditunjukan dari denyut
nadi yang lemah dan lebih cepat, disertai hipotensi dengan tanda kulit yang teraba dingin dan
lembab serta penderita tampak gelisah hingga terjadinya syok/renjatan berat (denyut nadi
menjadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak terukur) (Sharma SK, 2003) (WHO, 2009)
(Kemenkes RI, 2013).
Kebocoran plasma merupakan patogenesis utama menimbulkan syok (shock) dan
kematian. Syok pada penderita DBD dikenal dengan sebutan Dengue Shock Syndrome
(DSS) yaitu terjadinya kegagalan sirkulasi darah karena plasma darah merembes keluar dari
pembuluh darah yang mengakibatkan darah semakin mengental yang ditandai dengan denyut
nadi yang cepat dan lemah, kulit dingin dan lembab, serta pasien menjadi gelisah (WHO,
2009). Pasien yang mengalami syok harus berada dalam pengawasan yang ketat, karena
menghadapi risiko kematian apabila mereka tidak mendapatkan pengobatan segera yang
memadai.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Darah lengkap :
Hemokonsentrasi ( hematokrit meningkat 20 % / lebih ),
Trombositopenia 100.000/mm atau kurang .
Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.
Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga.
Masa perdarahan memanjang.
Protein rendah (hipoproteinemia)
Natrium rendah (hiponatremia)
SGOT/SGPT bisa meningkat
Astrup : Asidosis metabolic
Serologi
: uji HI ( hemoaglutination inhibition test )
Rontgen thoraks
: Efusi pleura
Urine
: Kadar albumin urine positif (albuminuria)
7. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya bersifat suportif,yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DB dapat berobat
jalan,sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umunya terjadi pada hari
ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi,anoreksia dan muntah.
Pasien perlu diberi minum banyak,50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh dengan
gula,sirup,susu,sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,berikan cairan
rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hipererksi dapat diatasi dengan
antipiretik,dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%.Parasetanol
direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Penanganan Syok
Dalam keadaan renjatan berat diberikan cairan ringer laktat secara cepat selama 30
menit,apabila tidak teratasi dapat diganti dengan koloid 10-20ml/kgBB/jam,dengan jumlah
maksimal 30 ml/kgBB,akan tetapi bila masih belum berhasil diduga telah terjadi
perdarahan,maka dianjurkan pemberian tranfusi darah segar.Apabila kadar Ht tetap >40 vol
%,berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam,tapi bila perdarahan masif berikan 20ml/kgBB.
Bila renjatan tidak berat,maka berikan cairan dengan kecepatan 20ml/kgBB/jam.
Bila renjatan sudah diatasi,nadi sudah teraba,amplitudo nadi cukup besar,tekanan sistolik
80mmHg atau lebih,maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10ml/kgBB/jam.Kecepatan
pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik dan nilai hematokrit yang
diperiksa periodik.Evaluasi klinis,nadi,tekanan darah,pernafasan,suhu dan pengeluaran urin
dilakukan lebih sering.
Penyulit-penyulit
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat udema parau atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung.
Kriteria Memulangkan Pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ml
7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).
8. PROSES KEPERAWATAN
7.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi,
komunikasi dan data tentang pasien. Pengkajian ini didapat dari dua tipe yaitu data
subyektif dan persepsi tentang masalah kesehatan mereka dan data obyektif yaitu
pengamatan/pengukuran yang dibuat oleh pengumpulan data.
Berdasarkan klasifikasi NANDA (Herdman, 2010), fokus pengkajian yang harus
dikaji tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus:
Aktivitas/ Istirahat
Gejala: keterbatasan aktivitas sehubungan dengan kondisi sebelumnya, pekerjaan
Pencernaan
Tanda: mual-mual, muntah.
3)
Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam), rasionalnya peningkatan
2)
yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus
berkurang bila ketosis harus terkoreksi
3) Kaji suhu warna kulit dan kelembabannya, rasionalnya merupakan indicator dari
dehidrasi.
4) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa,
rasionalnya demam dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan dehidrasi.
5) Pantau masukan dan pengeluaran cairan, rasionalnya memberi perkiraan akan
cairan pengganti, fungsi ginjal, dan program pengobatan.
6) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas
yang dapat ditoleransi jantung, rasionalnya mempertahankan volume sirkulasi.
7) Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung, rasionalnya kekurangan
cairan dan elektrolit menimbulkan muntah sehingga kekurangan cairan dan elektrolit.
8) Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak
teratur, rasionalnya pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi
menimbulkan kelebihan beban cairan
9) Berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau
pemeriksaan laboratorium(Ht, BUN, Na, K), rasionalnya mempercepat proses
penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan cairan
e. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah baring.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat
mencapai kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria hasil: Pergerakan pasien bertambah luas, Pasien dpt melaksanakan aktivitas
sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri, berjalan), Rasa nyeri berkurang, Pasien dapat
memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan (Judith, 2009).
Intervensi:
1) Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien, rasionalnya
mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
2) Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas, rasionlanya pasien
mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan
3)
kemampuan, rasionalnya melatih otot otot kaki sehingga berfungsi dengan baik
4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya, rasionalnya agar kebutuhan pasien
tetap dapat terpenuhi.
5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dokter (pemberian analgesic), rasionalnya
f.
tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi syok
hipovolemik.
Kriteria hasil : TD 120/80 mmHg, RR 16-24 x/mnt, Nadi 60-100 x/mnt, Turgor kulit
baik, Haluaran urin tepat secara individu, Kadar elektrolit dalam batas normal (Judith,
2009).
Intervensi:
1) Monitor keadaan umum pasien, rasionalna memantau kondisi pasien selama masa
perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok
dan dapat segera ditangani.
2) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam, rasionalnya tanda-tanda vital
normal menandakan keadaan umum baik
3) Monitor tanda perdarahan, rasionalnya perdarahan cepat diketahui dan dapat
diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
4) Cek haemoglobin, hematokrit, trombosit, rasionalnya untuk mengetahui tingkat
kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan
lebih lanjut.
5) Berikan transfusi sesuai program dokter, rasionalnya untuk menggantikan volume
darah serta komponen darah yang hilang.
6) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik, rasionalnya untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.
g. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil: Tekanan darah 120/80 mmHg, Trombosit 150.000-400.000 (Judith, 2009).
Intervensi:
1) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis, rasionalnya
penurunantrombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
2) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat, rasionalnya aktivitas pasien yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan perdarahan
3) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut,
rasionalnya membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin
4) Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya, rasionalnya memotivasi pasien
untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan
Sumarmo,s dkk, Buku Ajar Infeksi & Penyakit Tropis pada Anak,IDAI Jakarta 2008
Rampengan T.H dkk , penyakit infeksi tropic pada anak, EGC,1997