Anda di halaman 1dari 12

MEMAHAMI KORUPSI PARA PEJABAT BIROKRAT DI INDONESIA DALAM

KONTEKS ETIKA DAN AKUNTABILITAS PUBLIK


Rizki Rachmaddianto
Program Magister Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang
E-mail : rizki.fia@gmail.com

Abstrak: Pemahaman tentang peranan perilaku etika dan akuntabilitas publik dalam konteks kasus
kejahatan yaitu korupsi yang terdapat di organisasi aparatur birokrasi di Indonesia reformasi. Latar
belakang permasalahan serta penulisan artikel ini adalah karena akhir-akhir ini banyak kita temui
persoalan perilaku aparatur birokrasi yang kurang baik, meskipun Indonesia sudah terjadi reformasi
umum tentang perbaikan perilaku yang melatar belakangi nilai-nilai etika dan akuntabilitas publik,
namun perilaku Birokrasi belum seutuhnya baik. Pembahasan dalam artikel ini terdiri dari peranan
etika, problem perilaku birokrat, reformasi birokrasi dan solusi pemecahan terhadap permasalahan
perilaku birokrat di Indonesia. Peletakan dasar perilaku para pejabat birokrat yang masih absurd di
Indonesia menyebabkan agenda reformasi menjadi kehilangan tajinya sebab keinginan utama untuk
menekan angka korupsi masih belum efektif dilaksanakan. Oleh karenanya, perlu sebuah upaya nyata
untuk merevitalisasi prinsip-prinsipserta nilai-nilai etika dan akuntabilitas publik dalam tubuh
birokrasi pemerintah. Kuncinya adalah konsistensi untuk menjalankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
perilaku tersebut dalam birokrasi Indonesia sehingga kedepannya langkah-langkah perubahan perilaku
watak di pemerintah dapat didesain secara kongkret. Fokus pembahasan dalam artikel ini adalah
perilaku birokrat di Indonesia yang belum menunjukan nilai-nilai etika dan akuntabilita, perilaku
birokrat yang mengutamakan pelayanan dan kinerja. Tetapi sebaliknya lebih pada memperkaya diri.
Oleh karena Birokrasi di Indonesia perlu di reformasi secara total demi tercapanya pemerintahan yang
tertata dengan baik sehingga menunjang kinerja yang beretika dan akuntabilitas dalam pelayanan
publik.

Kata kunci: korupsi, etika, akuntabilitas publik, birokrasi


Pendahuluan
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini
ramai diperbincangkan dan begitu kompleks
permasalahan-permasalahan yang mengandung
unsur tidak korupsi, baik di media massa maupun
maupun media cetak. Menurut (kumorotomo,
2015) istilah korupsi di indonesia pada mulanya
hanya terkandung dalam khazanah perbincangan
umum untuk menunjukkan penyelewenganpenyelewengan yang di lakukan pejabat-pejabat
negara. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan
oleh para pejabat tinggi negara tidak lain adalah
pelayang pubik (public
service) yang
sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas
untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang
malah merugikan negara. Hal ini tentu saja
sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup
rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang
terbukti melekukan tindak korupsi. Selanjutnya
(kumorotomo, 2015) menjalaskan di dalam
bukunya yang berjudul Etika Administrasi
Negara bahwa untuk pertama kalinya korupsi
menjadi istilah yuridis dalam Peraturan Penguasa
Militer PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan
korupsi. Di dalam peraturan ini, korupsi diartikan

sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan


keuangan dan perekonomian negara. Selanjutnya
dirumuskan pula tindakan-tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. (1) Setiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga
untuk
kepentingan
diri
sendiri,
untuk
kepentingan orang lain atau untuk kepentingan
suatu badan yang langsung menyebabkan
kerugian bagi keuanan dan perekonomian
negara; (2) setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seorang pejabat yang menerima gaji atau upah
dari keuangan negara ataupun dari suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah yang dengan mempergunakan
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan
yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung
atau tidak langsung membawa keuntungan atau
material baginya.
Korupsi benar-benar menjadi momok bagi
republik ini. Fenomena korupsi tak hanya
melukai hati publik, tapi juga memiskinkan
bangsa ini. Pada gilirannya kasus korupsi yang
seolah tiada henti akan mendonorkan sikap apatis
rakyat terhadap keadaan sekelilingnya.
Ketika reformasi total bergulir tahun 1998,

tatanan makro sistem politik dan sistem


pemerintahan RI turut berubah secara
fundamental pula. Ide executive heavy yang
terkandung dalam UUD 1945 pra-amandemen,
tiba-tiba bermetamorfosis menjadi legislative
heavy. Dampaknya, DPRD menjadi lembaga
super body yang kebablasan, dimana perilaku
politik para wakil rakyat di beberapa daerah
cenderung over-acting melalui aksi-aksinya
melengserkan kepala daerah secara kurang
proporsional. Lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya fenomena korupsi yang makin
mengakar dan menyebar, yang sebagian besar
melibatkan para politisi lokal. Itulah sebabnya,
kedudukan badan legislatif dalam UU
Pemerintahan Daerah yang baru disejajarkan
kembali dengan kedudukan lembaga eksekutif.
Ini berarti bahwa Kepala Daerah tidak lagi
bertanggungjawab kepada DPRD.
Sementara itu, maraknya kasus korupsi di
daerah bahkan sampai menyebar di lembaga dan
birokrasi pemerintahan serta semangat untuk
membangun tata kepemerintahan yang baik
(good governance), telah mendorong Pemerintah
untuk menciptakan sistem dan institusi hukum
yang lebih kuat dalam rangka pemberantasan
KKN. Implikasinya, lahirlah pranata hukum baru
seperti KPK dan Timtastipikor, yang dalam
prakteknya, pranata hukum tadi telah menjelma
sebagai super body baru dalam tata hubungan
antar lembaga negara di Indonesia. Artinya,
fenomena
legislative
heavy
telah
bermetamorfosis kembali menjadi judicative
heavy. Dan ironisnya, kewenangan yang amat
besar yang dimiliki oleh institusi hukum baru
tadi secara langsung maupun tidak langsung
berdampak
pada
terganggunya
proses
pelayanan publik dan pembangunan daerah.
Persoalan ini sama halnya yang di sampaikan
oleh (Warsito, 2010) terkait dengan sepuluh
persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya
sebagai berikut: Prosedur dan mekanisme kerja
yang
berbelit-belit;
Masih
kurangnya
transparansi
dan
akuntabilitas.
Kurang
responsif dan akomodatif terhadap tuntutan
masyarakat; Kurang informatif dan kurang
konsisten dalam kebijakan dan prosedur
pelayanan; Terbatasnya fasilitas, sarana,
prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi dalam tugas
umum pemerintahan dan pembangunan;
Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya;
Masih banyak dijumpai praktek pungutan liar
serta tindakan-tindakan yang berindikasi
penyimpangan dan KKN; Banyaknya peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih dan
tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan
tuntutan pembangunan; Struktur dan kultur

birokrasi pemerintah yang mengabaikan prinsipprinsip good governance; dan Struktur


organisasi
pemerintah
yang
belum
mengindahkan azas Hemat Struktur Kaya
Fungsi.
Persoalan dalam birokrasi itu sendiri
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama faktor
internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem
dan prosedur kerja yang masih bertele-tele,
budaya
kerja
yang
masih
feodalistik,
kepemimpinan yang kaku dan cenderung tidak
visioner, mental dan moral yang rendah serta
struktur organisasi yang gemuk tapi kurang jelas
fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait
dengan perilaku administrator maupun perilaku
organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal
paling tidak terkait dengan hal-hal seperti
kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap
birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya
birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya
yang dianut oleh masyarakat umum kurang
kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat
kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat
kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap
sistem kebijakan yang berlaku masih rendah,
kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya.
Selain itu, di banyak banyak kasus
persoalan di daerah sering dijumpai kasus
mundurnya pejabat dan keengganan pegawai
untuk diangkat sebagai pengelola proyek atau
panitia pengadaan barang dan jasa. Hal ini tentu
saja akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
makro pemerintahan serta kualitas pelayanan
umum (public service delivery). Dengan kata
lain, kekhawatiran, keragu-raguan, dan bahkan
ketakutan di kalangan pejabat publik terhadap
bayang-bayang sanksi pidana dalam pelaksanaan
tugas pokoknya, dapat membawa kerugian
terhadap masyarakat secara luas. Kondisi seperti
ini jelas sangat bertolak belakang dengan
semangat
pemberatasan
korupsi,
yakni
meningkatkan hak dan perlindungan hukum bagi
masyarakat
termasuk
didalamnya
aspek
pelayanan publik.
Gambaran
diatas
secara
tersirat
mencerminkan adanya carut marut dan
ketidakseimbangan dalam tata hubungan antar
fungsi kenegaraan dan antar lembaga negara.
Padahal, semangat reformasi (termasuk semangat
pemberantasan korupsi) lebih menghendaki
terjadinya mekanisme yang seimbang dan
mutualis antar lembaga negara, dan tidak dalam
konteks
saling merugikan
atau
saling
mengalahkan. Ini berarti pula bahwa reformasi
fungsional kelembagaan negara saat ini belum
berjalan dengan baik, serta masih sangat jauh
dari idealserta yang diharapkan kini. Dengan
demikian, proses reformasi lembaga negara harus

dilanjutkan menuju terwujudnya keseimbangan


baru (new equilibrium) terhadap peran dan fungsi
lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif, baik
di Pusat maupun di Daerah.
Dalam
kerangka
membangun
keseimbangan antar lembaga negara tadi, maka
wacana tentang perlunya upaya perlindungan
bagi pejabat publik dalam menjalankan
kewenangan dan diskresinya, menjadi sangat
krusial. Hal ini tentu saja tidak dimaksudkan
untuk memberikan kekebalan (immunity)
ataupun kewenangan yang berlebih (excessive
power) bagi birokrat pemerintahan, melainkan
lebih sebagai jaminan kepastian hukum terhadap
kebijakan dan/atau keputusan yang diambil (asas
het vermoeden van rechtmatigheid).
Selain itu, upaya untuk memisahkan secara
tegas antara proses hukum (khususnya pidana)
dengan proses administratif perlu pula dilakukan
secara serius. Hal ini mengandung pemahaman
bahwa jika terjadi kekeliruan, penyimpangan,
maupun kekhilafan dalam perumusan dan
implementasi kebijakan publik (public policy)
sebagai instrumen yang melekat pada jabatan
publik, maka mekanisme administratif perlu
ditempuh terlebih dahulu sebelum dilanjutkan
dengan proses hukum. Sebagai contoh, dalam
kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur
Kaltim karena dikeluarkannya rekomendasi izin
pelepasan / pembebasan lahan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit, sebelum dilakukan
pemeriksaan berdasar UU Pemberantasan
Korupsi, maka harus dilakukan dulu mekanisme
administratif terhadap kebijakan/keputusan yang
dikeluarkan, baik dengan revisi, pencabutan,
pembatalan
sebagian,
atau
pembatalan
sepenuhnya.
Tetapi Peraturan perundang-undangan
(legislation) merupakan wujud dari politik
hukum institusi Negara dirancang dan disahkan
sebagai undang-undang pemberantasan tindak
pidana
korupsi.
Secara
parsial,
dapat
disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia
serius melawan dan memberantas tindak pidana
korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kirakira pendapat beberapa praktisi dan pengamat
hukum terhadap gerak pemerintah dalam
menangani kasus korupsi. Celah kelemahan
hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku
korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum.
Salah satu jenis korupsi yang banyak adalah
korupsi yang terjadi pada kebijakan publik.
Kebijakan publik, sebelumnya merupakan alat
untuk melakukan korupsi. Sementara itu,
kebijakan publik kini berubah menjadi jenis
korupsi tersendiri dengan istilah korupsi
kebijakan. Istilah korupsi kebijakan dicetuskan
oleh Sudirman
Said sebagai Ketua Badan

Pelaksana Masyarakat Transpanransi dalam


lokakarya
nasional
mengenai
strategi
pemberantasan korupsi. Menurut Sudirman
(http://www.hukumonline.com)
Sayangnya, dalam berbagai kasus aparat
penegak hukum lebih berkonsentrasi pada
dimensi hukum pidana (khusus) dan cenderung
mengabaikan
upaya
perbaikan
terhadap
kebijakan yang terlanjur ditetapkan (dimensi
hukum administrasi negara). Hal ini tentu saja
menjadi preseden kurang baik dalam konteks
reformasi sistem hukum nasional. Dan jika hal
ini terjadi, maka sesungguhnya telah berlangsung
superordinasi sistem hukum yang satu terhadap
sistem hukum yang lain, yang jelas-jelas tidak
sesuai dengan prinsip negara kesatuan (unitary
state). Dengan kata lain, prinsip proporsionalitas
dalam penanganan kasus-kasus hukum perlu
dijunjung tinggi, terutama oleh aparat penegak
hukum sendiri. Ini berarti bahwa persoalan
kebijakan atau administrasi negara hendaknya
diproses melalui pendekatan hukum administrasi
negara serta ditinjau dari aspek perilaku dan
pertanggungjawaban, sebelum dibuktikan adanya
unsur pidana atau perdata di dalam kebijakan
tersebut. Jika tidak, maka beberapa pihak tentang
adanya kriminalisasi kebijakan bisa jadi bukan
isapan jempol semata.
Pembahasan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang
berhubungan dengan etika, moralitas serta
akuntabilitas pejabat publik. Kasus-kasus seperti
korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan
mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak
yang terjadi belakangan ini tentunya sangat
bertentangan dengan etika dan moralitas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan
etika dalam birokrasi pemerintahan seperti yang
telah disebutkan di atas melibatkan beberapa
profesi yang melakukan pelanggaran terhadap
etika seperti pejabat administrasi negara, anggota
legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai
perpajakan, dan lain sebagainya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kasuskasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal
dari seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Padahal pejabat
pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif harus mematuhi etika jabatannya
masing-masing.
Etika
dalam
birokrasi
pemerintahan merupakan hal yang sangat
penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi
agar birokrasi pemerintahan terus mendapat
kepercayaan dari masyarakat.
Korupsi dalam sejarah peradaban manusia
merupakan salah satu masalah yang senantiasa

menyertai perjalanan kehidupan manusia.


Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam
tindakan korupsi seperti penyuapan dapat
ditemukan dalam peradaban kuno masyarakat
Yahudi, Cina, Jepang, Yunani, dan Romawi
(Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi
dengan skala besar yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat telah terjadi pada masa
peradaban India kuno (Thakur, 1979, Padhy,
1986; Khan, 2000).
Dilihat berdasarkan periode waktu,
Indonesia mengalami dua kali perubahan sistem
pemerintahan yaitu orde lama (pemerintahan
Presiden Soekarno) kepada orde baru
(pemerintahan Presiden Soeharto), dan kepada
era reformasi (setelah Presiden Soeharto).
Transisi antara orde lama kepada era reformasi
pada tahun 1998, merupakan titik perubahan
karakteristik pemerintahan yang sudah dianut
selama 31 tahun lamanya. Pemerintahan yang
tadinya bersifat terpusat kemudian berganti
menjadi ter-desentralisasi. Perubahan ini tentu
memberikan dampak besar untuk Indonesia
karena peran dari pemerintah daerah menjadi
penting dalam pembangunan bangsa. Seiring
dengan perubahan tersebut, tindakan korupsi
yang tentunya sudah terjadi sejak orde baru, juga
mengalami perubahan karakteristik. Di orde
baru, korupsi yang terjadi bersifat lebih terpusat
sedangkan di era reformasi (setelah 1998)
korupsi turut ter-desentralisasi karena pemerintah
daerah memiliki peran besar dan pengawasan
dari pusat ke daerah menjadi lebih tidak fokus.
Korupsi: Konteks, Definisi, Jenis, dan
Penyebab
Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi
jug telah berlangsung lama. Hal ini misalnya
dapat dilihat dalam tulisan Smith (1971).
Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat
ditemukan sejak mulai masuknya Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia
pada abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum it
apabila dilihat dari perilaku tradisional yang
dipraktikkan dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara di era sejumlah kerajaan nusantara.
Karenanya dapat dikatakan bahwa korupsi
merupakan endemik yang dapat ditemukan pada
semua negara di dunia dengan berbagai tingkatan
aplikasinya.
Menurut Gillespie dan Okruhlik (1991),
terdapat lima isu utama dalam literatur mengenai
korupsi, yakni definisi, penyebab, dampak,
konteks, dan tipe aktivitas yang termasuk
korupsi. Menyangkut definisi itu sendiri, dalam
pandangan Gillespie dan Okruhlik (1991), (1)
sebuah definisi konseptual membutuhkan dua
kualitas yaitu sebuah definisi, (2) harus cukup

umum dan memungkinkan komparasi lintas


budaya serta harus cukup berguna secara
empirik. Dua kriteria tersebut telah terbukti
menimbulkan kontroversi dalam upaya sejumlah
pakar untuk mencoba mendefinisikan konsep
dari korupsi.
Kumorotomo (2015) berpendapat bahwa
korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab
kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi
dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau
manipulasi.
Lebih
lanjut
Kumorotomo
mengemukakan bahwa korupsi mempunyai
karakteristik sebagai kejahatan yang tidak
mengandung kekerasan (non-violence) dengan
melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu
kenyataan (concealment).
Berbagai definisi yang berbeda dari korupsi
tersebut, pada intinya menurut Desta (2006)
dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu
definisi yang ber-pusat pada jabatan publik
(public office centred definitions); definisi yang
berpusat pada pasar (market centred definitions);
serta definisi yang berpusat pada kepentingan
publik (public interest centred definitions).
Definisi yang berpusat pada jabatan publik
misal-nya definisi yang disampaikan oleh Nye
(1967; Desta, 2006), yaitu perilaku yang
menyimpang dari tanggungjawab seharusnya
sebagai petugas publik karena kepentingan
pribadi (keluarga, kawan dekat), karena
mengharapkan keuntungan uang atau status; atau
pelanggaran aturan dengan memanfaatkan
pengaruh pribadi.
Definisi yang berpusat pada pasar dapat
dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh van
Klaveren (1957; Heidenheimer dkk., 1989;
Desta, 2006), yaitu seorang pegawai negeri yang
korup menganggap kantornya sebagai sebuah
usaha dan menghasilkan pendapatan yang
sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor
kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan.
Sementara itu, definisi yang berpusat pada
kepentingan publik dapat dilihat dari kutipan
pernyataan Friederick (1966; Heidenheimer dkk.,
1989; Desta, 2006), yaitu pola korupsi dapat
terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang
memiliki tanggungjawab untuk melakukan
sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah
yang
sebenarnya
tidak
diperkenankan,
mendukung atau mengambil tindakan yang
sesuai dengan keinginan orang yang memberinya
hadiah dan karena perbuatannya tersebut
merusak kepentingan publik.
Dari ketiga definisi yang disebutkan yang
lebih condong kepada permasalahan kasus
korupsi adalah definisi yang berpusat pada
jabatan publik, definisi tersebut dalam

pandangan penulis lebih sesuai dengan definisi


sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun
2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun
2001, terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam tiga
belas buah pasal pada UU tersebut. Ketigapuluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok, yaitu kerugian keuangan negara;
suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan;
pemerasan;
perbuatan
curang;
benturan
kepentingan dalam pengadaan; serta gratifikasi
(KPK, 2006).
Setelah mengetahui apa yang dimaksud
dengan korupsi dan jenisnya, aspek selanjutnya
yang perlu diketahui adalah terkait penyebab dari
terjadinya tindak pidana korupsi. Merujuk
berbagai literatur yang tersedia dapat diketahui
sejumlah kondisi yang disinyalir menjadi
penyebab utama terjadinya korupsi. Berdasarkan
informasi dari berbagai literatur tersebut dapat
diketahui bahwa pada intinya, korupsi
dikarenakan sejumlah faktor baik yang memiliki
kontribusi secara langsung maupun secara tidak
langsung. Selain itu, faktor penyebab korupsi
juga dapat dibedakan antara faktor yang terkait
dengan
karakteristik
individual
maupun
pengaruh struktural.
Adapun penjelasan mengenai faktor
penyebab korupsi yang terkait dengan
karakteristik individual maupun pengaruh
struktural dapat diihat dalam tulisan Nas, Price,
dan Weber (1986). Menurut Nas dkk., korupsi
dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika
seorang individu itu serakah atau tidak bisa
menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika
sebagai seorang pejabat publik, sementara
penyebab korupsi dari sisi struktural dikarenakan
oleh tiga hal, yakni (1) birokrasi atau organisasi
yang gagal; (2) kualitas keterlibatan masyarakat;
dan (3) keserasian sistem hukum dengan
permintaan masyarakat.
Sementara itu, dalam pandangan Shah
(2007), terjadinya korupsi di sektor publik akan
sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni
(1) kualitas manajemen sektor publik; (2) sifat
alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara
pemerintah dan masyarakat; (3) kerangka
hukum; serta (4) tingkatan proses sektor publik
dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi
informasi. Upaya mengatasi korupsi tanpa
mempertimbangkan keempat faktor ini menurut
Shah akan menyebabkan hasil yang kurang
mendalam dan tidak berkelanjutan.
Penyebab yang timbul dari fenomena
korupsi dari beberapa litelatur yang sudah
disampaikan mempunyai sebab dan akibat maka

akibat yang paling nyata dari merajalelanya


korupsi di tingkat teknis operasional adalah
berkembangnya suasana yang penuh tipu
muslihat dalam setiap urusan administrasi
(Kumorotomo, 2015).
Korupsi merupakan sebuah kejahatan yang
paling berbahaya dibanding kejahatan lain,
misalnya pencurian, perampokan dan pembunuhan. Korupsi akan berimplikasi sosial
kepada orang lain. Korupsi tidak saja
menyebabkan
kesenjangan
sosial
dan
ketidakadilan, tetapi juga kepada nasib dan dosa
orang lain. Korupsi tentang pengadaan buku
sekolah, misalnya, akan merugikan ribuan anak
didik dan dalam jangka panjang membawa
kebangkrutan dalam dunia pendidikan. Sebuah
pemandangan yang sudah terbiasa di kantorkantor pemerintah sering terlihat bagaimana
iklim kerja tidak produktif, pegawai bermental
lembek, suka menunda-nunda pekerjaan, tidak
disiplin, dan memilih pekerjaan yang ringanringan saja tetapi menghasilkan banyak uang.
Problem Perilaku
Orientasi reformasi yang lebih mengarah
pada perubahan dalam birokrasi ini bukanlah
hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan,
melainkan karena adanya beberapa permasalahan
yang selama ini membelenggu birokrasi pada
umumnya. Permasalahan yang terjadi dalam
perilaku birokrasi sering kali menjadi dasar
permasalahan yang muncul dikalangan birokrasi.
Masalah perilaku ini juga tidak sebatas
dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu
sendiri tetapi juga karena adanya pengaruh
eksternal yaitu adanya intervensi dari partai
politik terhadap aparat birokrasi sebagaimana
yang dijelaskan oleh Miftah Thoha bahwa terkait
netralitas aparatur birokrasi tidak sepenuhnya
terjadi karena adanya intervensi dari partai
politik (Thoha, 2010).
Persoalan mendasar yang terjadi sehingga
terjadi perilaku menyimpang oleh aparatur
birokrasi bukan pada pertentangan tujuan
melainkan masalah pengetahuan yang tidak
sempurna. Sebagaimana yang dijelaskan (Simon,
2007) bahwa organisasi administratif adalah
sistem-sistem perilaku kerjasama anggotaanggota organisasi diharapkan menyesuaikan
perilaku mereka dengan mengingat tujuan-tujuan
tertentu yang dianggkat sebagai tujuan-tujuan
organisasional.
Maka dari itu etika perilaku merupakan
seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan,
referensi, acuan, penuntun apa yang harus
dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga
sekaligus berfungsi sebagai standar untuk
menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau

sepak terjangnya dalam menjalankan tugas


dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam
etika terdapat sesuatu nilai yang dapat
memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi
dikatakan baik, atau buruk.
Reformasi birokrasi pemerintahan di
Indonesia harus pula dilakukan dari merubah
perilaku individu di dalam birokrasi maupun
perilaku kelompok di dalam birokrasi selain
perbaikan dari sisi aturan perundang-undangan
yang tumpang tindih dan saling mematahkan.
Merubah perilaku birokrat di Indonesia memang
tidaklah mudah mengingat hal ini akan
dibenturkan pada kepentingan-kepentingan para
birokrat
itu
sendiri
maupun
kepentingankepentingan politik. Namun haruslah
diingat bahwa selain kepentingan dan tujuan
yang dibawa seseorang atau individu saat
memasuki
lingkungan
birokrasi
berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan
kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya yang
juga disebut sebagai karakteristik yang dipunyai
individu di dalam organisasi, terdapat
karakteristik organisasi pula. Karakteristik
organisasi ini antaranya keteraturan yang
diwujudkan dalam susunan hierarki, pekerjaanpekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung
jawab, sistem penggajian, sistem pengendalian
dan lain sebagainya (Thoha, 2008:34). Dalam
prakteknya, konotasi birokrasi yang berkembang
justru sebagai lembaga negara yang inefisiensi
dan tidak profesional. Pemikiran ini dimunculkan
oleh para teoritisi manajemen yang memandang
birokrasi identik dengan peraturan yang kaku.
Albrow (1996:85-86), mengatakan beberapa
gejala birokrasi seperti: terlalu percaya kepada
preseden, kurang inisiatif, penundaan (lamban
dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya
formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi
usaha dan departementalisme.
Persoalan empirik terkait perilaku aparatur
birokrasi di Indonesia saat ini menjadi catatan
merah yang perlu diperbaiki, dari sekian data
KKN, Prosedur dan Mekanisme Kerja yang
berbelit-belit, kaya struktur tetapi miskin fungsi
kesemuanya merupakan persoalan perilaku
aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu,
permasalahan-permmasalahan tersebut bisa
terjadi secara parsial yang terfragmentasikan
pada masing-masing kondisi. Tetapi pada tataran
atau kondisi lainnya bisa pula terjadi secara
bersamaan. Dan pada masa desentralisasi ini pun
persoalan tersebut semakin terfragmentasikan
kedalam satu kondisi dimana terlihat dari
kepemimpinannya. Mungkin tidak semua dari
persoalan kepemimpinan ini memberikan
dampak negatif tetapi setidaknya kita dapat
berkaca pada pola kepemimpinan di kabupaten

Jembrana dan Sragen yang memiliki kepala


daerah yang memiliki political will (keinginan
politik) untuk merubah wajah birokrasi dari sini
terlihat bahwa bagaimana suatu kepemimpinan
merupakan cerminan dari perilaku aparatur
birokrasi dibawahnya.
Korupsi sudut pandang Etika
Etika berasal dari bahasa yunani: etos, yang
artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral
berasal dari bahasa latin: mos (jamak: mores)
yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Etika
administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan
tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang
baik bagi para administrator pemerintahan dalam
menunaikan tugas pekerjaanya dan melakukan
tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini
diharapkan memberikan berbagai asas etis,
ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan
moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas
guna terselenggaranya pemerintahan yang baik
bagi kepentingan rakyat.
Etika merujuk pada dua hal. Pertama, etika
berkenaan
dengan
disiplin
ilmu
yang
mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia
beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika
merupakan salah satu cabang filsafat. Kedua,
etika merupakan pokok permasalahan di dalam
disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup
dan hukum-hukum yangg mengatur tingkah laku
manusia (kumorotomo, 2015).
Sebagai suatu bidang studi, kedudukan
etika di dalam administrasi publik untuk
sebagian termasuk dalam ilmu administrasi
publik dan sebagian yang lain tercakup dalam
lingkunagn studi filsafat. Dengan demikian etika
administrasi publik sifatnya tidak lagi
sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu
adminitrasi, melainkan bersifat normative.
Artinya
etika
administrasi
berusasaha
menentukan norma mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam
melaksanakan fungsinya dan memegang
jabatannya. Lebih lanjut dikatakan kumorotomo
(2015),
adakah
tujuan
etika
yakni
memberitahukan bagaimana kita dapat menolong
manusia di dalam kebutuhannya yang riil yang
secara susila dapat dipertanggungjawabkan.
Etika jabatan atau etika birokrasi adalah
etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang
dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh
kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab
tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian
penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan
tersebut (Simorangkir, 1978).
Dengan demikian etika birokrasi adalah
suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang
kemudian mengendap menjadi norma-norma

atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi


normatif dalam perikehidupan manusia dan
penyelenggaraan administrasi negara.
Kedudukan etika administrasi negara
berada di antara etika profesi dan etika politik,
sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap
memerlukan perumusan kode etik yang dapat
dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi
segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan
dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau
hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap
menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan
bersama, yang timbul dari diri para anggota itu
sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan
mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang
diharapkan (Simorangkir, 1978).
Adapun batasan ruang lingkup etika yang
dikemukakan Bertens dalam Keban (2008),
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika,
yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan sistim
nilai, (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral
yang sering dikenal dengan kode etik, dan (3)
sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acap kali disebut filsafat moral. Sedangkan
menurut The Public Administration Dictionary
(Chandler & Plano, 1988: 17) dalam Keban
(2008), etika didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang
berhubungan dengan perilaku manusia, dalam
kaitannya dengan benar atau salah suatu
perbuatan, dan baik atau buruk motif dan tujuan
dari perbuatan tersebut.
Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama
diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh
dan berkembang pada peradaban manusia,
sehingga dengan demikian pada dasarnya etika
berkenaan dengan serangkaian upaya yang
menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak
dalam tatanan kehidupan yang kolektip. Nilainilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu
masyarakat,
bukanlah
sekedar
menjadi
keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan
tetapi juga menjadi seperangkat norma yang
terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai
etika harus menjadi acuan dan pedoman
bertindak yang membawa akibat dan pengaruh
secara moral. Budaya menjilat atasan demi
mendapatkan atau menyamankan posisi, budaya
suap-menyuap pihak yang berwenang demi
pencapaian tujuan, ataupun budaya menekan
bawahan demi raihan kekuasaan merupakan
cerminan transfer sosial hubungan antara terjajah
(objek) dengan penjajah (subjek). Akhirnya,
kaum penguasa atau kelompok elite yang
menjadi subjek ketika menerima suap atau

melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai


sebuah perilaku budaya (kewajaran). Menilik
pada pola hubungan subjek-objek, lakuan tindak
korupsi ini dianggap sebagai bentuk imbalan dari
posisi atau status sosial yang tersemat di
dadanya. Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat
yang berada dalam kelas yang lebih rendah
menemui
kesulitan
untuk
menemukan
kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan.
Mereka juga berkehendak untuk mampu berada
di kelas atas, namun secara instant. Ironis
memang.
Korupsi sudut pandang Akuntabilitas publik
Korupsi di ibaratkan sperti
warisan
haram tanpa surat wasiat. Korupsi tetap lestari
sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang
berlaku dalam tiap orde yang datang silih
berganti. Hampir semua segi kehidupan
terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan
penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal merupakan penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal
adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena
sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari
aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku
misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial
seperti keluarga yang dapat mendorong
seseorang untuk berperilaku
korup. Faktor
eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi
misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi
kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas
politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan, aspek managemen
dsn organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan
transparansi, aspek hukum,
terlihat dalam
buruknya
wujud perundang-undangan dan
lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial
yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang
mendukung perilaku anti korupsi.
Melihat dari sudut pandang akuntabilitas,
korupsi yang mana uraian mengenai fenomena
korupsi
dan
berbagai
dampak
yang
ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi
merupakan tindakan buruk dan tidak adanya nilai
akuntabilitas yang dilakukan oleh aparatur
birokrasi serta orang-orang yang berkompeten
dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem
politik dan sistem administrasi negara dengan
birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Akuntabilitas adalah kesesuaian antara
aturan dan pelaksanaan kerja. Semua lembaga
mempertanggung jawabkan kinerjanya. Sesuai
aturan main baik dalam bentuk konvensi (de
facto) maupun konstitusi (de jure), baik pada

level budaya (individu dengan individu) maupun


pada level lembaga (Bappenas:2002). Lembagalembaga tersebut berperan dalam sektor bisnis,
masyarakat, publik maupun interaksi antara
ketiga sektor.
Selain itu akuntabilitas publik dalam arti
yang paling fundemental dan memerujuk pada
kemampuan menjawab kepada seseororng terkait
dengan kinerja yang diharapkan (Pirre, 2007).
Seseorang yang diberikan jawaban ini haruslah
seseorang yang memiliki legitimasi untuk
melakukan pengawasan dan mengharapkan
kinerja (Prajoso, 2005).
Akuntabilitas publik memiliki pola-pola
tertentu dalam mekanismenya. Antara lain adalah
akuntabilitas progam, akuntabilitas proses,
akuntabilitas keuangan, akuntabilitas outcome.
akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik
(puslitbang, 2001). Dalam pelaksanaannya,
akuntabilitas
harus
dapat
diukur
dan
dipertanggung jawabkan melalui mekanisme
pelaporan dan pertanggugjawaban atas semua
kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja
administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan
manfaat yang diperoleh masyarakat baik sacara
langsung maupun manfaat jangka panjang dari
sebuah kegiatan.
Terkait dengan penjelasan tersebut maka
dalam hal ini akuntabilitas memiliki peran
penting dalam penegakan korupsi yang terjadi
sampai saat ini, terutama dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia serta nilai
pertanggungjawaban dari kinerja dan amanah
yang di emban para birokrat. Oleh karena itu
akuntabilitas
sebai
nilai
prinsip-prinsip
antikorupsi yang merupakan target pelaku
penegakan akuntabikitas masa kini dan masa
depan, dengan harapan bahwa integritas atau
keseuaian antara aturan dengan pelaksanaan
kerja pada diri pejabat birokrat yang menjadi
pelayan publik dapat semakin ditingkatkan dan
di pertanggung jawabkan semua kinerja yang di
lakukan.
Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat
tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam
diri setiap individu. Nilai-nilai anti korupsi
tersebut antara lain meliputi kejujuran,
kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja
keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.
Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh
setiap individu untuk dapat mengatasi faktor
eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk
mencegah terjadinya faktor eksternal, selain
memiliki nilai-nilai anti korupsi, setiap individu
perlu memahami dengan mendalam prinsipprinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas,
transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol
kebijakan dalam suatu organisasi / institusi /

masyarakat. Oleh karena itu hubungan antara


prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Upaya yang Dapat Dilakukan dalam
Memberantas Korupsi: Penguatan Etika dan
Akuntabilitas Publik
Tidak ada jawaban yang tunggal dan
sederhana untuk menjawab mengapa korupsi
timbul dan berkembang demikian masif di suatu
negara apalagi di negara tericinta ini
Indonesia. Ada yang menyatakan bahwa
korupsi ibarat penyakit Kronis yang sifatnya
tidak hanya kronis tapi juga akut. Korupsi
menggerogoti perekonomian sebuah negara
secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini
menempel pada semua aspek bidang kehidupan
masyarakat sehingga sangat sulit untuk
diberantas. Perlu dipahami bahwa dimanapun
dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi
memang akan selalu ada dalam suatu negara atau
masyarakat.
Strategi penanganan korupsi harus berfokus
pada sistem yang korup, bukan hanya pada
manusia-manusia yang korup. Dengan kata lain,
hendaknya kita jangan hanya berpikir mengenai
korupsi dari sisi manusia tidak bermoral yang
melanggar
hukum
dan
mengkhianati
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Kita
juga harus berpikir mengenai sistem yang mudah
dihinggapi berbagai macam kegiatan yang
melanggar hukum. Perlu adanya sistem
pelaksanaan
birokrasi
yang
berdasarkan
ketentuan
hukum
serta
memperhatikan
akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan
memperkuat monitoring, pengawasan dan
mekanisme hukuman. Lembaga-lembaga publik
hendaknya juga memberdayakan fungsi kontrol
dan pengawasan publik. Perlu adanya kesadaran
rakyat ikut melakukan partisipasi politik dan
kontrol sosial. Dan yang terakhir, adanya sanksi
dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan
menghukum tindak pidana korupsi.
Perlu adanya strategi dalam penanganan
korupsi. Permasalahan korupsi telah ada sejak
lama
dan
memiliki
besaran/tingkatan
kompleksitas permasalahan yang tinggi. Oleh
karena itu, upaya pemberantasan korupsi akan
membutuhkan usaha dan kerja keras, serta
pendekatan yang komprehensif, efektif, dan
memadai. Penentuan upaya apa yang paling
efektif dalam memberantas korupsi juga
merupakan perdebatan dalam banyak literatur
mengenai korupsi (Gillespie dan Okruhlik,
1991). Perdebatan ini pada intinya berupaya
untuk
menawarkan
pendekatan
multi
perspektif/komprehensif yang dianggap dapat

memberikan hasil yang substansial dan


berkelanjutan dalam mengatasi korupsi. Terdapat
setidaknya empat strategi pemberantasan korupsi
yang dapat dilakukan, yakni (1) strategi terkait
masyarakat; (2) strategi terkait hukum; (3)
strategi terkait pasar; serta (4) strategi terkait
politik.
Pendapat lainnya mengenai strategi yang
dapat dilakukan untuk memberantas korupsi
adalah sebagaimana disampaikan oleh Klitgaard
(1998b). Menurut Klitgaard, terdapat 4 (empat)
komponen utama dari strategi anti korupsi, yakni
dimulai deng-an menggoreng ikan yang besar,
melibatkan masyarakat guna menghasilkan
kampanye yang berhasil, memperbaiki sistem
yang korup, serta meningkatkan penghasilan
pegawai negeri. Adapu terdapat empat strategi
yang dapat dilakukan
guna memberikan hasil yang berbeda dalam
upaya
pemberantasan
korupsi,
yakni
memfokuskan
pada
pelaku,
melibatkan
masyarakat dalam mencegah dan mendeteksi
korupsi, melakukan upaya reformasi sektor
publik yang utama, termasuk di dalamnya
kegiatan penguatan akuntabilitas, transparansi,
danpengawasan, serta memperkuat aturan
hukum, meningkatkan kualitas UU anti korupsi,
penanganan tindakan pencucian uang, dan
mempromosikan tata kelola pemerintahan yang
baik (Widjajabrata dan Zaechea, 1991). Sistem
politik diharapkan membantu proses recruitment
maupun pengembangan anggota parlemen
menadi wakil rakyat yang tangguh (Isworo,
2007).
Dari berbagai permasalahan tentang
pelaksanaan reformasi birokrasi terutama yang
dilihat dari sisi perilaku aparaturnya merupakan
sebuah permasalahan yang kompleks terlebih
lagi merupakan kumpulan dari berbagai
permasalahan yang kumpulkan untuk dijadikan
satu kata artinya bahwa berbagai persoalan
didalam organisasi birokrasi dapat disatukan
menjadi persoalan perilaku yang mengakibatkan
berdampak pada KKN dan lain sebagainya. Pada
umumnya disepakati bahwa birokrasi harus
direformasi,
tapi
bagaimana
cara
mereformasinya merupakan pertanyaan yang
belum terjawab karena berbagai macam
pandangan yang pada akhirnya belum memiliki
satu kesepakatan yang bulat untuk dijalankan.
Namun bagi penulis bahwa yang terpenting saat
ini adalah adanya keinginan atau kemauan dari
pimpinan nasional, karena ini merupakan modal
utama yang perlu didukung oleh konsep yang
jelas dan konkrit. Kepemimpinan yang
mempunyai etika, moral serta akuntabilitas yang
kuat (strong leadership) merupakan salah satu

faktor kuat yang dapat memecahkan masalah


birokrasi di Indonesia.
Jika meminjam bahasanya Yeremias T.
Keban (2008) bahwa membangun manusia
birokrasi merupakan aspek pertama yang harus
dibenahi
adalah
kualitas
kepemimpinan
birokrasi. Aspek ini harus dibenahi melalui
leadership development. Bahkan beliau juga
menambahkan bahwa pemimpin birokrasi dan
manajer disemua tingkatan birokrasi harus
membangun dan memelihara trust dari
masyarakat. Bahkan dalam kehidupan bernegara
trust memang sangat dibutuhkan untuk
membangun solidaritas. Bahkan telah terbukti
bahwa trust terhadap pemimpin sangat
mempengaruhi keberhasilan organisasi.
Oleh karenanya, revitalisasi dasar-dasar
keorganisasian, birokrasi yang mengikuti prinsipprinsip administrasi dapat dijalankan Pemerintah
serta Negara dan Reformasi Birokrasi sehingga
perubahan-perubahan yang akan dijalankan
kedepannya dapat dipetakan secara jelas dengan
memperhatikan kebutuhan perubahan yang nyata
dan tidak mengadaada. Sebagai penutup dan
bahan perenungan bersama rasanya perlu untuk
disampaikan bahwa terkadang mekanisme
organisasi penguatan etika, moral dan
akuntabilitas sejak dini dan yang lama ternyata
bisa
berjalan
dengan
baik
manakala
pelaksanaannya benar-benar konsisten
Kesimpulan dan Saran
Banyak kajian-kajian sudah di publikasikan
yang mendiskusikan tentang bagaimana cara
menangani korupsi, cara pengetasan korupsi
bahkan bagaimana orang bisa terdorong untuk
berperilaku korup.
Dengan mengetahui
bagaimana hubungan antara kekuasaan dengan
perilaku
korup,
maka
dalam
rangka
pemberantasan korupsi perlu untuk memberikan
perhatian lebih segi nilai etika serta akuntabilitas
pada wilayah-wilayah aparatur negara dimana
terdapat kekuasaan dengan kewenangan yang
besar. Konsentrasi pemberantasan korupsi
hendaknya diarahkan pada salah satu episentrum
korupsi yaitu wilayah dimana titik kekuasaan
bekerja. Sistem pengawasan yang terintegrasi
bersifat holistik melibatkan semua pihak adalah
salah satu faktor pengurang kemungkinan
praktek korupsi yang berlarut-larut.
Etika dan akuntabilitas publik merupakan
instrumen yang dianggap mampu mengatasi
tindak pidana korupsi baik yang terjadi sebagai
akibat dari faktor-faktor yang bersifat langsung
dan tidak langsung maupun akibat dari faktorfaktor yang berasal dari karakteristik individual
dan struktural tetapi tetap kembali pada diri
sendiri karna melalui etika, moral dan

akuntabilitas suatu perilaku pelaksanaan


pekerjaan yang di lakukan oleh para pejabat
birokrat bisa berjalan dengan baik, bersih dalam
praktek-praktek yang merugikan banyak pihak,
akan tetapi seandanya hati, pikiran dan perilaku
berjalan dengan baik dan ihklas maka tidak
menutup kemungkinan pejabat birokrat di
pandang sebagai pejabat yang bermoraal.
Akuntabilitas dan etika juga dapat sejalan

dilakukan sebagai strategi yang berfokus baik


terhadap masyarakat, hukum, pasar, maupun
politik. Karenanya, dalam upaya pemberantasan
korupsi yang lebih efektif, efisien dan tepat
sasaran di masa mendatang memang sangat sulit
dan butuh prosen kesadaran, perlulah kiranya
dilakukan berbagai kajian yang mendalam
terhadap berbagai aspek dari perilaku etika dan
akuntabilitas publik ini.

Daftar Pustaka
Albrow, M. (1996) Birokrasi (Terjemahan). Tiara Wacaya, Yogyakarta.
Arza, Azyumardi (2002) Korupsi Dalam Perspektif Good Governance. Jurnal Kriminologi Indonesia.
Vol. 2, No. 1.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2002) Public Good Governance: Sebuah Paparan
Singkat. Jakarta, Bappenas RI.
Desta, Yemane. (2006) Designing Anti-Corruption Strategies for Developing Countries: A Country
Study of Eritrea. Journal of Developing societies, Vol. 22 No. 4.
Dwiputrianti, Septiana (2009) Memahami Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmu
Administrasi. Vol. VI, No. 3.
Editor, Konsentrasi Korupsi Mengarah Pada Kebijakan Publik, Hukum Online.com,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3142/konsentrasi-korupsi-mengarah-padakebijakan-publik, diakses pada 25 Oktober 2016
Faiz, Irman. (2016) Inovasi Strategi Pemberantasan Korupsi Untuk Meningkatkan Daya Saing
Bangsa: Studi Kasus Indonesia. Karya Ilmiah, Depok. Universitas Indonesia
Fatimah, Siti, (2007) Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif
Pemecahannya. Jurnal Demokrasi, Vol. VI, No. 1.
Gillespie, Kate and Gwenn Okruhlik. (1991) The Political Dimensions of Corruption Cleanups: A
Framework for Analysis. Comparative Politics, Vol. 24, No. 1.
Isworo, Waluyo Iman. (2007) Akuntabilitas, Responsibilitas, dan Etika dalam Administrasi Publik.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No. 1.
Keban, Yeremias T. (2008) Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, edisi
ketiga, Gava Media, Yogyakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. (2015) Etika Administrasi Negara. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Kurniawan, Teguh. (2009) Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Vol. 16, No.2.
Khan, Mohammad Mohabbat. (2000) Problems of Democracy: Administrative Reform and
Corruption, paper presented at the Norwegian Association for Development Research
Annual Conference on the State under Pressure. Norway, Bergen.
Klitgaard, Robert. (1998b) Combating Corruption. United Nations Chronicle, Vol. 35, No. 1.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2006) Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, KPK.
Nas, Tevifk F, Albert C Price, and Charles T Weber. (1986) A Policy - Oriented Theory of Corruption.
The American Political Science Review, Vol. 80, No. 1.
Santoso, M. Agus. (2011) Dampak Penjatuhan Pidana Korupsi Bagi Pegawai Negeri Yang Sedang
Menjalankan Tugas Administrasi Negara. Jurnal Borneo Administrasi. Vol. 7, No. 2.
Susanto, Ely. (2009) Memahami Korupsi Dari Perspektif Perilaku Organisasi: Mengapa Seseorasng
Terjebak Dalam Perilaku Korup?. Jurnal Kebijakan dan Administrasi publik, Vol. 13, No. 1.
Sugi Hartono, Made (2016) Korupsi Kebijakan Oleh Pejabat Publik (Suatu Analisis Perspektif
Kriminologo). Jurnal Komunikasi Hukum. Vol. 2, No. 2.
Pierre, Jon. (2007) Handbook of Public Administration. SAGE Publication Ltd, London.
Puslitbang BPKP. (2001) Evaluasi Perkembangan Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta,
BPKP.
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan, Defny Holidin. (2005) Reformasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di
Kabupaten Sragen, Jakarta. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI dan Yappika-CIDA.
Smith, Theodore M. (1971) Corruption, Tradition and Change. Indonesia, Vol. 11.
Simorangkir, OP. (1978). Etika Jabatan. Jakarta, Aksara Persada Indonesia.
Simon, Herbert A. (2007) Administrative Behavior (Perilaku Administrasi) Suatu Studi Tentang
Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi, Cet kelima. Jakarta, Bumi
Aksara.
Shah, Anwar, (Editor). (2007) Performance Accountability and Combating Corruption. Washington
DC, The World Bank.
Thoha, Miftah. (2010) Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Cet keempat. Jakarta. Kencara
Prenada Media.

____________. (2008) Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Utomo, Warsito, (2010) Bahan Kuliah Globalisasi dan Otonomi Daerah, Program Pascasarjana
Manajemen dan Kebijakan Publik. Yogyakarta, FISIPOL UGM.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Watson Gainau, Aldrin. (2013) Reformasi Birokrasi di Indonesia Dalam Perspektif Perilaku. Jurnal
Ilmu Sosial. Vol. 11, No. 1.
Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea. (2004) International Corruption: The Republic of
Indonesia is Strengthening the Ability of Its Auditors to Battle Corruption. The Journal of
Government Financial Management, Vol. 53, No. 3.
Widyastuti, Mita. (2009) Transparansi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Jurnal Paradigma ,
Vol 10, No 2.
Widya Wicaksono, Kristian dan Hubertus Hasan Ismail. (2013) Penerapan Prinsip Prinsip
Administrasi Dalam Birokrasi Indonesia (Sebuah Telaah Kritis terhadap Reformasi
Birokrasi di Indonesia Bedasarkan Perspektif Prinsip-Prinsip Administrasi). Jurnal Bina
Praja. Vol. 5, No. 3.

Anda mungkin juga menyukai