Anda di halaman 1dari 11

BAB II

ANALISIS KASUS
Bayi perempuan lahir spontan dengan presentasi kepala, ketuban putih
keruh dan ditolong bidan pada usia gestasi 38 minggu dari ibu G5P4A0M0 usia
36 tahun, lahir

tanggal 28 Mei 2015 pukul 11.27 WIB, bayi tidak segera

menangis, tampak kebiruan setelah di suction dan dipasang oksigen nasal kanul 1
liter/menit bayi menangis, apgar score 6/7/8 dan GDS 43 mg/dl, berat badan 5.100
gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala 35 cm, lingkar dada 38 cm.
Berat lahir merupakan salah satu pengukuran antropometri yang paling
penting dalam evaluasi bayi baru lahir (Uauy R.,2013). Klasifikasi bayi menurut
berat lahir yaitu bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi berat lahir cukup/normal,
dan bayi berat lahir lebih. Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang dilahirkan
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Bayi
berat lahir cukup/normal dilahirkan dengan berat lebih dari 2500 4000 gram.
Sedangkan bayi berat lahir lebih dilahirkan dengan berat lebih dari 4000 gram
(Kosim MS.dkk,2010). Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien yang lahir dengan
berat 5100 gram pada kasus ini tergolong sebagai bayi berat lahir lebih. Bayi
dengan pertumbuhan intrauterin berlebih dengan berat lahirnya melampaui
percentil 90 untuk umur kehamilan (BMK) menggambarkan kelompok yang
heterogen berkenaan dengan umur kehamilan dan etiologi. Sebagian bayi-bayi
yang berukuran besar karena keturunan, sedangkan sebagian lain merupakan hasil
pertumbuhan

intrauterin

yang

berlebihan

dan

bersifat

patologis(Kosim

MS.dkk,2010).
Menurut masa gestasi atau umur kehamilan, bayi digolongkan sebagai bayi
kurang bulan, bayi cukup bulan, dan bayi lebih bulan. Bayi kurang bulan adalah
bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu (<259 hari).
Bayi cukup bulan dilahirkan dengan masa gestasi antara 37 42 minggu (259
293 hari). Sedangkan bayi lebih bulan dilahirkan dengan massa gestasi lebih dari
42 minggu (Kosim MS.dkk,2010). Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien yang
lahir dengan usia gestasi 38 minggu pada kasus ini tergolong sebagai bayi cukup
bulan.
Menurut hubungan berat lahir/umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat
dikelompokkan menjadi sesuai masa kehamilan (SMK), kecil masa kehamilan

(KMK), dan besar masa kehamilan (BMK). Nilai standar yang paling banyak
digunakan disusun di Denver yang membuat kurva mulus untuk berat, panjang,
dan lingkar kepala lahir terhadap umur kehamilan. Bayi dengan berat lahir sama
dengan atau di bawah persentil ke-10 digolongkan KMK, sedangkan bayi yang
memiliki berat lahir pada atau di atas persentil ke-90 digolongkan BMK (Kosim
MS.dkk,2010). New Ballard score paling baik diperiksa pada usia neonatus
kurang dari 12 jam jika neonatus lahir pada usia gestasi kurang dari 26 minggu,
sedangkan jika neonatus lahir pada usia gestasi lebih dari 26 minggu, tidak
terdapat usia optimal untuk pemeriksaan hingga 96 jam (Gomella TL.,2004). Pada
pasien ini neonatus berusia 3 jam saat dilakukan pemeriksaan New Ballard score,
sehingga hasil yang didapatkan adalah New Ballard score 37 menunjukkan usia
gestasi postnatal lebih dari 38-39 minggu, hampir sesuai dengan perhitungan usia
gestasi prenatal menunjukkan usia 38 minggu. Pada pasien ini diagnosis besar
masa kehamilan (BMK) melalui perhitungan melalui kurva Lubchenco dilakukan
dengan usia gestasi 38 minggu, di mana berat badan 5000 gram terletak lebih dari
persentil 90.
Distress pernapasan pada neonatus didiagnosis jika terdapat satu atau lebih
gejala berikut: takipnea atau frekuensi napas lebih dari 60 kali per menit, retraksi
dinding dada saat respirasi (subkostal, interkostal, sternal, suprasternal), dan bunyi
napas tambahan seperti grunting, stridor, atau wheezing. Distress pernapasan yang
terjadi dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan sianosis atau desaturasi
pada pulse oximetry. Diagnosis harus segera ditegakkan beberapa menit pertama
kelahiran dan penatalaksanaan gawat darurat harus segera ditegakkan. Derajat
distress pernapasan dapat dinilai dengan Downes score (Mathai SS., 2007). Skor
4 -7 menunjukkan adanya distress pernapasan, sedangkan skor > 8 menunjukkan
adanya ancaman gagal napas (USAID,2012). Pada pasien ini tidak terdapat
pencatatan mengenai Downes score pada pasien segera setelah pasien lahir dan
tidak ada pencatatan mengenai tanda vital. Bagaimanapun, pencatatan Downes
score dilakukan pada saat pasien berada di Ruang Perinatologi dengan sudah
terpasang O2 nasal kanul 1 L/menit, diperoleh adanya frekuensi napas antara 60
80 kali/menit (RR 64x/menit), sianosis yang menghilang dengan O2, tidak ada
penurunan udara masuk, tidak ada retraksi, dan tidak ada grunting (total skor 1).
Asfiksia

neonatorum

merupakan

kegagalan

untuk

memulai

dan

mempertahankan pernapasan secara adekuat saat lahir (Lee A,dkk,2008). Asfiksia

pada bayi baru lahir ditandai dengan keadaan hipoksemia, hiperkarbia, dan
asidosis. Menurut AAP dan ACOG (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi
menunjukkan karakteristik berikut:
1. Asidemia metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas,
yaitu pH < 7, pada sampel darah yang diambil dari arteri umbilikal.
2. Nilai Apgar 0 3 pada menit ke 5.
3. Manifestasi neurologi pada periode BBL segera, termasuk kejang, hipotonia,
koma, atau ensefalopati hipoksik iskemik.
4. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL (Kosim
MS.dkk,2010).
Keempat kriteria klinis di atas harus ada pada asfiksia perinatal (Gomella
TL, 2004). Beberapa faktor risiko antepartum mayor yang berhubungan dengan
risiko asfiksia antara lain usia ibu lebih dari 35 tahun, diabetes maternal,
hipertensi dalam kehamilan, fetal anemia, perdarahan pada trimester 2 atau 3,
polihidramnion, oligohidramnion, ketuban pecah dini, infeksi intrauterin,
kehamilan lebih bulan, gestasi multipel, bayi kecil untuk masa kehamilan atau
intrauterine growth restriction, penggunaan zat-zat terlarang bagi ibu dalam masa
kehamilan, malformasi fetal, berkurangnya aktifitas janin dan tidak melakukan
kunjungan antenatal care (ANC). Sementara itu faktor intrapartum yang
berhubungan dengan asfiksia antara lain operasi sectio caesarea emergensi,
presentasi bokong, kelahiran prematur, KPD lebih dari 24 jam, infeksi intrauterin,
persalinan dengan induksi, persalinan lebih dari 24 jam, kala 2 persalinan
memanjang lebih dari 2 jam, pola denyut jantung janin yang tidak teratur, anestesi
umum, analgesi maternal dengan narkotika dalam 4 jam waktu persalinan, cairan
ketuban bercampur mekonium, prolaps tali pusat, plasentra previa, dan abruptio
plasenta (Zlatnik FJ,2005). Pada pasien ini, faktor risiko yang diketahui
berhubungan dengan asfiksia yaitu hipertensi dalam kehamilan. Pemeriksaan
analisis gas darah pada pasien tidak dilakukan, tidak ada riwayat manifestasi
klinis penurunan kesadaran, Apgar score pada menit ke 5 adalah 9, dan tidak
ditemukan disfungsi sistem multiorgan. Dengan demikian, diagnosis asfiksia
neonatorum pada pasien ini tidak sesuai dengan teori.
Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yanng bersifat invasif
dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,
cairan sumsum tulang, atau air kemih. Keadaan ini sering terjadi pada bayi
berisiko misalnya pada NKB, BBLR, bayi dengan sindrom gangguan napas atau
bayi yang lahir dari ibu berisiko (Kosim MS,dkk,2010).

Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam 2 kelompok, yaitu sepsis awitan dini
dan awitan lambat. Pada awitan dini, kelainan ditemukan pada hari-hari pertama
kehidupan (umur di bawah 3 hari). Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit
ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan atau kelahiran. Penderita
awitan lambat terjadi disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan di sekitar
bayi setelah hari ketiga lahir. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi
dengan transmisi horizontal dan termasuk di dalamnya infeksi karena kuman
nosokomial (Kosim MS,dkk,2010).
Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan penyakit non-infeksi
BBL lain seperti sindrom gangguan napas, perdarahan intrakranial, dll. Gambaran
klinis sepsis neonatal tidak spesifik dan bervariasi, karena itu kriteria diagnostik
harus pula mencakup pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium
ataupun pemeriksaan khusus lainnya. Krieria tersebut terkait dengan perubahan
yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi. Perubahan tersebut dapat
dikelompokkan dalam berbagai variabel antara lain variabel klinik (seperti suhu
tubuh, laju nadi, dll), variabel hemodinamik (tekanan darah), variabel perfusi
jaringan (capillary refill), dan variabel inflamasi (gambaran leukosit, trombosit, IT
ratio, sitokin, dll). Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak yang lebih
besar jarang ditemukan pada BBL. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan
penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti
pasien sepsis. Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi, antara
lain faktor risiko, gambaran klinik, dan pemeriksaan penunjang. Pada sepsis
awitan dini, faktor risiko dikelompokkan menjadi:
a. Faktor Ibu
1. Persalinan dan kelahiran kurang bulan
2. Ketuban pecah lebih dari 19 24 jam
3. Chorioamnionitis
4. Persalinan dengan tindakan
5. Demam pada ibu (>38,4oC)
6. Infeksi saluran kencing pada ibu
7. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
b. Faktor bayi
1. Asfiksia perinatal
2. Berat lahir rendah
3. Bayi kurang bulan
4. Prosedur invasif
5. Kelainan bawaan (Kosim MS,dkk,2010)
Pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang
berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan

pada bayi yang dirawat di ruang intensif BBL, bayi kurang bulan yang mengalami
lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari alat
perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari
tenaga medik yang merawat bayi (Kosim MS,dkk,2010).
Manifestasi gambaran klinis sepsis pada neonatus sangat tergantung pada
beratnya

gangguan

yang

terjadi

pada

masing-masing

organ

(Kosim

MS,dkk,2010). Neonatus dengan sepsis dapat mengalami tanda dan gejala nonspesifik seperti hipotermia atau demam (hipotermia lebih sering terjadi pada
BBLR preterm), letargi, menangis lemah, tidak mau menghisap atau refleks hisap
buruk, perfusi yang tidak adekuat, capillary refill time memanjang, hipotonus,
tidak ditemukannya refleks neonatal, bardikardi atau takikardi, distress
pernapasan, apnea, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan asidosis metabolik.
Sementara gejala klinis spesifik yang dapat ditemukan pada masing-masing
sistem organ antara lain:
1. Sistem saraf pusat: ubun-ubun besar membonjol, pandangan kosong, highpitched cry, iritabel, stupor/koma, kejang, retraksi leher. Jika terdapat gejalagejala tersebut maka harus dicurigai adanya meningitis.
2. Jantung: hipotensi, perfusi yang buruk, syok.
3. Gastrointestinal: intoleransi makan, muntah, diare, distensi abdomen, ileus
paralitik, necrotizing enterocolitis (NEC).
4. Hepatik: hepatomegali, hyperbilirubinemia direk (terutama dengan infeksi
saluran kemih).
5. Renal: gagal ginjal akut.
6. Hematologi: perdarahan, peteki, purpura.
7. Perubahan kulit: pustul multipel, abses, sklerema, mottling, kemerahan pada
umbilikus, dan discharge (Sankar MJ.dkk,2008). Dapat pula ditemukan
sianosis, pucat, atau ikterik (Gomella TL,2004).
Biakan darah masih merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis BBL
(Kosim MS,dkk,2010). Hasil kultur bakterial yang positif dapat mengkonfirmasi
diagnosis sepsis. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan antara lain pewarnaan
gram pada cairan tubuh, hitung sel darah putih dengan diferensial, hitung platelet,
reaktan fase akut (komponen komplemen, protein koagulasi, C-reactive protein,
dll) (Gomella TL,2004).
Pemberian pengobatan pasien sepsis biasanya dengan memberikan
antibiotik kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme
patogen yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi antibiotik tersebut

mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman Gram positif maupun Gram
negatif (Kosim MS,dkk,2010). Terapi dimulai sebelum agen definitif kausatif
ditemukan. Antibiotik pilihan yang dapat diberikan antara lain penisilin, biasanya
ampisilin, ditambah aminoglikosida seperti gentamisin (Gomella TL,2004). Jika
kombinasi keduanya tidak menunjukkan hasil yang efektif, kombinasi
sefalosporin generasi ketiga (cefotaksim atau ceftazidime) dengan amikasin dapat
diberikan. Sefalosporin generasi ketiga memiliki kemampuan penetrasi pada
cairan serebrospinal dan memiliki aktifitas antimiroba sangat baik melawan
bakteri gram negatif. Oleh sebab itu antibiotik ini merupakan pilihan yang baik
untuk terapi infeksi nosokomial dan meningitis. Bagaimanapun, penelitian
menunjukkan bahwa 60-70% bakteri resisten terhadap sefalosporin. Lebih jauh,
penggunaan rutin antibiotik tersebut dapat meningkatkan risiko ESBL (extended
spectrum beta-lactamase) pada bakteri gram positif. Oleh sebab itu, penggunaan
antibiotik seperti piperacillin-tazobactam atau methicillin/vancomycin pada unit
dengan insidensi tinggi strain bakteri resisten lebih disukai. Kombinasi
piperacillin-tazobactam dengan amikacin dapat diberikan jika dicurigai sepsis
akibat infeksi pseudomonas. Penicillin resistant staphylococcus aureus harus
diterapi dengan cloxacillin, nafcillin atau methicillin. Penambahan aminoglikosida
dapat bermanfaat melawan staphylococcus. Methicillin resistant staphylococcus
aureus (MRSA) sebaiknya diterapi dengan kombinasi ciprofloxacin atau
vancomycin dengan amikacin. Ciprofloxacin memiliki aktifitas yang sangat baik
melawan bakteri gram negatif, namun tidak memiliki kemampuan penetrasi yang
baik pada cairan serebrospinal. Ciprofloxacin dpat digunakan untuk terapi infeksi
bakteri bakteremia gram negatif yang resisten setelah menyingkirkan diagnosis
meningitis. Untuk sepsis akibat enterokokus, kombinasi ampicillin dan gentamicin
merupakan pilihan yang baik untuk terapi awal. Vancomycin sebaiknya digunakan
pada terapi yang resisten terhadap terapi lini pertama. Antibiotik yang lebih baru
seperti aztreonam dan meropenem saat ini sudah tersedia di pasaran. Aztreonam
memiliki aktifitas yang sangat baik melawan bakteri gram negatif, sementara
meropenem efektif melawan sebagian besar bakteri patogen kecuali methicillin
resistant

staphylococcus

aureus

(MRSA)

dan

enterococcus

(Sankar

MJ.dkk,2008). Pada pasien ini tidak ditemukan gejala klinis spesifik pada sistem
organ seperti yang telah disebutkan dalam teori, namun dapat ditemukan gejala
sepsis non-spesifik seperti tampak lemah (kurang aktif) dan ikterik.

Terapi antibiotik yang diberikan yaitu golongan penisilin (Ampisilin)


ditambah

aminoglikosida(gentamisin) sebagai terapi antibiotik lini pertama.

Menurut teori, jika pemberian antibiotik lini pertama tidak efektif, maka dapat
diberikan

kombinasi

antibiotika

lainnya.

Amikasin

termasuk

golongan

aminoglikosida yang dapat diberikan jika terdapat resistensi bakteri gram negatif
pada gentamisin, sementara meropenem bekerja aktif melawan sebagian besar
bakteri gram positif dan negatif aerob dan anaerob (Ganggangan FP dkk,2012).
Pemberian terapi yang spesifik berdasarkan hasil kultur tidak dilakukan karena
keterbatasan fasilitas pemeriksaan penunjang.
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi
baru lahir bila kadar bilirubin adalah 5-7 mg/dL. Hiperbilirubinemua adalah
terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari
kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Ikterus
fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi
pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu
formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6 8 mg/dL pada hari
ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2 3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada
bayi cukup yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang
lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam
waktu 2 4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang
bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan
puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika
tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih
dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolisme bilirubin. Ikterus non fisiologis tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut:
1.
2.
3.
4.

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam


Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam
Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasarai pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menyusu, penurunan berta badan yang cepat, apnea, takipnea,
atau suhu yang tidak stabil)

5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan (Kosim MS,dkk,2010).
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
hemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8
10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3 4 mg/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek
(70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi
heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus
yang meningkat (sirkulasi enterohepatik). Pada bayi kurang bulan, ikatan biliruin
akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin,
hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan
berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. Ikterus fisiologis
merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun cukup bulan
selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan
maupun kurang bulan berturut-turut adalah 50 60% dan 80%. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.
Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari
berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi pada sirkulasi bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan
clearance bilirubin (Kosim MS,dkk,2010). Pada bayi prematur, fungsi hati kurang
matur, dan ikterus terjadi lebih sering dan lebih jelas. Konsentrasi puncak terjadi
10-12 mg/dL pada hari ke lima kelahiran (Gomella TL,2004). Kramer
menemukan progresi ikterus secara sefalokaudal dengan peningkatan total serum
bilirubin dan membagi dalam 5 bagian tubuh bayi di mana kadar total serum
bilirubin berhubungan dengan ikterus pada setiap bagian tubuh (Nasar SS,2004).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien-pasien ikterik


antara lain pemeriksaan laboratorium (bilirubin total dan direk, pemeriksaan darah
lengkap dan hitung retikulosit, golongan darah dan status Rh pada ibu dan bayi,
Coombs test, pengukuran serum albumin, dll), pemeriksaan radiologi (melihat
adanya obstruksi intestinal, atau ekstravasasi darah pada organ dalam dan
ultrasonografi kepala untuk melihat perdarahan ventrikular atau subdural), dan
transkutaneus bilirubinometri. Penatalaksanaannya sendiri terdiri dari fototerapi,
transfusi tukar, dan terapi farmakologi (fenobarbital dan metaloporfirin) (Gomella
TL,2004).
Rekomendasi American Academy of Pediatrics
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir cukup bulan

untuk

manajemen

Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi preterm (sakit dan sehat)


dan bayi sakit

Fototerapi dapat dihentikan jika kadar serum bilirubin turun 2 mg/dL di


bawah nilai awal sebelum dilakukan fototerapi (Kosim MS,dkk.2010). Pada
pasien ini diperoleh kulit yang ikterik dengan derajat Kramer 4-5 mulai usia 5 hari
dan ikterik menetap hingga usia 14 hari dan memperoleh fototerapi selama 8 x 24
jam.
Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi
neurologik (misalnya kejang perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom
sistem saraf) yang terjadi pada bayi berumur sampau dengan 28 hari. Etiologi
kejang yang sering terjadi dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Ensefalopati iskemik hipoksik
2. Perdarahan intrakranial: subaracnoid, subdural, periventrikular/intraventrikular
3. Metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia/hipomagnesemia, hiponatremia/
hipernatremia
4. Infeksi: kernikterus/ensefalopati bilirubin
5. Kejang yang berhubungan dengan obat
Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah. Kadar
glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara
penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi
gangguan pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi penurunan kadar glukosa
darah (hipoglikemia). Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang umum
pada neonatus. Pada kebanyakan neonatus yang sehat, konsentrasi kadar glukosa
darah yang rendah tidak menyebabkan masalah yang serius dan merupakan proses
yang normal dari adaptasi metabolisme pada kehidupan ekstrauterin. Pada anakanak kadar glukosa darah dibawah 40 mg/dL (2.2 mmol/L) menunjukan keadaan
hipoglikemia. Dan pada neonatus kadar plasma glukosa kurang dari 30 mg/dL
(1.65 mmol/L) pada 24 jam pertama kehidupan menunjukkan keadaan
hipoglokemia. Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus
dipatuhi trias Whipple yaitu: 1. Manifestasi klinis yang khas, 2. Kejadian ini harus

bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat
dengan metode yang peka dan tepat, 3. Gejala klinis menghilang dalam beberapa
menit sampai beberapa jam setelah euglikemia. Bila ketiganya dipenuhi, maka
diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai