Fraksionasi
Terapi
radiasi
konvensional
biasanya
diberikan
dalam
rangkaian
terfraksionasi dengan dosis harian 180 hingga 200 cGy (sentiGray) per
fraksi. Kurva kelangsungan hidup sel hipotetik untuk jaringan normal dan sel-sel
tumor mengilustrasikan keuntungan fraksionasi (Gbr. 4.2). Ketika dosis radiasi
dibagi ke dalam beberapa dosis lebih kecil yang dipisahkan oleh interval yang
cukup untuk membolehkan perbaikan maksimal dari cedera subletal, sebuah kurva
respon-dosis yang relatif dangkal tercapai, mencerminkan pengulangan tepi kurva
kelangsungan hidup-sel dosis-tunggal. Lekukan dari kurva kelangsungan hidupsel dosis-terfraksionasi tergantung pada karakter tepi (N dan D q). Efek cadangan
dari fraksionasi adalah terbesar untuk sel-sel dengan respon terhadap radiasi yang
ditandai oleh tepi yang relatif luas, mencerminkan kemampuan sel yang lebih
besar untuk mengakumulasi dan memperbaiki kerusakan subletal selama interval
interfraksi. Banyak jaringan normal dan beberapa tumor yang kurang respon
memperlihatkan jenis respon ini terhadap penyinaran terfraksionasi in vivo dan in
vitro. Sebaliknya, sebagian besar tumor dan beberapa jaringan normal yang
berespon secara akut (cth., sum-sum tulang dan sel-sel kripta usus) punya kurva
respon-dosis dengan tepi yang relatif sempit, menyatakan secara tak langsung efek
cadangan yang relatif kecil dari fraksionasi. Perbedaan antara sensitifitas
fraksionasi dan jaringan normal adalah determinan yang penting dari rasio
terapeutik (perbedaan antara kontrol tumor dan komplikasi jaringan
normal) dari penyinaran terfraksionasi.
Efek Kecepatan-Dosis
Sejauh ini, diskusi mengenai kurva kelangsungan hidup sel dan fraksionasi telah
mengacu pada radiasi yang diberikan dalam paparan akut - yaiut, pada kecepatan
100 cGy per menit atau lebih besar. Pada kecepatan dosis ini, tepi kurva
kelangsungan hidup dilafalkan. Namun, seraya kecepatan dosis berkurang, selsel punya kesempatan lebih besar untuk memperbaiki cedera subletal selama
paparan. Ini disebut efek kecepatan-dosis. Lekukan kurva kelangsungan hidup
semakin dangkal dan tepinya kurang jelas (Gbr. 4.3) sampai kecepatan dosis
tercapai di mana semua cedera subletal diperbaiki. Dalam sistem eksperimental,
Empat R
Efek biologis dari dosis radiasi yang diberikan dipengaruhi oleh dosis, ukuran
fraksi, interval interfraksi, dan waktu di mana dosis diberikan. Empat faktor,
secara klasik dikenal sebagai "empat R dari radiobiologi", menentukan pengaruh
dosis, waktu, dan fraksionasi pada respon seluler terhadap radiasi. Ini adalah:
1. repair (perbaikan)
2. repopulasi
3. redistribusi
4. reoksigenasi
Repair (Perbaikan)
Seperti
yang
dijelaskan
sebelumnya,
karena
penyinaran
terfraksionasi
membolehkan pemulihan yang lebih baik dari cedera subletal selama pengobatan,
dosis total radiasi yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai efek biologis yang
diberikan ketika dosis total dibagi ke dalam fraksi yang lebih kecil. Semakin luas
tepi kurva kelangsungan hidup, semakin besar peningkatan dalam dosis yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat kematian sel yang sama yang dicapai dengan
dosis tunggal. Eksperimen dua dosis dengan interval interfraksi yang bervariasi
mengindikasikan bahwa rentang setidaknya 4 jam, dan kemungkinan lebih dari 6
jam, diperlukan untuk menyelesaikan perbaikan dari cedera subletal yang
diakumulasi. Studi-studi klinis cenderung mengkonfirmasi temuan-temuan ini,
untuk alasan ini, protokol fraksionasi yang berubah biasanya membutuhkan
interval minimal 4 hingga 6 jam antara pengobatan.
Repopulasi
Repopulasi mengacu pada proliferasi sel yang terjadi selama penghantaran radiasi.
Besarnya efek repopulasi pada dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat
kematian sel yang diberikan tergantung pada waktu penggandaan dari sel yang
terlibat. Bagi sel-sel dengan waktu penggandaan yang relatif singkat, peningkatan
siginifikan dalam dosis dapat dibutuhkan untuk mengkompensasi bagi suatu
protraksi dalam waktu penghantaran. Fenomena ini dapat menjadi kepentingan
praktek yang bisa dipertimbangkan. Kecepatan repopulasi jaringan normal dengan
manifestasi cedera radiasi segera setelah paparan (kulit, permukaan mukosa, dll)
membatasi kontraksi dari rangkaian penyinaran terfraksionasi. Namun, protraksi
yang tak perlu berpeluang mengurangi dosis radiasi dengan mengizinka waktu
untuk repopulasi dari klonogen ganas selama pengobatan. Selain itu, pengobatan
sitotoksik- meliputi kemoterapi, terapi radiasi, dan mungkin reseksi bedah - dapat
sebenarnya memicu peningkatan dalam kecepatan proliferasi dari klonogen yang
bertahan hidup. Percepatan repopulasi ini dapat meningkatakan efek yang
merusak dari penundaan pengobatan dan bisa mempengaruhi efektifitas dari
pengobatan multimodalitas berurutan.
Redistribusi
Studi-studi dari populasi sel yang disinkronisasi telah menunjukkan perbedaan
signifikan dalam radiosensitifitas dari sel-sel dalam fase yang berbeda dari siklus
sel. Sel-sel biasanya paling sensiti terhadap radiasi pada fase G 2 lanjut dan selama
mitosis dan paling resisten pada fase S menengah hingga lanjut dan G 1 dini.
Ketika sel-sel membelah secara tak sinkron menerima dosis radiasi yang
terfraksionasi,
fraski
pertama
cenderung
mensinkronkan
sel-sel
dengan
membunuh mereka dalam fase sensitif dari siklus sel. Sel-sel yang tetap dalam
fase S lalu mulai maju ke fase yang lebih sensitif selama interval sebelum fraksi
berikutnya disajikan. Redistribusi sel-sel ini ke fase yang lebih sensitif dari siklus
sel cenderung meningkatkan kematian sel keseluruhan yang dicapai dari dosis
terfraksionasi dari radiasi pengionisasi, terutama jika sel-sel tersebut memiliki
waktu siklus sel yang singkat.
Reoksigenasi
Sensitifitas sel-sel yang dioksigenasi secara penuh terhadap radiasi yang jarang
mengionisasi kira-kira tiga kali yang dari sel-sel yang disinari di bawah kondisi
anoksik. Ini membuat oksigen sebagai sensitisator radiasi yang dikenal paling
efektif. Interaksi molekuler yang bertanggung jawab untuk efek oksigen tidak
sepenuhnya dipahami, tetapi dipercaya bahwa oksigen menstabilkan radikal bebas
reaktif yang diproduksi oleh kejadian pengionisasi. Rasio antara dosis yang
diperlukan untuk mencapai tingkat kematian sel yang diberikan di bawah kondisi
teroksigenasi versus hipoksik dikenal sebagai rasio peninggian oksigen (Gbr 4.4)/
Sebagian besar jaringan normal dioksigenasi secara penuh, tetapi hipoksia yang
signifikan terjadi pada setidaknya beberapa tumor padat, menyumbangkan sel-sel
hipoksik yang dihasilkan yang relatif resisten terhadap efek-efek radiasi. Namun,
kepentingan klinis dari hipoksia tumor tak pasti karena sel-sel hipoksia awalnya
cenderung menjadi lebih baik dioksigenasi selama serangkaian penyinaran
terfraksionasi. Fenomena ini, disebut reoksigenasi, cenderung meningkatkan
respon tumor terhadap dosis radiasi terfraksionasi.
hemoglobinnya turun meskipun transfusi juga memiliki tumor yang lebih agresif
atau kurang responsif terhadap pengobatan. Studi-studi tekanan oksigen
intratumor juga menyatakan bahwa tumor-tumor hipoksik cenderung mempunyai
prognosis yang buruk; namun, korelasi ini tampaknya ada bahkan pada pasien
yang diobati secara bedah dan bisa sebagian mencerminkan kecenderungan untuk
tumor yang secara biologis agresif menjadi hipoksik.
Sebuah studi acak dini dari transfusi pada para pasien anemik dengan kanker
serviks lokal lanjutan menekankan pada kontrol lokal yang membaik ketika
kapasitas pembawaa oksigen meningkat. Namun, temuan studi kecil ini belum
dikonfirmasi dalam sebuah ujicoba prospektif yang lebih besar, dan hasilnya tetap
tak berkesimpulan. Sekelompok peneliti bahkan telah menyarnkan bahwa
transfusi alogenik bisa jadi berbahaya, meskipun hasil mereka berlawanan dengan
mereka dari sebagian besar studi lain. Meskipun demikian, hipoksia tumor terus
menjadi salah satu penyebab yang mungkin dari kegagalan penyinaran untuk
mengontrol beberapa tumor (cth., kanker serviks lanjutan dengan populasi sel-sel
tumor hipoksik yang signifikan), dan sebagian besar klinisi merekomendasi
bahwa kadar hemoglobin dipertahankan di atas 10 g/dl selama terapi radiasi.
Transfer Energi-Linier dan Efektifitas Biologis Relatif
Kecepatan pengendapan energi sepanjang jalur sinar radiasi dikenal sebagai
transfer energi liniernya. Foton, elektron energi-tinggi, dan proton memproduksi
sedikit sinar radiasi pengionisasi (transfer energi linier rendah), sedangkan
partikel atomik yang lebih besar (cth., neutron dan partikel alfa) memproduksi
sinar radiasi pengionisasi yang jauh lebih padat (transfer energi-linier tinggi).
Efek-efek biologis dari sinat radiasi pengionisasi yang padat berbeda dalam
beberapa cara dari mereka dari sinar radiasi pengionisasi yang jarang. Dengan
sinar radiasi transfer-energi-linier:
1. Ada sedikii atau tidak ada cedera yang dapat diperbaiki dan unruk itu tak
ada tepi pada kurva kelangsungan hidup sel.
2. Besarnya kematian sel dari dosis yang diberikan lebih besar, meningkatkan
lekukan akhir dari kurva kelangsungan hidup.
Hipertermia
Suhu adalah faktor lain yang bisa memodifikasi efek dari radiasi pengionisasi.
Suhu suprafisiologik sendiri bisa jadi toksik terhadap sel-sel karena panas
khususnya toksik terhadap sel-sel dalam lingkungan pH-rendah (sering dalam
daerah hipoksia) dan terhadap sel-sel dalam fase S yang relati radioresisten dari
siklus sel. Suhu dalam rentang 42o hingga 43oC mensensitisasi sel-sel terhadap
radiasi, baik dengan mengurangi tepi maupun dengan meningkatkan lekukan
kurva kelangsungan hidup. Karena suplai vaskular yang berbeda dari tumor dan
jaringan normal, hipertermia dapat menghasilkan kenaikan suhu yang lebih besar
pada tumor, meningkatkan keuntungan terapeutik yang mungkin ketika panas
dikombinasi dengan penyinaran. Para pakar biologi dan klinisi telah mencoba
untuk menemukan cara untuk mengeksploitasi efek ini selama bertahun-tahun
tetapi telah terhambat oleh keterbatasan teknologi mengenai kemampuan untuk
tumor yang didudukkan-mendalam panas secara selektif. Sebuah ujicoba dari
Amsterdam melaporkan bahwa kelangsungan hidup membaik ketika hipertermia
digunakan dengan penyinaran pada pasien dengan kanker serviks lokal lanjutan.
Para pasien dalam studi ini menerima dosis radiasi yang relatif rendah, tidak
menerima kemoterapi yang bersamaan, dan memiliki kontrol penyakit pelvik yang
lebih buruk daripada yang diharapkan dalam kuasa kontrol, tetapi temuan tersebut
menyatakan bahwa pendekatan itu mungkin masih layak untuk studi lebih lanjut.
Additivitas
Additivitas adalah situasi di mana dua agen bertindak pada target yang sama
untuk menyebabkan kerusakan yang sama dengan jumlah dari efek toksik
individual mereka.
Supradditivitas
Ketikda
ada
supradditivitas,
sebuah
obat
mempotensiasi
efek
radiasi,
menyebabkan respon yang lebih besar daripada yang akan diharapkan dari
addivitas sederhana.
Subadditivitas
Dengan subadditivitas, jumlah kematian sel yang dihasilkan dari penggunaan dua
agen kurang daripada yang diharapkan dari additivitas sederhana (jumlahnya
mungkin masih lebih besar daripada yang diharapkan dari pengobatan manapun
sendiri).
Secara klinis, sulit untuk menentukan mode interaksi yang mana terjadi saat dua
agen digunakan secara bersamaan. Ketika respon yang lebih besar diamati
daripada yang akan diharapkan dari radiasi sendiri, interaski sering dideskripsikan
sebagai sinergistik tetapi bisa jadi hanya additif atau bahkan subadditif.
Rasio Terapeutik
Radiasi pengionisasi berinteraksi dengan semua jaringan pada jalurnya, bukan
hanya jaringan tumor. Radiasi dapat dianggap pengobatan kanker yang efektif
hanya jika ada efek biologik yang berbeda pada tumor dan jaringan normal.
Perbedaan antara kontrol tumor dan komplikasi jaringan normal dikenal sebagai
perolehan terapeutik atau rasio terapeutik.
Secara umum, hubungan antara peluang kesembuhan tumor atau peluang cedera
jaringan normal dan dosis radiasi dapat dideskripsikan dengan kurva sigmoid
(Gbr. 4.5). Pada dosis radiasi yang relatif rendah, ada jumlah kematian sel yang
cukup untuk menghasilkan kemungkinan apapun dari kesembuhan tumor. Seraya
dosis ditingkatkan, sebuah ambang tercapai di mana beberapa kesembuhan mulai
diamati. Bagi sebagian besar sistem tumor, kemungkinan kesembuhan naik secara
cepat seraya dosis radiasi meningkat melewati ambang ini dan kemudian
mencapai plato. Bentuk dan lekukan kurva respon-dosis bervariasi menurut jenis
dan ukuran tumor. Hubungan sigmoid yang serupa terlihat ketika kemungkinan
komplikasi digambari terhadap dosis radiasi. Jika kurva sigmoid untuk komplikasi
jaringan normal adalah ke kanan dari kurva sigmoid untuk kontrol tumor, ketika
pengobatan dengan dosis yang jatuh antara dua kurva dapat mencapai kontrol
tumor tanpa menyebabkan komplikasi. Perbedaan antara kurva-kurva ini
merepresentasi rasio terapeutik. Tujuan primer dari upaya penelitian radiasi adalah
untuk memperbaiki rasio terapeutik dengan meningkatkan pemisahan antara kurva
respon-dosis ini, memaksimalkan peluang kontrol tumor bebas-komplikasi.
Reaksi Akut
Reaksi akut terhadap penyinaran pelvik, seperti diare, biasanya berkaitan dengan
denudasi mukosa, yang pada gilirannya menstimulasi peningkatan dalam
proliferasi sel. Respon regeneratif ini biasanya cukup untuk mencegah efek
samping yang serius dengan dosis mingguan dari 900 hingga 1.000 cGy yang
diberikan dalam lima fraksi. Jadwal yang diperoleh secara empiris ini adalah yang
paling lazim digunakan untuk terapi radiasi klinis. Jika pengobatan dipercepat
untuk menghantarkan dosis selama periode yang jauh lebih singkat, kemudian
kapasitas regeneratif dari epitel dapat diliputi dan reaksi akut begitu berat yang
pemecahan dalam pengobatan diperlukan untuk membolehkan regenerasi epitel.
Keparahan reaksi akut juga tergantung pada volume dari jaringan normal yang
disinari dan sifat dasar spesifik dari jaringan.
Reaksi Lanjutan
Patogenesis komplikasi radiasi lanjutan (yakni mereka yang terjadi berbulanbulan hingga bertahun-tahun setelah terapi radiasi) berbeda dari yang reaksi akut
dan masih belum sepenuhnya dipahami. Telah dihipotesisi bahwa efek lanjutan
radiasi dihasilkan dari:
1. kerusakan terhadap stroma vaskuler yang menyebabkan proliferasi epitel
dengan penuruan suplai darah dan fibrosis yang berikutnya,
2. kerusakan terhadap sel stem parenkim yang berproliferasi secara lambat
atau jarang yang akhirnya menghasilkan kehilangan jaringan atau fungsi
organ.
Uterus. Uterus dan serviks secara khas dideskripsikan sebagai resisten terhadap
radiasi; namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan ini adalah bahwa
uterus dapat diobati dengan dosis yang sangat tinggi (lebih dari 100 Gy dalam
beberapa kasus) tanpa pada pasien berkembang komplikasi yang serius pada
struktur yang penting (cth., usus besar dan kandung kemih). Uterus kemungkinan
tak dapat mempertahankan kehamilan setelah dosis seperti itu. Bahkan dosis
sedang dari 40 hingga 50 Gy mungkin menyebabkan atrofi otot polos yang cukup
untuk menghalangi kehamilan term yang sukses, tetapi ini telah jarang diuji. Para
wanita yang menerima 20 hingga 30 Gy atau lebih pada uterus selama periode
perimenarche telah menjadi hamil tetapi cenderung mengalami aborted spontan
pada trimester kedua, mungkin karena dalam perkembangan uterus. Potongan
endometrium sering terus berfungsi setelah dosis 50 Gy atau lebih.
Ovarium. Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk menyebabkan kegagalan ovarium
sangat tergantung pada usia pasien. Anak perempuan perimenarche dapat terus
menstruasi dan bahkan bias menjadi hamil setelah menerima sebanyak 30 Gy
meningkat dengan susah payah seraya volume rektum yang diobati sampai dosis
tinggi meningkat.
Kandung kemih. Keseluruhan kandung kemih dapat diobati sampai 45 hingga 50
Gy dengan angka morbiditas serius yang sangat rendah. Dosis ini bisa punya
sedikit efek pada kontraktilitas kandung kemih, terutama pada pasien yang juga
telah menjalani histerektomi radikal. Porsi kecil dari kandung kemih mentoleransi
dosis 80 Gy atau lebih dengan resiko rendah morbiditas yang besar (perdarahan
berat, kontraktur, fistula). Namun, hubungan dosis-respon kurang terdefinisi
dalam rentang ini karena sulit untuk secara akurat menentukan dosis maksimal
yang diberikan pada kandung kemih selama pengobatan intrakavitas.
Ureter. Ureter yang tak terganggu secara bedah tampak mentoleransi 85 hingga
90 Gy dari sinar-eksternal yang dikombinasi dan pengobatan intrakavitas LLDR
dengan resiko striktur yang rendah.
Ginjal. Sebagian besar pasien dapat mentoleransi sebesar 18 hingga 22 Gy pada
kedua ginjal dengan resiko yang sangat kecil dari kerusakan jangka panjang.
Dosis yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan permanen pada parenkim ginjal.
Jika pasien punya fungsi ginjal yang normal, lalu 50% atau lebih dari parenkim
ginjal dapat diobati hingga dosis tinggi tanpa menyebabkan kegagalan ginjal;
namun, hipertensi renal dapat terjadi jika seluruh ginjal dilenyapkan dengan
radiasi. Penyakit ginjal yang mendasari atau penggunaan bersamaan kemoterapi
dapat mengurangi toleransi ginjal.
Hati. Pada sebagian besar kasus, hati dapat mentoleransi sebesar 30 Gy (pada 1,5
Gy per fraksi) hingga seluruh organ, meskipun dosis ini akan menyebabakn
kenaikan sementara dari kadar alkali fosfatase dan dapat menyebabkan disfungsi
pada sebagian kecil pasien. Dosis lebih tinggi menyebabkan kerusakan serius
terhadap parenkim hati tetapi bisa ditoleransi jika dihantarkan hingga sebagian
dari hati saja. Toleransi sangat tergantung pada fungsi hepatik yang mendasari dan
dapat secara nyata berkurang dengan penghantaran bersamaan dari beberapa agen
Prinsip-prinsip Fisik
Radiasi Pengionisasi yang Digunakan dalam Terapi
Radiasi
pengionisasi
berada
pada
porsi
energi
tinggi
dari
spektrum
226
Ra,
137
Cs,
186
Ir,
dan isotop lain) atau untuk menghasilkan sinar teleterapi (cth., 60Co). Energi ratarata dari foton yang diproduksi oleh kekurangan dari kobalt radioaktif adalah 1,2
juta eV (MeV).
Sebagian besar terapi sinar-eksternal dihantarkan lewat akselerator linier yang
menghasilkan sinar foton (sinar-x) dengan membombardir sebuah target seperti
tungsten dengan elektron yang dipercepat. Memvariasikan energi elektron yang
dipercepat menghasilkan sinar-x terapeutik dari energi yang berbeda. sinar-X dan
sinar-, keduanya mengandung foton dan berbeda hanya bahwa sinar-x diproduksi
oleh gaya ekstranuklear dan sinar- diproduksi oleh gaya intranuklear.
Teknik Radiasi
Terapi radiasi dihantarkan dengan tiga cara:
1. Teleterapi: sinar-X dihantarkan dari sumber pada jarak yang berjauhan dari
tubuh (terapi sinar-eksternal)
2. Brakiterapi: Sumber radiasi ditempatkan di dalam atau berkdekatan
dengan volume target (terapi intrakavitas atau intersisial)
daripada
sinar
berenergi
lebih
rendah;
ini
menghasilkan
Brakiterapi
Pengobatan Intrakavitas
Pengobatan apapun yang melibatkan penempatan sumber radioaktif dalam ruang
tubuh yang ada diistilahkan pengobatan intrakavitas. Aplikasi ginekologi paling
umum dari terapi intrakavitas melibatkan penempatan aplikator intrauterin atau
intravagina yang berikutnya dimuatkan dengan sumber radioaktif yang
dienkapsulasi (cth., 137Cs atau 192Ir). Sistem aplikator bervariasi dalam penampilan
dan konfigurasi, tetapi mereka yang digunakan untuk pengobatan radikal dari
kanker serviks atau uterus cenderung punya beberapa gambaran secara umum.
Aplikator-aplikator ini biasanya terdiri dari pipa berlubang, atau tandem, dan
beberapa bentuk dari wadah intravaginal untuk sumber tambahan. Variasi terbesar
antara sistem adalah aplikator vaginal, yang berbeda dalam ukuran mereka,
orientasi sumber, dan keberadaan atau ketiadaan penamengan. Satu aplikator yang
umumnya digunakan untuk mengobati karsinoma yang utuh dari serviks adalah
sistem Fletcher-Suit-Delclos. Karakteristik yang penting dari sistem ini adalah
pengaturan sumber vagina perpendikuler terhadap tandem dan kehadiran
penamengan internal yang mengurangi dosis ke rektum dari sumber vaginal
sebesar 25%. Aplikator Fletcher-Williamson serupa dengan aplikator FletcherSuit-Delclos tetapi diadaptasi untuk penggunaan dengan sumber pelangkah
iridium.
Isotop
Waktu Paruh
E (MeV)
E (MeV)
32
P
14,3 hari
Tidak ada
1,7 (max)
125
I
40,2 hari
0,028avg
Tidak ada
131
I
8,06 hari
0,08-0,63
0,61 (max)
137
Cesium
Cs
30 tahun
0,662
0,514; 1,17
192
Iridium
Ir
74 hari
0,32-0,61
0,24; 0,67
198
Emas
Au
2,7 hari
0,41-1,1
0,96 (max)
226
Radium
Ra
1.620 tahun
0,19-0,6
3,26 (max)
60
Kobalt
Co
5,26 tahun
1,17-1,33
0,313 (max)
E, energi sinar-gamma; E, energi sinar-beta; MeV, juta elektron volt
Aplikator cincin vaginal umumnya digunakan dengan sistem HDR kecepatan
dosis tinggi dan punya geometri yang serupa dengan yang dari miniovoid Delclos
tak bertameng yang digunakan dengan sistem aplikator tipe-Fletcher. Sistem
aplikator lain, seperti silinder kubah Delclos, telah dirancang secara spesifik untuk
pengobatan apeks vagina setelah histerektomi.
Gambar 4.11 mengilustrasikan distribusi isodosis bentuk-pir yang dihasilka oleh
segaris sumber intrauterin dan kolpostat vaginal Fletcher-Suit-Delclos yang
dimuatkan dengan
137
Kecepatan Dosis
Menurut sejarah, sebagian besar brakiterapi dihantarkan pada kecepatan dosis
yang rendah, paling umum 40 hingga 60 cGy per jam. Kecepatan dosis ini
mengambil keuntungan maksimal dari efek kecepatan dosis yang dideskripsikan
di atas, secara diferensial menghemat jaringan normal yang berespon-lambat
dibandingkan dengan jaringan yang berespon akut dan sel-sel tumor. Dosis terapi
intrakavitas LDR yang diperlukan untuk secara radikal mengobati kanker serviks
biasanya dihantarkan dalam 72 hingga 96 jam selama satu atau dua kunjungan
rumah sakit. Meskipun beberapa peneliti telah mencoba mengurangi durasi
pengobatan ini dengan menggandakan kecepatan dosis (dari 40 cGy per jam
hingga 80 cGy per jam), data klinis yang terbatas mengenai pendekatan ini
menyarankan bahwa menggandakan kecepatan dosis menghasilkan rasio
terapeutik yang kurang menguntungkan.
Dalam dua dekade terakhir, kedatangan pengendalian jarak jauh yang dikontrol
komputer pascamuatan telah membuat mungkin untuk menghantarkan pengobatan
brakiterapi pada kecepatan dosis tinggi (dalam hitungan menit daripada jam).
Pengobatan HDR dapat menawarkan keuntungan praktis bagi pasien karena ia
secara khas dilakukan pada dasarnya kepada pasien rawat jalan, meskipun lebih
banyak aplikasi biasanya dibutuhkan. Dengan teknik ini, sebuah sumber aktifitas
yang sangat tinggi dari
192
besar
dan
ketiadaan
ujicoba
klinis
yang
terkontrol-baik
yang
192
rendah dalam aktifitas daripada sumber yang digunakan untuk brakiterapi HDR.
Jika pengobatan dihantarkan dalam denyutan per jam dari 40 hingga 50 cGy,
penghematan jaringan seharusnya hampir identik dengan yang dicapai dengan
brakiterapi LDR. PDR memegang beberapa keuntungan di atas brakiterapi LDR
sejati. Sumbernya siap untuk dapat diperoleh, pasien mampu menerima perawatan
dan menerima pengunjung sebagaimana yang mereka inginkan selama interval
antara denyutan, dan metode sumber pelangkah mengizinkan agaknya lebih
banyak fleksibilitas dalam perencanaan pengobatan. Perlengkapannya dapat
digunakan untuk brakiterapi intersisial atau intrakavitas, dan karena aplikatornya
identik dengan yang digunakan untuk HDR, para klinisi yang memilih untuk
memiliki kedua pilihan tersedia bagi para pasien mereka hanya membutuhkan satu
set aplikator.
Dosis brakiterapi total ke titik A harus diturunkan ketika mengubah dari regimen
LDR ke HDR. Dosis dan dosis per fraksi yang tepat berdasarkan pada perhitungan
dosis efektif yang ditaksir secara biologis (BED) pada tumor dan jaringan normal.
BED berasal dari rumus kuadratik-linier yang dideskripsikan lebih awal dalam
bab ini dan sama dengan dosis nominal total (nd) dikali efektifitas relatif: BED =
(nd) x (1 + d/ (/), di mana d adalah dosis per fraksi. Sebagai contoh: Anggap
nilai / adalah berturut-turut 10 dan 3 untuk tumor dan untuk jaringan normal,
skema fraksionasi di mana dosis total 30 Gy diberikan dalam lima fraksi 6 Gy
masing-masing akan menghasilkan:
BED Tumor = (30) x (1 + 6/10) = 48 Gy10
BED Jaringan normal = (30) x (1 + 6/3) = 90 Gy3
Para klinisi sering menyatakan dosis ini dalam istilah yang lebih akrab dari dosis
yang sama pada 2 Gy per fraksi, yang sama dengan BED/[1 + 2/ /)].
Menggunakan perhitungan ini, contoh di atas akan menghasilkan dosis yang sama
dari 40 dan 54 Gy, secara berturut-turut, untuk tumor dan jaringan normal.
Dengan kata lain, efek pada jaringan normal adalah sekitar 35% lebih besar
daripada yang akan diharapkan dari dosis efektif-tumor yang sama yang diberikan
pada 2 Gy per fraksi atau dengan brakiterapi LDR (yang, pada 40 hingga 45 cGy
per jam, punya efek yang serupa dengan yang dari dosis yang dibagi dalam fraksi
2-Gy).
Secara jelas, efek yang berbeda ini akan membuat HDR tak dapat diterima jika
jaringan normal menerima dosis yang sama seperti tumor. Untungnya, dengan
penempatan posisi aplikator yang baik, pengemasan yang efektif dari kandung
kemih dan rektum, dan penempatan posisi sumber yang optimal, dosis total dan
dosis per fraksi yang dihantarkan ke jaringan normal biasanya dianggap lebih
rendah daripada yang dihantarkan ke tumor, membuatnya mungkin untuk
mencapai efek rasio tumor terhadap jaringan normal yang mirip dengan yang
dicapai dengan LDR. Jika tumor sangat besar atau anatomi vaginal kurang
menguntungkan, dosis nominal pada tumor dan jaringan normal bisa jadi serupa;
dalam kasus-kasus ini, pasien bisa lebih efektif diobati dengan LDR, PDR, atau
fraksi HDR yang lebih besar daripada jumlah biasanya.
Adalah penting bahwa skema fraksionasi dosis yang digunakan untuk terapi HDR
menghasilkan kontrol tumor dan angka komplikasi yang kira-kira sama dengan
mereka yang terlihat dengan terapi LDR. Dosis optimal per fraksi dari terapi HDR
tak diketahuii dan mungkin spesifik pasien, tetapi, secara umum, peningkatan
bilangan fraksi dan penurunan dosis per fraksi yang bersamaan tampaknya
mengurangi angka komplikasi yang sedang dan berat.
Regimen HDR yang paling lazim digunakan di Amerika Serikat adalah mungkin
lima fraksi dari masing-masing 5,5 hingga 6 Gy pada titik A setelah 45 Gy pada
pelvis, meskipun ada variasi yang luas dalam bilangan fraksi (2 sampai 13) dan
dosis per fraksi (3 sampai 9 Gy). Karena fraksi tunggal yang besar dari radiasi
membolehkan pemulihan yang kurang dari cedera subletal daripada penyinaran
LDR. Dosis terapi HDR yang menghasilkan angka kontrol tumor yang sama
dengan yang terlihat dengan terapi LDR mungkin menghasilkan peningkatan
resiko komplikasi lanjutan. Namun, dengan pengobatan intrakavitas dari serviks,
jaringan norma yang rentan (terutama rektum dan kandung kemih) sering berjarak
agak jauh dari lokasi tumor dan oleh karenanya menerima dosis dan dosis per
fraksi yang secara signifikan lebih rendah daripada titik peresepan (biasanya titik
A).
Implan Intersisial
Ir,
198
Au, dan
125
I - dapat diperoleh
192
yang biasanya didistribusikan pada interval yang reguler (biasanya 1 cm) dalam
pipa Teflon atau sebagai kawat dengan aktifitas yang dispesifikasi dalam kaitan
dengan mCi per cm. Sumbernya bisa diposisikan pada tumor atau dasar tumor
dalam berbagai cara:
1. Implan bibit permanen (biasanya
125
I,
103
Pd, atau
198
192
Ir). Ini
192
Beberapa peneliti telah mengadvokasi penggunaan brakiterapi intersisial dituntuntemplate untuk mengobati kasus yang sulit dari kanker serviks lokal lanjutan.
Kemampuan untuk menempatkan sumber pada parametrium lateral dengan teknik
ini menyiratkan keuntungan teoritis ke atas pengobatan intrakavitas bagi pasien
dengan keterlibatan dinding pelvik. Beberapa peneliti telah mengklaim angka
kontrol lokal yang tinggi dengan pendekatan ini. Namun, angka kelangsungan
hidup tidak secara jelas unggul terhadap yang dicapai dengan kombinasi terapi
sinar-eksternal dan intrakavitas, dan resiko komplikasi besar juga bisa lebih besar.
Komunitas onkologi radiasi tetap mempertentangkan ketepatan terapi intersisial
bagi pasien dengan karsinoma serviks yang utuh, dan belum ada ujicoba acak
yang telah diselenggarakan untuk membandingkan rasio terapeutik dari
penyinaran intrakavitas konvensional dengan yang dari pengobatan intersisial.
Implan intersisial dapat juga digunakan dalam berbagai aplikasi ginekologik lain,
termasuk kanker vaginal, kekambuhan vaginal dari kanker serviks atau
endometrial, dan kanker uretra.