Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN

Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering
dijumpai di Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan ular
di Indonesia karena masih banyak yang dibawa ke pengobatan tradisional bukan
ke pelayanan medis. Gigitan ular biasa terjadi karena berhubungan dengan tempat
pekerjaan, atau dari ular yang masuk ke rumah karena mencari mangsa berupa
tikus, katak, atau kadal. Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja
perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan
gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai
sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili
Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan
tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah). Efek toksik bisa ular pada saat menggigit
mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi
mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta
banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili
Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh
ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali
(Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah
(Sibynophis geminatus).
Belum ditemukan cara untuk mengidentifikasi ular berbisa dengan ular
yang tidak berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai
ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk,
warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Pengobatan
terbaik untuk gigitan ular manapun adalah membawa korban ke rumah sakit
secepat mungkin di mana sabu (serum anti bisa ular) dapat diberikan.

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Definisi
Snake Bite adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang
dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian
kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ.
B. Etiologi
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular
berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring,
pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa
(seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke
dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya
disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk
famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular
tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular
berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang
secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila
sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah
panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa
contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). (Sudoyo, 2006)

Gambar 1. Jenis ular Cobra (kiri) dan viper (kanan) yang banyak terdapat di
Indonesia

Gambar 2. Gigitan ular dan bisa

Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa


spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,
beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan
suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah
bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan
terdapat bekas taring.
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna

Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni

Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap

C. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata.
Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang
atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattle snake (ular derik)
yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak
gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang
hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.Ular koral memiliki mulut
yang lebih kecil dan gigi taring yang lebih pendek. Hal ini menyebabkan mereka
memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menyuntikan bisa dibanding dengan
jenis crotalid, dan mereka menggigit lebih dekat dan lebih mirip mengunyah dari
pada menyerang seperti dikenal pada ular jenis viper. Semua metode injeksi
venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat
dan mulai mencernanya.
Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa
menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam
polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin
esterase,

protease,

fosfomonoesterase,

RNA-ase,

DNA-ase.

Enzim

ini

menyebabkan

destruksi

jaringan

lokal, bersifat

toksik

terhadap

saraf,

menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi


anafilaksis. Protease, kolagenase, dan arginin ester hydrolase telah diidentifikasi
pada bisa ular viper. Neurotoxin merupakan mayoritas bisa pada ular koral. Detail
spesifik

diketahui beberapa

enzim

seperti

berikut

ini:1)

Hyaluronidase

memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan subkutan dengan


merusak mukopolisakarida; 2) Phospholipase A2 memainkan peranan penting
pada hemolisis sekunder dari efek esterolitik pada membran eritrosit dan
menyebabkan nekrosis otot; dan 3) Enzim trombogenik menyebabkan
terbentuknya bekuan fibrin yang lemah, dimana pada waktunya mengaktivasi
plasmin dan menyebabkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.
Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu menyebabkan
perbedaan envenomasi. Gigitan copperhead secara umum terbatas pada destruksi
jaringan lokal. Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan
toksisitas sistemik. Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian
dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular sistemik.
Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi kerusakan sistemik
dari fungsi system organ. Salah satu efek adalah perdarahan, koagulopati
bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat. Efek lain edema lokal,
meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru. Mekanisme
pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan. Efek terakhir, kematian sel lokal,
meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume
dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit. Efek-efek blokade
neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik. Gagal jantung
merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis. Myonekrosis meningkatkan
kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.
Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat berguna untuk
membunuh mangsa. Selama envenomasi (gigitan yang menginjeksikan bisa atau
racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular,
dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai

substansi dengan efek yang bervariasi. Dalam istilah sederhana, protein-protein ini
dapat dibagi menjadi beberapa kategori :
1. Neurotoksin : berakibat pada syaraf perifer atau sentral. Berakibat fatal, karena
paralyse otot-otot lurik.
2. Haemotoksin : berakibat haemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzyme
lainnya

atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin.

Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
3. Mytoksin : berakibat rgabdomyolysis yang sering berhubungan dengan
haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel.
4. Karditoksin : merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan
jantung.
5. Cytotoksin : dengan melepaskan histamine dan zat vasoaktifamin lain yang
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolitik : zat ini yang menyebabkan peradangan dan nekrose jaringan pada
tempat patukan.
7. Enzym-enzym : termasuk Hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa.
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas
dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri yang hebat yang
tidak sebanding dengan besar luka, edema, eritema, petekie, ekimosis, bula, dan
tenda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau pericardium,
edema paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung.
(Warrell,2005)
D. Manifestasi Klinis
Ular berbisa yang terkenal di Indonesia adalah ular kobra dan ular welang
yang bisanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul akibat bisa jenis
ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan
ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak nafas sampai akhirnya terjadi henti
nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan.

Gigitan ular berbisa menghasilkan efek yang bervariasi, dari luka gigitan
yang sederhana sampai sakit yang mengancam nyawa dan kematian. Hasil temuan
pada korban gigitan ular dapat menyesatkan. Seorang korban dapat tidak
menunjukkan gejala inisial, dan kemudian tiba-tiba menjadi sesak nafas dan
menjadi syok. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak
napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular
kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat
menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut
(Dreisbach, 1987):

Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30
menit 24 jam)

Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,


hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

Gejala khusus gigitan ular berbisa :


o

Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,


peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular
diseminata (KID)

Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,


ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang
dan koma

Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P


(pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)

Gejala dan tanda gigitan ular berbisa secara umum dapat dibagi ke dalam
beberapa kategori mayor :
1. Efek lokal : digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan
rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan

dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan
jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2. Perdarahan : Gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
3. Efek sistem saraf : bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
4. Kematian otot : bisa dari Russells viper (Daboia russelli), ular laut, dan
beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di
beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang
mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
5. Mata : semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.
Penderajatan envenomasi membedakan kebutuhan akan antivenin pada korban
gigitan ular-ular viper.

Gambar 3. Gejala Umum Gigitan Ular


Berdasarkan jenis ular maka gejala yang ditimbulkan dibagi atas:

Gigitan Elapidae (misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snake, mambas, kraits). Efek lokal (kraits,
mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan,
sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan.
Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran
sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada
lapisan luar mata. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular
atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat- urat di wajah,
bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak
mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat

terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas,


tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri
abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala-gejala neurotoksik. Kematian

dapat terjadi dalam 24 jam.


Gigitan Viporidae atau Crotalidae (misalnya ular tanah, ular hijau, ular
bandotan puspo). Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa
jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke
seluruh

anggota

badan,

rasa

sakit

dekat

gigitan.

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa
muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitan (lubang
dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah,
urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah.
Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang-kadang tekanan darah
rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan
di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan

hebat.
Gigitan Hydropiridae (misalnya ular laut), gejala yang muncul berupa
sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah. Setelah 30 menit
sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme
pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap

(gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.


Gigitan Hidropiidae, gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa
tebal, berkeringat dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa jam
biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang,
paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini

penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.


Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae, efek lokal berupa tanda gigitan taring,
pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan

indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen


crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan

tanda penting.
Gigitan Coral Snake, jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi,
diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin).

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai


berikut:
Derajat

Venerasi

Luka

Nyeri

Udem/ Eritem

Tanda sistemik

gigit
0

+/-

<3cm/12>

+/-

3-12 cm/12 jam

II

+++

>12-25 cm/12 jam

+
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III

++

+++

>25 cm/12 jam

++
Syok,

petekia,

ekimosis
IV

+++

+++

>ekstrimitas

++
Gangguan

faal

ginjal,
Koma, perdarahan
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

Gambar 5. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring,
(B) Ular berbisa dengan bekas taring.
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :

Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan


ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.

Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap


12 jam.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,


waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT,
D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang

Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

EKG

Foto dada

F. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan
ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban
sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama
adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit

serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban
ke tempat perawatan medis. Metode pertolongan yang dilakukan adalah
menenangkan korban yang cemas, imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian
tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening. Pertimbangkan pressureimmobilisation pada gigitan Elapidae. Hindari gangguan terhadap luka gigitan
karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Selanjutnya korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya dengan cara
yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk
mencegah peningkatan penyerapan bisa.

Gambar 4. Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban.

Sesampainya di rumah sakit, pasien dengan snake bite harus mendapat


penanganan yang segera agar bisa tidak menyebar kebagian tubuh lain. Terapi
yang dianjurkan meliputi:
a. Membersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar 10 cm, panjang 45 m yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh
yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan
gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir,
tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan
torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan
torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi

yang

meliputi

penatalaksanaan jalan nafas, penatalaksanaan fungsi pernafasan, penatalaksanaan


sirkulasi, penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban
berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban,
hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi
nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis ATS.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa (SABU). Gunannya untuk pengobatan terhadap
gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular merupakan serum polivalen yang
dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap
bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang kebanyakan
ada di Indonesia.
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis
yang tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk
peredaran darah dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis
pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
Apa bila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)

antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar dari
pada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara
infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena.
Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati
selama 24 jam.
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien
terbukti atau dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu
atau lebih tanda berikut :

Gejala venerasi sistemik

Kelainan

hemostatik:

perdarahan

spontan

(klinis),

koagulopati,

atau

trombositopenia.
Gejala neurotoksik: ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler: hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal): oligouria/anuria (klinis), peningkatan
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin
coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis
intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,
hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.

Gejala venerasi lokal:

Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang
terkena gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan.
Pembengkakan setelah tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan).
Pembengkakan yang meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata
kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran
kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena
gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish,
seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2 derajat pemberian sabu:


Derajat

Venerasi

Luka

Nyeri

Udem/eritema

Tanda sistemik

gigit
0

+ +/-

<3cm/12 jam

+/

+ +

<3cm/12 jam

+ +++

>12cm-

+.

25cm/12jam

mual, pusing, syok

>25cm/12jam

++,syok,

II

III

++

+ +++

Neurotoksik,

petekie,ekimosis
I
V

++

+ +++

Pada

satu ++, gangguan faal

ekstremitas

ginjal,

secara

perdarahan

koma,

menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,


jika derajat meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa
ular dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah
menetap selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat
belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan
selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinis

menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus
diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus
hari-hati, mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat
berupa:
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu,
gatal-gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul
bila digunakan serum yang sudah dimurnikan.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini
terjadi dalam pemberian 24 jam. Oleh karena itu, pemberian serum harus
berdasarkan atas indikasi yang tajam. (Sudoyo, 2006)
G. Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular

Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan


untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki

Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular

Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan


bersemak semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti


Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang

tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

BAB 3 LAPORAN KASUS


A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. F

Umur

: 22 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Pertelon-Silo

No. Telepon

: 085749882005

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Mahasiswa

Status Pembiayaan

: Umum

No. RM

: 012838

Tanggal MRS

: 24 Februari 2014

Tanggal pemeriksaan : 25 Februari 2014


Tanggal KRS

: 25 Februari 2014

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis pasien dilakukan pada tanggal 24 Februari 2014.
C. RIWAYAT PENYAKIT
SUBJEKTIF
Keluhan Utama :
Nyeri tangan kiri setelah di gigit ular.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada saat kejadian, pasien sedang membersihkan halaman kamar kosnya.
Tiba-tiba pasien digigit oleh seekor ular berwarna hijau. Setelah digigit pasien
mengeluhkan nyeri pada luka gigitan dan badan pasien dirasakan gemetaran.
Sempat keluar darah dari luka bekas gigitan ular. Pusing (+), Mual (+), Muntah (-)
Jk : 17.15 WIB, Jd : 17.30 WIB
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya belum pernah tergigit ular seperti ini
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien seorang mahasiswa universitas swasta di Jember
Kesan: Sosial ekonomi cukup.
OBYEKTIF
Keadaan Umum

: Sadar, tampak kesakitan.

Tanda Vital

: Tensi : 140/100, reguler


Nadi : 112 x/menit
RR : 22 x/menit

Suhu : 36,5 o C
Kulit

: Turgor kembali cepat.

Kepala

Mata

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung

: tidak ada secret/perdarahan

Telinga: tidak ada secret/perdarahan


Mulut

: bibir tidak sianosis

Leher

: dalam batas normal

Thoraks

Cor:
I: Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
P: Batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: S1S2 tunggal, extrasistol -, gallop -, murmur Pulmo:
I : Simetris, Ketertinggalan gerak (-), Jejas (-)
P : Krepitasi (-), Fremitus Raba +/+ simetris normal
P : Sonor
A : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/Abdomen

I: Flat
A: Bising usus (+) normal
P: Tympani, pekak hepar +
P: Soepel, nyeri tekan -, defans muskular Ekstremitas : AH

: ekstrimitas superior +/+, ekstrimitas inferior +/+ (status

lokalis)
Oedema : ekstrimitas superior -/+, ekstrimitas inferior -/Status Lokalis

Regio manus (wrist) sinistra

Inspeksi : Tampak pada regio manus (wrist) sinistra terdapat luka bekas
gigitan ular. Oedema (+), taring ular (-), perdarahan (-)

Palpasi : Nyeri (+)

ASSESMENT
Snake bite regio manus (wrist) sinistra gr. II
PLANNING
Pemeriksaan :

Cek Laboratorium (DL)


EKG

Terapi :

Cross insisi

Infus D5 500 cc drip 4 ampul SABU 40 tpm lanjut inf. RL:D5 20 tpm

Injeksi Cefotaxim 3x1 gram

Injeksi Santagesic 3x1 amp

Injeksi ATS 1500 IU

Observasi tanda-tanda vital

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (DL) 24 Februari 2014


Hemoglobin

: 12,5 g/dl

Hematokrit

: 37,9 %

Leukosit

: 6.400 / mm3

Trombosit

: 347.000 / mm3

F.

FOLLOW UP
Tanggal

Senin,24-02-2014

Keluhan

Nyeri tangan kiri

Vital

TD

Sign

Nadi 112 x/menit


RR

140/100 mmHg
22 x/menit

Suhu 36,5 oC
Kepala & Leher

a/i/c/d = -/-/-/-

Thorax

Cor
S1S2 tunggal
Pulmo Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

Abdomen

Flat

Bising Usus (+) normal

Timpani +/+

Soepel, Nyeri Tekan (-)

Extremitas

Akral hangat, terdapat oedem pada tangan kiri

Status Lokalis

Assesment

Regio Pedis sinistra :


L: oedema(+)
F: nyeri tekan (+),
M: ROM terbatas

Snake Bite regio manus (wrist) sinistra gr. II


1. Cross insisi
2. Inf. RL:D5 20 tpm
3. Inj. ATS 1500 IU

Planing

4. Infus D5 500 cc drip 4 ampul SABU 40 tpm


5. inj. Cefotaxim 3x1 gr
6. inj. Santagesic 3x1 amp

Tanggal

7. Observasi tanda-tanda vital


Selasa, 25-02-2014

Keluhan

Tidak ada keluhan

Vital

TD

Sign

Nadi 80 x/menit
RR

120/80 mmHg
20 x/menit

Suhu 36,5 oC
Kepala & Leher

a/i/c/d = -/-/-/-

Thorax

Cor
S1S2 tunggal
Pulmo Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

Abdomen

Flat

Bising Usus (+) normal

Timpani +/+

Soepel, Nyeri Tekan (-)

Extremitas

Akral hangat, tidak terdapat oedem pada tangan kiri

Status Lokalis

Assesment

Regio Pedis sinistra :


L: oedema (-)
F: nyeri tekan (-),
M: ROM bebas

Snake Bite regio manus (wrist) sinistra gr. II


Inf. RL/D5 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x1 gr

Planing

Inj. Santagesic 3x1 amp


KRS

DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical
Care,
University
of
Tennessee
School
of
Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,
Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous
snakes.BMJ2005;331:1244-1247(24
Februari
2014),
doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com

Anda mungkin juga menyukai