Anda di halaman 1dari 2

Vie Hadmi Maharani_16811152_Tutorial A

SKENARIO A. NYERI INI MEMBUATKU TAK BERDAYA..


Learning Outcome :
1. Mampu menjelaskan etiologi, patofisiologi, tujuan terapi dan tatalaksana terapi Osteoarthritis (OA)
dan Peptic Ulcer Disease (PUD).
2. Mampu menjelaskan analisis Drug Related Problems (DRPs) dan non DRPs berdasarkan
scenario A.
3. Mampu memberikan rekomendasi terapi yang terbaik berdasarkan scenario A.
4. Mampu memberika Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) pasien berdasarkan scenario A.
PUD merupakan keadaan terganggunya integritas mukosa yang meluas di lapisan endothelium
akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dengan faktor protektif
(mukosa lambung). OA merupakan gangguan sendi kronis disertai kerusakan kartilago, osteofit dan
fibrosis pada kapsul sendi. Etiologi PUD sebagian besar disebabkan oleh infeksi H. pylori,
penggunaan NSAIDs jangka panjang dan stress sedangkan sebagian kecil disebabkan oleh sindrom
Zollinger-Ellisons, infeksi virus, radiasi, kemoterapi, genetik dan idiopatik. Etiologi OA disebabkan
oleh obesitas, trauma sendi, genetik, kekurangan nutrisi tulang dan hormonal (estrogen meningkat).
Patofisiologi PUD akibat infeksi H.pylori yaitu bakteri memproduksi enzim urease yang mengubah
urea menjadi amonia dan CO2. Amonia dapat sebagai buffer di lambung. Bakteri di lambung
berkolonisasi dan memproduksi beberapa faktor virulen, seperti sitokin, lipase dan protease
(degradasi sekresi mukus) serta urease (toksik) yang menyebabkan polimorfisme sel epitel lambung
dan release cell-mediated immune (neutrofil dan makrofag). Polimorfisme interleukin-1 meningkatkan
sekresi asam lambung. Patofisiologi PUD akibat NSAID non selektif yaitu inhibisi pada COX 1
menyebabkan prostaglandin (gastroprotektif) dan tromboksan A2 (faktor pembekuan darah) tidak
diproduksi sehingga meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan agregasi platelet dan
gangguan stabilitas renal. Penggunaan NSAID non selektif jangka panjang menyebabkan erosi/ulcer
hingga arteri yang menyebabkan pendarahan dalam bentuk hematemesis melena dan jika tidak
segera ditangani menyebabkan mortalitas. Patofisiologi OA yaitu rusak/ausnya lapisan permukaan
kartilago karena kurang atau tidak mendapatkan nutrisi tulang menyebabkan tulang kering dan retak
serta kontak antara tulang dengan tulang. Rasa nyeri timbul akibat aktivasi nosiseptif ujung-ujung
saraf di dalam sendi oleh iritan mekanis/kimia (Dipiro, et al. 2008).
Tujuan terapi PUD yaitu menghilangkan rasa nyeri akibat ulcer, menyembuhkan ulcer, mencegah
kekambuhan, mencegah komplikasi akibat ulcer dan jika positif terinfeksi H.pylori dilakukan eradikasi
bakteri. Tujuan terapi OA yaitu menghilangkan rasa nyeri dan kekauan, menjaga/meningkatkan
mobilitas sendi, membatasi kerusakan fungsi, menguangi faktor penyebab dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tatalaksana terapi PUD yaitu pasien dengan gejala PUD akibat NSAIDs
dilakukan penghentian penggunaan NSAID atau penurunan dosis. Jika gejala sembuh tidak
diberikan obat tetapi jika gejala belum sembuh diterapi dengan golongan H2 antagonist atau PPI.
Jika gejala membaik dilanjutkan pemberian obat tetapi belum membaik maka dilakukan endoscopy
dan tes H.pylori. Jika positif H.pylori diterapi dengan PPI + antibiotik dan dimonitoring selama 1-2
minggu. Jika H.pylori negatif diterapi dengan PPI + NSAID non selektif atau memilih NSAID selektif
COX 2 + co-therapy misoprostol. Jika pasien memiliki gejala PUD disertai perdarahan, anemia dan
weight loss harus dilakukan endoscopy dan tes H.pylori untuk menentukan pilihan terapi yang tepat.
Tatalaksana terapi OA yaitu pasien gejala OA diawali dengan terapi non farmakologi, seperti istirahat
yang cukup, terapi fisik (meningkatkan kekuatan otot dan gerak perlahan), dietary modification,
perbaikan gaya hidup, relaksasi, akupuntur, dll. Jika terapi berespon adekuat maka terapi dilanjutkan
tetapi jika sebaliknya direkomendasikan terapi parasetamol atau topical capsaicin (berisi glukosamin
dan kondroitin). Jika terapi belum berespon adekuat, direkomendasikan pemberian NSAID dengan
pertimbangan harga, riwayat gangguan gastrointestinal, intoleransi dan alergi NSAID, riwayat
penyakit kardiovaskular (gagal jantung kongestif, disfungsi renal dan hepar) dan perdarahan. Jika
pasien berusia di atas 65 tahun, memiliki penyakit penyerta, sedang menggunakan obat golongan
glukokortikoid dan antikoagulan, memiliki riwayat PUD dan perdarahan pilih kombinasi obat COX-2
inhibitor atau NSAID + PPI atau NSAID + misoprostol atau COX-2 inhibitor + PPI serta dimonitoring
1-2 minggu untuk kekambuhan nyeri dan 2-4 minggu untuk inflamasi pasien. Jika terapi berespon
adekuat maka terapi dilanjutkan tetapi jika sebaliknya pertimbangkan pemberian NSAID lain yang

memiliki daya analgesik lebih tinggi atau analgesik opioid, injeksi hyaluronate atau pembedahan
(Dipiro, et al. 2008).
Berdasarkan skenario A, terdapat analisa DRPs meliputi pemberian over dose pada peresepan
celecoxib 200 mg (2x1 tablet sehari) untuk mengobati OA pada pasien dengan riwayat Ischemic
Heart Disease (IHD) terkontrol, dosis berlebih pada penggunaan piroxicam 20 mg (2 x 1 tablet
sehari) untuk mengatasi OA sebelumnya, terdapat efek samping PUD akibat penggunaan piroksikam
selama 5 tahun dan terdapat sub dosis pada peresepan omeprazol 20 mg (1x1 kapsul sehari) untuk
mengatasi PUD. Hasil analisis non DRPs meliputi BMI pasien termasuk kategori obesitas dan
memiliki kebiasaan meminum kopi 5 cangkir sehari. Rekomendasi terapi yang diberikan yaitu
omeprazol 40 mg (2 kapsul 20 mg) sekali sehari selama 4-8 minggu untuk mengobati PUD dan
celecoxib 200 mg sehari (1 tablet x 1 kali minum dalam sehari) jika OA kambuh. Berdasarkan
penelitian Mc Cormack tahun 2011, celecoxib 200 mg/hari memiliki efektivitas sama dengan
beberapa NSAID non selektif seperti 150 mg/hari na diklofenak, na diklofenak-kolestiramin 280
mg/hari, deksibuprofen 800 mg/hari, ketoprofen 220 mg/hari dan naproxen 1 g/hari (McCormack,
2011). Berdasarkan penelitian Walsem, dkk, 2015 na. diklofenak 150 mg/hari 85% lebih efektif
meringankan nyeri dari pada celecoxib 200 mg/hari, naproxen 1 g/hari dan ibuprofen 2,4 g/hari dari
hasil Visual Analogue Scale (VAS) pada 60 studi selama 6 minggu dan.36 studi selama 12 minggu.
Namun, sebanyak 13 studi menyatakan bahwa na diklofenak memiliki resiko kejadian Antiplatellet
Trialists Collaboration (APTC) sama dengan celecoxib RR 1.1 (0.7;1.8), naproxen RR 0.9 (0.4;2.0),
etoricoxib RR 1.0 (0.9;1.2) dan ibuprofen RR 0.9 (0.5;1.6). Sebanyak 15 studi menyatakan na
diklofenak memiliki resiko kejadian Cardiovascular (CV) sama dengan celecoxib RR 1.2 (0.8;1.8),
naproxen RR 0.9 (0.4;1.9), etoricoxib RR 1.1 (0.9;1.3) dna ibuprofen RR 1.1 (0.7;1.9). Sebanyak 20
studi menyatakan bahwa na diklofenak memiliki resiko GI ulcer lebih rendah daripada naproxen RR
0.3 (0.2;0.6) dan ibuprofen RR 0.5 (0.3;0.9) sedangkan lebih tinggi dari pada celecoxib RR 1.4
(0.8;2.3) dan etoricoxib RR 1.5 (1.3;1.9) (Waslem, et al., 2015).
Edukasi yang diberikan kepada pasien terkait PUD dan OA yaitu omeprazol dikonsumsi rutin 40
mg 1 kapsul sehari 30 menit sebelum makan pagi, kapsul jangan dikunyah dan obat disimpan pada
suhu ruang hindari dari lembab dan cahaya matahari. Celecoxib dikonsumsi 200 mg sehari sekali
bersama makanan jika nyeri OA kambuh, tablet jangan dikunyah, perbanyak minum air 2-3 liter
sehari dan obat disimpan pada suhu ruang terhindar dari lembab dan cahaya matahari. Jika nyeri
perut dan BAB kehitaman masih terjadi dan nyeri jantung sebelah kiri hentikan pengobatan dan
segera hubungi dokter. Edukasi lain yaitu mengurangi atau menghentikan mengkonsumsi kopi 5
cangkir sehari. Jika terasa berat dilakukan, pasien dapat mengganti kopi dengan permen rasa kopi
atau rasa yang lain. Melakukan program penurunan berat badan (penurunan 5 kg dapat menurunkan
symptom dan disability), terapi fisik dan okupasi, seperti terapi panas-dingin dan relaksasi untuk
memperbaiki fungsi sendi, rutin olah raga tiap pagi atau sore dan istirahat yang cukup
diseimbangkan dengan bergerak (Dipiro, et al. 2008).
DAFTAR PUSTAKA
1. American Pharmacist Association. 2008. Drug Information Handbook. 17th edition. USA. Lexicomp.
2. Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. 7 th edition. USA. Mc
Graww Hill Companies, Inc. p. 569-583 and 1520-1537.
3. McCormack, Paul.L. 2011. Celecoxib : a Review of Its Use Simptomatic Relief in the Treatment
of Osteoarthritis, Rheumatoid Arthritis, and Ankylosing Spondylitis. Adis Drug Evaluation. 71
(18) : p. 2462-2464.
4. Waslem, et al., 2015. Relatife Benefit Risk Comparing Diclofenac to Other traditional Non
Steroidal Anti Inflammatory Drugs and Cyclooxygenase-2 Inhibitor in Patients with
Osteoarthritis or Rheumatoid Arthritis : a Network meta analysis. Arthritis Research and
Therapy. 17 (66) : p. 1-18.

Anda mungkin juga menyukai