Definisi
Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung,
dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).
B. Klasifikasi
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation
infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan
oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi
seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan
seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA
dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi
Killip:
Kelas
I
Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung
kongestif
Proporsi pasien
Mortalitas(%)
40-50%
30-40%
17
10-15%
30-40
5-10%
60-80
III
IV
Syok kardiogenik
C. Epidemiologi
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA non
STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian
pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and
design of GRACE, 2001). Sesuai data yang ada di ruang CVCU RSSA Malang yang
menunjukkan bahwa sebanyak kurang lebih 127 pasien menderita NSTEMI dan sebanyak
148 pasien menderita STEMI. Jumlah ini menunjukkan nilai yang sangat besar dibandingkan
dengan prevalensi jumlah pasien yang menderita ALO, ADHF, UAP dan syok kardiogenik.
STEMI dan NSTEMI merupakan penyakit yang masuk pada 10 penyakit terbanyak no 1 dan
2 di ruang CVCU RSSA Malang
D. Etiologi dan Faktor Risiko
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture
vulnerable atherosclerotic plaque.
faktor penyebab :
a. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
Faktor pembuluh darah :
Aterosklerosis.
Spasme
Arteritis
Faktor sirkulasi :
Hipotensi
Stenosos aurta
Insufisiensi
Faktor darah :
Anemia
Hipoksemia
polisitemia
b.
c.
sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan
penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,
yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
1. Faktor yang tidak dapat dirubah :
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya
tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause, insiden penyakit
yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria.
c) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah :
a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas
batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan
resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi
bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang
tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole
maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko
ischemic
heart
disease
(IHD)
sekitar
60%
dibandingkan
dengan
individu
karena IHD atau gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal
karena stroke (Kumar, et al., 2007).
c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin
merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahanatherosclerosis pada
wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian
karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara
substansial (Kumar, et al., 2007).
d) Diabetes mellitus menginduksi
hiperkolesterolemia
dan
juga
meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko
stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
E. Manifestasi Klinis
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung 20
menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI
hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat
istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian
tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran
nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri
sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas
(Fauci, et al., 2007).
Nyeri Dada
Angina pada waktu
EKG
Depresi segmen ST
Stabil
istirahat/ aktivitas
Inversi gelombang T
Tidak ada
gelombang Q
Depresi segmen ST
Meningkat minimal 2
Inversi Gelombang T
dalam
normal
perlu opium
Lebih berat dan lama
Elevasi segmen ST
Meningkat minimal 2
inversi gelombang T
NSTEMI
STEMI
Enzim Jantung
Tidak meningkat
normal
b. Kelainan lain: di antaranya aritmia, henti jantung atau gagal jantung akut.
c. Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
d. Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa
tanpa disertai nyeri dada.
e. Sebagian besar pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung koroner yang
f.
F. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi
menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik
nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Lokasi
Anterior
Gambaran EKG
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
Anteroseptal
Anterolateral
Lateral
Inferolateral
Inferior
Inferoseptal
True
posterior
RV Infraction
Uji troponin
menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu
pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari
pasca MI.
Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik
untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat
mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. Mereka telah menjadi cardiac marker
pilihan untuk pasien dengan ACS.
b. Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis AMI
adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI
adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali
lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang
lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB
tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti
trauma atau miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24
jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik
untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak mempunyai
nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100] dapat
membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-MB otot
rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5
mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks
relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau
kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana
terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat,
polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan.
Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja.
Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada
batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB duaduanya mengalami peningkatan.
d. Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin adalah
protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang
rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4
jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal
setelah 24-36 jam.
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang
kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas.
Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI.
Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai
prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian
original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI
yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI
dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun.
e. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CK-MB2
adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian
berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi.
Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CKMB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan
sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2
meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada
2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI.
Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam
setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin.
Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.
f. C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung pada
coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan
bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac events, baik pada
prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko
jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator
prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian
jantung dan AMI.
g. Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang digunakan.
Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart Association (AHA).
Total CK = 38174 units/L untuk laki-laki dan 96140 units/L untuk perempuan.
CKMB
= 10-13 units/L.
Troponin T
= kurang dari 0,1 ng/mL.
Troponin I
= kurang dari 1,5 ng/mL.
Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
Mioglobin
= kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.
Marker
CK
CK-MB
Mioglobin
LDH
Troponin I
Troponin T
Waktu Awal
Waktu Puncak
Waktu Kembali
Peningkatan (jam)
48
48
24
10 12
46
46
Peningkatan (jam)
12 24
12 24
49
48 72
12 24
12 48
Normal
72 96 jam
48 72 jam
< 24 jam
7 10 hari
3 10 hari
7 10 hari
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal.
4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis
polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan
sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel
darah putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1
atau 2 minggu.
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan
gambaran EKG adanya elevasi ST 1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis,
namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan enzim.
1.
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya
perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko
antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner
pada keluarga,
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI
dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina sbb:
dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan
secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera
mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
(LDH
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit
dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian
dan implementasi
strategi perfusi
pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA.
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar
kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak,
yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya
terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain:
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien
dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120
menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi
sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1. JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi
syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS
tiba.
2. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time
harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus
dalam waktu 90 menit.
a. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan
tatalaksana
di
IGD
pada
pasien
yang
dicurigai
STEMI
mencakup:
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung
dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan
hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior
pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada
pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
dengan
aktivasi
simpatis
yang
menyebabkan
vasokonstriksi
dan
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai
pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga
dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung
derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasadiberikan adalah metoprolol 5 mg
setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit,
tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari
10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat
tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI
lebih baik.
Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika
PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan
mafaat dan risiko.
I.
Komplikasi
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan
remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi selsel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran
yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering
dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan
sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang
lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan
kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,
biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat
perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti
penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paruparu, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan
fungsi miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi
jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang
tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya
timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak
dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama
sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke
dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan
peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku,
pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No.RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian,
sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat,
no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota
keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung
iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko
utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual
olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner,
masalah TD, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk/berdiri
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan
kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.
8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah
pada penyakit/perawatan yang tak perlu, khawatir tentang keluarga, pekerjaan dan
keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat
badan
Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan DM,
hipertensi dan lansia.
Tanda:
Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau
krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
Interaksi social
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan
stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri
dari keluarga
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit
vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau
Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
Tingkat kesadaran
Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan, perhatian
tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan miokard infark,
menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-tanda
gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya tanda dini
syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
Pemeriksaan Diagnostik
EKG
Echocardiogram
Lab CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri
koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak
optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi
elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark,
kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya
vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat
depresan jantung
C. RENCANA KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri
koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri berkurang
Kriteria hasil:Nyeri dada hilang/terkontrol, Mendemonstrasikan penggunaan teknik
Anjurkan
pasien
untuk
melaporkan
teknik
relaksasi
dalam/perlahan,perilaku
visualisasi,
imajinasi
Periksa tanda
vital
bimbingan
sebelum
dan
Kolaborasi
dengan
tim
medis
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
pemberian:
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot
Antiangina (NTG)
Untuk mengontrol nyeri dengan efek
infark, kerusakan struktural
vasodilatasi
koroner,
yang meningkatkan
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan
curah
jantung
koronernormal,
dan perfusi
Kriteria Hasil: Hemodinamika stabil (tekanan aliran
darah darah
dkm batas
curah
- blocker (atenolol)
miokardia
jantung kembali meningkat, asupan dan keluaran sesuai, irama jantung tidak
urine
Untuk
menunjukkan tanda-tanda disritmia), produksi
> mengontrol
600 ml/hari.nyeri melalui efek
INTERVENSI
RASIONAL
hambatan
rangsang simpatis, sehingga
Ukur tekanan darah. Bandingkan
Hipotensi dapat terjadi akibat disfungsi
menurunkan fungsi jantung, TD sistolik
tekanan
darahanalgesik
kedua lengan,
ukur
hipertensi juga fenomena
Preparat
(Morfin
Sulfat) ventrikel,
dan kebutuhan oksigen miokard
dalam keadaan berbaring, duduk, atau umum berhubungan dengan nyeri
berdiri bila memungkinkan
memantau
perluasan
meningkatkan
aliraninfark,
balik vena dan
perubahan
elektrolit
menurunkan
risikoberpengaruh
tromboflebitis
terhadap irama jantung
keluaran urine
Kolaborasi
dengan
tim
medis
pemberian:
Heparin
trombus mural
Cimetidine
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI
Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical Information: Coronary
Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon & Shcuster
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi revisi 3. Jakarta : EGC.
Erhardt L, Herlitz J, Bossaert L. Task force on the management of chest pain. Eur Heart J.
2002;
Farissa, Inne P. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut St-Elevasi (Stemi) Yang
Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi Di Rsup Dr.Kariadi
Semarang).
Program
Pendidikan
Sarjana
Kedokteran
Fakultas
Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Muttaqin, Arif. 2009. Askep dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba
Medika.
Price, S.A. dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
Ramrakha, Suwiryo. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta:Gramedia
Selwyn, Andina. 2005. Buku Ajar Kardiologi: Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas
Indonesia
Smeltzer, Suzanne, Brenda O. B.. 2001. Keperawatan Medikal Bedah vol. 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2010.
Suhastutik.2012. Pasien dengan Akut Miokard Infark (STEMI). Yogyakarta : JAY.
Tierney, Lawrence. 2002. Diagnosis dan Terapi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika.
Judith M Wilkinson & Nancy R Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.
Jakarta: EGC.
PSDKI, 2015. Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. Ed Ke 3. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.