TINJAUAN PUSTAKA
penyedap masakan, namun dapat pula sebagai bahan obat, seperti: untuk menurunkan
kadar kolesterol, sebagai obat terapi, anti oksidan, dan antimikroba (Randle, 1997).
Berikut ini adalah taksonomi dari bawang merah:
Kerajaan
:
Plantae
Divisi
:
Tracheobionta
Kelas
:
Liliopsida
Ordo
:
Liliales
Famili
:
Liliaceae
Genus
:
Allium
Spesies
:
Allium cepa L.
Dalam penelitian ini yang digunakan bukan bawang merah, melainkan bagian
terluar dari bawang merah yaitu kulit bawang merah. Kulit bawang merah berpotensi
sebagai bahan baku pestisida nabati. Hal ini dikarenakan ketersediaan bawang merah
yang melimpah, terlihat dari produksi bawang merah tahun 2010 yang mencapai
1.049.000 ton, dan data tahun 2011 dengan realisasi angka sementara mencapai 564.000
ton (BPS, 2011). Kulit bawang merah tidak pernah dimanfaatkan, melainkan langsung
dibuang setelah didapatkan isinya. Kulit bawang merah ini sangat berguna sekali,
terutama untuk makanan. Yaitu sering digunakan sebagai penyedap makanan. Kulit
bawang merah juga mengandung zat dan senyawa yang berpotensi dapat membunuh
hama ulat (Fatmah, 2005:69).
Proses pengolahan bawang merah sebelum dipasarkan yaitu proses penjemuran
tumbuhan bawang merah dibawah terik matahari selama 2 hari, pembersihan dari
tanah yang menempel dan akar. Setelah itu bawang merah disimpan dan selama
penyimpanan bawang merah akan mengering dan kulit terluar bawang merah tersebut
akan mudah terkelupas. Umbi bawang merah dapat disimpan lama dalam keadaan
kering apabila tanpa dikupas, hal ini memperlihatkan bahwa kulit bawang merah
mempunyai senyawa aktif yang melindungi umbinya (Rukmana, 1994).
2.2. Senyawa Acetogenin pada Kulit Bawang Merah
Bawang merah memiliki karakteristik senyawa kimia, yaitu senyawa kimia yang
dapat merangsang keluarnya air mata jika bawang merah tersebut disayat pada bagian
kulitnya dan senyawa kimia yang mengeluarkan bau yang khas (Lancaster dan Boland,
1990; Randle, 1997). Zat kimia yang dapat merangsang keluarnya air mata disebut
lakrimator, sedangkan bau khas dari bawang merah disebabkan oleh komponen volatile
(minyak atsiri). Minyak atsiri dihasilkan oleh proses biokimia flavor, dimana flavor
memiliki prekursor atau bahan dasar yang bereaksi dengan enzim spesifik dari bawang
merah yang kemudian menghasilkan berbagai jenis zat kimia antara lain lakrimator,
minyak atsiri, asam piruvat, dan amonia (Lancaster dan Boland, 1990).
Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai pestisida nabati yaitu, bawang
merah yang diambil kulitnya. Kulit bawang merah adalah bagian terluar atau pembalut
dari daging bawang merah yang berpotensi dapat membunuh hama serangga pada
tanaman. Kulit bawang merah mengandung senyawa acetogenin. Pada konsentrasi
tinggi senyawa tersebut memiliki keistimewaan sebagai anti-feeden. Dalam hal ini,
hama serangga tidak lagi bergairah dan menurunnya nafsu makan yang mengakibatkan
hama serangga enggan untuk melahap bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan
dalam konsentrasi rendah, senyawa tersebut bersifat meracuni perut yang bisa
mengakibatkan gangguan proses pencernaan serta kerusakan organ pencernaan yang
mengakibatkan kematian pada hama serangga (Ramadhan, 2012). Selain itu kulit
bawang merah juga mengandung senyawa squamosin. Kandungan pada squamosin
mampu menghambat transport elektron pada sistem respirasi sel hama serangga,
sehingga menyebabkan hama serangga tidak dapat menerima nutrisi makanan yang
dibutuhkan oleh tubuhnya. Walaupun hama serangga memakan daun yang telah
tercemar oleh zat squamosin, hama serangga sama saja seperti tidak memakan apapun,
karena nutrisi yang terkandung dalam daun yang dimakan hama serangga tidak dapat
tersalurkan keseluruh tubuhnya. Akhirnya, hama serangga akan mati secara perlahan
(Plantus 2008). Kulit bawang merah juga memiliki beberapa manfaat lainnya yang
menguntungkan. Zat dan senyawa yang terdapat pada kulit bawang merah dapat
memberikan kesuburan bagi tanaman sehingga dapat mempercepat tumbuhnya buah
dan bunga pada tumbuhan (Rizal 2008).
2.3. Biopestisida
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida
nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu
dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder
dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada
umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun
penyakit (bersifat bakterisidal). Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak
meracuni tanaman dan mencemari lingkungan. Pemakaian ekstrak bahan alami secara
terus menerus juga diyakini tidak menimbulkan resisten pada hama, seperti yang biasa
terjadi pada pestisida sintetis. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung
mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis
terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa
tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab
penyakit tanaman).
Pestisida dibagi menjadi dua, yaitu pestisida sintetis atau kimia dan pestisida
organik atau alami (Zulkarnaen 2010). Sekilas, pestisida kimia dengan pestisida alami
sama saja. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan kedua jenis pestisida tersebut
dibedakan. Pestisida berbahan kimia memberikan resiko yang serius dengan
terancamnya kesehatan populasi organisme (burung, amfibi, reptil, dan lain-lain) akibat
dari penggunaan pestisida berbahan kimia. Bahan aktif yang terkandung dalam pestisida
berbahan kimia akan menjadi racun bagi pengonsumsi hasil pertanian, selain itu
lingkungan akan menjadi sasaran utama atas penggunaan bahan berbahaya ini.
Sehingga, tidak hanya hasil panen yang tercemar, melainkan meliputi udara dan efek
negatif terhadap tumbuhan itu sendiri. Bahan yang secara umum yang sering digunakan
oleh masyarakat dalam penggunaan pestisida berbahan kimia seperti DDT (Dichloro
Diphenyl Trichloroethane), endrin (cairan yang biasa dipakai sebagai racun pembunuh
tikus), lindane, dan endosulfan (Aditya, 2010:17).
Pestisida alami (organic) berbeda dengan pestisida sintetis (kimia), meskipun
tujuan keduanya memberantas hama ulat yang hinggap pada tumbuhan. Beberpa
keuntungan dalam penggunaan pestisida alami (organik) yaitu zat dan senyawa yang
terdapat pada pestisida berbahan alami dapat menolak kehadiran hama ulat dengan bau
yang tidak disukainya, dapat merusak perkembangan telur, larva, dan pupa pada hama
pinggiran coklat pada daun. Bila serangan menghebat daun akan berwarna kuning dan
akhirnya berguguran. Penyakit ini biasanya menyerang pada musim hujan dimana
kondisi kelembaban cukup tinggi. Penyakit ini menyebar saat jamur masih berupa spora
dan bisa dibawa oleh angin, air hujan, hama vektor, dan alat pertanian. Spora jamur juga
bisa terikut pada benih atau biji cabe. Pencegahan terhadap penyakit ini dengan memilih
benih yang sehat bebas patogen. Merenggangkan jarak tanam berguna meminimalkan
serangan agar lingkungan tidak terlalu lembab. Pengendalian teknis bisa dilakukan
dengan memusnahkan tanaman yang terinfeksi dengan cara dibakar. Bila serangan
menghebat bisa diberikan fungisida.
2. Patek atau antraknosa
Penyakit ini disebabkan oleh
cendawan
Colletotrichum
capsici
dan
mati. Penyakit ini bisa dikendalikan dengan mengurangi dosis pemupukan nitrogen
seperti urea dan ZA. Kemudian mengatur jarak tanam agar sirkulasi udara berjalan
lancar. Tanaman yang terinfeksi sebaiknya dicabut dan dibakar. Penyemprotan bisa
dilakukan dengan fungisida, bila dilakukan saat musim hujan pilih fungisida yang
memiliki perekat.
4. Layu
Penyakit layu merupakan penyakit yang cukup sulit dikendalikan pada budidaya
tanaman cabe. Penyakit layu bisa ditumbulkan oleh beragam jasad penganggu tanaman
seperti berbagai jenis cendawan dan bakteri. Layu yang disebabkan cendawan disebut
layu fusarium. Jenis cendawannya adalah Fusarium sp., Verticilium sp. dan Pellicularia
sp. Cendawan ini hidup di lingkungan yang masam. Sedangkan layu bakteri disebabkan
oleh bakteri Pseudomonas solanacearum. Bakteri ini hidup di jaringan batang.
Pengendalian penyakit layu harus diamati dengan lebih spesifik agar penanganannya
bisa lebih tepat.
5. Bule atau virus kuning
Tanaman cabe yang terserang virus kuning, daun dan batangnya akan terlihat
menguning. Penyakit ini disebut juga penyakit bule atau bulai. Penyebabnya adalah
virus gemini, penyakit ini bisa dibawa dari benih atau biji dan ditularkan oleh kutu.
Penyakit yang disebabkan virus tidak akan mempan dengan penyemprotan racun-racun
kimia. Pengendalian harus dilakukan semenjak dini, dengan memilih benih unggul dan
tahan serangan virus. Selain itu bisa juga dengan membasmi hama yang menjadi
vektornya, seperti kutu. Untuk menaikan daya tahan tanaman cabe terhadap serangan
virus kuning, bisa dengan mengintensifkan pemupukan, misalnya penggunaan pupuk
organik cair yang mengandung zat hara makro dan mikro lengkap. Tujuannya agar
tanaman cabe tumbuh subur sehingga lebih tahan terhadap patogen.
6. Keriting daun atau mosaik
Penyebab serangan penyakit mosaik adalah Cucumber Mosaic Virus (CMV).
Gejalanya, pertumbuhan menjadi kerdil, warna daun belang-belang hijau tua dan hijau
muda, ukuran daun lebih kecil, tulang daun akan berubah menguning. Penyakit ini bisa
menyebar dan menular ke tanaman lain oleh aktivitas serangga. Penyemprotan kimia
bertujuan untuk menghilangkan serangga bukan penyakitnya. Untuk mengurangi
penyakit, musnahkan tanaman cabe yang telah parah terserang.
Pemilhan benih yang tahan virus membantu menghindari resiko serangan
penyakit ini. Hal lain yang bisa membantu mengurangi resiko serangan adalah
pemupukan yang baik dan tepat serta penggunaan biopestisida alami.