Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Demam Berdarah Dengue

Pembimbing : dr. Sedyo Wahyudi, Sp. A

Disusun Oleh:
Lora Anggraeni Patoding

11.2014.199

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PANTI WILASA Dr. CIPTO
PERIODE 14 Maret 2016 s.d 21 Mei 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
(UKRIDA) JAKARTA
1

Pendahuluan
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan di Indonesia,
dimana seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DHF, sebab
baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk
maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Walaupun angka kesakitan penyakit ini cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, sebaliknya angka kematian cenderung menurun, dimana pada
akhir tahun 60-an/awal tahun 70-an sebesar 41,3% menjadi berkisar antara 3-5% pada saat
sekarang.
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia.
Sedangkan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa Dengue Fever (DF) dan
Dengue Haemoragic Fever (DHF). DHF merupakan penyakit demam akut dengan ciri-ciri
demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang menyebabkan
kematian.

Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti


Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Bangsa

: Diptera

Suku

: Culicidae

Marga

: Aedes

Jenis

: Aedes aegypti L.

Morfologi Nyamuk Aedes aegypti


Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut black-white mosquito, karena
tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Panjang
badan nyamuk ini sekitar 3-4 mm dengan bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya, dan
juga terdapat ring putih pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari toraks terdapat bentuk bercak
yang khas berupa dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya. Bentuk
abdomen nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari
cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk betinanya lebih besar dibandingkan
nyamuk jantan.1
Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna
atau holometabola.
1.

Stadium Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, berwarna hitam,

berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan
telur-telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat
penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina dapat
menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering
(tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik
setelah sekitar 1-2 hari terendam air.
2.

Stadium Larva (Jentik)


Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon yang pendek, besar

dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis
negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air.
Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap 12-1 menit, guna mendapatkan
oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari.

Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan
pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1.

Instar I

2.

Instar II

3.

Instar III

4.

Instar IV : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm : 2,5-3,8 mm : lebih besar sedikit dari

larva instar II : berukuran paling besar, yaitu 5 mm.


3.

Stadium Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh bengkok, dengan bagian kepala

dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak
seperti tanda baca koma. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung
selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa,
pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan
munculnya nyamuk dewasa.
4.

Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas

permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat
terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1. Nyamuk jantan
muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari
sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah
kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian
kawin dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan.1

Bionomik Nyamuk Aedes aegypti


1.

Tempat Perindukan atau Berkembang biak


Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat

penampungan air bersih di dalam atau di sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di
4

suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dan barang-barang
bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan akan terisi air. Nyamuk ini tidak dapat
berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Tempat perindukan
utama tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Tempat Penampungan Air (TPA) untuk
keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya, (2)
Tempat Penampungan Air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minuman
hewan, ban bekas, kaleng bekas, vas bunga, perangkap semut, dan sebagainya, dan (3) Tempat
Penampungan Air (TPA) alamiah yang terdiri dari lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, dan lain-lain.
2.

Perilaku Menghisap Darah


Nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu,

setelah kawin nyamuk betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnya.
Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Nyamuk betina menghisap
darah pada pagi dan sore hari dan biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB. Untuk
mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi
menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang
nyamuk Aedes aegypti sekitar 100 meter.
3.

Perilaku Istirahat
Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk

mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal
di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah
tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur, dan WC. Di dalam
rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu, dan tirai. Sedangkan di
luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah.
4.

Penyebaran
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk

ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup
dan berkembang biak sampai ketinggian daerah 1.000 m dari permukaan air laut. Di atas
5

ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut
suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut.
5.

Variasi Musim
Pada saat musim hujan tiba, tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada

musim kemarau tidak terisi air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat
menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air
alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk
ini. Oleh karena itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat.
Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan
penularan penyakit dengue.
Tahap-tahap replikasi dan penularan virus dengue terdiri dari:
1. Virus ditularkan ke manusia melalui saliva nyamuk
2. Virus bereplikasi dalam organ target
3. Virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik
4. Virus ditularkan ke manusia melalui saliva nyamuk
2. Virus bereplikasi dalam organ target
3. Virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik
7. Virus bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk Aedes aegypti untuk kemudian akan ditularkan
kembali ke manusia1

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100000 penduduk (1989-1995) dan pernah meningkat
tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100000 penduduk pada tahun1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada taun 1999.1
6

Pada tahun 1988, penyakit DBD di Jakarta tercatat 10.647 kasus, tetapi pada tahun 1993
jumlah kasus dapat ditekan hingga hanya terdapat 2268 orang. Tahun 1997 jumlah kasus
meningkat lagi menjadi 5189 orang penyakit ini menyebabkan KLB pada tahun 1998 dengan
kasus 15360 orang yang menyebabkan 133 orang meninggal dunia. Periode Januari hingga
Agustus 1999, jumlah kasus yang tercatat sebanyak 2480 orang, 34 orang di antaranya
meninggal dunia. Jumlah kasus menurun pada tahun 2003 menjadi 2303 orang. Pada periode
Februari hingga maret 2004 terjadi lagi peningkatan kasus dengan jumlah kasus sebanyak 3393
orang. Awal tahun 2005 hingga 8 Agustus 2005, kasus yang ditemukan sebanyak 10847 orang
dengan jumlah kematian 57 orang dengan angka kesakitan sebesar 96,4 per 100000 penduduk,
tertinggi dari 31 provinsi di Indonesia. Hingga 9 mei 2006 jumlah total kasus DBD di DKI
Jakarta tercatat sebanyak 11330 orang dan 24 orang meninggal dunia. Tetapi secara umum
jumlah kasus DBD di Jakarta pada tahun 2006 mulai menurun.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes ( Aedes
aegypti dan Aedes albopictus ). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue
yaitu: 1). Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan, vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain 2). Pejamu : terdapatnya
penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis
kelamin; 3). Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.5

Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotipe virus dengue
(disebut DEN-1, DEN-2, dst) dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada manusia
oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh
serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe
yang lain. Virus-virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus
lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan
terbungkus oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavivirus
7

mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk
mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang
berkaitan dengan membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural
(NS). Domain-domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan reseptor
virus berhubungan dengan protein pembungkus.2

Patofisiologi
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty. Pertamatama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit
(petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar
getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virusantibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5
akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan
merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh
darah yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya volume
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya
kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat ,
terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Adanya kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan
kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan
dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak
8

mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat
mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan,
metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis
pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan
koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh
tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

Patogenesis
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody
dependent enhancement ( ADE ).
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi
primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis
virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan
9

sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai
antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).

Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang
lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan uraian berikut: Pada infeksi
selanjutnya,

antibody

heterologous

yang

telah

terbentuk

dari

infeksi

primer

akan

membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat
dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius. Akibat adanya infeksi
sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non
neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks
virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui
bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus
antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi,
internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan
memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena
antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di
dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam betuk gambar berikut:
10

TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen
antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan mengakibatkan
syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi
virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah
terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi
baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga
mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells
enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi
terhadap terjadinya DBD dan SSD. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut,
bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.

11

Manifestasi Klinik
Gejala klinis DBD ditandai dengan :
-

Demam tinggi mendadak terus menerus selama 2-7 hari

Gejala klinis lain seperti sakit kepala/retro orbital, nyeri pada otot dan sendi, lemah,
mual, muntah

Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan ditemukan
faring hiperemis

Perasaan tidak enak di epigastrium, nyeri bawah lengkung iga kanan, kadang-kadang
nyeri dapat dirasakan pada seluruh perut

Perdarahan spontan dan terdapat ruam

Terdapat 4 gejala utama DBD, yaitu :


1.

Demam tinggi yang mendadak

2.

Tanda-tanada perdarahan

3.

Hepatomegali

4.

Syok1,2

12

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif deisertai gambaran limfosit plasma biru.
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada hari ke 1 setelah demam dan akan menurun sehingga tidak
terdeteksi setelah sakit hari ke 5-6. Diagnosis antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa:

Leukosit: dapat normal atau menurun.


Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LPB) lebih dari 15% dari jumlah total leukosit yang pada
fase syok akan meningkat.

Trombosit: umumnya terdapat trombositpenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum

tulang.
Hematokrit: kebocoran plasma yang dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3. Normal pria :

40-48%, pada wanita: 37-43%.


Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan anti dengue IgG dan IgM.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer, dapat terdeteksi pada hari ke 14 sakit,
dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder
-

IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 sakit.


Antibodi IgM anti dengue akan terdeteksi mulai hari ke 3-5 sakit, dan mencapai
puncaknya pada hari ke 10-14 sakit, dan akan menurun/menghilang pada akhir

minggu ke 4 sakit.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.
Apabila rasio IgM:IgG > 1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG
rasio < 1,2 menunjukkan infeksi sekunder.3

13

Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue

Diagnosis

Antibodi anti dengue


IgM

IgG

Infeksi primer

Infeksi sekunder

Infeksi lampau

Bukan dengue

Keterangan

Apabila klinis mengarah ke infeksi


dengue, pada fase penyembuhan:
IgM dan IgG diulang

Protein/ albumin dapat terjadi di hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.


Ureum dan kreatinin dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
Gas darah terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan pasien.
Elektrolit sebagai parameter pemberian cairan.
Widal adalah identifikasi antibodi tubuh terhadap penyakit tifus. Kejadian seperti inilah
yang menimbulkan keracunan diagnosis DBD. Padahal pada penyakit demam tiphoid
pada minggu awal panas biasanya malah tidak terdeteksi peningkatan titer Widal tersebut.
Bila hasil pemeriksaan widal meningkat tinggi pada awal minggu pertama, tidak harus
dicurigai sebagai penyakit tifus. Sebaiknya pemeriksaan Widal dilakukan saat panas pada
akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua.3

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto rontgen dada, biasa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (RLD).
Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan
klinis sebagai pedoman pemberian cairan.

USG untuk mendeteksi adanya asites dan juga

efusi pleura. 1,3

14

Tes Tourniquet
Tes ini cara awal paling sederhana bila suatu demam dicurigai sebagai infeksi dengue.
Dikenal sebagai cara Tes Rumpel Leed. Meskipun uji tourniquet positif dapat juga ditemukan
pada berbagai macam penyakit, namun uji itu sebagai manifestasi perdarahan teringan dan dapat
dinilai sebagai presumptive test (test skrining) karena pada dijumpai pada sebagian besar
penderita DBD hari-hari pertama demam. Dengan melakukan tes RL maka dengan demikian
kasus cepat diketahui dan masyarakat dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman DBD.3

Diagnosis
Dasar diagnosis DHF (WHO, 1997):
15

Klinis
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifesatasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji bendung positif dan bentuk lain
(petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh nadi yang lemah, Hipotensi (tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, pasien jadi gelisah.
5. Dijumpai kasus DBD di lingkungannya
Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000/ul) dan hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20% dari
normal).
Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk menegakkan
diagnosis kerja DHF.

Indikator fase syok atau Warning Sign :

Demam turun tetapi keadaan anak memburuk

Nyeri perut hebat, dan nyeri tekan abdomen

Muntah berulang

16

Letargi, gelisah, terjadi perubahan perilaku

Hepatomegali >2 cm

Akumulasi cairan

Perdarahan mukosa: epistaksis, BAB hitam, hematemesis, menoragia, BAK cokelat


(haemoglobinuria ata hematuria)

Oliguria (diuresis menurun selama 4-6 jam)

Peningkatan hematokrit bersamaan dengan penurunan trombosit

Hematokrit awal tinggi

Klasifikasi Derajat (WHO,1997) :


I.

Demam dengan uji bendung positif.

II.

Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.

III.

Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan pasien jadi gelisah.

IV.

Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur
Masa Inkubasi Demam Bersarah Dengue (DBD) terjadi selama 2 4 hari sejak seseorang

terserang virus dengue.


Perjalanan penyakit DBD dibagi dalam tiga fase :
1.

Fase demam yang berlangsung selama 1-3 hari

2.

Fase kritis/bocornya plasma yang berlangsung umumnya hanya 4-6 hari

3.

Fase penyembuhan yaitu 7-10 hari4

17

Diagnosis Banding
Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit biasanya
mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia,
rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan, dan timbulnya rash (ruam). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali,
yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang
pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan
muka.
Gejala klinis lain yang sering didapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara
serak, batuk, epistaksis, dan dysuria. Demam menghilang secara lisis disertai keluarnya keringat
banyak. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Biasa disebut sebagai
Castelanis sign, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat
diagnosis banding.
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra demam dan
demam, neutrofilia relative dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relative dan limfositosis
pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinophil turun atau menghilang
18

pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrophil bergeser ke kiri selama periode
demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi kembali normal dalam waktu 1 minggu.
Demam Tifoid
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan dan
kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid selalu menderita
demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari
dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam pada penyakit ini
dengan istilah step ladder temperature chart, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap
tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus infeksi.4
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk, nyeri
tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan
kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness,
bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm
yang disebut dengan rose spot.3,4

Komplikasi
-

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut

Edema paru dan/atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian cairan
pada masa perembesan plasma

Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik dan perdarahan hebat ( DIC,
kegagalan organ multipel)

Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsenia akibat syok berkepanjangan dan


terapi cairan yang tidak sesuai.

19

Penatalaksanaan
Medikamentosa
-

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.

Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya, antasid,


antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran


cerna kortikosteroid tidak diberikan.

Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati

Suportif
-

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler


dan perdarahan

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan dari
fase dmam ke fase syok dengan baik

Cairan intravena diperlukan apabila, (I) anak terus-menerus muntah tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala

Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DF dapat berobat jalan
sedangkan pasien DHF dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DHF dengan
komplikasi diperlukan perawatn intensif. Fase kritis umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi banyak minum, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh
dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, beri cairan
rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan

20

bila perlu surface cooling dengan kompres es. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi
demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.
Pemberian cairan intravena pada pasien DHF tanpa renjatan dilakukan bila pasien terusmenerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan nilai
hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40

vol%). Jumlah cairan yang diberikan

tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam
1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan
diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan
NaCl 0.9% + glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat).

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD2

Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak


dapat

mengurangi

lama

demam

pada

DBD.

Parasetamol

direkomendasikan

untuk

mempertahankan suhu di bawah 39C dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali. Pada keadaan
dehidrasi/kehilangan cairan yang disebabkan demam tinggi, anoreksia dan muntah, dapat
21

diberikan cairan pengganti berupa minum 50 ml/kg berat badan dalam 4-6 jam pertama
kemudian jika dehidrasi teratasi diberi cairan rumatan 80 100 ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Bila terjadi kejang demam, diberikan antikonvulsif selain diberi antipiretik.
Kemudian dilakukan pemeriksaan hematokrit berkala untuk monitor hasil pengobatan sebagai
gambaran derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.2
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada
anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama.
Indikasi diberikan cairan intravena apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi (2) nilai hematokrit meningkat pada pemeriksaan berkala. Pemberian
cairan pengganti volume yang berlebihan setelah perembesan berhenti dapat mengakibatkan
edema paru begitu juga pada masa konvalesens dimana terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular
akan menyebabkan edema paru dan distress pernafasan apabila cairan tetap diberikan.2
Pada pasien DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit dilakukan intervensi
sesuai dengan bagan 2. Perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan
perdarahan saluran cerna. Apabila sudah didapati perbaikan klinis dan laboratorium, anak dapat
pulang jika memenuhi kriteria.2

22

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat 1 dan 2.2

Pemberian cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%.
Jumlah urin 12ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Sedatif dapat diberikan untuk menenangkan pasien tapi keadaan gelisah akan hilang dengan
sendiri nya apabila pemberian cairan sudah adekuat dan perfusi jaringan membaik.2

23

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat 2 dengan peningkatan hemokonsentrasi >/20%.2

Pada pasien syok, pemberian oksigen 2 liter per menit harus dilakukan dengan
menggunakan masker. Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan
yang nyata. Penurunan hematokrit (dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walau diberikan
cairan menunjukkan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah dilakukan untuk menaikkan
konsentrasi sel darah merah sedangkan plasma segar dan atau suspensi trombosit untuk pasien
dengan DIC. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif. DIC
dipicu oleh hiponatremia dan asidosis metabolik sehingga pada keadaan syok berat sebaiknya
dilakukan perbaikan pada asidosis sebelum berkembang menjadi DIC.2

24

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat 3 dan 4.2

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut:
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
Nafsu makan telah kembali
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
Diuresis baik
Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3
. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah trombosit akan meningkat
ke nilai normal dalam 3-5 hari.

25

Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara yang paling
memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor :
1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah adalah malathion
untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan temephos (abate) untuk membunuh
jentik (larvasida).
2. Tanpa insektisida

Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal sekali
seminggu.

Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.

Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda lain yang
memungkinkan nyamuk bersarang.

Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.5

Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anakanak.
Dari penelitian tahun 1993, dijumpai keadaan penyakit yang terbukti bersama-sama
muncul dengan DHF yaitu demam tifoid, bronkopneumonia, dan anemia.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua,
Jakarta.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2010). Pedoman Pelayanan Medis Edisi Pertama, Jakarta.
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1999). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I, Edisi 3, FKUI, Jakarta, hal 425-426.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2004). Demam Berdarah Dengue, Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
Tatalaksana Kasus DBD, FKUI, Jakarta.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2014).Kapita Selekta Kedokteran Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta, hal 419 - 427.

27

Anda mungkin juga menyukai