Anda di halaman 1dari 42

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit dengan manifestasi yang
bervariasi dari ringan sampai berat yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus,
famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4.Virus ini ditransmisikan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus. Sekitar 2/3 penduduk dunia saat ini memiliki risiko untuk
terserang, dengan setiap tahunnya antara 400.000-1,3 juta kasus Dengue yang
dilaporkan.
Dengue memiliki spektrum klinis yang luas, sering dengan pemburukan yang
sulit diprediksi. Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakitnya, yaitu fase demam,
fase kritis, dan fase penyembuhan. Sebagian besar pasien akan sembuh tanpa melalui
fase klinis yang berat, sementara sebagian kecil yang lain akan melalui fase kritis,
ditandai dengan kebocoran plasma, dengan atau tanpa perdarahan. Untuk penyakit
dengan spektrum kinis yang luas, sebenarnya tatalaksana Dengue relatif sederhana,
murah, dan sangat efektif, asal dilakukan dengan tepat. Kuncinya adalah diagnosis
yang cepat, kemudian segera, memberikan pengobatan sesuai dengan fase perjalanan
penyakit. Oleh karena itu, semua praktisi kesehatan harus dapat mendiagnosis dan
menangani penyakit ini dengan benar.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Demam Berdarah Dengue
A. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap
serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut (Depkes, 2010).
B. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti
yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda.
Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai
penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga
sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam
yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi,
nyeri otot, dan nyeri kepala (Depkes, 2010).

Morbiditas dan mortalitas

infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan
(virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit
infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada
suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena
suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun
(Depkes, 2010).
C. Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di

dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing
dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi
kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan
timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit
menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. (Depkes,
2010).
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis
ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Depkes,
2010).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan
oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG

anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung
selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan

kadar

hematokrit,

penurunan

kadar

natrium,

dan

terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok


yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis
dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan
bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami
perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa
strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang
besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan
laboratorium (Depkes, 2010).

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi

selain

mengaktivasi

sistem

komplemen,

juga

menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi


melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan (Depkes, 2010).

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Depkes, 2010).
D. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis dapat bersifat asimptomatik, demam yang tidak
khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok
dengue. Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari,
yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu ini pasien tidak
mengalami demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadinya
renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat (Suhendro, et al.,
2006).
Awal penyakit biasanya terjadi mendadak, disertai gejala prodroma
seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh, anoreksia, menggigil,
malaise. Terdapat pula sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada
anggota badan, dan timbulnya ruam yang bersifat makulopapular. Ruam
muncul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari ke

3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam terdapat di dada, tubuh, serta abdomen,
menyebar ke anggota gerak dan muka (Soedarmo, et al., 2002).
2. Pemeriksaan Fisik
Diawali dengan demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,
nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih
mencolok pada Demam Dengue (DD) dibanding Demam Berdarah
Dengue (DBD).Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD. Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dan
syok. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam. Perdarahan dapat
berupa peteckie, epitaksis, melena, ataupun hematuria (Pudjiadi, et al.,
2010).
Tanda- tanda syok

Gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis


Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak

teraba
Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
Akral dingin, capillary refill time menurun
Diuresis menurun sampai anuria

(Pudjiadi, et al., 2010)


3. Teori Hipersensitivitas Tipe II T.Mudwal
Patokan-patokan pada diagnosa infeksi Dengue
a.
Harus dicurigai disebabkan oleh infeksi Dengue
sampai dengan dapat dibuktikan bukan oleh karena infeksi Dengue:
1) Pada daerah hiperendemis Dengue
2) Setiap pasien panas 7 hari
3) Setiap pasien syok hipovolemik
4) Setiap pasien dengan tes Torniquet/Rumpeleede positf
5) Setiap pasien dengan trombositopenia (<150.000)
b.
Bila tes Torniquet (-) ulangi setiap 8 jam selama 2
hari berturut-turut pada tangan yang berlainan. Atau dilihat kembali
pada tempat yang telah dilakukan tes torniquet apakah telah berubah
menjadi positif atau tidak.

c.

Bila

ditemukan

adanya

gambaran

yang

mencurigakan dari laboratorium seperti jumlah trombosit telah


mendekati

150.000/mm3

(<170.000

mm3),

adanya

gambaran

pansitopenia, penurunan trombosit secara signifikan ( 50.000), diff


count limfosit 20%, diff count monosit 3%, Hb >14gr& (pada orang
Indonesia < 60 tahun), Ht > 42 (orang Indonesia <60 tahun), limfosit
plasma biru (LPB) >4%, selalu ditanyakan adanya panas walaupun
pasien datang dengan keluhan utama bukan oleh karena panas. Bila
panas tidak ditemukan, tetapi kelainan laboratorium ditemukan, bahkan
setelah diulang hasil laboratorium masih seperti itu, infeksi Dengue
dianggap sebagai penyebabnya sampai dapat dibuktikan bukan.
d.
Limfosit plasma biru (LPB) akan mencapai nilai
tertinggi pada hari ke empat pada infeksi Dengue sekunder dan hari
ketujuh pada infeksi Dengue primer, dan setelah itu akan terjadi
penurunan nilai LPB. LPB yang tidak menurun pada pemeriksaan
berkala bukan disebabkan oleh infeksi virus Dengue.
e.
Kriteria WHO 2009 tentang cara diagnosis infeksi
Dengue selalu dijadikan panduan.

4. Kriteria diagnosis WHO


a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat
dibedakan dengan penyebab viruslain. Demam disertai kemerahan berupa
makulopapular, timbul saat demam reda.Gejala darisaluran pernapasan dan
saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi/tulang, nyeri retroorbital,photophobia, nyeri pada punggung,
facial flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeriperut, nyeri
tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
leher, dan dada

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform


Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian

dorsal, lengan atas,dan tangan


Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada
kulit yg normal,dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif dan/atau petekie
- Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran

cerna (jarangterjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)


c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam,
kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase demam

Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis ,nyeri di bawah
lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik
a.
Manifestasi perdarahan
1) Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
2) perdarahanyang paling banyak pada fase demam awal.
3) Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur
4)
5)
6)
7)
8)
9)

vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

10

10) Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak
normal, perembesan plasma(khususnya pada rongga pleura dan
rongga

peritoneal),

hipovolemia,

dan

syok,

karena

terjadipeningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma


yang mengakibatkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura
dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada
masa transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan:
1)
2)

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar


Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites,

edema
3)
pada dinding kandungempedu. Foto dada (dengan posisi right
lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapatmendeteksi
perembesan plasma tersebut.
4)
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /
<3.5
5)
g%

yang

merupakanbukti

tidak

langsung

dari

tanda

perembesan plasma
6)
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan
kesadaran,
7)
Sianosis, nafas cepat,nadi teraba lembut sampai tidak teraba.
Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg, denganpeningkatan tekanan
diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik).Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
8)
Komplikasi
berupa
asidosis
metabolik,
hipoksia,
ketidakseimbangan
9)
elektrolit, kegagalanmultipel organ, dan perdarahan hebat
apabila syok tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu
makan kembali merupakanindikasi untuk menghentikan cairan pengganti.

11

Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/aritmia dan karakteristik


confluent petechial rash seperti pada DD.
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati,
ginjal, otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi
penyerta, komorbiditas, atau komplikasi darisyok yang berkepanjangan.
Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO, 2011).

Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung
terusmenerus selama 2-7hari
Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
purpura,

ekimosis,epistaksis,

perdarahan

gusi,

hematemesis,

dan/melena
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(20 mmHg), hipotensi,kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan
pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari
nilai dasar / menurutstandar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi/ peningkatanhematokrit<20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma

12

o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)


o Hipoalbuminemia
Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia
yang jelas,mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis.

13

Kriteria Diagnosis Menurut WHO 2011

(WHO, 2011)
E. Diangnosis Banding
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan
DBD dari demam dengue dan penyakitvirus lain yang
ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan
dengan

campak,rubela,

demam

chikungunya,

leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu ditanyakan


gejalapenyerta lainnya yang terjadi bersama demam.

Pemeriksaan laboratorium diperlukansesuai indikasi.


Penyakit darah seperti trombositopenia purpura
idiopatik (ITP), leukemia, atau anemiaaplastik, dapat
dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi
lengkap disertaipemeriksaan pungsi sumsum tulang
apabila diperlukan.

14

Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis,


perlu difikirkan apabila pasien mengalami demam
disertai syok.

F. Pemeriksaan Penunjang
Leukosit: dapat normal atau menurun.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada

hari ke- 3-8


Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan
peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal,

umumnya dimulai pada hari ke-3 demam


Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT,

APTT,

fibrinogen, D-dimer, atau FDP pada keadaan yang


dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan

darah.
Protein/abumin: dapat terjadi hipoproteinemia
SGOT/SGPT: dapat meningkat
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi

ginjal
Elektrolit: parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan

transfusi atau komponen darah


Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM
terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke- 3-5,
meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 6090 hari. Sedangkan IgG, pada infeksi primer mulai
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder mulai

terdeteksi hari ke-2.


Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatken efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, dapat dijumpai
pada kedua hemithoraks. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam
posisi lateral dekubitus kanan.
USG: dapat digunakan untuk melihat adanya asites dan
efusi pleura
(Suhendro, et al., 2006)

15

G. Penatalaksanaan
a. Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien
dianjurkan:
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila
diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C,
dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak
dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan

gastritis, perdarahan, atau asidosis.


Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus
buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling

sedikit diberikan selama 2 hari.


Monitor suhu, jumlah trombosit danhematokrit sampai fase
konvalesen. Pada pasien DD, saat suhu turun pada
umumnya
demikian

merupakan
semua

tandapenyembuhan.

pasien

harus

diobservasi

Meskipun
terhadap

komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu


turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita
sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada
DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi
perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala
syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila
terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau
terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera
dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak
perlu lagi diobservasi (Depkes, 2010).

16

(Depkes, 2010)

17

(Depkes, 2010)

b. DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
Antipiretik dapat dianjurkan, penggunaan paracetamol lebih disarankan

dibanding dengan aspirin.


Diusahakan untuk tidak memberikan obat-obatan yang tidak diperlukan

untuk mengurangi detoksifiksasi obat dalam hati.


Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat

perdarahan salurah cerna, kortikosteroid tidak boleh diberikan.


Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif
Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan

permeabilitas kapiler dan perdarahan.


Kunci keberhasilan adalah kemampuan untuk mengatasi masa peralihan

dari fase demam ke fase syok.


Cairan itravena diperlukan

apabila

pasien

terus

menerus

muntah,tidakdapat minum, demam tinggi, dehidrasi yang memperberat


terjadinya

syok,

nilai

hematokrit

cernderung

meningkat

pada

pemeriksaan berkala.
(Pudjiadi, 2010)
c. DBD disertai syok (derajat III dan IV)
Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer
laktat 1-20 ml/kgBB secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.

18

Apabila syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 mg/kgBB

ditambah koloid 20-30 ml/kgBB/jam, maksimal 1500/hari.


Pemberian cairan 10 mg/kgBB/jam diberikan 1-4 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgBB/jam, selanjutnya 5ml, dan

3 ml apabila tanda vital dan diuresis baik.


Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi

membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok

teratasi.
Oksigen 2-4 L/menit pada DBD syok.
Koreksi asidosis metabolic dan elektrolit pada DBD syok.
Indikasi pemberian darah:
Terdapat perdarahan secara klinis
Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah

segar 10 ml/kgBB.
Apabila kadar hematokrit tetap >40 vol% maka berikan darah

dalam volume kecil.


Plasma segar dan beku dan suspensi trombosit berguna untuk
koreksi koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata (KID)

pada syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.


Pemberian transfuse suspense pada KID harus selalu disertai plasma
segar (berisi factor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat(Pudjiadi, 2010).

19

(Depkes, 2010)

20

(Depkes, 2010)

H. Pemantauan
Tanda vital dan hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal- hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperature harus dicatat setiap 15-30

menit atau lebih sering, sampai syok teratasi.


Kadar hematokrit dipantau setiap 4-6 jam sekali sampai klinis pasien stabil
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang

diberikan sudah mencukupi.


Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum 1
mg/kgBB sedang jumlah cairan sudah melebuhi kebutuhan, dan ditandai
dengan tanda overload (edema, pernafasan meningkat,) maka furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi,
maka pemberian dopamin dapat dipertimbangkan. Pemantauan kadar

ureum dan kreatinin juga perlu dilakukan(Depkes, 2010).


Adakah pembesaran hati, tanda perdarahan saluan cerna, tanda ensefalopati
Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit setiap 6-12 jam
Pada DBD syok, lakukan cross match untuk persiapan transfusi darah bila
diperlukan (Pudjiadi, 2010).

21

(Depkes, 2010)

22

(Depkes, 2010)
I. Komplikasi
Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal
ginjal akut.
Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairanpada masa perembesan plasma
Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik &
perdarahan hebat (DIC,kegagalan organ multipel)
Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan danterapi cairan yang tidak sesuai (Karyanti, 2014).
J. Kriteria memulangkan pasien
a. Tampak perbaikan secara klinis
b. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
c. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
d. asidosis)
e. Hematokrit stabil
f. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
g. Tiga hari setelah syok teratasi
h. Nafsu makan membaik
(Depkes, 2010)

23

2. 2
Morbili
A. Defiinisi
Campak adalah suatu penyakit infeksi virus akut menular,
ditandai oleh tiga stadium: (1) stadium masa tunas sekitar 10-12 hari,
(2) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat
dan ditemukan eritem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan
peradangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan
keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar kemuka, badan,
lengan dan kaki (Soedarmo, 2012)
B. Etiologi
Virus

campak

merupakan

virus

RNA

famili paramyxoviridae dengan genus Morbili virus. Sampai saat ini


hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan virus
Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret
nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga
beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme
yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh
manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60%
sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur
kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
dalam temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak aktif
pada pH rendah (Soegijanto, 2011).
Measles, virus RNA beruntai tunggal negative yang berenvelope,
merupakan anggota genus Morbilivirus dari family Paramyxoviridae.
Hanya ada satu serotype. Virus ini mengkode enam protein structural,
termasuk dua gliko protein transmembran, fusi (F), dan hemaglutinin
(H), yang memfasilitasi perlekatan ke sel penjamu dan masuknya
virus. Antibodi terhadap F dan H bersifat memberikan perlindungan
(Gillespie, 2012).

24

Gambar 4. Morbilivirus
C. Patologi
Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit., membran mukosa
nasofaring, bronkus, saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar
kapiler terdapat eksudat serosa dan proliferasi dari sel mononuklear dan
beberapa sel polimorfonuklear. Karakteristik patologi dari Campak ialah
terdapatnya distribusi yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang
merupakan hasil dari penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa
yang muncul adalah (1) sel Warthin-Findkeley yang ditemukan pada
sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil, appendiks, limpa dan timus) dan
(2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada epitel saluran nafas. Lesi
di daerah kulit terutama terdapat di sekitar kelenjar sebasea dan folikel
rambut. Terdapat reaksi radang umum pada daerah bukal dan mukosa
faring yang meluas hingga ke jaringan limfoid dan membran mukosa
trakeibronkial. Pneumonitis intersisial karena virus campak menyebabkan
terbentuknya sel raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia yang terjadi
mungkin disebabkan infeksi sekunder oleh bakteri (Cherry, 2014).
D. Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan
sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada
seseorang. Lokasi utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas
nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas sangat minimal.
Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke
jaringan limfatik regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer.
Setelah viremia primer, terjadi multiplikasi ekstensif dari virus campak
yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang

25

lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama


infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang
ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit,
konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi,
tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14
infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain
mencapai puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama infeksi virus campak akan
bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag
(Cherry, 2014).
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu,
adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak
(Soegijanto, 2011).
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit

Sumber :Feigin et al.2014.Textbook of Pediatric Infectious Diseases 5th edition

E. Manifestasi Klinis

26

Infeksi pada pejamu yang tidak kebal hamper selalu simptomatik. Setelah
masa inkubasi sekitar 8-12 hari, penyakit campak biasanya berlangsung selama 7-11
hari (dengan fase prodromal 2-4 hari diikuti oleh fase erupsi 5-8 hari) (Brooks,
20013).

Gambar 4. Karakteristik campak


Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau
keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang kurva suhu menunjukkan
gambaran bifasik, ruam awal pada 24-48 jam pertama diikuti dengan turunnya
suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari, kemudian diikuti dengan
kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah
timbul diseluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu tubuh turun
mencapai suhu normal (Soegijanto, 2011).
Fase prodormal ditandai dengan demam, bersin, batuk, hidung berair,
mata

merah,

bercak

Koplik,

dan

limfopenia.

Batuk

dan

koriza

menggambarkan reaksi inflamasi berat yang mengenai mukosa saluran


pernapasan. Demam dan batuk menetap hingga muncul ruam dan kemudian
menghilang dalam 1-2 hari. Konjungtivitis umumnya disertai fotofobia
(Brooks, 2013).
Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Kopliksspot yang merupakan
tandapat ognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah

27

dideskripsikan oleh Koplik (1896) sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur
dan kecil berwarna

merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda

berwarna putih keabuan. Timbulnya Kopliks spot hanya berlangsung sebentar


kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan bias anya luput pada waktu
dilakukan pemeriksaan klinis(Soegijanto, 2011).

Gambar 5. Kopliks spot


Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulo popular eritematosa,
dan mulai timbul pada bagian atas samping leher, daerah belakang telinga,
perbatasan rambut di kepala dan meluas kedahi. Kemudian menyebar
kebawah keseluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnya
menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai
kaki pada hariketiga. Bagian yang pertama kenamengandung lebih banyak
lesi. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi berwarna
kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan
tidak memucat dengan penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul
perubahan warna dari ruam menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap.
Dan kemudian disusul dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna
keputihan(Soegijanto, 2011).

28

Gambar 6. Ruam Makulopapular pada Campak


Campak yang termodifikasi biasanya terjadi pada individu dengan
imunitas yang belum sempurna, misalnya bayi dengan antibody maternal
residual. Masa inkubasi memanjang, gejala prodormal menghilang, bercak
Koplik biasanya tidak muncul, dan ruam ringan (Brooks, 2013).

F. Diagnosis
Diagnosis dibuat dari gambaran klinis yang didapat pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain.
1. Anamnesis
Demam
Demam tinggi secara terus menerus, dapat meningkat hingga hari kelima
atau keenam, yaitu saat puncak timbulnya erupsi. Kadang temperatur
dapat bersifat bifasis dengan peningkatan awal yang cepat dalam 24-48
jam pertama, diikuti dengan periode normal selama 1 hari dan selanjutnya
terjadi peningkatan yang cepat sampai 39C - 40C pada saat erupsi ruam
memuncak. Pada morbili tanpa komplikasi, temperatur turun diantara hari
ke 2-3, sehingga timbul eksentema. Bila tidak disertai komplikasi, maka 2
hari setelah timbul ruam yang lengkap, panas biasanya turun. Bila
panasnya menetap, maka kemungkinan penderita mengalami komplikasi.
Coryza

29

Batuk dan bersin diikuti dengan hidung tersumbat dan sekret


mukopurulen dan menjadi profus pada saat erupsi mencapai puncaknya
serta menghilang bersamaan dengan hilangnya demam.
Konjungtivitis
Pada stadium awal periode prodormal dapat ditemukan transverse
marginal line injection pada palpebra inferior. Gambaran ini sering
dihubungkan dengan adanya inflamasi konjungtiva yang luas dengan
disertai adanya edem palpebra. Keadaan ini dapat disertai dengan
fotofobia dan peningkatan lakrimasi. Konjungtivitis akan hilang setelah
demam turun.
Batuk
Batuk disebabkan oleh reaksi inflamasi mukosa traktus respiratorius.
Intensitas batuk meningkat dan mencapai puncaknya pada saat erupsi.
Namun demikian batuk dapat bertahan lebih lama dan menghilang secara
bertahap dalam waktu 5-10 hari. Hal lain yang dapat membantu dalam
penegakan diagnosis yang didapat dari anamnesis adalah riwayat kontak
dengan penderita morbili.
2. Pemeriksaan Fisik
Bercak Koplik
Ditemukan tanda patognomonik yaitu bercak koplik di mukosa pipi di
depan molar tiga. Gambaran berupa bercak-bercak kecil yang ieguler
sebesar ujung jarum/pasir yang berwarna merah terang dan pada bagian
tengahnya berwarna putih kelabu.
Ruam
Muncul ruam makulopapular setelah 3-4 hari demam. Ruam dimulai dari
batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher
dan akhirnya ke ekstremitas.

30

Gambar 7. Anak dengan Morbili


3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita campak adalah:
Darah tepi
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukopenia selama fase
prodormal dan stadium awal dari ruam. Biasanya terdapat peningkatan
yang mencolok dari jumlah leukosit apabila terjadi komplikasi. Apabila
tidak terjadi komplikasi maka jumlah leukosit perlahan-lahan meningkat
sampai normal saat ruam menghilang.

Isolasi dan identifikasi virus


Usap nasofaring dan contoh darah yag diambil dari seorang pasien 2-3
hari sebelum mulai timbul gejala hingga 1 hari setelah timblnya ruam,
merupakan sumber yang cocok untuk isolasi virus.
Serologi
Pemastian serologi infeksi morbili tergantung pada peningkatan 4 kali
lipat titer antibodi antara fase akut dan fase konvalesen serum atau pada
terlihatnya antibodi IgM spesifik morbili dalam bahan serum tunggal
yang diambil diantara 1dan 2 minggu setelah muali rimbul ruam.
Pemeriksaan lain untuk komplikasi
Pada penderita morbili yang disertai dengan komplikasi dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
1) Ensefalitis, dilakukan pemeriksaan cairan serebrosinal
dengan kadar protein 48-240 mg/dL dan jumlah limfosit
antara 5-99 sel, kadar elektrolit darah dan analisa das darah.
2) Enteritis, dilakukan pemeriksaan feses lengkap
3) Bronkopneumonia, dilakukan pemeriksaan foto thorak.
Patologi Anatomi
Pada organ limfoid dijumpai:
a. Hiperplasia folikuler yang nyata

31

b. Sentrum germinatum yang besar


c. Sel Warthin-Finkeldey
Sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak, memiliki
nukleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma serta
merupakan tanda patognomonik morbili. Pada Bercak Koplik
dijumpai:
a. Nekrosis
b. Neutrofil
c. Neovaskularisasi

G. Penatalaksanaan
Masalah yang sering timbul pada anak dengan morbili adalah hipertermia,
kurang nutrisi dan risiko komplikasi. Pasien yang menderita morbili tanpa adanya
komplikasi cukup dengan berobat jalan. Pengobatan bersifat simptomatik yaitu
memperbaiki keadaan umum, istirahat, pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi
kejang, antipiretik bila demam, dan vitamin A. Anak dengan defisiensi vitamin A
lebih mudah untuk terkena infeksi, termasuk morbili. Maka pemberian suplemen
vitamin A bisa direkomendasikan. Vitamin A diberikan untuk membantu pertumbuhan
epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak juga berguna untuk
meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total. Pemberian vitamin A untuk anak
usia kurang dari 1 tahun yaitu dengan dosis 100.000 iu/hari dan anak usia lebih dari 1
tahun dengan dosis 200.000 iu/hari, diberikan secara intramuskular selama 2 hari.
Indikasi rawat inap untuk pasien morbili adalah:

32

1. Hiperpireksia (suhu > 39C)


2. Dehidrasi
3. Kejang
4. Asupan oral sulit
5. Adanya komplikasi

H. Pencegahan
Pencegahan utama pada morbili antara lain adalah menghindari kontak
dengan penderita morbili dan dengan melakukan imunisasi campak. Imunisasi
Campak di Indonesia termasuk Imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap
anak usia 9 bulan dengan ulangan saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke
dalam program pengembangan imunisasi (PPI). Imunisasi campak dapat pula
diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15 bulan. Anak yang
telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan pada usia 6
tahun.

Vaksinasi tidak boleh dilakukan bila:


a. Menderita infeksi saluran nafas akut atau infeksi akut lainnya
disertai dengan demam lebih dari 38C
b. Memiliki riwayat kejang demam
c. Terdapat defisiensi imunologik
d. Penderita

leukimia,

imunosupresif

dalam

pengobatan

kortikosteroid

dan

33

e. Memiliki riwayat alergi (ditunda sampai dengan 2 minggu sembuh)


f. Dalam masa kehamilan.
Imunisasi yang diberikan dapat berupa pasif dan aktif, yaitu:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif dapat dirangsang dengan memberikan virus morbili hidup
yang dilemahkan, yang tidak menyebar melalui kontak dengan individu
yang divaksin. Tiap dosis dari vaksin yang sudah dilarutkan mengandung
virus morbili tidak kurang dari 1000 TCID50 dan neomisin B sulfat tidak
lebih dari 50 g. Imunisasi morbili awal dapat diberikan pada usia 12-15
bulan, dengan dosis 0,5 ml diberikan secara subkutan. Imunisasi kedua
biasanya diberikan sebagai morbili-mumps-rubella terindikasi.
2. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif dengan kumpulan serum orang dewasa, kumpulan serum
konvalesen, globulin plasenta, atau gamma globulin plasma. Morbili
dapat dicegah dengan menggunakan immunoglobulin serum (gamma
globulin) dengan dosis serum 0,25 ml/kgBB diberikan secara
intamuskular dalam 5 hari setelah terinfeksi, tetapi semakin cepat
semakin baik. Bila diberikan pada hari ke 9 atau 10 hanya akan sedikit
mengurangi gejala dan demam dapat muncul meskipun tidak terlalu
berat.
3. Isolasi
Penderita rentan menghindari kontak dengan seseorang yang terkena
morbili dalam kurun waktu 20-30 hari, demikian pula bagi penderita
morbili untuk diisolasi selama 20-30 hari guna menghindari penularan
lingkungan sekitar.

34

2. 3
Chikungunya
A. Definisi
Demam chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh
arbovirus

yang

ditransmisikan

oleh

nyamuk

Aedes.

Istilah

Chikungunya berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti Orang


yang jalannya membungkuk dan menekuk lututnya, suku ini
bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (yang
sebelumnya

bernama

Tanganyika).

Istilah

Chikungunya

juga

digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari serum
darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di
negara tersebut. (Depkes, 2012)
B. Etiologi
Virus Chikungunya adalah

Arthopod

borne

virus

yang

ditransmisikan oleh beberapa spesies nyamuk. Hasil uji Hemaglutinasi


Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus
alphavirus ( Group A Arthropod-borne viruses) dan famili
Togaviridae.

Sedangkan

DBD

disebabkan

oleh

Group

arthrophod-borne viruses (flavivirus). Vektor utama penyakit ini sama


dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu
penelitian lebih lanjut. (Depkes, 2012)
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes SPP Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai
vektor namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes tersebut
dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai
5 hari setelah demam timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar
liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa
tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan
penyakit. (Depkes, 2012)
C. Epidemiologi

35

Virus Chikungunya menimbulkan epidemi di wilayah tropis


Asia dan Afrika sejak diidentifikasi tahun 1952-1953 di Afrika Timur.
Di Indonesia Demam Chikungunya dilaporkan pertama kali di
Samarinda tahun 1973. Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan
terjadinya

KLB

Chikungunya

seperti

Palembang,

Semarang,

Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-lain.


Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di
pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi
KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007
sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada
beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian. (Depkes,
2012)
D. Patogenesis

36

Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor.


Jumlah virus yang dapat memperbanyak diri pada nyamuk dari
berbagai strain sangat bervariasi, yakni antara 1046-1074 PFU setiap
nyamuk. Penelitian de Moor dan Stephen menunjukkan bahwa tingkat
endemisitas virus chikungunya sangat berhubungan erat dengan
populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut. Lamanya kehidupan
nyamuk tersebut merupakan faktor penting yang menentukan luas
tidaknya penyebaran virus chikungunya. Hampir keseluruhan data
menunjukkan bahwa infeksi chikungunya terjadi di wilayah dimana
nyamuk Aedes yang terinfeksi virus. chikungunya menggigit manusia.
Apabila nyamuk ditemukan sangat banyak dan menggigit banyak
orang di sekitarnya maka kemungkinan kejadian infeksi dapat
diestimasikan sangat tinggi, terutama pada ibu dan anak yang selalu
tinggal di rumah sejak pagi hingga sore hari. Otot rangka merupakan
tempat utama replikasi virus. Pada tikus didapatkan adanya miositis,
serta perdarahan saluran cerna dan subkutan. Isolasi virus chikungunya
kebanyakan diperoleh dari kasus-kasus berat dengan manifestasi
perdarahan dan kelainan otot yang umumnya pada penderita dewasa.
Pada manusia, virus chikungunya sudah dapat menimbulkan penyakit
dalam 2 hari sesudah gigitan nyamuk. Penderita mengalami viremia
yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit. Viremia berkurang pada hari
ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5. Silent
infection dapat terjadi, akan tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi belum
dapat dimengerti. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat
penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu
perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali. Infeksi
akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG antichikungunya
yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi. (Soemarno, 2012)
E. Manifestasi Klinis

37

Virus Chikungunya menyebabkan demam pada sebagian


besar penderita dengan periode inkubasi 2 4 hari sejak gigitan
nyamuk. Viremia ini menetap selama 5 hari sejak onset klinis.
Gambaran klinis yang umum adalah demam (92%) biasanya juga
disertai dengan Arthralgia (87%), nyeri punggung (67%) dan sakit
kepala (62%). Demam ini bervariasi mulai dari demam ringan sampai
berat, yang menghilang dalam 24 sampai 48 jam. Demam ini biasanya
terjadi mendadak sampai 39-40C, dengan menggigil dan kekakuan
dan biasanya menghilang dengan pemberian antipiretik. (Soemarno,
2012)
Dalam kasus wabah yang terbaru ini banyak pasien yang
mengeluhkan arthralgia tanpa demam. Nyeri sendi tampaknya semakin
memburuk pada pagi hari, yang kemudian berkurang dengan aktivitas
ringan. Nyeri sendi ini dapat menghilang selama 2-3 hari yang
kemudian muncul lagi dengan pola pelana kuda. Poliartritis migran
dengan efusi juga dapat dijumpai pada 70% kasus, namun menghilang
sendiri. Pergelangan kaki, tangan, dan sendi-sendi kecil paling sering
terkena. Sendi besar seperti lutut dan tulang belakang juga dapat
terlibat. Terdapat kecenderungan keterlibatan sendi dengan riwayat
trauma atau degenerasi. Pekerjaan yang banyak menggunakan sendi
kecil lebih sering terkena (misalnya sendi interfalang pada penyadap
karet, pergelangan kaki pada orang yang banyak berdiri dan berjalan
misalnya polisi). Fenomena pembungkukkan ini kemungkinan terjadi
akibat dari tungkai bawah dan keterlibatan punggung yang mendorong
pasien membungkuk ke depan. (Soemarno, 2012)

38

Gejala klinis lain. Ruam makulopapular transien dapat terjadi


pada 50% pasien. Erupsi makulopapular dapat menetap lebih dari 2
hari pada 10% kasus. Ulkus intertriginosa dan erupsi vesikobulosa juga
dapat ditemukan. Beberapa orang mengalami lesi angiomatosa dan
lebih sedikit yang mengalami purpura. Stomatitis ditemukan pada 25%
pasien dan ulkus oral pada 15% pasien. Eritema nasal diikuti dengan
hiperpimentasi fotosensitif (20%) sering ditemukan pada epidemi yang
baru baru ini terjadi. Dermatitis eksfolitiva yang terjadi pada tungkai
dan wajah ditemukan pada 5% kasus. Epidermolisis bullosa juga
ditemukan pada anak-anak. Sebagian besar lesi yang timbul ini dapat
sembuh sempurna kecuali pada kasus dimana hiperpigmentasi yang
fotosensitif ini menetap. (Soemarno, 2012)
Fotofobia dan nyeri retro-orbital juga pernah ditemukan.
Meskipun jarang terjadi pada orang dewasa, namun anak-anak
terutama neonatus dapat mengalami muntah dan/atau diare dan
meningo-ensefalitis. Manifestasi neurologis seperti ensefalitis, kejang
demam, sindrom meningeal dan ensefalopati akut juga pernah
dilaporkan. Neuroretinitis dan uveitis pada salah satu mata atau kedua
mata juga pernah dilaporkan. Manifestasi okuler yang berkaitan
dengan wabah epidemi dan infeksi virus chikungunya di India Selatan
meliputi uveitis anterior granulomatosa dan nongranulomatosa,
neuritis optik, neuritis retrobulbar, dan lesi dendritik. Prognosis visual
biasanya baik, dimana penglihatan sebagian besar pasien ini kembali
normal. (Soemarno, 2012)
Bentuk artralgia yang persisten telah dtemukan pada tahun 1980
di Afrika Selatan, dimana sebuah penelitian retrospektif menunjukkan
resolusi yang sempurna pada 87,9%, 3,7% mengalami kekakuan
episodik dan nyeri, 2.8% mengalami kekakuan yang persisten tanpa
nyeri dan 5.6% mengalami keterbatasan pergerakan sendi yang
persisten

dan menyakitkan.

tendoachilles

ditemukan

Enthesopathy dan tendinitis

pada

53%

pasien

keterlibatan muskuloskeletal. (Soemarno, 2012)


F. Diagnosis

yang

dari

mengalami

39

Diagnosis kasus Demam Chikungunya ditegakkan berdasarkan


kriteria sebagai berikut: (Modifikasi Klasifikasi WHO SEARO,2009)
1. Kriteria Klinis: Demam mendadak > 38,5C dan nyeri
persendian hebat (severe athralgia) dan atau dapat disertai
ruam (rash).
2. Kriteria Epidemiologis: Bertempat tinggal atau pernah
berkunjung

ke

wilayah

yang

sedang

terjangkit

Chikungunya dengan sekurang-kurangnya 1 kasus positif


RDT/ pemeriksaan serologi lainnya, dalam kurun waktu 15
hari sebelum timbulnya gejala (onset of symptoms)
3. Kriteria Laboratoris: sekurang-kurangnya salah satu

diantara pemeriksaan berikut:


Isolasi virus
Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR
Terdeteksinya antibodi IgM spesifik virus Chik pada sampel

serum
Peningkatan 4 kali lipat (four-fold) titer IgG pada pasangan
sampel yang diambil pada fase akut dan fase konvalesen
(interval sekurang-kurangnya 2-3 minggu)

Berdasarkan kriteria di atas, Diagnosis Demam Chikungunya


digolongkan dalam 3 kategori yaitu:
1. KASUS TERSANGKA (Suspected case/ Possible case)
Penderita dengan kriteria klinis.
2. KASUS PROBABEL (Probable case)
Penderita dengan kriteria klinis + kriteria epidemiologis
3. KASUS KONFIRM (Confirmed case)
Penderita dengan kriteria laboratoris.
G. Penatalaksanaan
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini
penyakit ini belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya
bersifat simtomatis dan suportif.
1. Simtomatis
Antipiretik: Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan
demam) Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi
Non

Steroid

(AINS)

lainnya

persendian/athralgia/arthritis)

(untuk

meredakan

nyeri

40

Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena


adanya resiko perdarahan pada sejumlah penderita dan resiko
timbulnya Reyes syndrome pada anak-anak dibawah 12 tahun.
2. Suportif
Tirah baring (bedrest), batasi pergerakkan
Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh
akibat muntah, keringat dan lain-lain.
Fisioterapi
3. Pencegahan penularan
Penggunaan kelambu selama masa viremia {sejak timbul gejala
(onset of illness) sampai 7 hari

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus virus dengue.
Infeksi dengue dapat bermanifestasi sebagai demam dengue dan demam
berdarah dengue (DBD) dimana tanda dan gejala ada pada pasien DBD yaitu
demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam.
Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan
nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan manifestasi perdarahan
berupa uji bendung positif, mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan
untuk jalur vena, petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuria (jarang),
menorrhagia.Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.Riwayat

41

kesehatan, penyelidikan dan pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis


kemungkinan DBD dan sebagai upayapencegahan komplikasi akibat DBD dan
mengurangi angka hospitalisasi.Prinsip penanganan DBD tergantung dari
manifestasi klinis dan kondisi pasien.
3.2 Saran
a. Semua petugas di pelayanan kesehatan mampu mendeteksi awal
kemungkinan terjadinya DBD sehingga penanganan DBD dapat tepat dan
segera dilakukan.
b. Petugas di pelayanan kesehatan sebaiknya dapat meningkatkan kesadaran
dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang DBD pada pasien DBD
dan keluarganya

42

DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 2010. Tata Laksana DBD. www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana
%20DBD.pdf. Diaksestanggal 15 September 2015.
Karyanti, M.R. 2014. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Dengue. Divisi Infeksi dan Pediatri
Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo, FKUI.
(https://humasidikabbekasi.files.wordpress.com/2014/

05/pit1_diagnosis-dan-

tatalaksana-dbd-terkini.pdf). Diakses pada 17 September 2015.


Pudjiadi A. H., Hegar B., Handryastuti S., Idris N. S., Gandaputra E. P., Harmoniati E. D.,
2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 141-145.
Soedarmo S. S. P., Garn, H., Hadinegoro S. R. S., 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi & Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 183-184,
367Suhendro, Nainggolan L., Chen K., Pohan H. T., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Hal: 1710-1711
Waly, T.M. 2015. Ringkasan Teori Hipersensitivitas Tipe III T.Mudwal dan Penerapannya
pada Demam Berdarah Dengue. Cirebon.
WHO, 1999.Guidelines For Treatment of Dengue Fever / Dengue Hemorrhagic Fever In
Small Hospitals. New Delhi
Widodo, Djoko, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamJilid III Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal: 1752-1753

Anda mungkin juga menyukai