Lepasan Radionuklida
ABSTRAK
KAJIAN DAMPAK LEPASAN RADIONUKLIDA DARI PENGOPERASIAN
PLTU BATUBARA
DAN PLTN KE LlNGKUNGAN.
Telah dilakukan studi lepasan radionuklida dari pengoperasian
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PL TU batubara) dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PL TN). Seperti diketahui, beberapa PLTU di dunia menghasilkan fly ash batubara sebanyak 8-100 juta
ton per tahun, sedangkan PLTU batubara di Indonesia (PL TU Paiton dan Suralaya) menghasilkan 1 juta
ton per tahun. Fly ash yang mengandung sejumlah radionuklida dan bahan berbahaya lainnya dapat
terlepas ke atmosfer pada pengoperasian
PLTU batubara. Permasalahannya
guna memenuhi
kebutuhan listrik di dunia dan di Indonesia khususnya, pemerintah terus berupaya membangun PLTU
batubara dan PLTN. Pada pengoperasian PLTU batubara dan PLTN sejumlah radionuklida akan
terlepas ke lingkungan, sehingga dapat meningkatkan
paparan radiasi dan risiko kesehatan ke
masyarakat maupun pekerja. Tujuan studi ini untuk mengetahui karakteristik unsur radionuklida yang
terlepas ke lingkungan akibat pengoperasian pembangkit listrik (PL TU batubara dan PLTN), serta
mengetahui laju dosis sebagai dampak yang ditimbulkan oleh pengoperasian PLTU batubara dan PLTN
ke lingkungan. Oosis dihitung sebagai dosis efektif kolektif yang diterima masyarakat dan pekerja akibat
pengoperasian
PLTU batubara maupun PLTN. Metode yang digunakan yaitu pengumpulan
data
sekunder dari laporan beberapa negara yang mengoperasikan PLTU batubara dan PLTN, menganalisis
dan mengevaluasi
perolehan
data, kemudian
melengkapinya
dengan
kajian pustaka.
Hasil
menunjukkan bahwa pengoperasian PLTU batubara di beberapa negara di dunia rata-rata melepaskan
radionuklida U-238, Ra-226, Pb-210, Po-210, Th-232, Th-228, Ra-228, dan K-40, yang memancarkan
radiasi-a dan 13 dengan waktu paruh cukup panjang. Sedangkan PLTN melepaskan radionuklida gas
mulia (Kr-85, Kr-85m, Kr-87, Kr-88, Xe-133, Xe-131m, Xe-131, Xe-133m, Xe-135, Xe-135m, Xe-138),
tritium (H-3), C-14, iodium (1-131), dan partikulat, pemancar-y dan 13. Konsentrasi radionuklida lepasan
dari PLTU batubara tertinggi 51,70 x 109 Bq/tahun (Ra-226), sedangkan PLTN tertinggi 0,22 x 109
Bq/tahun (C-14). Walaupun PLTU batubara telah menggunakan teknologi modern, namun konsentrasi
lepasan radionuklidanya
masih lebih tinggi (5,12 x 109 Bq/tahun) dibandingkan PLTN (1,82 x 109
Bq/tahun). Paparan radiasi maksimal yang diterima masyarakat dari pengoperasian PLTU batubara
dengan teknologi lama maupun modern relatif lebih tinggi (5,12-80 manSv/tahun) dibandingkan dari
pengoperasian PLTN (1 ,82 manSv/tahun), namun paparan radiasi maksimal yang diterima pekerja dari
pengoperasian PLTU batubara lebih rendah (0,028 manSv/tahun) dibandingkan dari pengoperasian
PLTN (15,2 manSv/tahun). Sebagai konsekuensinya, risiko kesehatan yang diterima masyarakat akibat
paparan radiasi dari pengoperasian PLTU batubara lebih tinggi (2,69 kematian/tahun) dibandingkan dari
PLTN (0,01 kematian/tahun),
namun tidak ada risiko kesehatan
yang diterima peke~a dari
pengoperasian PLTU batubara dibandingkan dari PLTN (0,76 kematian/tahun).
Kata kunci: radionuklida,
dosis
efektif
PLTU batubara, PLTN
kolektif,
risiko
kesehatan
masyarakat
dan
pekerja,
ABSTRACT
STUDY ON THE RELEASE
OF RADIONUCLIDES
(CFPP) AND NUCLEAR POWER PLANT (NPP) OPERATION TO ENVIRONMENT. The releases of
radionuclides from CFPP and NPP operation have been studied. It is known that some CFPP produce
amounts of coal fiy ash 8-100 million tons per year, while CFPP (Paiton and Suralaya) in Indonesia
produce one million ton per year. Fly ash containing a number of radionuclides and other dangerous
materials can escape to atmospheres at the operation of CFPP. The problems arise is to fulfill the
requirement on electrics, particularly in Indonesia, the government continuously consider to build either
CFPP or NPP. At the operation of CFPP and NPP, a number of radionuclides will escape to
environment,
so the radiation exposure and health risk to public and occupations will increase
accordingly. The purpose of this study is to know the characteristic and the dose of radionuclide element
that escape to environment as the effect of power station (CFPP and NPP) operations. The dose was
calculated as a collective effective dose which will be received by public and occupations. The
197
ISSN 2087-8079
secondary data on the operation of CFPP and NPP were collected from the reports of some states
operating CFPP and NPP. The data were analyzed, evaluated and completed with literature studies.
The results indicate that the operations of CFPP in the world have in average liberated radionuclides U238, Ra-226, Pb-210, Po-210, Th-232, Th-228, Ra-228, and K-40 emitting u and 13- radiations with long
enough half-life. On the other side, the operations of NPP discharge noble gas radionuclides (Kr-85, Kr85m, Kr-87, Kr-88, Xe-133, Xe-131m, Xe-131, Xe-133m, Xe-135, Xe-135m, Xe-138), tritium (H-3), C-14,
iodine (1-131),and particulate which emit y and 13- radiations. The highest concentration of radionuclide
released from CFPP is 51.70 x 109 Bq/year (Ra-226), while that from NPP is 0.22 x 109 Bq/year (C-14).
Although CFPP have applied a modern technology, but the concentration of radionuclide released is still
higher (5.12 x 109 Bq/year) compared to NPP (1.82 X 109 Bq/year). The maximum radiation exposure
received by public from CFPP operations with old and modern technology is still relatively high (5.12-80
manSv/year) compared to NPP operation (1.82 manSv/year), but the maximum radiation exposure that
received by the occupation from CFPP operation is lower (0.028 manSv/year) compared to NPP
operation (15.2 manSv/year). As the consequence, the health risk to public as a result of radiation
exposure from CFPP operations higher (2.69 death/year) compared to NPP (0.01 death/year), but there
is no received by health risk is occupations from CFPP operations compared to NPP (0.76 death/year).
Key words: Radionuclide, Collective effective dose, health risk, occupational and public, Coal Fire
Power Plants (CFPP), and Nuclear Power Plants (NPP)
BABI
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
198
Guna mengurangi
ketergantungan
pemakaian
bahan bakar minyak (BBM),
pemerintah akan membangun pembangkit listrik batu bara. Oua program dirancang berjalan
bersamaan, yaitu 10.000 MWe dibangun dalam waktu dua tahun (tahun 2009 hingga 2010)
oleh pemerintah melalui PT. PLN (10.000 MWe) dan oleh pembangkit listrik swasta (10.000
MWe). Rencana Pemerintah tersebut juga untuk mengatasi krisis listrik yang terjadi di
berbagai tempat, sehingga telah ditetapkan target konsumsi batubara ditingkatkan hingga
mencapai lebih dari 33%. Seperti diketahui beberapa PLTU batubara yang direncanakan
kebanyakan berlokasi di pesisir, yaitu PLTU Suralaya, PLTU Labuan, PL TU Teluk Naga,
PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Indramayu, PLTU Paiton, dan PL TU Pacitan[3].
Isu pencemaran lingkungan oleh pengoperasian PLTU batubara sudah ada sejak
tahun 1980an. Hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan
bahwa batubara
mengandung sejumlah radionuklida yang dapat terlepas ke lingkungan sekitarnya pada
proses pembakarannya. Berita terkait dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari
pencemaran PLTU akibat penggunaan batubara telah dirasakan oleh masyarakat yang
tinggal di sekitarnya. Oemikian pula, isu pencemaran lingkungan oleh pengoperasian PLTN
(di luar negeri) akibat terlepasnya sejumlah radionuklida ke udara maupun ke perairan telah
berkembang sedemikian pesat, sehingga pemanfaatan teknologi nuklir untuk pembangkit
listrik menjadi kendala khususnya di Indonesia.
Namun demikian, penyediaan energi di mas a depan merupakan permasalahan yang
senantiasa
menjadi perhatian semua bangsa, karena kesejahteraan
manusia dalam
kehidupan modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkannya.
Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara sedang berkembang, penyediaan energi
merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong pembangunan. Seiring dengan
meningkatnya
pembangunan
terutama di sektor industri, pertumbuhan
ekonomi dan
pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan energi akan terus meningkat.
Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
juga menetapkan bahwa energi nuklir
merupakan bagian dari sistem energi nasional[4]. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional, menyebutkan bahwa salah satu jenis energi yang akan
dikembangkan di masa mendatang adalah energi nuklir[5]. Oalam Undang-Undang No. 30
Tahun 2007 tentang energi, pada pasal 21 disebutkan pula bahwa pemanfaatan energi baru
dan terbarukan (termasuk nuklir) wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Oaerah
sesuai dengan kewenangannya[6]. Berdasarkan hal ini, maka selain Pemerintah berencana
membangun PLTU, pemerintah juga berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PL TN).
Peran energi nuklir di Indonesia adalah simbiotik dan sinergistik, baik dengan energi
fosil maupun energi baru dan terbarukan. Teknologi nuklir akan dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk berperan pada penyediaan energi. Untuk penyediaan tenaga listrik (PL TN)
dilakukan dengan acuan kebijakan Pemerintah di bidang energi bauran (mix energy) untuk
mewujudkan keamanan pasokan energi berkelanjutan.
Oi Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama yang umum digunakan pada
berbagai kegiatan industri, termasuk industri pembangkit listrik, karena dari segi ekonomis
batubara jauh lebih murah dibandingkan jenis bahan bakar lainnya. Oari segi kuantitas,
batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia, karena jumlahnya sangat
melimpah dan mencapai hampir puluhan milyar ton.
Oalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa
pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi
dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya
turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya. Radionuklida dapat digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun, hal
ini karena sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya[1]. Menurut Connel dan
Miller (1995) apabila unsur radionuklida terlepas ke lingkungan, maka hasil interaksinya dapat
menimbulkan keadaan abnormal pada organisme hidup di lingkungan tersebut, hal ini karena
pengaruh mutasi genetik pada tubuh organisme tersebut[8].
Paparan radiasi dari radionuklida uranium hingga 10,48 mSv/48 jam mengakibatkan
gangguan pada stadium larva (tahap pertumbuhan sensitif) benih udang windu PL 15, yaitu
kematian sebanyak 50%[7]. Kontak langsung dengan komunitas tanaman juga menyebabkan
hambatan pertumbuhan, penurunan produksi biomassa, dan letalitas[8]. Masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan industri berpotensi tercemar radionuklida akan menerima paparan
199
ISSN 2087-8079
radiasi eksterna hingga 1,81-2,98 mSv/tahun, yang telah melebihi batas dosis efektif yang
direkomendasikan ICRP[9]. Asupan radionuklida uranium dan torium pada mamalia
menunjukkan pola terdistribusi ke seluruh jaringan dan organ[10]. Oleh karena itu,
pemerintah mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun
2000 tentang perijinan pemanfaatan tenaga nuklir, yang menyebutkan bahwa instalasi yang
mempunyai dampak radiologi tinggi wajib dilakukan pemantauan dan analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL)[11].
Berdasarkan alasan tersebut, maka telah dilakukan studi dampak lepasan
radionuklida dari PLTU batubara dan PLTN ke lingkungan. Studi ini dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana kegiatan kedua pembangkit berpotensi memberikan kontribusi
lepasan radionuklida ke lingkungan sekitarnya. Seperti diketahui, kajian ini merupakan bagian
dari kegiatan penelitian di Bidang Pengkajian Kelayakan Tapak PLTN, khususnya terkait
dengan penyusunan konsep dokumen AMDAL PLTN, selain juga terkait rencana pemerintah
Indonesia untuk membangun PLTN.
1.2.
Tujuan
1.3.
Lingkup Pengkajian
1.4.
Alur Pengkajian
200
3.
total yang diperoleh dari jalur internal (inhalasi dan ingesti), maupun eksterna dapat
digunakan untuk memperkirakan paparan radiasi ke masyarakat dan pekerja.
Oampak peningkatan
paparan radiasi ke lingkungan berpotensi
membahayakan
kehidupan manusia dan organisme lainnya, serta menimbulkan gangguan kesehatan
manusia, seperti risiko kesehatan, risiko fatal kanker, hingga kematian. Skema alur
pengkajian ditunjukkan pad a Gambar 1.
Pengoperasian
Pembangkit Listrik
Analisis lepasan
Radionuklida
Analisis lepasan
Radionuklida
Perhitungan Tingkat
radioaktivitas
Perhitungan Tingkat
radioaktivitas
BAB II PEMBANGKIT
LlSTRIK
Secara umum, listrik dihasilkan oleh sebuah pembangkit atau generator yang
dihubungkan dengan tenaga penggeraknya.
Oi dunia saat ini terdapat berbagai jenis
pembangkit listrik, dan berdasarkan klasifikasi penggunaan jenis bahan bakarnya, terdapat
pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara), air, nuklir dan terbarukan (gas, panas
bumi, biogas, matahari, dB). Profil sumber energi listrik tahun 2003 di beberapa negara
ditunjukkan pada Gambar 2.
o Fosil
(%)
DAir(%)
II Nuklir (%)
II terbarukan (%)
100
75
50
25
201
ISSN 2087-8079
Pada Gambar 2 terlihat bahwa hingga kini pilihan sumber energi untuk pembangkit
listrik rata-rata di dunia didominasi oleh energi fosil dan penggunaannya lebih dari 50% total
sumber energi. Pengguna tertinggi energi fosil adalah negara Saudi Arabia (100%), disusul
Australia (91,80%), Belanda (89%), Indonesia (87%), India (83,3%), China (81,8%), Inggris
(76,1%), Amerika (71,1%), Rusia (65,4%), Korea (62,3%), Jerman (61,4%), dan Jepang
(60,7%). Brasil dan Perancis memanfaatkan energi fosil hanya kurang dari 10%, karena
Brasil lebih memilih energi air, dan Perancis memilih energi nuklir. Namun demikian, secara
umum pilihan pertama masih memanfaatkan energi fosil, kemudian disusul energi nuklir, air,
dan pilihan terakhir adalah beberapa jenis energi terbarukan (renewable resources).
Pengguna energi nuklir terbesar di dunia adalah Perancis yang mencapai hampir 80% produk
listriknya dibangkitkan dari PLTN[12].
2.1.
PLTU batubara adalah pembangkit listrik yang menggunakan uap air untuk memutar
turbin dan menggerakkan generator. Uap ini dihasilkan oleh proses pemanasan yang terjadi
di ketel uap (boiler). Pemanasan di boiler pad a pembangkit PLTU sedemikian panasnya,
sehingga uap yang dihasilkan akan berada pada fase superheated, dan uap yang penuh
energi inilah yang disalurkan ke turbin, sehingga turbin berputar dan menghasilkan listrik
melalui generatornya. Komponen utama pada sistem PLTU adalah: (a) ketel uap, (b) turbin
uap sebagai penggerak utama, (c) generator pembangkit tenaga listrik, (d) super heater
(pemanas lanjut) (e) ekonomiser (pemanas pendahuluan air) (f) kondensor (pending in uap).
Prinsip kerja PLTU batubara melibatkan proses pemompaan, proses pemasukan
kalor atau pemanasan pada tekanan konstan di dalam ketel, proses ekspansi isentropik di
dalam turbin atau mesin uap lainnya proses pengeluaran kalor atau pengembunan pada
tekanan konstan di dalam kondensator. Mula-mula air masuk ke dalam sistem destilasi
(proses pemurnian) menjadi air suling, kemudian air dipompa masuk ke tangki air (reservoir).
Kemudian melalui demineraliser, akan terjadi pemisahan mineral-mineral, air dimasukkan ke
dalam tangki berikutnya, dan temperatur air mencapai 34C. Melalui ekonomiser air
ditingkatkan suhunya, kemudian ke pemanas tekanan rendah dan ke pemanas tekanan
tinggi, hingga dicapai temperatur 70C. Pemanasan ini perlu dilakukan untuk menghindari
adanya tekanan termal (perubahan suhu mendadak) yang akan merusak tabung boiler.
Sesudah melalui proses pemanasan ini, selanjutnya air dialirkan ke boiler untuk diuapkan,
lalu mengalir ke pemanas lanjut primer, dan ke pemanas lanjut sekunder untuk
menggerakkan turbin[13].
Di Indonesia hingga tahun 2005 telah dibangun sebanyak 11 unit PLTU yang
tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yaitu PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU
Tanjung Enim, PLTU Tarahan, PLTU Suralaya, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati, PLTU
Paiton, PLTU Asam-Asam, PLTU Lati, dan PLTU Amurang (Gambar 3).
1. Pl TU LABUHAN
2. Pl TU OMBILIN
ANGIN
200 MW
200 MW
6. PlTU
CILACAP
7. PlTU
TANJUNG
600 MW
JATI1320
3. Pl TU TANJUNG
ENIM 200 MW
8. Pl TU PAITON
4. PlTU
TARAHAN
200MW
9. Pl TU ASAM-ASAM
5. PlTU
SURAlAYA
2400 MW
10.PlTU
LATI2
11. PlTU
AMURANG
110 MW
MW
X 7 MW
202
PLTU di Indonesia pertama kali beroperasi pada tahun 1962 dengan kapasitas 25
MWe, beroperasi pada temperatur 500,25C, dan tekanan 65 kg/cm2. Mesin boiler masih
terbuat dari pipa biasa, dan pendingin generator dilakukan dengan udara. Perkembangan
teknologi PLTU di Indonesia dimulai pada pembuatan mesin boiler yang dilengkapi pipa
dinding dan pendingin generator dilakukan dengan hidrogen, namun dengan kapasitas yang
masih 25 MWe[15]. Mesin boiler harus dilengkapi super heater, "economizer" dan tungku
tekanan ketika dayanya ditingkatkan dari 100-200 MWe. Selanjutnya turbin melakukan
pemanasan ulang dan arus ganda, namun pendingin generatornya masih menggunakan
hidrogen. Hanya saja untuk kapasitas 200 MWe uap yang dihasilkan mempunyai tekanan
131,5 kg/cm2, suhu 540,25C, dan bahan bakarnya masih menggunakan minyak bumi. Untuk
PLTU kapasitas 400 MWe, bahan bakarnya sudah tidak menggunakan minyak bumi lagi
melainkan batubara.
Pertama kali Indonesia membangun PLTU batubara, yaitu pada tahun1984 di
Suralaya dengan kapasitas terpasang 4x400 MWe. Selanjutnya tahun 1987 dibangun PLTU
Bukit Asam dengan kapasitas 2x65 MWe, tahun 1993-an beroperasi pula PLTU Paiton 1 dan
2 yang masing-masing dengan kapasitas 400 MWe. Selanjutnya pada tahun 1994, PLTU
Suralaya dikembangkan dari unit 5-7 dengan kapasitas 600 MWe/unit. Pad a tahun 1994
tersebut, kapasitas PLTU batubara sudah mencapai 2.130 MWe (16% dari total daya
terpasang). Pada tahun 2003 kapasitasnya diperkirakan sekitar 12.100 MWe (37%), tahun
2008/2009 mencapai 24.570 MWe (48%) dan diperkirakan pada tahun 2020 sekitar 46.000
MWe. Sementara itu pemakaian batubara pada tahun 1995 tercatat sebanyak 7,5 juta ton per
tahun untuk menghasilkan energi listrik sebesar 17,3 TWh. Pada tahun 2005, pemakaian
batubara meningkat mencapai 45,2 juta ton per tahun dengan energi listrik yang
dihasilkannya mencapai 104 TWh. Keunggulan pembangkit PLTU batubara adalah harga
bahan bakarnya lebih murah dibandingkan minyak dan cadangan yang tersedia masih relatif
melimpah [15].
Batubara termasuk salah satu bahan bakar fosil, merupakan batuan sedimen yang
dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan yang
terbentuk melalui proses pembatubaraan. Kandungan unsur utama batubara adalah karbon
(C), hidrogen (H), dan oksigen (0). Batubara memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks dan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Analisis unsur memberikan rumus
formula empiris batubara adalah C137Hg70gNS untuk bitumin us dan C240Hgo04NS untuk
antrasit. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas
dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas, yaitu antrasit, bituminus,
subbituminus, lignit dan gambut.
Potensi sumberdaya batubara di Indonesia, yaitu di Kalimantan Selatan dan Timur
(Cekungan Pasir, Barito, dan Asam-Asam) dengan nilai energinya 6400-6800 kkal/kg,
Kalimantan Tengah (Cekungan Kutai) dengan nilai energinya 6200-6800 kkal/kg, Kalimantan
Tengah (Cekungan Tarakan) dengan nilai energinya 5800-6100 kkal/kg, di Sumatera
(Cekungan Ombilin dan Sumatera Selatan) dengan nilai energinya 6900 dan 5300 kkal/kg. Di
daerah lainnya (Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi) jumlahnya relatif kecil dan
belum dapat ditentukan nilai keekonomisannya. Batubara di Kalimantan mencapai 61%, dan
di Sumatera 38%, sedangkan sisanya tersebar di wilayah lain [15].
Perkiraan jumlah dan lokasi cadangan sumberdaya alam batubara di Indonesia
ditunjukkan pada Gambar 4.
INDONESIAN
COAL RESOURCES
END OF 2003
MEASURED
IND4CATED
INFERRED
HYPOTHETIC.
TOTAL
532,80MilLION Ton
57.874.74
MillION
Ton
.,~~
~-.
I
COAL
RESERVES
(MILLION
Ton)
203
ISSN 2087-8079
Jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik adalah
batubara yang berkualitas tinggi maupun rendah. Umumnya batubara yang kualitasnya tinggi
menghasilkan sedikit sekali unsur impurities (pengotor) yang bersifat berbahaya, sehingga
tidak begitu meneemari lingkungan, sedangkan yang ber kualitas rendah akan menghasilkan
banyak unsur impurities.
Oari segi kuantitas, batubara termasuk eadangan energi fosil yang penting bagi
Indonesia, karena jumlahnya berlimpah meneapai jutaan ton. Jumlah ini sebenarnya eukup
untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga puluhan tahun ke depan. 8ayangnya,
Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi energi listrik
melalui PLTU. 8elain dalam rangka menghemat juga menekan lepasan polutannya (C02,
802, NOx, CxHy, logam berat dan radionuklida) ke lingkungan.
Oaur batubara merupakan rangkaian proses yang seeara umum melibatkan proses
penambangan, transportasi, dan pembakaran[14]. Pengangkutan bahan bakar batubara dan
pengiriman dari lokasi penambangan dilakukan menggunakan kapal tongkang maupun truk
melalui jalan raya, dan kereta api. Beberapa instalasi dibangun dekat tambang batubara,
sehingga pengiriman batubara melalui conveyor. Pad a pemrosesan, bahan bakar batubara
dihaneurkan menjadi ukuran kecil (5 em), kemudian diangkut ke tempat penyimpanan
instalasi menggunakan conveyor berlapis karet dengan laju hingga 4000 ton/jam. Oi dalam
instalasi PLTU, butiran batubara dibakar.
2.2.
PLTN adalah pembangkit listrik yang memanfaatkan panas hasil reaksi fisi untuk
mendidihkan air dan memproduksi (membangkitkan) uap. Prinsip kerja PLTN (PWR) adalah
air sistem pendingin primer masuk ke dalam bejana tekan reaktor pada tekanan 155 atm dan
temperatur sekitar 290C. 8elanjutnya air bertekanan dan bertemperatur tinggi bergerak di
sela-sela batang bahan bahan bakar, sehingga temperaturnya naik menjadi menjadi sekitar
325C. Air pendingin primer ini kemudian disalurkan ke perangkat pembangkit uap melewati
sisi bagian dalam pipa pad a perangkat pembangkit uap. Oi perangkat ini air pendingin primer
memberikan energi panasnya ke air pendingin sekunder (yang ada di sisi luar pipa
pembangkit uap), sehingga temperaturnya naik sampai titik didih dan terjadi penguapan. Uap
yang dihasilkan kemudian dikirim ke turbin untuk memutar turbin yang dikopel dengan
generator listrik. Perputaran generator listrik akan menghasilkan
energi listrik yang
selanjutnya disalurkan ke jaringan listrik. Air pendingin primer yang ada dalam bejana reaktor
dengan temperatur 320C akan mendidih jika berada pad a tekanan udara biasa (sekitar 1
atm). Agar pendingin primer ini tidak mendidih, maka sistem pendingin primer bekerja pada
tekanan hingga 157 atm. Karena bekerja pad a tekanan tinggi, maka bejana reaktor sering
disebut sebagai bejana tekan atau bejana tekan reaktor. Pada reaktor tipe PWR, air
pendingin primer yang membawa unsur-unsur radioaktif dialirkan hanya ee sampai ke
pembangkit uap, tidak sampai ke turbin, sehingga pemeriksaan dan perawatan sistem
sekunder (turbin, kondenser, pipa penyalur, pompa sekunder dll.) menjadi mudah
dilakukan[16].
Pada PLTN tipe PWR, panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi bahan bakar uranium
(Gambar 5) dalam bejana reaktor (reactor vesse~ dipakai untuk memanaskan air pendingin
primer
bertekanan
tinggi
dengan
alat
pengendali
tekanan
(pressurizer)
untuk
mempertahankan
tekanannya.
Air pendingin primer selanjutnya
dialirkan ke sistem
pembangkit uap (steam generator) untuk memproses pertukaran panas dari sistem pendingin
primer ke sistem pendingin sekunder. Pertukaran panas ini menyebabkan air sistem
pendingin sekunder mendidih dan menghasilkan uap panas yang selanjutnya dipakai untuk
memutar turbin dan generator untuk menghasilkan tenaga listrik (Gambar 6).
204
Neutron
Proton
235U
205
ISSN 2087-8079
penting dalam kategori ini adalah autunit (U-Ca), chalcolite atau torbernite (U-Ca),
vanadate, dan gummite.
Pada kurun waktu tahun 1993 - 1995, BATAN ju~a telah melaksanakan pemetaan
cadangan uranium di wilayah Irian Jaya seluas 3.000 km . Perkiraan cadangan uranium di
Indonesia ditunjukkan pada Gambar 7.
Perkembangan teknologi energi nuklir yang berkelanjutan akan mengarah pada
penggunaan bahan baku nuklir (uranium) untuk keperluan lainnya, maka Indonesia juga
mempunyai potensi yang cukup besar, misalnya cadangan torium yang saat ini masih
dikategorikan sebagai limbah industri penambangan timbal (Pb) di wilayah Sumatera. Selain
itu bahan baku nuklir juga dapat dikembangkan ke arah penggunaan plutonium, lithium dan
hidrogen, sesuai dengan teknologi energi nuklir yang dikembangkan.
DAERAH PROSPEK U DAN TH DI INDONESIA
'(T[IH'U
!!a ....."'
.. "'"''',',
.. ".
~ .
Sue' ttont . tI
11'"
., ,.,.cUru
III
~_
,10."'01
r:] ",I"
Wf'\;ctf".
IIN hWUl1
~ "'tt~'''.IQ' . ""u.1
'tl
" c. C':
,. 0"' t~
tl
'II'T I
ru,,," ''''"'1''.
U" ....",
206
Cooled Reactor) yang keduanya menggunakan gas CO2 sebagai pendingin dan grafit
sebagai moderator. Namun demikian, kebanyakan PLTN yang beroperasi di dunia saat ini
adalah tipe PWR.
OPWR
OBWR
_GCR
o Lainnya
57%
Gambar 8. Perbandingan
Jumlah PLTN di dunia yang terbanyak dioperasikan adalah PLTN tipe PWR (Gambar
8). Data hingga tahun 2009 menunjukkan jumlah PLTN tipe PWR yang beroperasi di dunia
saat ini mencapai 57% dari jumlah keseluruhan unit PLTN yang ada, sedang PL TN tipe BWR
22%, GCR 8%, dan tipe lainnya (13%). Data juga menyebutkan bahwa pembangunan PLTN
tipe PWR terus meningkat. PWR merupakan tipe reaktor pada PLTN yang paling banyak
digunakan di beberapa negara, dan salah satu alasannya karena reaktor ini menggunakan air
(H20) sebagai pendingin sekaligus sebagai moderator[20].
Data statistik tahun 2009 menunjukkan jumlah PLTN yang dioperasikan oleh 31
negara yang terse bar di dunia sampai Agustus tahun 2008 jumlahnya mencapai 433 unit, dan
yang sedang dibangun mencapai 42 unit PLTN[20]. Data jumlah PLTN yang beroperasi dan
sedang dibangun di dunia ditunjukkan pada Gambar 9.
Beberapa PLTN tambahan terbaru tipe PWR yang beroperasi sejak tahun 2008,
terdapat di beberapa negara di Asia, Eropa dan Amerika. Di Asia, yaitu di Pakistan sebanyak
1 unit, Jepang 2 unit, India 6 unit, China 11 unit, Korea 5 unit, dan Iran 1 unit. Di Eropa, yaitu
di Ukraina 2 unit, Rusia 8 unit, Perancis 1 unit, Finlandia 1 unit, Bulgaria 2 unit. Sedangkan di
Amerika, yaitu Amerika Serikat sebanyak 1 unit, dan Argentina 1 unit[21]. Data menunjukkan
bahwa beberapa PLTN yang ada di Amerika telah mendapatkan lisensi perpanjangan
beroperasi hingga 60 tahun, atau 20 tahun lebih lama daripada lisensi awalnya[21].
207
ISSN 2087-8079
Iran
"tO
Armenia
Lithuania
Finlandia
Czechna
Jerman
Rusia
Korea
Afrika
Amerika
Swtzerland
Rumania
Canada
Perancis
Ukraina
Meksiko
Slovakia
Belanda
Pakistan
selatan
Brasil
India
China
Swedia
Slovenia
Jepang
Hongaria
Argentina
Spanyol
Belgia
Bulgaria
Inggris
104
19
15
31
20
55
17
17
59
18
Reaktor yang dibangun
(42 unit)
o Reaktor
beroperasi
(433
unit)
25
50
75
100
Gambar 9. Jumlah PLTN yang beroperasi dan dibangun di beberapa negara di dunia [20]
3.1.
Hasil analisis kandungan radionuklida dalam batubara berikut jenis radiasi yang
dipancarkan oleh radionuklida-radionuklidanya
ditunjukkan pada Tabel1.
208
Tabel1.
No. Thorium-232
Radionuklida
Jenis
radiasi
Potasium-40
K-40
Radiasi
Po-210
Th-232
a
Uranium-238
U-238
Pb-210
Radiasi
aRa-226
Ra-228
Th-228
6,7
tahun
138,3
hari
1,39x1
1,28x1
13
010
09
tahun
tahun
3,43x04
4,5x09
tahun
1,90
tahun
Waktu
Lambang
paruh
Radiasi
p19,4
dan
ytahun
(t1/2)
Radiasi
o Thorium-228
Radium-226
Z=92Protectu
Z=91) (Z=90)
I
Radium
I
L,uBi
-'Bi
,,">opo
L"'IU
L'UpO
04
thn Pb
8x1
Uranium
2,4x105
tahun
3,05
menit
13 13
L,juTh
hari L''IpOB
I~ j4mPa
I I
I
(Z=88)
(Z=86)
l"
Radon
Polonium
~a
!a
22
tahun
5 hari
1,6x
1,18
menit
10-4
detik
J3
138,4
mempunyai
bobot massa 238,03. Terdapat 15 jenis isotop uranium dengan masa 226 hingga 240 yang
209
ISSN 2087-8079
[24]. Diantara
radionuklida uranium tersebut terda~at 6 jenis yang mempunyai waktu paruh relatif sangat
panjang, yaitu 232U,233U,234U,235U, 36Udan 238U,yang masing-masing adalah 70; 1,59x105;
2,46x105; 7,04x108; 2,34x107 dan 4,47x109 tahun. Keberadaan radionuklida 238Udi alam jauh
lebih banyak (99,27%) dibandingkan radionuklida 235U(0,72 %) selain waktu paruhnya juga
paling panjang.
Radionuklida Ra-226 adalah salah satu anak luruh radionuklida U-238 dan bersifat
radioaktif karena memancarkan radiasi partikel-a pada energi 4,78 MeV (94,5%) dan 4,61
MeV (5,55%), serta gamma 0,186 MeV (3,5%) (Gambar 10). Radonuklida Ra-226 termasuk
kelompok logam alkali tanah yang mempunyai bobot atom paling berat, ~aitu 88 dan bobot
massa 226. Di alam, radionuklida Ra mempunyai 25 jenis isotop, yaitu 06Ra hingga 232Ra
dan semuanya bersifat radioaktif. Radionuklida 226Ramerupakan satu-satunya isotop Ra
yang mempunyai kelimpahan isotop tertinggi dengan waktu paruh relatif panjang, yaitu
1,6x1 03 tahun. Radionuklida Ra-226 lebih reaktif dibandingkan U-238, dan ketika meluruh
akan memancarkan radiasi partikel a menjadi gas mulia Rn-222 yang juga akan meluruh
dengan waktu paruh lebih singkat, yaitu 3,8 hari sambil memancarkan radiasi partikel a [25].
Radionuklida Pb-210 berasal dari peluruhan U-238 yang ditemukan dalam jumlah
kecil di dalam batubara. Selama pembakaran batubara, logam berat Pb menguap dan akan
berada pada cerobong asap di dalam bentuk Pb, PbCI2, PbS, PbS2 atau PbS04, tergantung
dari lingkungan gas dan temperatur [23]. Produk ini mudah menguap dan sesudahnya akan
memadat pada temperatur lebih rendah pada tabung dalam ketel uap. Sebagian besar
batubara mengandung isotop Pb, yang dalam jumlah trace nyata-nyata berasal dari
peluruhan radionuklida uranium dan thorium alam. Menggunakan scanning electron
microscopy (SEM), radionuklida Pb-210 dilaporkan terdeposit secara baik dan membentuk
suatu lapisan radioaktif di dinding ketel uap PLTU [26].
Radionuklida Po-210 adalah unsur alam yang sangat jarang, dan dalam bijih Uranium
terkandung sekitar 100 ~Ig/ton.Polonium mempunyai 25 isotop dengan massa atom berkisar
194-218, dan di antara isotop-isotop tersebut kebolehjadian Po-210 paling banyak
dibandingkan isotop lainnya, dengan waktu paruhnya 138,4 hari, serta terbentuk dari
radionuklida Bi-210 (waktu paruhnya 5 hari) yang meluruh memancarkan partikel beta [27].
Radionuklida Po-210 merupakan anak luruh dari Pb-210 pemancar partikel beta yang
memancarkan partikel Cl. Radionuklida Po-210 memiliki titik cair yang rendah, dan bersifat
mudah menguap di udara. Radiotoksisitasnya sedikit lebih tinggi (5 kalinya) dibandingkan
radionuklida Ra-226 [28]. Tingkat toksisitas polonium sekitar 2,5x1011 kali asam sianida.
Polonium-210 sangat berbahaya meski hanya sejumlah miligram atau mikrogram, sehingga
diperlukan peralatan khusus dan kontrol yang ketat untuk menanganinya. Asupan sejumlah
Po-210 dapat merusak jaringan makhluk hidup akibat penyerapan energi partikel alfa. Batas
penyerapan maksimum polonium lewat jalan pernafasan yang masih diizinkan hanya 0,03
~ICi atau 1,11 Bq atau 6,8x10-12gram, sedangkan konsentrasi yang terlarut yang masih
diizinkan maksimal 2x10-11IlCi atau 0,74 Bq/cm3[28].
210
Thorium
(Z=90)
Actinium
(Z=89)
Radium
Ac
6,13 jam
13
(Z=88)
Radon
(Z=86)
Polonium
Po
0,158 detik
(Z=84)
Plumbum
(Z=82)
Telerium
(Z=81
Gambar 11. Deret Peluruhan unsur radioaktif alamiah Th-232 [24]
Radionuklida Th-232 adalah radionuklida alamiah yang dapat terkonsentrasi atau
meningkat kandungannya akibat digunakan pad a kegiatan industri [28]. Radionuklida torium
merupakan kelompok lantanida dengan bobot atom 90, mempunyai 25 jenis isotop dengan
massa berkisar 212-236 [29]. Radionuklida Th-232 mempunyai waktu paruh panjang, yaitu
1,39x1 010 tahun, dan dalam proses peluruhannya akan menghasilkan berbagai macam anak
luruh dengan umur paruh dari orde detik hingga ribuan tahun (Gambar 11). Radionuklida Ra228 adalah salah satu hasil peluruhan radionuklida Th-232 yang mempunyai waktu paruh
relatif panjang, yaitu 6,7 tahun.
Radionuklida
K-40 merupakan salah satu isotop radioaktif alam kalium yang
kebolehjadiannya sangat kecil (0,012%), sehingga konsentrasi di kerak bumi hanya 1,8
mg/kg (13 pCi/g). Radionuklida K-40 mempunyai waktu paruh sangat panjang (1,3 milyar
tahun), dan meluruh menjadi Ca-40 dengan memancarkan partikel beta pad a 52 MeV dan
gamma pada 146 MeV. Kalium bersifat mudah terikat kuat pada tanah liat, sehingga
diperkirakan K-40 di tanah-tanah di AS sekitar 3000 Ci. Radionuklida K-40 berperilaku sama
dengan isotop kalium lainnya, sehingga mudah berasimilasi ke jaringan atau tisu tanaman
dan binatang melalui proses biologi yang normal [30].
Hasil analisis kuantitatif radionuklida dalam bahan bakar batubara yang digunakan
oleh sebagai bahan bakar PLTU ditunjukkan pada Tabel 2.
211
ISSN 2087-8079
Tabel2. Konsentrasi radionuklida dalam batubara yang diperoleh dari beberapa negara di
dunia (Bq/kg) [31,32,33,34]
No.
Asal Batubara
1
2
Australia
K-40
U-238
Ra-226
Pb-210
Po-210
td
td
30-48
td
td
td
td
Brasil
370
td
100
td
td
67
td
Th-232
Ra-228
Kanada
440
td
30
td
td
26
td
Cekoslovakia
td
td
4,1-13
td
td
td
td
China: - jenis 1
td
td
td
td
td
td
69
27
52
- jenis 2
Jerman: - bituminus
- coklat
Hungaria
India
10
Polandia:
11
- jenis II
Afrika Selatan
12
13
14
- jenis I
26
td
<40
20
25
30
<20
td
td
15
<10
10
10
<7
td
td
Td
1,5
td
td
td
td
td
Td
25
td
td
td
35
td
15- 25
4-15
td
td
74-111
td
td
250
td
td
td
td
td
td
290
38
td
td
td
30
37-760
2-140
td
td
td
7-110
110
Td
30
td
td
20
Rusia
120
td
td
22
td
td
Inggris: - jenis I
120
28
17
td
td
td
17
td
- jenis II
Amerika Serikat
td
11-29
7,4-94
td
td
110
20
16
17
td
13
44
27
td
td
td
8,5
td
-Alabama,
120
td
8,9
td
td
27
td
-Bagian
Barat
Tennessee
2,4-19
td
td
13
-Wyoming
td
td
td
18
41
td
td
15
td
110
10
31
td
II
0,52
td
td
-Wyoming
Venezuela
td
<20
td
td
<20
td
16
Rumania:-
coklat
310
39
38
-lignit
274
74
- campuran
305
41
31
30
25
53,5
16,5
17
18
Perancis
Yunani
19
Indonesia
Keterangan:
(Iignit)
(Kalimantan)
17
65-91
-
1,70
40
77-89
14-16
2,70
212
Analisis Kualitatif
ba tuba ra
3. 1.2.
dan Kuantitatif
Radionuklida
Analisis kualitatif dan kuantitatif radionuklida dalam fly dan bottom ash ditunjukkan
pada Tabel 3. Makin banyak batubara yang dibakar, maka potensi jumlah fly ash yang
dihasilkan dan dilepaskan juga meningkat. Menurut UNSCEAR (1993), untuk menghasilkan
1000 MWe energi listrik dibutuhkan kurang lebih sebanyak 3 x 109 kg batubara [39].
Sedangkan Rumania melaporkan, untuk memproduksi energi listrik kapasitas 1000 MWe di
negaranya dibutuhkan hingga 20 x 109 kg batubara kualitas rendah dengan konsekuensi
terlepasnya sejumlah radionuklida Rn-222 dan Rn-220 sebanyak masing-masing sebanyak
25 dan 770 x 109 Bq per 1000 MWe [40].
Tabel3.
No.
Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam fly ash PLTU batubara di beberapa
negara (Bq/kg) [31,32,40,41]
-84
--161
37-74
999
137
333
-130
71
Italia:
520
I15
Rumania
USA:
20-560
160-630
200
206
113
td
td
100-120
100-160
ttd
240
d30-1
td
I260-270
td00
Australia
India
Jerman
70-300
Ra-226
200-3000
100
70-300
Pb-210
40-70
U-238
44-330
Th-232
300-5500
td
td
Ra-228
8
td
0-1000
250-700
100-160
70
59
500
300
Th-228
Po-210
K-40
Negara
Hungaria
67
213
ISSN 2087-8079
radionuklida
-- 10-500
10-540
-- ash(Bq/kg)
1,2-175
Th-232
30-615
2-160
Po-210
11-510
Bottom
Th-228
K-40
10-35
160-1300
160-1200
1-175
2-170
1-43
158-1000
182230-590
30
U-238
lolos
7-101
Ra-226
Pb-210
8-152
4-420
3-312
4-528
4-120
5-237
1-91
Flyash
11-589
Batubara
Batubara
6-558
2,2-170
1,5-96
1,5-147
1,1-112
(Bq/kg)
(Bq/kg)
Lignit
No Radionuklida
campuran(Bq/kg)
terkumpul
Batubara 10coklat
dan lignit
Pb-21O masing-masing
masing
dan 22-41
Bqlkgmengandung
[31,34].
bottom
Pada Tabel 4 terlihat bahwa konsentrasi radionuklida U-238, Th-232, dan turunannya
yang terkandung dalam fly ash yang lolos, konsentrasinya sedikit lebih tinggi dibandingkan
dalam fly ash yang tertangkap oleh sistem precipitator. Selain itu, konsentrasi radionuklida U238, Th-232, dan turunannya dalam fly ash relatif lebih tinggi dibandingkan dalam bottom
ash, bahkan dalam fly ash juga terdeteksi Pb-210, Po-210, dan Th-228. Radionuklida dalam
fly ash yang lolos ke atmosfer relatif lebih tinggi dibandingkan yang terkandung dalam
batubaranya, hal ini karena radionuklida alamiah tersebut terkonsentrasi dalam molekul
batubara [41]. Sejauh ini bottom ash dari PLTU batubara telah dimanfaatkan untuk berbagai
pembuatan bahan prod uk bangunan, sehingga lepasannya terkait dengan pengoperasian
PLTU batubara tidak dibahas lebih lanjut.
3.2.
PLTN
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
500
0..
v.2:
Z
::J
I .!:>
Y
..
OJ
'"
::J
l,~1
[-~
~2500
3OCO..c :::
.
'"
c..
lOT
I.tJ
"0
:s
_nnnl~~~11
Gambar 12. Produksi listrik dari pembangkit nuklir di dunia kurun waktu tahun 1971-2007[42]
214
3.2.1.
Analisis Kualitatif Radionuklida dalam Efluen Gas dan Gair dari PL TN Tipe PWR
Pada saat PLTN beroperasi secara normal, dihasilkan tiga jenis produk buangan
melalui efluen gas, cair, dan padat yang mengandung radionuklida [41]. Laporan dari
beberapa negara pemiliki PLTN menyebutkan bahwa pada pengoperasian PLTN dihasilkan
efluen gas dan cair yang mengandung radionuklida sebagai hasil reaksi fisi yang dapat
terlepas ke lingkungan. Radionuklida tersebut termasuk kelompok gas mulia, tritium, karbon
dan iodium (Tabel 5).
Pada Tabel 5 terlihat bahwa efluen gas yang dihasilkan PLTN pada kondisi operasi
normal dilaporkan mengandung sejumlah radionuklida dari golongan gas mulia, tritium,
karbon-14, dan lodium, sedangkan efluen cair mengandung radionuklida H-3, dan selainnya
[39,43]. Radionuklida-radionuklida
terse but merupakan produk fisi (gas mulia: Kr-85, 1-131, 1133, Xe-133, dan lain-lain), dan produk aktivasi netron (H-3, N-13, G-14, Ar-41 , Co-58, Fe-59,
Co-60) [41,44]. Produk buangan berbentuk pad at dan cair umumnya telah dapat ditangani
menggunakan teknologi yang handal dan profesional, sehingga pada kajian ini akan dititik
beratkan pada buangan efluen gas khususnya yang lolos.
Tabel 5. Radionuklida dalam efluen gas dan cair dari PLTN tipe PWR [42,43,45]
2.
a.
Karbon-14
Gas
mulia:
Tritium
312,3
70,86
hari;
Partikulat
Jenis
radiasi
lodium
Gashari;
H-3
1-132
1-133
1-134
Xe-1
Kr-88
1-131
Efluen
Cair
Radionuklida
C-14
Xe-135m
1-135
Xe-131
X
Kr-85m
Kr-85
e-1
33
m44,503
Kr-87
Xe-135
No.
5730tahun
12,3
15,3
5,243
21,2
5,24
11,9
menit
hari
hari
14,1
menit
hari;
5,6 tahun;
Waktu
paruh
Lambang
selainnya
Mn-54,Co-58,
Fe-59,
13
13
10,73
52,65
13
dan
8,04
4,48
2,84
9,10
dan
13dan
ytahun
menit
yXe-133m
(t1/2)
13
13
13
dan
2,28
20,8
6,57
1,27
13
dan
yytahun
jam
yXe-138
y 31
dll.
o lodium-131
Kripton-85
Efluen gas adalah salah satu jenis buangan dari pengoperasian PLTN yang terbentuk
dari hasil produk fisi atau hasil belah yang timbul karena reaksi fisi pada bahan bakar yang
dapat terlepas keluar dari kelongsong bahan bakar. Dalam kondisi operasi normal, jumlah
efluen gas hasil fisi yang bisa terlepas dari kelongsong bahan bakar relatif sangat kecil.
Walaupun pad a pembakaran bahan bakar di reaktor PLTN sudah dibatasi sesuai dengan
batas burn-up yang sudah ditetapkan, namun kemungkinan kerusakan kelongsong bahan
bakar akibat terjadi thermal stress dapat saja terjadi. Namun, umumnya dalam kondisi
operasi normal, biasanya jumlah efluen gas yang terlepas tersebut relatif sangat kecil.
Efluen cair juga termasuk buangan dari pengoperasian PLTN tipe PWR yang berasal
dari pendingin primer dan sekunder, serta terjadi akibat adanya kebocoran-kebocoran katup,
pompa, dan lainnya sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan
kecil. Efluen cair mengandung
radionuklida yang terbentuk dari hasil aktivasi air pendingin, produk fisi yang lolos dan larut
215
ISSN 2087-8079
ke dalam air pendingin, dan produk korosi yang teraktivasi [33]. Radionuklida-radionuklida
yang merupakan produk hasil fisi terse but, di dalam bahan bakar akan menyebabkan
kontaminasi pada pendingin. Hasil reaksi fisi dari fraksi bahan bakar dengan kelongsong
yang dindingnya kurang sempurna berdifusi ke dalam pendingin. Selain itu, partikel yang
berasal dari korosi bahan struktur dan kelongsong dapat teraktivasi sa at melewati teras
reaktor [41,44]" Hasil monitoring efluen gas yang terlepas ke lingkungan sekitar PLTN di
Taiwan diketahui mengandung radionuklida dari golongan gas mulia yaitu Ar, Kr dan Xe [43].
Gas mulia adalah sekelompok unsur-unsur kimia yang dalam keadaan normal
mempunyai sifat serupa, yaitu tidak berbau, tidak berwarna, gas monoatomik, tidak atau
kereaktifan kimianya sangat rendah. Radionuklida gas mulia yang terbentuk selama operasi
normal PLTN tipe PWR adalah radionuklida kripton (Kr), xenon (Xe), dan argon (Ar), yang
umumnya mempunyai waktu paruh relatif pendek (orde men it, jam dan hari), kecuali Kr-85
[43].
Radionuklida tritium atau H-3 yang terlepas ke atmosfer melalui efluen gas pada
operasi normal PL TN, umumnya akan berubah menjadi molekul air (HTO) setelah melalui
proses oksidasi, dan akhirnya akan mencapai permukaan bumi bersama-sama dengan air
hujan.
enzim hidrogenase
3
2 [ I Hz] + Oz
2 [ I HzO]
atau
2HT + Oz
2HTO
Proses oksidasi HT menjadi HTO terjadi di permukaan tanah dan merupakan proses
biologis dengan bantuan mikroorganisme tanah yang mamanfaatkan HT sebagai sumber
energinya. Selanjutnya HTO hasil proses oksidasi ini akan mengikuti siklus di lingkungan
bersama-sama dengan komponen air biasa [43].
Radionuklida C-14 diproduksi karena adanya reaksi aktivasi antara isotop 0-17 dan
N-14 sebagai komponen bahan bakar, moderator, atau perangkat keras struktural dengan
netron, seperti reaksi berikut [43]:
170+ 1n ~
14C+4a
14N+ 1n ~
14C+ 1p
Radionuklida
C-14 bersifat tidak stabil dan cenderung akan
melepaskan partikel beta yang energinya 49 keV, seperti reaksi berikut:
meluruh
sambil
Setelah memancarkan satu elektron dan satu anti neutrino, radionuklida C-14 yang
berwaktu paruh 5730 tahun tersebut akan meluruh menjadi unsur stabil N-14. Energi radiasi13
dari radionuklida C-14 relatif rendah dan lemah, sehingga tidak mampu melakukan
perjalanan jauh di udara. Sebagai atom karbon tunggal, radionuklida C-14 bersifat sangat
reaktif seperti halnya semua atom karbon lainnya, sehingga apabila di atmosfer akan segera
bergabung dengan oksigen (Oz) dan membentuk karbon dioksida C4COZ)' seperti reaksi
berikut [43,46]:
I:C + Oz ~
14COZ
216
Kajian Oampak Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian ... (Dr. June Mellawati, M.Si.)
Partikulat adalah produk fisi maupun aktivasi yang tersuspensi dan dihasilkan dari
operasi reaktor PLTN. Partikulat berbentuk partikel debu yang merupakan sebuah sistem
fase multi kompleks padat dan partikel cair dengan kisaran ukuran antara < 0,01 - 10 IJm.
Partikulat tersuspensi disebut juga Particulate Matter/PM yang merupakan komponen penting
terkait pengaruhnya dengan kesehatan. Partikulat dengan diameter < 0,01 11m belum
diidentifikasi
secara
kimia, sehingga
untuk
menyatakan
konsentrasinya
umumnya
menggunakan satuan mikro gram per m3 (lJg/m3) atau Bq/m3.
3.2.2.
Konsentrasi radionuklida gas mulia (x109 Bq/tahun) dalam efluen gas PL TN tipe
PWR kapasitas 1000 MWe tahun 1985-1997 [39,43]
1992
1993
1994
1995
1996
1997
354
148
74
166
467
866
28,4
28
241
480
7,2
0,57
1,1
80,6
20
41
0,45
215
0,60
104
Negara
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
China
73,4
537
3600
21,5
1760
770
Jepang
48
19
Korea
006
7,4
6,3
5,9
405
402
6180
680
Negara Amerika Serikat mempunyai jumlah PLTN tipe PWR cukup banyak (104 unit)
dan telah melaporkan jenis radionuklida gas mulia dan konsentrasinya yang terlepas melalui
buangan efluen gas dari PLTN tipe PWR, seperti ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsentrasi radionuklida gas mulia yang terlepas melalui efluen gas PLTN tipe PWR
kapasitas 1000 MWe di Amerika Serikat [39]
Radionuklida
1
2
Ar-41
Kr-85m
Kr-85
Kr-87
Kr-88
No.
4
5
6
7
8
9
10
11
Xe-131 m
Xe-133
Xe-133m
Xe-135
Xe-135m
Xe-138
Pad a Tabel 7 terlihat bahwa diantara radionuklida gas mulia yang terlepas ke
lingkungan akibat beroperasinya PLTN tipe PWR, radionuklida Kr-85 mempunyai waktu
paruh cukup lama, yaitu 10,73 tahun. Menurut UNSCEAR (1993), radionuklida Kr-85 akan
mudah bergerak, berpindah dan terdispersi secara global bersama-sama gas lainnya di
atmosfer, namun sebagai gas yang bersifat inert akan susah bereaksi dengan senyawa lain
[39].
Radionuklida tritium (H-3) yang dilepaskan melalui efluen gas dari PLTN tipe PWR di
Asia, yaitu China, Jepang dan Korea dilaporkan seperti pad a Tabel 8 [39,43]. Hasil
menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan konsentrasi radionuklida tritium selama
kurun waktu lebih dari 10 tahun (1985-1997) di negara China dan Jepang kecuali Korea.
217
Tabel12.
No
Konsentrasi radionuklida rata-rata dalam efluen gas PLTN tipe PWR kapasitas
1000 MWe di beberapa negara selama kurun waktu 27 tahun (1970-1997) [39]
1990-1994
1995-1997
1975-1979
1980-1984
1985-1989
Tahun
1970-1974
Partikulat
C-14
1-131
Gas
H-3mulia
O,027x109
O,013x109
O,22x109
0,081
x1
0,53x109
09
0,43x109
Bq/tahun
Bq/tahun
Bq/tahun
18x109
0,22x1
O,003x109
0,002x109
O,002x109
O,12x1012
O,2x109
2,Ox109
O,3x109
O,2x109
1,8x109
012
O,006x109
0,35x1
0,005x109
O,22x109
4,5x109
O,1x109
O,9x109
O,008x1
0,22x1
2,2x109
3,3x109
5,Ox109
019
012
PL TU BATUBARA DAN PL TN
Pada pengoperasian PLTU batubara dan PLTN akan terlepas sejumlah radionuklida
melalui buangan fly ash dan efluen gas. Dampak penting dari terlepasnya radionuklida adalah
paparan radiasi yang diterima oleh masyarakat maupun pekerja di PLTU batubara dan PLTN.
Paparan radiasi dihitung sebagai dosis efektif individu maupun kolektif tahunan total baik
internal (inhalasi dan ingesti) maupun eksternal yang dihitung dengan mempertimbangkan
faktor koefisien dosis (Lampiran 1 dan 2).
China adalah negara penghasil dan pengguna batubara terbesar nomor tiga setelah
USA dan Rusia, sehingga jumlah PLTU batubara yang ada di negara tersebut cukup
signifikan
dibandingkan
negara-negara
lainnya.
Perolehan
paparan
radiasi
dari
pengoperasian
PLTU batubara dan PLTN di negara ini selanjutnya dibandingkan dan
digunakan sebagai contoh kajian dampak radiologi. Salah satu konsekuensi dari perolehan
paparan radiasi akibat pengoperasian PL TU batubara dan PL TN adalah risiko kesehatan
yang dapat diterima pekerja di kedua instalasi pembangkit tersebut maupun masyarakat yang
tinggal di sekitarnya.
4.1.
Lepasan
Radionuklida
Dari
Pengoperasian
PLTU
Tabel13.
PL TU Batubara
PLTN
1. Gas:
Rn-222
2. Partikulat:
1. Gas:
219
ISSN 2087-8079
Pa-234
3. TI-208
Po-216
Th-232
Rn-220
Ra-224
Th-228
Ac-228
Pb-212
Ra-228
Bi-212
PLTU batubara
dan
220
UNSCEAR, radionuklida C-14 dan 1-131 rata-rata di dunia yang dilepaskan PLTN tipe PWR
secara normal masing-masing adalah 1,4x1 09 Bq/tahun, dan (0,7 - 1,1) x 109 Bq/tahun [39].
Radionuklida yang terlepas dari pengoperasian PLTN diketahui sebagai radionuklida
buatan sebagai produk fisi maupun aktivasi di dalam reaktor.
Umumnya radionuklidaradionuklida tersebut mempunyai waktu paruh relatif lebih pendek (orde men it, jam, dan hari),
kecuali radionuklida gas mulia Kr-85, H-3, dan C-14 (orde tahun). Dipandang dari sudut
waktu paruh dan waktu tinggalnya, maka ada kecenderungan jenis radionuklida yang
dilepaskan
oleh pengoperasian
PLTU batubara lebih membahayakan
dibandingkan
pengoperasian PLTN.
Seperti diketahui, beberapa negara telah menerapkan
PLTU batubara yang
menggunakan teknologi modern, namun sebagian lainnya masih menggunakan teknologi
lama. Perbedaan keduanya adalah bahwa pada PL TU dengan tenologi modern umumnya
instalasinya telah dilengkapi sistem penangkap partikel debu (electrostatic precipitator) dan
penagkap gas sax, NOx (FGD atau ICGCC, Integrated Coal Gasification Combined Cycle),
sehingga diharapkan tidak mencemari lingkungan udara sekitarnya walaupun dengan
konsekuensi
harga listrik akan sedikit lebih mahal. Beberapa
negara yang telah
menggunakan
ICGCC guna menurunkan kadar polutan hasil pembakaran batubara di
instalasi PLTUnya yaitu negara Jepang, Belanda, Amerika serikat, dan Spanyol. Laporan
menyebutkan bahwa PL TU dengan teknologi modern melepaskan sejumlah radionuklida
dengan konsentrasi lebih rendah dibandingkan dengan PLTU batubara teknologi lama (Tabel
15).
Tabel15.
No
1
2
3
4
5
6
7
Konsentrasi
radionuklida
yang
terlepas
dari
kapasitas 1000 MWe teknologi modern dan lama [31]
Radionuklida
U-238
Ra-226
Pb-21 0
Po-21 0
Th-232
Th-228
K-40
batubara
untuk
(0,19-50) x 109
(0,07-47) x 109
(0,17-86) x 109
(0,50-85) x 109
(0,04-17) x 109
(0,06-22) x 109
(10,50-236) X 109
Keterangan:
Teknologi modern telah menggunakan
menggunakan sistem tersebut
PLTU
(28-281) x 109
(28-201) x 109
(52-300) X 109
(60-330) x 109
(10-65) X 109
(13-80) x 109
(200-915) x 109
Pada Tabel 15 terlihat bahwa ada kecenderungan PLTU batubara dengan teknologi
modern memberikan lepasan radionuklida lebih rendah dibandingkan dengan teknologi lama.
Data Tabel 15 memberikan gambaran bahwa PLTU dengan teknologi modern mampu
memperkecil lepasan radionuklida ke lingkungan lebih dari 100% dibandingkan dengan
menggunakan teknologi lama. Namun demikian dengan berbagai alasan, di beberapa negara
di dunia masih menggunakan PLTU batubara dengan teknologi lama. UNSCEAR (2000)
melaporkan radionuklida yang terlepas dari pengoperasian PLTU batubara kapasitas 1000
MWe (TabeI16).
Tabel16.
Radionuklida
ke atmosfir
dari pengoperasian
ke atmosfir (Bq/tahun)
U-238
Ra-226
Pb-210
Po-21 0
Rn-222
Th-228
K-40
0,27 x 109
O,18x109
O,67x109
1,33 x 109
56,67 x 109
0,13x109
0,45 X 109
221
PLTU
ISSN 2087-8079
4.2.
Papa ran radiasi adalah laju dosis total, baik jalur internal (imersi, ingesti, inhalasi)
maupun eksternal [47]. Laju dosis total dihitung sebagai dosis efektif kolektif per tahun yang
diterima masyarakat maupun pekerja.
4.2.1.
dari beroperasinya
PL TU batubara dan
Paparan radiasi yang diperoleh masyarakat melalui lepasan fly ash PLTU batubara
dan efluen gas akibat beroperasinya PL TN tipe PWR ditunjukkan pada Tabel17.
Tabel17.
akibat pengoperasian
Jenis pembangkit:
PL TU batubara (manSv/tahun)
PL TN (manSv/tahun)
Modern
lama
Oosis
Negara
Negara
Yunani:
India
<
0,10
0,28-5,12
23
China:
Taiwan
0,77-1,82
0,50
53-80
Rumania:
Amerika
0,24-4,80
20-76
1,1
China:
10
Inggris:
0,093
- Daya Bay NPP
Polandia:
47
0,002
Argentina:
Data menunjukkan bahwa dosis efektif kolektif yang diterima masyarakat akibat
beroperasinya PLTU batubara dari satu negara ke negara lain relatif bervariasi. Negara yang
telah menggunakan PL TU batubara dengan teknologi modern memberikan paparan radiasi
ke masyarakat lebih rendah (0,24-10 manSv/tahun)
dibandingkan yang menggunakan
teknologi lama (20-80 manSv/tahun). Laporan UNSCEAR (2000) menyebutkan bahwa dosis
efektif kolektif rata-rata yang diterima masyarakat akibat beroperasinya PLTU batubara
dengan kapasitas 1000 MWe/tahun dengan teknologi lama 6 manSv/tahun, sedang dengan
teknologi modern 0,5 manSv/tahun [43].
Menurut UNSCEAR (1993), negara Cina dengan populasi penduduknya relatif sangat
tinggi, dan sebagai pengguna batubara dengan kadar NORM relatif tinggi, serta filter
cerobong yang efisiensinya rendah, maka masyarakatnya akan memperoleh dosis efektif
kolektif hingga 50 manSv/tahun [39]. Menurut UNSCEAR bila diasumsikan 1/3 negara di
dunia menggunakan PLTU dengan tipe serupa tersebut, maka rata-rata dosis efektif kolektif
yang diterima masyarakat akan mencapai 20 manSv per tahun [39].
Oosis efektif kolektif tertinggi yang diterima masyarakat akibat beroperasinya PLTN
kapasitas 1000 MWe di beberapa negara berkisar antara 0,002-1,82 manSv/tahun. Data
perolehan dosis efektif kolektif masyarakat yang tinggal dalam radius berbeda dari tapak
PLTN ditunjukan pada Tabel18.
Tabel18.
Perkiraan dosis efektif yang diterima masyarakat yang tinggal pada berbagai radius
dari tapak PL TN [34]
No
1
2
3
4
5
Radius (km)
1,6
1,6-5
5-10
10-1 5
15-30
0,0030
0,0042
0,0009
0,0007
0,0020
222
0,0238
0,0729
0,0254
0,0024
0,0035
Berdasarkan data Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa masyarakat yang tinggal pada
radius lebih dari 5 km akan memperoleh dosis efektif lebih rendah daripada masyarakat yang
tinggal pada radius kurang dari 5 km.
4.2.2.
Paparan
PLTN.
pekerja
dari beroperasinya
PL TV batubara
dan
Tabel 19. Perkiraan dosis efektif kolektif yang diterima pekerja akibat pengoperasian
batubara dan PLTN PWR 1000 MWe [34,40]
PLTU
Jenis pembangkit:
PLTU batubara (manSv/tahun)
PLTN (manSv/tahun)
0,012 -0,028
< 1,5
Berdasarkan
data Tabel 19 dapat dijelaskan bahwa pekerja PLTU batubara
memperoleh dosis efektif kolektif per tahun relatif lebih rendah dibandingkan dosis yang
diterima pekerja PLTN. Hal ini menyebabkan
pengoperasian
PL TU batubara dapat
memberikan
konsekuensi
perolehan
paparan radiasi ke pekerja jauh lebih rendah
dibandingkan pengoperasian PLTN.
Data perkiraan dosis efektif kolektif yang diterima pekerja PLTN tipe PWR di
beberapa negara di dunia ditunjukkan pada Gambar 13 [51,52] .
man.Sv
4.0
80
3.5T--------------------------------------------------------------------30+----------------------------------------------------------------------~60
2.5T----------------------------------------------------------------------
+- - -- - --- - - -- - - -- ------------------------------------
2.0
- -- - - - -- - - - - -- - - - -~ 40
1.5T---------------------------------------------------------------------_
1.0
-------L20
0.5
!i
0.0,-,
,-, m -
I-I~"
'-'-1"'1
1-'-1
,-,'"
5 ::>.
ro
~,- m
~en m
~IN'=',
~ ~ w
- ~m
0-,c _
~c
m -, u..
~ _ ~ - Im:Jrn
~ n,ro
3$qJLL(1)Ij)~oc (.)
Q
<
~~
c'"",=
~- ~
~
~,~E
-~
~ -~
>. -Q.
S~
. ~CQ
Q
Q
'g ~c 0
~ E'",Q.'-a.
C
cQ
C ~~ ;: .2 1)
." ~~'$ E ~.r: "'2C
en:i
Q) e
.ez~
ro ..
Q::>cro"O
.t:: ~
p-g,1t>
1,..
..
<Q
,0 I 0
.!1!
Gambar 13. Oosis efektif kolektif yang diterima pekerja PL TN tipe PWR
di beberapa negara di dunia [52J
Pada Gambar 13 dapat dijelaskan bahwa perolehan dosis efektif kolektif pekerja di
beberapa instalasi PLTN tipe PWR di dunia bervariasi, namun secara umum masih lebih
rendah dari 1,5 manSv/tahun.
4.3.
Nilai Klirens
223
ISSN 2087-8079
dari pengawasan Badan Pengawas bila pengaruh radiologi dari kegiatan terse but mempunyai
nilai cukup rendah. BAPETEN merupakan instansi pemerintah yang akan mengawasi segal a
kegiatan, baik pengguna bahan radioaktif (PLTN) maupun non pengguna yang berpotensi
meyumbangkan
cemaran radioaktif (PLTU batubara)
ke lingkungan.
Dalam sistem
pengawasan, kriteria dasar yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kegiatan tidak
perlu menjadi sasaran untuk pengawasan adalah identik dengan kriteria pengecualian yang
dikemukakan dalam IBSS (International Basic Safety Standards for Protection Againt Ionizing
Radiation and for the Safety of Radiation Source). Nilai klirens yang diberikan adalah bila
dosis efektif yang diterima masyarakat $; 10 !JSv/tahun atau dosis efektif kolektif $; 1 man
Sv/tahun, maka risiko radiasi terhadap individu dianggap cukup rendah dan tidak mungkin
menimbulkan dampak radiologi [54].
Pada pengoperasian PLTU batubara, perkiraan dosis efektif kolektif yang diterima
masyarakat berkisar antara 0,24-10 manSv/tahun (teknologi modern) dan 20-80 manSv/tahun
(teknologi lama), sedangkan PLTN 0,002-1,82 manSv/tahun (Tabel 17). Berdasarkan data
tersebut, maka perkiraan dosis efektif kolektif diterima masyarakat per tahun akibat kegiatan
PLTU batubara telah melebihi nilai klirens rekomendasi dari ISBBB.
4.4.
Konsekuensi
dan PL TN
Perolehan
Paparan
Radiasi
Dari Pengoperasian
PL TU Batubara
0,05
0,2
2,69
Subtotal
0,39
0,05
1,7
40,9
14,5
42,6
57,1
1,7
33,59
0,19
33,4
3,5
31,7
7,85
6,19
7,85
10,8
3,5
9,2
listrik
9,2
20
3,5
Pada Tabel 20 terlihat bahwa risiko kesehatan yang diterima masyarakat akibat
paparan radiasi dari beroperasinya
PLTU batubara lebih tinggi (2,69 kematian/tahun)
dibandingkan yang diterima pekerja PLTN. Secara total, risiko kesehatan yang diterima
masyarakat akibat beroperasinya PLTU batubara lebih tinggi (6,19 kematian/tahun),
bila
dibandingkan pekerjanya (1,7 kematian/tahun). Risiko kesehatan yang diperoleh masyarakat
tersebut berasal dari paparan radiasi dan penggunaan bahan kimia, sedangkan yang diterima
pekerja berasal dari kecelakaan yang terjadi di tempat kerja.
224
Subtotal
0,32
0,03
0,32
0,03
0,002
0,01
0,002
0,01
1. Masyarakat:
a. Tambang
b. Fabrikasi bahan
bakar
c. Transportasi
d. Timbunan tailing
e. Pembangkit listrik
Subtotal
0,01
0,01
0,37
0,37
2. Pekerja:
0,76
Subtotal
0,76
3,5
3,5
4,26
4,26
Pad a Tabel 21 dapat dijelaskan bahwa risiko kesehatan yang diterima masyarakat
akibat paparan radiasi dari beroperasinya PLTN jauh lebih rendah (0,01 kematian/tahun)
dibandingkan yang diterima pekerja (4,26 kematian/tahun). Secara total, risiko kesehatan
yang diterima masyarakat lebih rendah karena hanya berasal dari perolehan paparan radiasi
(0,01 kematian/tahun), sedangkan yang diterima pekerja lebih tinggi (4,26 kematian/tahun)
karena berasal dari perolehan paparan radiasi dan kejadian kecelakaan selama bekerja.
Bila kedua pengoperasian pembangkit terse but dibandingkan, maka risiko kesehatan
yang diterima masyarakat akibat paparan radiasi dari pengoperasian PLTU batubara jauh
lebih tinggi (2,69 kematian/tahun), sedangkan pengoperasian PLTN (0,01 kematian/tahun).
Namun, risiko kesehatan yang diterima pekerja akibat perolehan paparan radiasi dari
pengoperasian PLTU batubara lebih rendah (0 kematian/tahun) dibandingkan pengoperasian
PL TN (0,76 kematian/tahun).
BAB V KESIMPULAN
5.1.
DAN SARAN
Kesimpulan
225
ISSN 2087-8079
4.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perkiraan dosis efektif kolektif yang diterima
masyarakat per tahun akibat kegiatan PLTU batubara telah melebihi nilai klirens
rekomendasi dari ISBBB, sehingga pada pengoperasian PLTU perlu dilakukan
pengawasan oleh Badan Pengawas.
5. Salah satu dampak radiologi berupa risiko kesehatan yang diterima masyarakat akibat
perolehan paparan radiasi dari pengoperasian PLTU batubara jauh lebih tinggi
dibandingkan dari pengoperasian PLTN. Namun, risiko kesehatan yang diterima pekerja
akibat perolehan paparan radiasi dari pengoperasian PLTU batubara lebih rendah
dibandingkan dari pengoperasian PLTN.
Berdasarkan studi terkait dengan dampak yang ditimbulkan, maka pembangunan PLTN
dapat dijadikan opsi bagi pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi listrik
alternatif.
5.2.
Saran
Seperti diketahui, bisnis pembangkit listrik adalah salah satu jenis bisnis yang
memerlukan kehandalan sebagai bagian dari strategi bisnisnya. Selain permasalahan
lingkungan akibat penggunaan bahan bakar dan "refinery'nya, mungkin sudah saatnya
pemerintah memberikan perspektif yang berbeda kepada masyarakat dalam menyelesaikan
berbagai problematika kelistrikan.
Pemakaian batubara sebagai salah satu sumber energi utama, maupun nuklir untuk
sumber energi pembangkit tenaga listrik alternatif, hendaknya diikuti pula dengan usaha
mengurangi pencemaran lingkungan dan regulasi yang memadai.
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
226
227
ISSN 2087-8079
No
Radionuklida
Efluen lepasan
udaraGas
33
1080
2000
Imersi
mulia
cairJalur
270
250
49
830
330
300
H-3
0,11
0,65
Man,Sv/PBq
2,1
4,5
Ingesti
Jenis
Inhalasi jalur
Eksternal
Semua
230