Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengelolaan manajemen pelayanan klinis (clinical care) sebagai pelayanan
utama tidak banyak mengalami perubahan, pelayanan masih diberikan seperti
sebelumnya yaitu dengan pendekatan tim, penerapan clinical governance, penerapan
continium of care masih belum banyak dilakukan. Pelayanan penunjang seperti
pengelolaan SDM sebagai tulang punggung utama sarana pelayanan kesehatan tidak
banyak mengalami perubahan, perhitungan jumlah SDM terlambat mengantisipasi
peningkatan jumlah pasien.
Data WHO menunjukkan, Indonesia termasuk dalam 57 negara yang
menghadapi krisis tenaga kesehatan. Padahal 80% keberhasilan pembangunan
kesehatan ditentukan SDM kesehatan guna mencapai universal health coverage
(UHC), SDM kesehatan mutlak diperlukan. Analisis beban kerja menjadi salah satu
metode terbaik untuk merencanakan kebutuhan SDM kesehatan di Indonesia. Dampak
langsung dari kuantitas tenaga kesehatan yang tidak sepadan dengan beban kerja akan
berakibat pda penurunan kualitas layanan yang secara langsung menurunkan mutu
layanan.
Selain itu pula, Perhitungan remunerasi masih banyak yang berbasis fee for
service. Pengelolaan keuangan juga belum menghitung secara cermat posisi keuangan
RS terhadap pola INA CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Minimnya
intervensi regulasi maupun manajerial membuat berbagai alat peningkatan mutu di
dalam aspek teknis pelayanan kesehatan juga tidak banyak diterapkan, atau diterapkan
tanpa terkait dengan upaya peningkatan mutu layanan.
Keperawatan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memiliki peran dalam
fungsi layanan pada tingkatan mikro dalam sebuah pelayanan khususnya di Rumah
Sakit memiliki pengaruh besar. Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat
mikro inilah yang membuat adanya perilaku para klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP.
Tenaga-tenaga kesehatan ini juga menurunkan standar pelayanan yang diberikan
kepada pasien. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset tenaga kesehatan untuk "lebih
rajin" merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money oriented). Bahkan, ada juga yang
sampai melakukan kecurangan dalam pelayanan kesehatan (fraud). Sepanjang tahun
2014 lalu potensi fraud layanan kesehatan sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah

sakit. Bukan tidak mungkin di tahun 2015 fraud akan semakin besar. Ini berpotensi
meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Untuk menjawab kondisi tersebut, banyak program yang digulirkan oleh
pemerintah yang termaktum dalam banyak aturan perundang-undangan. Salah satunya
adalah menjamin kesejahteraan perawat dengan mengeluarkan kebijakan Kementrian
Kesehatan RI melalui Keptusannya No. 625/Menkes/SK/V/ 2010 tentang Pedoman
penyusunan sistem remunerasi pegawai BLU Rumah Sakit di lingkungan Kemenkes
telah mengatur remunerasi di rumah sakit. Pelaksanaanya di Rumah Sakit, indeks point
yang digunakan untuk perhitungan remunerasi banyak memakai basic salary yaitu
hanya melihat dari kepangkatan, jabatan, lama kerja maupun pendidikan.
Pada makalah ini akan coba dilakukan penghitungan remunerasi di rumah sakit
dengan komponen incentive (Pay for Performance). Tentang incentive ini, prioritas
unit pelayanan harus lebih besar dari unit administrasi. Pembobotanpun dalam indek
juga harus fair dan acceptable karena pasti akan muncul rasa iri terhadap orang lain.
Perhitungan indeks point akan melibatkan Analisa Beban Kerja (ABK).
1.2 TUJUAN
1.2.1 Memahami sistem remunerasi perawat di Rumah Sakit
1.2.2 Memahami perhitungan Beban Kerja perawat di Rumah Sakit
1.2.3 Membuat peprhitungan indek point remunerasi berdasarkan Analisa Beban
Kerja Perawat di Rumah Sakit.

BAB 2
KONSEP TEORI
2. 1. SISTEM REMUNERASI
2. 1. 1
PENGERTIAN
Remunerasi adalah suatu sistem pengupahan yang mengatur gaji,
insentif dan merit/bonus karyawan pada suatu perusahaan. Remunerasi
merupakan salah satu unsur yang penting untuk diketahui oleh para manajer
rumah sakit karena menyangkut kesejahteraan seluruh karyawan.
Seringkali ketidakseimbangan gaji atau insentif antara kelompok
dokter,

perawat,

tenaga

kesehatan

lain,

tenaga

administrasi

dan

manajer/kepala bagian rumah sakit menyebabkan terjadinya konflik yang


berkepanjangan dan menyebabkan menurunnya komitmen karyawan terhadap
organisasi. Karenanya perlu pemahaman bagaimana system remunerasi dapat
dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan kesepakatan melalui beberapa
pendekatan yang lebih fleksibel.
2. 1. 2

TUJUAN

1. Membangun image yag baik dari organisasi (Building good image)


2. Menjamin kesejahteraan karyawan (Wellfare)
3. Memberikan motivasi terhadap kinerja karyawan (Motivations)
4. Mempertahankan keberadaan karyawan dalam organisasi (Retaining
personil)
2. 1. 3

PRINSIP DASAR REMUNERASI


Dalam penentuan remunerasi ini kita menggunakan 3 prinsip dasar

agar terdapat solusi yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan, antara
lain :
1. Kebersamaam, karena dalam organisasi rumah sakit karyawan bekerja
saling membutuhkan dan koordinasi yang baik antara Revenue Center
maupun Cost Center.
2. Keterbukaan, semua karyawan dalam bekerja harus terbuka dan saling
mengingatkan guna pencapaian hasil optimal.
3. Keadilan, dalam pelaksanaannya system pembagian remunerasi ini harus
adil dan wajar sesuai dengan penampilan kerja masing-masing karyawan.
2. 1. 4

HAK DAN KEWAJIBAN

1. Manajemen Rumah Sakit berkewajiban menyediakan alokasi dana untuk


insentif karyawan.
2. Setiap karyawan rumah sakit berhak mendapatkan insentif sesuai denga
kinerja yang dicapai.
3. Setiap karyawan yang menghasilkan jasa pelayanan dan penunjang
berkewajiban memberikan kontribusi ke Pos Remunersi yang besaran
prosentasenya ditentukan dalam sistem remunerasi.
4. Setiap karyawan yang memangku jabatan pada pusat pendapatan
(Revenue Center) berkewajiban untuk menyusun rencana bisnis (business
Plan) yang dilengkapi dengan sistem akuntabilitas.
5. Setiap karyawan yang memangku jabatan dalam pada pusat pengeluaran
(Cost Center) berkewajiban menyusun rencana aksi strategi (Strategic
Actin Plan) yang dilengkapi dengan sistem akuntabilitas.
6. Karyawan yang dimaksud pada nomer 5 (Lima) diatas adalah :
a. Direktur
b. Ketua Komite Medik
c. Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI)
d. Kabid Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Pemasaran
e. Kepala Bagian
f. Kepala Seksi dan Kepala Unit
7. Dokter Spesialis, Dokter Umum dan Dokter Gigi berkewajiban
memberikan pelayanan minimal dan produktif
2. 1. 5

PENDANAAN
Sumber dana dalam remunerasi pada prinsipnya berasal dari jasa

pelayanan dan laba operasional penunjang medis. Dari sisi remunerasi


pendapatan Rumah Sakit dibedakan atas 2 POS :
1.

Pos yang tidak diambil untuk remunerasi


Pos yang tidak diambil untuk remunerasi (langsung untuk rumah
sakit) adalah :
a. Akomodasi kamar rawat inap
b. Biaya administrasi rawat inap
c. Perawatan jenazah
d. Sewa alat medik (ECG Monitor, Ventilator, dll)

e. Konsultasi gizi
f. Kartu berobat/Emboss
g. Pengurusan Akte kelahiran, visum dan asuransi
h. Pelayanan ambulance
i. Pengelolaan ruang pertemuan
j. Praktek kerja lapangan dan penelitian
2.

Pos yang diambil untuk remunerasi


Pos dana yang diambil untuk remunerasi :
a. Jasa pelayanan medik (honor dokter umum dan dokter gigi)
b. Jasa pelayanan keperawatan
c. Laba

operasional

penunjang

medis

(Laboratorium,

Rdiologi,

fisioterapi dan farmasi)


Data Pengambilan Remunerasi :
N
O
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

JENIS

RS

REMUNERAS
I

UNIT

PAJAK

Jasa Pelayanan
(Dokter Umum)
Jasa Pelayanan
(Dokter Gigi)
Jasa Pelayanan
Keperawatan
Laba Operasional
Laboratorium
Laba Operasional
Radiologi
Laba Operasional
Fisioterapi
Laba Operasional
Farmasi

12,5
%

30 %

50 %

7,5 %

50 %

30 %

20 %

25 %

62,5 %

12,5 %

90 %

9%

1%

90 %

9,5 %

0,5 %

25 %

67 %

12,5 %

85 %

13,5 %

1,5 %

Total dana Remunerasi didistribusikan pada 3 (tiga) alokasi :


1. 90 % didistribusikan kepada seluruh karyawan sesuai dengan nilai indek
masing-masing
2. 5 % disimpan sebagai tabungan / pundi-pundi tahunan yang dibagikan
menjelang lebaran
3. 5 % dialokasikan untuk direksi

2. 1. 6

DISTRIBUSI

1. Falsafah dasar insentif adalah motivasi kerja berdasarkan fee for


performance
2. Insentif langsung maupun tidak langsung dibayarkan pada bulan
berikutnya paling lambat pada setiap tanggal 20 setelah pelayanan dalam
bulan berjalan selesei
3. Score individu dihitung oleh atasan yang bersangkutan dan perhitungan
total score individu yang menjadi score rumah sakit ditetapkan oleh
kepala bagian personalia rumah sakit
4. Besaran insentif langsung maupun tidak langsung bagi setiap karyawan
bisa berbeda setiap bulan tergantung kepada besar kecilnya POS
Remunerasi
5. yang berwenang mengesahkan insentif adalah Direktur Umum dan
Keuangan rumah sakit
6. Score individu bisa berubah setiap bulan bergantung kepada perubahan
basic index, kualifikasi pendidikan, risiko, emergency, posisi/jabatan dan
performance index
7. Insentif langsung hanya berlaku kepada karyawan yang menghasilkan
jasa
8. Karyawan bukan penghasil jasa hanya mendapat insentif tidak langsung
9. Karyawan yang telah menandatangani kontrak kerja kurang dari 3 (tiga)
bulan belum berhak mendapatkan insentif tidak langsung
10. Karyawan honorer dianggap sebagai karyawan tetap dengan dengan gaji
pokok sebesar pegawai tetap 0 (nol) tahun
2. 1. 7

Indexing
Indexing adalah teknik untuk menentukan besaran score individu

karyawan sesuai dengan beban kerjanya. Indexing berdasarkan :


1. Basic index atau indeks dasar untuk penghargaan sebagai insentif dasar
bagi seluruh karyawan yang standarnya diadopsi dari gaji pokok
karyawan yang bersangkutan dengan ketentuan setiap Rp 50.000 gaji
sama dengan 1 (satu) nilai index, Rp 25.000 = 0.5, sedangkan lebih dari
> Rp 25.000 = 1 index

2. Kualifikasi/capacity index adalah untuk memberikan penghargaan nilai


kualifikasi/capacity berdasarkan pendidikan karyawan yang diakui oleh
manajemen rumah sakit dengan ketentuan sebagai berikut :
SD

=1

SMP

=2

SMA/SMU

=3

D1/SPK/Bidan

=4

D3

=5

S1/D4

=6

S2 Umum/Dr Umum/Drg/Apoteker

=7

Dokter Spesialis

=8

S3/Dr Subspesialis

=9

3. Risk Index adalah nilai untuk risiko yang diterima karyawan akibat
pekerjaannya. Nilai resiko terbagi menjadi 3 (tiga) grade, yaitu :
a. Risiko grade I dengan nilai index 1 adalah kemungkinan terjadi risiko
kerja yang bersifat fisik, apabila karyawan yang bersangkutan bekerja
sesuai protap (SOP). Adapun yang termasuk di dalam grade ini adalah
Sekretariat,

Personalia,

Keuangan,

Kamtib,

Kerumahtanggaan,

Logistik, Kendaraan, Binroh dan MR.


b. Risiko grade II dengan nilai index 2 adalah kemungkinan terjadi risiko
kerja yang bersifat fisik dan kimiawi, apabila karyawan yang
bersangkutan bekerja sesuai protap (SOP). Adapun yang termasuk di
dalam grade ini adalah Farmasi, Rawat Inap, Rawat Jalan, Fisioterapi,
Gizi, Pemeliharaan sarana dan Laundry.
c. Risiko grade III dengan nilai index 3 adalah kemungkinan terjadi
risiko kerja yang bersifat fisik, kimiawi dan radiasi ataupun infeksius
walaupun karyawan yang bersangkutan bekerja sesuai protap (SOP).
Adapun yang termasuk di dalam grade ini adalah R. Bersalin, UGD,
Kamar Operasi, rdaiologi, Laboratorium dan ICU.
4. Emergency index adalah penilaian terhadap beban emergency yang harus
disegerakan. Terdiri dari 3 (tiga) grade, yaitu :
a. Kegawatan Rendah = grade I dengan nilai index 1.

yaitu Sekretariat, Personalia, Keuangan, Kamtib, kerumahtanggaan,


Logistik, Kendaraan, Binroh, MR, Farmasi, Rawat Jalan, Fisioterapi,
Gizi, Pemeliharaan & Sarana dan Laundry.
b. Kegawatan Sedang = grade I dengan nilai index 2.
yaitu Rawat Inap, Laboratorium dan Radiologi.
c. Kegawatan Tinggi = grade I dengan nilai index 3.
yaitu ICU/RRI, OK, UGD dan Kamar Bersalin.
5. Position index adalah untuk menilai beban jabatan yang disandang
karyawan sesuai dengan SK direktur. Dengan ketentuan kelompok jabatan
sebagai berikut :
a. Kasubid, Ketua Panitia, Koordinator, dan Pengawas = 2
b. Kepala Unit, Kepala Seksi = 4
c. Ketua Komite Medik, Badan Pengawas, Kabag, Kabid = 6
6. Performance index untuk mengukur hasil/pencapaian kerja dari karyawan.
Kinerja dikaitkan dengan sistem akuntabilitas kinerja (sistem manajemen
kinerja/PMS). Nilai index kinerja adalah dua kali hasil pencapaian kinerja.
Performance Index ini diperhitungkan terutama untuk pembagian insentif
langsung unit kerja (kue kecil), sedangkan pembagian insentif tidak
langsung (kue besar) semua dianggap sama karena bel um ada standar
penilaian kinerja yang baku untuk setiap karyawan. Adapun nilai index

yang dipakai adalah = 2.


Dalam perencanaan selanjutnya performance index akan diperhitungkan
dengan Evaluasi presensi Karyawan (formula yang dipakai masih dalam
pembahasan tim)
7. Setelah dilakukan indexing maka dilakukan Rating, yaitu :
a. Basic Index

= Rate 1

b. Kualifikasi Index

= Rate 2

c. Risk Index

= Rate 3

d. Emergency Index

= Rate 3

e. Position Index

= Rate 3

f. Performance Index

= Rate 4

8. Score adalah nilai individu yang merupakan perkalian dari indeks terhadap
rating atau bobot

9. Total

score

individu

adalah

penjumlahan

dari

score

basic,

kualifikasi/capacity, risk, emergency, position dan performance


10. Total score individu seluruh karyawan dijumlahkan menjadi total score
Rumah Sakit
Format Indexing
No
1

Objek
Basic Index :
1) Setiap gaji karyawan Rp 50.000 bernilai
index 1
2) Rp 25.000 bernilai index 0.5
3) > Rp 25.000 bernilai index 1
Kualifikasi/capacity index
1) SD
2) SMP
3) SMA/SMU
4) D1/SPK/Bidan
5) D3
6) S1/D4
7) S2/Dr Umum/Dr Gigi/Apoteker
8) Dokter Spesialis
9) S3/Dr Subspesialis
Risk Index
1) Grade I
2) Grade II
3) Grade III
Emergency Index
1) Grade I
2) Grade II
3) Grade III
Position Index
1) Kasubid, Ketua Panitia, Koordinator dan
Pengawas
2) Kanit dan Kasi
3) Ketua Komite Medik, SPI, Kabag,
Kabid dan Manajer
Performance Index
Sementara semua dianggap sama
TOTAL SCORE

Index

Rating

Score

1
2
3
4
5
6
7
8
9

1
2
3

1
2
3

2
4
6

2. 2. ANALISIS BEBAN KERJA


2. 2. 1
PENGERTIAN

Analisa beban kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja
orang yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan
dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain analisis beban kerja bertujuan
untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung
jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang petugas.
Beban kerja secara umum menurut Groenewegen dan Hutten (1991)
adalah keseluruhan waktu yang digunakan dalam melakukan aktivitas atau
kegiatan dalam kerja. Menurut Finkler dan Koyner (2000), beban kerja
diartikan sebagai volume kerja dari suatu unit atau departemen. Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa beban kerja adalah
keseluruhan waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan di suatu unit
atau departemen.
Sedangkan beban kerja perawat menurut Hubber (2000) adalah
pengukuran dari aktifitas kerja perawat dan ketergantungan klien terhadap
asuhan keperawatan. Beban kerja perawat di rumah sakit terkait dengan dua
fungsi variabel, yaitu jumlah harian klien dan waktu asuhan keperawatan
setiap klien per hari (Kirby dan Wiczai, 1985; dalam Hubber, 2000).
Beban kerja perawat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam
memperkirakan beban kerja perawat pada suatu unit tertentu, seorang
pemimpin atau manajer harus mengetahui (Gillies, 1989): (1) berapa banyak
klien yang dimasukkan ke unit per hari, bulan atau tahun, (2) kondisi klien di
unit tersebut, (3) rata-rata klien yang menginap, (4) tindakan perawatan
langsung dan tak langsung yang dibutuhkan masing-masing klien, (5)
frekuensi dari masing-masing tindakan keperawatan yang harus dilakukan,
dan (6) rata-rata waktu yang dibutuhkan dari masing-masing tindakan
keperawatan baik langsung maupun tidak langsung.
2. 2. 2

TUJUAN
Analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah

pegawai yang dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dan berapa


jumlah tanggung jawab atau beban kerja yang dapat dilimpahkan kepada
seorang pegawai, atau dapat pula dikemukakan bahwa analisis beban kerja
adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau
dibutuhkan untuk merampungkan beban kerja dalam waktu tertentu. Dalam

10

hal ini, analisa beban kerja sangat membantu dalam penentuan indek point
yang didapatkan perawat selama bekerja dan menjadi dasar dalam pemberian
remunerasi secara adil berbasis fee for performance.
2. 2. 3

METODE ANALISIS BEBAN KERJA


Dalam rangka mendapatkan informasi yang diperlukan dalam

kegiatan ini dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu :


1. Pendekatan Organisasi
Organisasi dipahami sebagai wadah dan sistem kerja sama dari
jabatan-jabatan. Melalui pendekatan organisasi sebagai informasi, akan
diperoleh informasi tentang : nama jabatan, struktur organisasi, tugas
pokok, fungsi dan tanggung jawab, kondisi kerja, tolok ukur tiap
pekerjaan, proses pekerjaan, hubungan kerja, serta persyaratanpersyaratan seperti : fisik, mental, pendidikan, ketrampilan, kemampuan,
dan pengalaman.
Berdasarkan pendekatan organisasi ini dapat dibuatkan prosedur
kerja dalam pelaksanaan kerja yang menggambarkan kerja sama dan
koordinasi yang baik. Kegiatan dan hubungan antar unit organisasi perlu
dibuatkan secara tertulis, sehingga setiap pegawai tahu akan tugasnya
bagaimana cara melakukannya serta dengan siapa pegawai itu harus
mengadakan hubungan kerja.
Selanjutnya tugas dan fungsi setiap satuan kerja dihitung beban
tugasnya. Hambatannya karena belum adanya ukuran beban tugas, hal ini
perlu kesepakatan tiap satuan kerja yang sejenis. Dengan demikian ukuran
beban tidak hanya satu, tetapi bisa dua, tiga atau lebih.
2. Pendekatan analisis jabatan
Jabatan yang dimaksud tidak terbatas pada jabatan struktural dan
fungsional, akan tetapi lebih diarahkan pada jabatan-jabatan non
struktural yang bersifat umum dan bersifat teknis (ingat kriteria jabatan
baik aspek material maupun formal). Melalui pendekatan ini dapat
diperoleh berbagai jenis informasi jabatan yang meliputi identitas jabatan,
hasil kerja, dan beban kerja serta rincian tugas. Selanjutnya informasi
hasil kerja dan rincian tugas dimanfaatkan sebagai bahan pengkajian
beban kerja.

11

Beban kerja organisasi sesuai prinsip organisasi akan terbagi habis


pada sub unit-sub unit dan sub unit terbagi habis dalam jabatan-jabatan.
Melalui pendekatan analisis jabatan ini akan diperoleh suatu landasan
untuk penerimaan, penempatan dan penentuan jumlah kualitas pegawai
yang dibutuhkan dalam periode waktu tertentu antara lain :
a. Sebagai landasan untuk melakukan mutasi;
b. Sebagai landasan untuk melakukan promosi;
c. Sebagai landasan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan
(Diklat);
d. Sebagai landasan untuk melakukan kompensasi;
e. Sebagai landasan untuk melaksanakan syarat-syarat lingkungan kerja;
f. Sebagai landasan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan atau
prasarana dan sarana kerja
3. Pendekatan Administratif
Melalui pendekatan ini akan diperoleh berbagai informasi yang
mencakup berbagai kebijakan dalam organisasi maupun yang erat
kaitannya dengan sistem administrasi kepegawaian.
2. 2. 4

TEKNIK PENGHITUNGAN BEBAN KERJA


Analisis beban kerja dilakukan dengan membandingkan bobot/beban

kerja dengan norma waktu dan volume kerja. Target beban kerja ditentukan
berdasarkan rencana kerja atau sasaran yang harus dicapai oleh setiap jabatan,
misalnya mingguan atau bulanan. Volume kerja datanya terdapat pada setiap
unit kerja, sedangkan norma waktu hingga kini belum banyak diperoleh
sehingga dapat dijadikan suatu faktor tetap yang sangat menentukan dalam
analisis beban kerja.
Teknik perhitungan yang digunakan adalah teknik perhitungan yang
bersifat praktis empiris, yaitu perhitungan yang didasarkan pada
pengalaman-pengalaman basis pelaksanaan kerja masa lalu, sesuai judgement
disana-sini dalam pengukuran kerja dilakukan berdasarkan sifat beban kerja
pada masing-masing jabatan, mencakup :
1. Pengukuran kerja untuk beban kerja abstrak
Untuk mengukur beban kerja abstrak diperlukan beberapa
informasi antara lain :

12

a. Rincian / uraian tugas jabatan.


b. Frekwensi setiap tugas dalam satuan tugas.
c. Jumlah waktu yang dibutuhkan setiap tugas.
d. Waktu Penyelesaian Tugas merupakan perkalian beban kerja dengan
norma waktu.
e. Waktu kerja efektif.
f. Pengukuran kerja untuk beban kerja konkret
Untuk mengukur beban kerja konkret diperlukan beberapa
informasi antara lain :
a. Rincian / uraian tugas jabatan.
b. Satuan hasil kerja.
c. Jumlah waktu yang dibutuhkan setiap tugas.
d. Target waktu kerja dalam satuan waktu.
e. Volume kerja merupakan perkalian beban kerja dengan norma waktu.
f. Waktu kerja efektif.
Berkaitan dengan alat ukur dan oleh karena instansi pemerintah
merupakan instansi non profit, hal yang dapat dipergunakan sebagai alat ukur
adalah jam kerja yang harus di isi dengan kerja untuk menghasilkan
berbagai produk baik bersifat konkret maupun abstrak (benda atau jasa).
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyusunan Kebutuhan Pegawai Negeri
Sipil, ditetapkan jam kerja efektif terdiri dari jumlah jam kerja formal
dikurangi dengan waktu kerja yang hilang karena tidak bekerja seperti
melepas lelah, istirahat makan dan sebagainya. Dalam menghitung jam kerja
efektif digunakan ukuran sebagai berikut :
1. Jam Kerja Efektif per hari = 1 hari x 5 jam =300 menit
2. Jam Kerja Efektif per minggu = 5 hari x 5 jam =25 jam = 1.500 menit
3. Jam Kerja Efektif per bulan = 20 hari x 5 jam =100 jam = 6.000 menit
4. Jam Kerja Efektif per tahun = 240 hari x 5 jam =1.200 jam = 72.000
menit
Setiap unit kerja mempunyai hasil kerja yang berbeda satu sama lain
baik jenis maupun satuannya, sehingga agar dapat diukur dengan alat ukur

13

jam kerja efektif, semua produk/hasil kerja tersebut harus dikonfirmasikan


sehingga memiliki satu kesatuan.
Untuk dapat menjadikan hal tersebut, setiap volume kerja yang
berbeda antara unit kerja adalah merupakan variabeltidak tetap dalam
pelaksanaan analisis beban kerja dalam arti volume kerja setiap waktu dapat
berubah, sedangkan waktu yang dipergunakan untuk menghasilkan/
menyelesaikan produk tersebut (yang selanjutnya akan disebut norma waktu)
relatif tetap, dan selanjutnya akan menjadi variabel tetap dalam pelaksanaan
analisis beban kerja.
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan dimuka, disebutkan bahwa
beban/bobot kerja merupakan hasil kali volumekerja dengan norma waktu.
Volume kerja setiap unit kerja dapat diketahui berdasarkan dokumentasi hasil
kerja yang ada, sedangkan norma waktu perlu ditetapkan dalam standar
norma waktu baku, yang akan dijadikan faktor tetap dalam setiap melakukan
analisis beban kerja, dengan asumsi-asumsi tidak terdapat perubahan yang
menyebabkan norma waktu tersebut berubah.
2. 3. PERHITUNGAN INDEKS POINT REMUNERASI BERDASARKAN
BEBAN KERJA
Salah satu acuan remunerasi bagi perawat yang mungkin bisa dilakukan
sebagai sebuah alternatif untuk penghargaan kinerja adalah dengan menggunakan
analisis beban kerja (ABK). Walaupun sedikit rumit dan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk menghitungnya, tapi setidaknya ini dapat dijadikan alternatif
berikutnya.
Memang muncul kekhawatiran, kalau aktifitas / kegiatan yang dituliskan
sebagai bahan penghitungan ABK bersifat subyektif dan mengada-ada. Karena hal
ini akan berimbas pada hasil yang tidak valid dan bias yang terlalu lebar. Tapi bila
ABK ini dibuat dengan data yang obyektif, maka ABK ini akan menjadi solusi
alternatif penghitungan jasa pelayanan bagi perawat dalam menghitung indek
langsung.
Dalam Permendagri nomor 12 tahun 2008 telah diuraikan Pedoman Analisis
Beban Kerja di Lingkungan Depdagri dan Pemerintah Daerah. Dalam lampiran
putusan itu telah dijelaskan secara gamblang, bagaimana melakukan analisis beban
kerja.
Langkah 1 : Mengumpulkan data beban kerja

14

Pengumpulan data beban kerja analis harus melakukan pengkajian organisasi


sehingga memperoleh kejelasan mengenai tugas pokok dan fungsi, rincian tugas dan
rincian kegiatan. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan data data ini
diantaranya dengan menyebarkan formulir, wawancara dan observasi.
Langkah 2 : Pengolahan Data Beban Kerja
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menghitung jumlah
beban kerja jabatan yang merupakan perkalian volume kerja dengan norma waktu.
Setelah didapatkan jumlah beban kerja jabatan, tinggal dihitung kebutuhan
pegawai/tenaga, tingkat efisiensi dan prestasi jabatan. Jumlah kebutuhan tenaga
didasarkan dengan menghitung jumlah beban kerja tenaga dibagi jam kerja efektif
per tahun.
Prestasi jabatan ditentukan dengan pedoman di atas 1,00 nilainya A : sangat baik;
0,90 1,00 nilai B : Baik; 0,70 0,89 nilai C : cukup; 0,50 0,69 nilai D : sedang;
kurang dari 0,500 nilai E : kurang.
Setelah didapatkan data ABK itu, maka nilai itulah yang dijadikan sebagai standar
untuk pembagian Jasa Pelayanan Perawatan pada indek langsung.

15

BAB 3
APLIKASI
Di bawah ini, beberapa panduan atau simulasi yang dapat digunakan untuk
menghitung

remunerasi

bagi

perawat.

Masing

masing

kategori

menggunakan

nilai/poin/indek, untuk membedakan dari masing masing kategori itu :


1.

Golongan dan Kepangkatan. Dikategorikan dengan Gol 2a, 2b, 2c dst sampai 4d.
Masing masing golongan memiliki nilai sendiri sendiri, misalnya : 2a = 7 index, 2b = 8
indek, 2c = 9 indek dst. Bagi rumah sakit swasta yang tidak memiliki golongan
kepangkatan, bisa diasosiasikan dengan golongan yang berlaku di rumah sakit tersebut.

2.

Masa Kerja. Masa kerja bisa dihitung dari 0-3 bulan, 3-1 tahun, 1-2 tahun, 2-3
tahun dst. Masing masing juga dengan indek berbeda. Misal 0-3 bulan = 0,0 indek, 3-1
tahun = 0,5 indek, 1-2 tahun = 1 indek, 2-3 tahun = 1,5 indek dst.

3.

Volume Kerja. Volume kerja dihitung berdasar absensi harian. Misal selama satu
bulan cuti 12 hari = 4 indek, cuti 8 hari = 5 indek, cuti 4 hari = 6 indek, tidak cuti = 6
indek.

4.

Pendidikan. Pendidikan dikategorikan dari SPK, D1, D3, D4, S1, S1 Profesi, S2
Profesi dst. Misal : SPK = 1 indek, D1 = 1,5 indek, D3 = 2,5 indek, D4 = 3 indek, S1 =
5 indek, S1 Profesi 6 indek dst.

5.

Volume Tanggung Jawab. Volume Tanggung jawab bisa dikategorikan menjadi


Supervisor, Kepala Ruang, PN/Ka Team, Perawat Pelaksana, Perawat pelaksana VIP,
Perawat Pelaksana Unit Khusus (ICU, IGD) dll. Masing masing juga sama dengan
indek yang berbeda.

6.

Tunjangan Jabatan. Tunjangan Jabatan bisa dikategorikan dari Supervisor,


Kepala Ruang, Wakil Kepala Ruang, PN/Ketau Team.

7.

Tunjangan Fungsional. Tunjangan Fungsional dapat dikategorikan menjadi


perawat shift, perawat non shift dan perawat administrasi.

16

Dengan pedoman ini, masing masing perawat dilihat dan dihitung jumlah indek yang
dimiliki, kemudian dikalikan dengan harga indek pada bulan itu.
Sebagai contoh :
Perawat Yesvi, seorang Kepala Ruang ICU dengan masa kerja 10 tahun, Gol 3A, Pendidikan
S1. Maka bisa dihitung jumlah indeknya. Bila jumlah indeknya 40, dan harga indek pada
bulan itu adalah Rp.75.000,- maka jasa pelayanan yang diterima oleh perawat Yesvi adalah
40 x Rp.75.000 = Rp. 3.000.000,-. Inipun masih ditambah dengan Indek langsung, yang
didapat dari kinerja ruang yang ditempati perawat Yesvi.

Cara penghitungan harga indek/poin dan jasa langsung dalam pembagian jasa
pelayanan bagi perawat.
Bila kebijakan rumah sakit telah memberikan porsi tersendiri bagi komunitas
perawat dalam jasa pelayanan, maka penghitungan indek akan cukup mudah dan
transparan, karena porsi yang diberikan oleh manajemen rumah sakit sudah jelas.

Simulasi :
Pada bulan Januari 2010, dari seluruh jasa pelayanan yang dihasilkan rumah sakit untuk
dibagikan kepada seluruh karyawan sebesar 2 milyar. Dan berdasarkan kebijakan,
umpamanya profesi perawat mendapatkan 33% dari 2 milyar. Maka uang yang dibagikan
untuk seluruh perawat sebesar Rp. 660.000.000,Dari Rp.660.000.000,- dibagi menjadi dua, yaitu untuk Jasa Langsung dan Jasa Tidak
Langsung. Prosentase Jasa Langsung dan Jasa Tidak Langsung disepakati bersama di
komunitas perawat, apakah 20%:80% atau 30%:70% disesuaikan dengan selera masing
masing.
Taruhlah kita ambil 30% untuk Jasa Langsung dan 70% untuk Jasa Tidak Langsung.
Penghitungan indek/poin digunakan untuk membagi Jasa Tidak Langsung. Sehingga yang
dibagi dengan indek/poin sebesar Rp.660.000.000 x 70% = Rp.462.000.000,Setelah didapatkan angka itu, langkah berikutnya adalah menghitung jumlah indek seluruh
perawat di rumah sakit. Pada tulisan sebelumnya dicontohkan perawat Yesvi memiliki indek
sebanyak 40. Perawat lain ungkin ada yang 30, 35, 42, 38 dst. Seluruhnya di hitung, sehingga
didapatkan jumah kumulatif seluruh indek perawat. Contoh saja, kalau rata rata indek adalah
40 dan di rumah sakit kita ada 400 perawat, berarti ada 40 x 400 = 16000 indek.

17

Nah untuk menghitung harga indek adalah dengan cara uang yang dibagi untuk Indek Tidak
Langsung di bagi dengan total indek. Kalau menggunakan contoh di atas, berarti Rp.
462.000.000,- : 16.000 = Rp. 28.875,- Artinya satu indek harganya Rp. 28.875,- Kalau
diilustrasikan kepada perawat Yesvi yang memiliki indek 40, maka tinggal dikalikan dengan
harga indek. Sehingga didapatkan 40 x Rp. 28.875 = Rp. 1.155.000,- Berarti dalam bulan
Januari, perawat Yesvi mendapatkan Jasa Pelayanan dari Jasa Tidak Langsung sebesar Rp.
1.155.000,Masing masing perawat tentu berbeda, tergantung dari jumlah indek/poin yang dimiliki oleh
perawat tersebut.

Cara Menghitung Jasa Langsung.


Jasa Langsung didapatkan dari seberapa besar kinerja perawat dalam satu ruang.
Bagi ruangan yang memiliki pendapatan per bulan dari tindakan perawatan tinggi, tentu
Jasa Langsungnya akan lebih tinggi. Walaupun mungkin pada akhirnya prinsip
kebersamaan musti dikedepankan.

Ilustrasi
Di ruang A, dari laporan bulan Januari menghasilkan pendapatan tindakan perawatan sebesar
25 juta. Ruang B sebesar 30 juta. Ruang C sebesar 28 juta dst. Dengan cara menghitung
prosentase kontribusi terhadap pendapatan perawat, maka masing masing ruang bisa dihitung
berapa besar kontribusi yang diberikan.
Contoh pendapatan seluruh tindakan perawatan adalah 200 juta. Maka ruang A yang
memberikan kontribusi 25 juta berarti berkontribusi sebesar 12,5%. Ruang B yang
menghasilkan 30 juta berarti berkontribusi sebesar 16% dst.
Di atas sudah diilustrasikan, bahwa jumlah Jasa Langsung adalah 30% x Rp.660.000.000 =
Rp. 198.000.000 atau sama dengan Rp.660.000.000 Rp.462.000.000 = Rp. 198.000.000,Ruang A yang berkontribusi sebesar 12,5%, maka Jasa Langsung yang diterima oleh ruang A
berarti Rp.198.000.000 x 12,5% = Rp. 24.750.000. Nah bagaimana membagi ke masing
masing perawat terhadap Jasa Langsung ini? Tentu diserahkan ke masing masing ruang.
Apakah dengan cara menghitung seluruh aktifitas perawatan masing masing orang dalam

18

satu bulan atau dibagi rata dalam satu ruang itu.

Cara Perhitungan sama Rata pada jasa langsung


Bila dibagi rata dalam satu ruang, maka seumpama di Ruang A jumlah perawatnya 20 orang,
maka Rp.24.750.000 : 20 = Rp.1.237.500,- Sehingga masing masing perawat mendapat Rp.
1.237.500,- dari Jasa Langsung.
Sehingga, seandainya perawat Yesvi adalah seorang perawat di Ruang A, maka dalam bulan
Januari, di mendapatkan Jasa Perawatan sebesar Rp.1.155.000,- (jasa tidak langsung)
ditambah Rp. 1.237.500,- (Jasa Langsung) sehingga seluruhnya dia mendapatkan Jasa
Perawatan sebesar Rp.2.392.500,-.

Cara Perhitungan dengan Berbasis ABK pada jasa langsung


Bila dibagi berdasarkan dengan analisa beban kerja dalam satu ruang, maka seumpama di
Ruang A jumlah perawatnya 30 orang, dengan indicator beban kerja ringan (1,25 point) 4
perawat, sedang (2,5 point) 20 perawat, cukup berat (3,75 point) 3 perawat, berat (5 point) 3
perawat, maka Rp.24.750.000 dibagi sesuai persentase beban kerja. Jika perawat dengan
beban kerja ringan maka mendapatkan masing-masing orang sebesar = Rp.386.187,- beban
kerja sedang = Rp.772.375,- beban kerja cukup berat = Rp.1.041.162,- beban kerja berat Rp.
1.544.679,- dari Jasa Langsung.
Sehingga, seandainya perawat Yesvi adalah seorang perawat di Ruang A dengan beban kerja
cukup berat, maka dalam bulan Januari, di mendapatkan Jasa Perawatan sebesar
Rp.1.155.000,- (jasa tidak langsung) ditambah Rp. 1.041.162,- (Jasa Langsung) sehingga
seluruhnya dia mendapatkan Jasa Perawatan sebesar Rp.2.196.162,-.

19

BAB 4
PEMBAHASAN

Pada ilustrasi dan simulasi perhitungan sistem remun dengan pengumpulan indek
point contoh kasus diatas, didapatkan perbedaan pendapatan perawat Yesvi yaitu jika
dengan sistem pembagian merata didapatkan nilai Jasa Perawatan sebesar Rp.2.392.500,sedangkan jika sistem pembagiannya dengan analisa beban kerja didapatkan nilai Jasa
Perawatan sebesar Rp.2.196.162,-. Perbandingan antara keduanya adalah sebesar Rp.
196.338,-. Nilai besaran insentif pada perawat Yesvi memang kecil jika menggunakan
dasar analisa beban kerja, akan tetapi jika diberlakukan dengan perhitungan tersebut bisa
mendapatkan hasil yang adil secara perhitungan walaupun dengan konsekuensi
mendapatngkan konflik internal dari ruangan bersangkutan.
Pengumpulan data analisa beban kerja harus dilakukan dengan mengkajianya
melalui pendekatan organisasi sehingga memperoleh kejelasan mengenai tugas pokok dan
fungsi, rincian tugas dan rincian kegiatan yang dilakukan diruangan oleh setiap unsure
anggota yang ada di dalamnya. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan data data
ini diantaranya dengan menyebarkan formulir, wawancara dan observasi
Dari analisa beban kejra berdasarkan pendekatan organisasi dibuat kesimpulan
kategori beban kerja yaitu; indicator beban kerja ringan (1,25 point), sedang (2,5 point),
cukup berat (3,75 point), berat (5 point). Terkait dengan indek point yang ada ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara unsure-unsur dalam organisasai tersebut dan ditetapkan
melalui kebijakan yang ruangan dan structural Rumah sakit.
Dengan besaran nilai jasa langsung di Ruang A yaitu sebanyak Rp.24.750.000
maka dapat dihitung pembagian remunerasi pada tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1 Pembagian Remunerasi dari jasa Langsung Ruang A

No

Indicato

Jumlah

Nilai

Total Remun Per

Pendapatan tiap perawat

20

r ABK

Perawa
t

Point

Indikator ABK

Ringan

1,25

Rp. 1.544.751

Rp. 386.187

Sedang

20

2,5

Rp. 15.447.672

Rp. 772.375

Cukup
Berat

3,75

Rp. 3.123.701

Rp. 1.041.162

Berat

Rp. 4.634.038

Rp. 1.544.679

Rp. 24.750.000

TOTAL

Rumus Total Remun (TR) Per Indikator ABK :

TR(ABK) = indek point x jumlah Perawat

x Besaran Jasa Langsung

Total (indek point x Perawat)

Rumus Pendapatan tiap perawat (PP) :

PP = TR(ABK) : jumlah perawat

21

Dari hasil diatas, maka akan didapatkan nilai yang adil secara perhitungan beban
kerja masing-masing perawat yang ada di Ruang A. Dengan pertimbangan perhitungan
ABK ini diharapkan perawat ruangan dapat termotivasi meningkatkan kinerja perawatan
sehingga mutu layanan keperawatanpun meningkat.
Ada banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan dalam
penyusunan sistem remunerasi ini, terutama dalam analisa beban kerja perawat yang
dilakukan dengan metode menyebarkan kuesioner, wawancara maupun observasi.
Dikhawatirkan pandangan subjektifitas mendominasi dalam penentuan beban kerja
tersebut, selain itu jika dalam perhitungan menggunkan metode observasi akan
membutuhkan banyak tenaga dan menghabiskan banyak waktu dalam pelaksanaanya.

22

BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dalam penentuan sistem insentif berupa remunerasi memiliki perbedaan pada
setiap rumah sakit tergantung pada kebijakan yang disepakati oleh pihak pengelola
berdasarkan analisa situasi rumah sakit yang ada. Beberapa Rumah Sakit
menerapkan pembagian remunerasi dengan mekanisme berkeadilan artinya sama rata
pada setiap perawat akan tetapi setelah dilakukan pembagian kepada ruangan sesuai
dengan stressing kerja masing-masing ruangan. Disisi lain, ada juga yang
membaginya dengan sebelumnya melakukan penganalisisan beban kerja pada setiap
perawat ruangan yang memang setelah dilakukan pengkajian, membutuhkan waktu
dan tenaga lebih serta meminimalisir subjektifitas pada penilai.

5.2. Saran
Format yang telah dibuat oleh setiap rumah sakit memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing walaupun dalam pembuatannya memiliki dasar berfikir
yang praktik yang disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Sehingga tidaklah
menutup kemungkinan akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan
melalui kajian-kajian ilmiah. Sehingga diharapkan banyak perawat yang melakukan
riset-riset yang menguji instrument atau format pembagian remunerasi.

23

DAFTAR PUSTAKA

Bausat, Nuhidayat. 2015. Strategi RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone menuju


Implementasi Sistem Pembayaran Prospektif.Jurnal Administrasi Kebijakan
Kesehatan.Vol. 1 No. 2. Januari 2015
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman penyusunan sistem remunerasi pegawai BLU
Rumah Sakit. Jakarta
Prihatin, Sandriya. 2014.Naskah Publikasi: Remunerasi sebagai Kebijakan Kompensasi di
Rumah Sakit Astrinapura Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Akses pada hari Jumat,
6 April 2016 jam 06.00
Surianto, Laksono. 2013. Evaluasi Penerapan Kebijakan Badan Layanan Umum Daerah
di RSUD Undata Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
Vol. 2 Hal 35-41 No. 01 Maret 2013

24

Anda mungkin juga menyukai