Anda di halaman 1dari 8

POLITIK DAN AGAMA

Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya


pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat
amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern
didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah
diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum
muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan
mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan
keadilan. Alquran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi
hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum
lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, serta durhaka.
Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian
memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan
ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan. Islam pada
dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah
mengatur semesta alam, yang diperuntukan kepada manusia. Islam itu secara
substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang
dimaksud di atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti
"menjadikan khalifah untuk mewakili danm melaksanakan tugas yang diwakilkan
kepadanya."
Untuk lebih memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah
memberikan manusia dua amanah :
1. Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.
2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk
mengendalikan kehidupan (di atas bumi).

Allah SWT berfirman, pada quran surat an-nur ayat 55

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang


beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur:
55)
Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu
menghendaki agar ummat menjalankan kepemimpinan politik. Salah satu tujuan
Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara Islami dan agar
sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu
tindakan untuk merubah situasi saat yang masih jauh dari harapan ini agar
mencapai tujuan di atas. Ada dua pendekatan dalam agenda perubahan tersebut
(secara berurut):
1.

Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat
Al Jumuah ayat 2, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah
(As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata."

2.

Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat siyasi.


Jadi, ketika telah terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural, maka
dibutuhkanlah pemerintahan yang Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam
Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah terkondisikan sebagai masyarakat
yang Islami secara kultural. Kedua pendekatan di atas tidak dapat dipilah-pilahkan

satu sama lain. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada tahapan perubahan saja.
Jadi, sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan Islam Politik. Islam itu
adalah menyeluruh.
Kemudian Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
sasayasusu- siyasah . Yang berarti (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya)
dan secara bahasa adalah cara pemerintahan Islam mengurus urusan rakyatnya,
serta urusan negara, umat dan rakyatnya terkait dengan negara, umat dan bangsa
lain. Urusan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi,
pendidikan, keamanan, dll, yang mana pada masa Rasulullah SAW makna siyasah
(politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaannya. Lalu,
kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku
pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam
realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yassu) rakyatnya saat
mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam
perkataan orang Arab dikatakan : yang artinya Bagaimana mungkin kondisi
rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat/rayap yang
menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan
(riayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk
(irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam
sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi
(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah"
(HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna
awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik
berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat
terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak

hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka
ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka."
(HR. Al Hakim)
Pilar-pilar dasar dalam pemerintahan Politik Islam antara lain adalah :
1.

Kedaulatan di Tangan Syara(hukum Islam)

2.

Kekuasaan di Tangan Umat

3.

Wajib Membaiat Satu Khalifah


Struktur Pemerintahan dan Administrasi dalam sistem Khalifah Politik Islam :

1.

Khalifah

2.

Muawin Tafwidh/Mentri tapi tidak berhak membuat UU (Pembantu


Khalifah Bidang Pemerintahan)
Muawin Tanfidz (Pembantu Khalifah Bidang Administrasi) Wali/Kepala Daerah.

3.

Amir Jihad Mabes Angkatan Bersenjata

4.

Departemen Keamanan Dalam Negeri

5.

Departemen Luar Negeri

6.

Departemen Perindustrian

7.

Departemen Kehakiman

8.

Departemen Penerangan

9.

Kemaslahatan Publik

10. Baitul Mal (rumah penyimpan harta) Majelis Ummah/Dewan Perwakilan Rakyat
b.

Sistem Politik dalam Negeri Khilafah

1.

Menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat, Muslim maupun


Non-Muslim;

2.

Memberikan kebebasan kepada rakyat Non-Muslim menjalankan


ibadah, makan, minum, tatacara berpakaian, dan menikah menurut
agama dan keyakinan mereka;

3.

Memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga


negara, Muslim dan Non-Muslim, kecuali yang menjadi kekhususan
masing-masing;

4.

Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu
negara, dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam;

c.

Sistem Politik luar Negeri Khilafah

1.

Mengemban Islam kepada seluruh bangsa, negara dan umat lain;

2.

Menerapkan syariat Islam kepada bangsa, negara dan umat lain yang
berhubungan dengan Khilafah;

3.

Berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh


(ibadat al-ibad) untuk menyembah Rabb al-Ibad;

d.

Jaminan Penerapan Syariat Islam, di Dalam dan Luar Negeri:

1.

Ketakwaan individu, rakyat dan aparatur negara;

2.

Kontrol masyarakat (umat dan partai politik) yang mempunyai


kesadaran ideologis;

3.

Penerapan Islam secara kaffah, adil dan konsekuen oleh negara kepada
seluruh rakyat;

e.

Fungsi Organisasi dan Partai Dalam Sistem Khilafah:

1.

Edukasi: Mendidik umat dan masyarakat agar memahami Islam


dengan benar;

2.

Agregasi: Menghimpun umat dan masyarakat berdasarkan ikatan


Islam;

3.

Artikulasi: Menyampaikan aspirasi umat dan masyarakat yang sesuai


dengan Islam, dan mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengannya;
Organisasi dan partai seperti ini hukumnya Fardu Kifayah:
SISTEM POLITIK ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW
a. Sejarah Politik Masa Nabi SAW. dan Khulafa al-Rsyidn
Pemerintahan Islam sejak dari masa Nabi Muhammad SAW di Madinah
pada 622 M hingga Khulafa al-Rsyidn yang berakhir pada sekitar 656 M
merepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka bumi.
Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah kepemimpinan moral yang sangat
peduli pada perwujudan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti dicatat
dalam sejumlah riwayat, pemerintahan Nabi di Madinah adalah pemerintahan

yang toleran. Dokumen tentang toleransi dapat dibaca dalam Piagam Madinah
yang berintikan antara lain:
penghormatan pada pemeluk agama yang berbeda, hidup bertetangga secara
damai, kerja sama dalam keamanan, dan perlindungan bagi pihak-pihak yang
teraniaya. Isi Piagam Madinah tersebut dicatat sebagai dokumen politik pertama
dalam sejarah yang mengadopsi prinsip-prinsip toleransi. Selain itu, Piagam
Madinah dilihat dari kacamata teori politik, dianggap memiliki gagasan-gagasan
HAM modern meskipun lahir di masa pra-modern. Pemerintahan Nabi di
Madinah berhasil menyatukan suku-suku yang bertikai menjadi satu bangsa.
Tidaklah mudah menyatukan suku-suku yang berkonflik ratusan tahun di sana.
Tetapi dengan kekuatan integritas moral yang kuat seperti Nabi SAW., masalah
konflik dapat diatasi. Maka gampanglah jalan bagi Nabi untuk melakukan
pembangunan berdasarkan al-Quran sehingga terciptalah kesejahtraan rakyat.
Menurut riwayat, tidak ada pemberontakan berarti selama Nabi memerintah di
sana dari rakyatnya. Yang terjadi justru, ketaatan penuh rakyat pada
kepemimpinan Nabi. Pernik-pernik konflik terjadi hanya dengan negara-negara
tetangga yang takut kehilangan pengaruh kekuasaannya. Jadi, selama Nabi
Muhammad SAW menjadi pemimpin Negara Madinah, ia menjadi pemimpin
yang adil dan menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Itulah sebabnya
Aisyah istri Nabi pernah mengatakan bahwa akhlaq Rasulullah adalah alQuran. Al-Quran dan Sunnahnya menjadi undang-undang negara yang
mengikat kaum Muslimin di sana. Sekalipun begitu, umat-umat lain juga
dilindungi.
Dalam Q.s., al-Ambiy:107 disebutkan yang artinya, Tidaklah Kami
utus
engkau selain menjadi rahmat bagi seluruh alam. Konsep rahmatan lillamn
adalah konsep 2 toleransi di dalam Islam yang hingga sekarang sering dikutip
sebagai teologi toleransi yang amat penting dalam relasi Islam dan negara.
Demikianlah, kepemimpinan Nabi adalah cermin moralitas dan teladan indah bagi
umat Islam dan bahkan umat manusia. Nabi SAW adalah model ideal umat yang
karir hidupnya dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat. Hingga
wafatnya pada Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW telah menjadi Nabi-Penguasa

yang efektif atas sebagian besar semenanjung Arabia. Pasca wafatnya Nabi,
pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang utama (Khulafa alRsyidn), yakni Abu Bakar ra, Umar bin Khattab, Usman bin Affn, dan Ali bin
Abin Thalib. Keempat khalifah tersebut menyelenggarakan pemerintahan Islam
mendekati pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Keadilan, penegakan hukum,
musyawarah, dan egalitarianisme amat ditegakkan sehingga empat khalifah itu
diberi gelar empat khalifah yang mendapat petunjuk. Meski ada riak-riak politik
di dalam era keempat khalifah itu, tapi secara keseluruhan menampakkan gerak
moral yang amat kosnsisten dan perluasan wilayah yang amat efektif ke luar
Jazirah Arabia. Selama tiga puluh tahun (30 tahun), keempat khalifah
menampakkan sebuah pemerintahan politik Islam yang amat agung dan menjadi
sejarah politik yang demokratis di dunia saat itu. Pasca keempat khalifah,
pemerintahan Islam mengalami pasang-surut. Demikian pula sejarah Islam
mengalami kebangkitan dan keruntuhan. Dari sejarah itu, menunjukkan garis
konstan bahwa pemerintahan yang mengedepankan moralitas akan memperoleh
kejayaan dan sebaliknya. Karena itu, sejarah politik Islam adalah sejarah
pasangsurut antara yang maruf dan yang mungkar. Umat Islam harus mengambil
nilai-nilai dan prinsip-prinsip politik yang baik dan menjauhkan noda-noda
hitamnya jika ingin sebuah pemerintahan itu tegak di muka bumi.
b. Nilai-Nilai Politik Dalam al-Quran
Namun perlu dicatat, al-Quran bukanlah kitab politik. Ia hanya
memberikan prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara berpolitik
praktis. Dengan 3 demikian, perhatian utama al-Qur'an adalah memberikan
petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya
kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai kitab petunjuk, alQur'an mengarahkan manusia kepada hal-hal praktis. Ia memberi tekanan lebih
atas amal perbuatan daripada gagasan. Bertolak dari sisi pandangan ini, maka
iman barulah punya arti jika diikuti secara terpadu oleh perbuatan baik yang
positif dan konstruktif. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur'an
menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip
etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, alQur'an memberikan jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang

baik bagi manusia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat dalam
rangka menciptakan suatu kehidupan yang berimbang di dunia ini terakhir
kebahagiaan di akhirat. Al-Qur'an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di dunia
merupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan datang seperti dinyatakan
dalam al-Qur'an surat al ahzab ayat 72

Barang siapa buta di dunia ini, maka akan buta di akhirat, dan bahkan lebih
sesat lagi perjalanannya (terj. Q.s., al- Ahzb 72) Bagi seorang mukmin, alQur'an merupakan manifestasi terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia, di
samping sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir pula. Jadi, jangan
menjadikan al-Quran dan pemerintahan Nabi untuk instrument politik. Tapi
ambillah prinsip-prinsip etiknya dan sesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial
politik sehingga melahirkan suatu kombinasi moralitas Islam dan relevansi sosial
politik.

Anda mungkin juga menyukai