Anda di halaman 1dari 2

Minyak adalah suatu kelompok dari lipida sederhana

terbesar yang merupakan ester dari tiga molekul asam lemak


dengan satu molekul gliserol dan membentuk satu molekul
trigliserida yang dalam kondisi ruang (>27 oC) akan berbentuk
cair (Genisa, 2013).
Minyak goreng adalah lemak yang digunakan untuk
medium penggoreng. Secara umum, di pasaran ditawarkan dua
macam minyak goreng: minyak goreng nabati yang berasal dari
tanaman dan hewani berasal dari hewan. Saat ini yang paling
umum digunakan di Indonesia, adalah minyak yang berasal
dari nabati (Hariskal, 2009).
Minyak sawit adalah minyak utama yang digunakan sebagai

minyak goreng. Minyak sawit terbuat dari kelapa sawit.


Minyak ini mengandung komponen asam lemak utama berupa
asam palmitat. Menggoreng dapat didefinisikan sebagai proses
pemasakan dan pengeringan produk dengan media panas
berupa minyak sebagai media pindah panas. Ketika bahan
pangan digoreng menggunakan minyak goreng panas maka
banyak reaksi kompleks yang akan terjadi di dalam minyak dan
pada saat itu minyak akan mulai mengalami kerusakan.
Selama menggoreng, minyak berada dalam kondisi suhu yang
tinggi. Adanya udara dan air yang dikandung oleh bahan
menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Adanya interaksi
antara produk dan minyak menyebabkan terjadinya reaksi yang

sangat kompleks membentuk senyawa volatile maupun


nonvolatile yang akan memberikan tanda bahwa minyak telah
rusak.
Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi
mengakibatkan terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan
minyak. Reaksi-reaksi yang terjadi adalah hidrolisa, oksidasi
dan polimerisasi. Minyak yang rusak akibat dari proses
hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan
dengan rupa yang kurang menarik, tengik dan merusak
sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam
minyak. Ketengikan adalah proses kerusakan minyak goreng
yang menyebabkan adanya citarasa dan bau yang tidak enak
pada minyak. Minyak yang telah rusak tidak hanya
mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak
tekstur, flavor dari bahan pangan yang digoreng.
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa
tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh
proses otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam
minyak dan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi
gliserol dan asam lemak. Otooksidasi dimulai dengan
pembentukan faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi
seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,
logam-logam berat, dan enzim-enzim lipoksidase.
Perbedaan karakteristik bahan yang digoreng dan jenis bahan
minyak goreng yang berbeda, menunjukan nilai stabilitas yang
berbeda. Kecenderungan dari stabilitasnya menunjukan bahwa,
kadar FFA meningkat setelah penggorengan dan bilangan
iodnya menurun. Adanya asam lemak bebas cenderung
menunjukkan terjadinya ketengikan hidrolik, namun masih
dimungkinkan oksidasi lemak menghasilkan asam-asam
organik lainnya (Raharjo. 2004).
Angka asam besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar
yang berasal dari hidrolisis minyak ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka
makin rendah kualitasnya (Julianty. 2008).
Kadar FFA meningkat karena setelah penggorengan terjadi
hidrolisis, dan reaksi oksidasi. Hidrolisis terjadi karena bahan
yang digoreng mengandung air, sehingga reaksi minyak atau
trigliserida dengan air menghasilkan asam organik dan asamasam lemak, sehingga kadar FFAnya meningkat. Reaksi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti waktu reaksi,
perbandingan pereaksi, suhu, katalisator, dan pencampuran.
Dalam reaksi hidrolisis, air yang terkandung dalam bahan
pangan berperan dalam menguraikan trigliserida menjadi asam
lemak bebas, monogliserida, digliserida dan gliserin. Asam

lemak yang berlebih menyebabkan bau tidak enak pada


minyak. Jika reaksi hidrolisis dalam minyak terus berlanjut,
maka kadar asam lemak bebas dalam minyak juga akan
meningkat. Peningkatan reaksi hirolisis dalam minyak akan
meningkatkan kerusakan minyak dan meningkatkan bahaya
kasehatan bagi penggunanya.
Kadar FFA yang menurun pada minyak bekaspenggorengan
tahu dibandingkan dengan kadar FFA sebelum minyak
tersebutdigunakan. Secara teori, seharurnya kadar FFA pada
minyak sawit bekaspenggorengan tahu meningkat karena tahu
merupakan bahan yang banyak mengandung air. Air akan
bereaksi dengan minyak dan memutus ikatan pada
estertrigliserida menjadi asam lemak bebas dengan gliserol.
Penyimpangan hasiltersebut kemungkinan terjadi karena
praktikan kurang teliti dalam melakukananalisis atau asam
lemak bebas tersebut bereaksi dengan zat lain sehingga
ketikadilakukan analisis menunjukkan kadar FFA yang lebih
kecil. Sedangkan padaminyak sawit bekas penggorengan
kerupuk meningkat dibandingkan FFA minyak awal tapi lebih
besar dibandingkan dengan minyak bekas penggorengan tahu.
Jikadibandingkan dengan minyak awal memang seharusnya
FFA pada minyak bekas erupuk meningkat karena meskipun
kerupuk merupakan bahan yang kering,kerupuk masih
memiliki kadar air walaupun kecil. Tetapi, jika
dibandingkandengan minyak bekas penggorengan tahu,
seharusnya kadar FFA pada minyak bekas penggorengan
kerupuk lebih kecil karena kadar air pada tahu lebih
besardibanding pada kerupuk sehingga kemungkinan
terjadinya proses hidrolisis kecil.
Adapun bilangan iod menurun karena selama proses
penggorengan terjadi polimerisasi akibat panas dan oksidasi
yang memutus ikatan rangkap pada trigliserida, sehingga
bilangan iodnya turun. Ini menunjukan bahwa ikatan
rangkapnya sudah putus, atau trigliserida sudah berubah
menjadi senyawa dengan ikatan tunggal. Bilangan iod, baik
minyak jagung, kelapa, dan sawit menurun setelah
penggorengan karena ikatan rangkapnya putus, yang
disebabkan oleh panas dan oksidasi. Satu data menunjukan
anomali, yaitu yaitu bilangan iod minyak kelapa setelah
menggoreng kerupuk meningat, ini tidak sesuai dengan teori,
yang dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran
terutama dalam titrasi.

Bilangan iod minyak sawit menurut Ketaren (1996) adalah


sebesar 48-56. Penurunan bilangan iod minyak sawit yang
digunakan untuk menggoreng tahu lebih besar dibandingkan
dengan penurunan bilangan iod yang digunakan untuk
menggoreng kerupuk. Dapat disimpulkan bahwa minyak sawit
yang digunakan untuk menggoreng tahu mutunya lebih baik
dibandingkan dengan minyak sawit yang digunakan untuk
menggoreng kerupuk.

Oksidasi pada suatu minyak dipengaruhi oleh suhu,


ketidakjenuhan minyak dan lamanya minyak terpapardengan
oksigen. Minyak dapat dioksidasi secara alami oleh oksigen
tanpa adanyapanas, oleh karena itu minyak yang belum
digunakan untuk menggoreng bisamempunyai bilangan
peroksida. Angka 0 pada bilangan peroksida belum
tentuminyak tersebut tidak teroksidasi karena peroksida
merupakan kondisi yang labildan mudah terpisah. Minyak yang
mengalami oksidasi membentuk peroksidakemudian terpecah
Minyak sawit mengalam peningkatan bilangan asam setelah menjadi aldehid dan ester aldehid sehingga untuk
digunakan untuk menggoreng bahan. Peningkatan bilangan mendeteksioksidasi pada minyak dapat dilakukan dengan
asam mnyak sawit yang digunakan untuk menggoreng kerupuk memcium baunya.
lebih tinggi dibandingkan minyak sawit yang digunakan untuk Minyak yangteroksidasi memiliki bau tengik. Jadi, peroksida
menggoreng tahu. Hal ini menandakan bahwa kerusakan pada minyak sawit yang nilainya0 bisa terjadi kerena bentuk
minyak yang terjad pada minyak sawit yang digunakan untuk peroksidanya sudah terurai menjadi bentuk lain.Peroksida ini
menggoreng kerupuk lebih tinggi dibandingkan dengan minyak terbentuk karena pada saat penggorengan dengan keadaan
sawit yang digunakan untuk menggoreng tahu.
tanpatutup, oksigen yang berada pada lingkungan mengikat
ikatan rangkap asam lemak penyusun minyak tersebut baik
Bilangan asam adalah ukuran dari asam lemak bebas, serta
pada saat minyak yang dipanaskan ataupundibiarkan terbuka.
dihitungberdasarkan berat molekul dari asam lemak atau
Pada minyak sawit oksigen memecah rantai ikatan
campuran asam lemak. Angka asam besar menunjukkan asam
rangkappada asam lemak seperti asam palmitat dan asam oleat
lemak bebas yang besar yang berasaldari hidrolisis minyak
yang terkandung padaminyak jagung yang mengakibatkan
ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik.
terbentuknya peroksida pada rantai molekulasam lemak.
Makintinggi angka asam maka makin rendah kualitasnya
Minyak jagung mengadung asam palmitat yang tinggi sejumlah
(Julianty, 2008). Bilangan peroksida ini menunjukkantingkat
44%dan asam oleat 39 % yang tergolong dalam MUFA
kerusakan lemak atau minyak (Saifudin, 2008). Warna minyak
sehingga oksidasinya tidak terlalu tinggi. Hal ini mungkin
yang
terlihat
berbeda-beda,
disebabkan
perbedaan
dikarenakan saat menggorengtahu suhu yang digunakan kurang
absorpsispektrum warna : gugus hidroksil, karboksil dan
tinggi atau lama penggorengan kuranng lamasehingga belum
gugusan-gugusan lainnyamenyerap sinar infra merah yang
terbentuk peroksida. Bisa juga nilai peroksida 0
bergelombang panjang. Ikatan rangkap yangterdapat antara
dikarenakanperoksida yang terbentuk ketika menggoreng
karbon dengan karbon akan menyerap sinar ultraviolet
sudah berubah menjadi bentuk senyawa lain, hal ini karena
yangbergelombang pendek. Sehingga ketidakjenuhan minyak
sifat peroksida yang labil.
dapat diukur denganspektrofotometer.

Minyak mengalami penurunan persentasi yang cukup


signifikan.Kejernihan minyak sisa penggorengan tahu yang
memiliki kadar air yang tinggimenurun cukup tajam
diakibatkan
oleh
proses
browning
yang
terjadi
selamapenggorengan akibat panas yang diberikan dan reaksi
kerusakan vitamin sertaasam lemak essensial, serta
terbetuknnya zat-zat lain yang dapat mempengaruhiwarna
minyak.
Hasil oksidasi lemak dalam bahan pangan tidak hanya
mengakibatkan rasa dan bau tidak enak, tetapi juga dapat
menurunkan nilai gizi, karena kerusakan vitamin (karoten dan
tokoferol) dan asam lemak esensial dalam lemak. Ketengikan
terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah manguap
terbentuk sebagai akibat dari kerusakan oksidatif dari lemak
atau minyak tak jenuh. Warna gelap pada minyak disebabkan
oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Penyebab
utama warna minyak menjadi gelap adalah suhu pemanasan
yang terlalu tinggi dan waktu pemanasan yang terlalu lama,
sehingga sebagian minyak teroksidasi. Timbulnya busa pada
saat penggorengan juga merupakan petunjuk terjadinya reaksi
oksidasi dalam minyak. Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap
asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan terbentuknya
peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak berantai
pendek yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik yang
tidak disukai seperti perubahan bau dan flavour (ketengikan).
Degradasi minyak lebih lanjut akan menghasilkan polimer.
Reaksi polimer dalam proses penggorengan menghasilkan gum
dan busa. Pembentukan gum dapat dilihat di sisi alat
penggorengan, yaitu pada wadah penggorengan yang
mengalami kontak dengan oksigen dan udara yang ditandai
dengan adanya bercak hitam di dinding penggorengan.
Peningkatan jumlah polimer menyebabkan adanya asam lemak
pada minyak dengan panjang rantai yang berbeda yang
menyebabkan minyak menjadi berbusa.

Anda mungkin juga menyukai