Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan menyatakan bahwa setiap sekolah menjalin kemitraan dengan
lembaga lain yang relevan, berkaitan dengan input, proses, output, dan pemanfaatan lulusan.
Kemitraan sekolah dapat dilakukan dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah seperti
perguruan tinggi, sekolah pada jenjang setara, dunia usaha dan dunia industri (DU/DI), serta
masyarakat di lingkungannya, baik yang ada di dalam maupun luar negeri.
Kemitraan adalah suatu kegiatan kerjasama dengan prinsip saling menguntungkan antara
sekolah yang mempunyai keunggulan dan prestasi (dikategorikan sebagai mampu melakukan
pendampingan dan fasilitasi) dan sekolah yang berpotensi untuk mencapai keunggulan dan prestasi
tersebut. Kemitraan sekolah dengan masyarakat di lingkungan SMAN 2 Kota Tangerang Selatan
sudah menjadi kebutuhan, karena keberadaan SMAN 2 Kota Tangerang Selatan adalah dari
masyarakat untuk masyarakat. Perubahan paradigma hubungan sekolah dan masyarakat terjadi
seiring perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Hal ini sebagai akibat dari berubahnya norma
dan pranata masyarakat sebagai akibat dari perubahan zaman. Globalisasi merupakan salah atau
bentuk perubahan zaman yang terjadi saat ini. Globalisasi, dengan revolusi informasi dan
teknologinya, membuat dunia serasa semakin kecil. Batasan waktu dan ruang hampir tidak ada lagi.
Arus informasi mengalir bebas dari satu belahan bumi ke belahan bumi lainnya. Perubahan dan
perkembangan tersebut menggeser paradigma lama dalam hal hubungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
SMAN 2 Kota Tangerang Selatan menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan,
berkaitan dengan input, proses, output, dan outcome.

Kemitraan dilakukan dengan lembaga

pemerintah maupun non-pemerintah seperti perguruan tinggi, sekolah yang setara, serta dunia usaha
dan dunia industri di lingkungannya. SMAN 2 Kota Tangerang Selatan mengembangkan kerjasama

dan kemitraan dengan masyarakat, dunia industri, dunia usaha, alumni dan satuan pendidikan
lainnya di dalam maupun luar negeri.

B. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-UndangRepublik IndonesiaNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
PendidikanNasional.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 20052025.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi,dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan
Pendidikan.
7. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah.
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007
tentang Standar Pengelolaan Pendidikan.
C. TUJUAN KEMITRAAN
Kemitraan yang dijalin oleh SMAN 2 Kota Tangerang Selatan dengan pihak eksternal bertujuan
untuk :

1) Mendapatkan informasi terkini.


Sekolah memerlukan informasi terkini tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi guna mengantisipasi perubahan yang terjadi akibat perkembangan
tersebut. Selain itu kemitraan antar lembaga akan dapat memberikan informasi
tentang kebutuhan jenis-jenis dan jumlah tenaga kerja terampil yang diperlukan saat
itu dan prediksi untuk masa mendatang.
2) Memperoleh bantuan perlatan, tenaga ahli, tenaga sukarela.

Melalui kemitraan antar lembaga dapat mengetahui kebutuhan sekolah akan


perlatan, bahan pembelajaran, dan tenaga ahli. Dengan demikian mereka dapat
berpartisipasi dalam proses pelaksanaan pembelajaran.
3) Mendapat kesempatan berbagi pengalaman
Kemitraan antar lembaga dilakukan antar sekolah dengan pusat pelatihan, pendidik
dan tenaga pendidikan (PTK) dapat berbagi pengalaman dalam berbagai hal seperti
pengelolaan sekolah, pengembangan kurikulum, pemberdayaan masyarakat,
pelatihan kompetensi, peningkatan sumber daya manusia, efisiensi penggunaan
peralatan.
4) Melaksanakan proyek bersama
Dalam kerangka kemitraan antar lembaga, para pihak yang bermitra dapat
melaksanakan proyek bersama, misal dalam pelatihan, mengembangkan prototipe
peraga, pengembangan bakat siswa. Kemitraan ini menguntungkan kedua belah
pihak.
5) Mendapatkan beasiswa.
Melalui kemitraan antar lembaga dapat dirintis pemberian beasiswa kepada siswa
yang berprestasi amat baik. Beasiswa ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kompetensinya atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
6) Meningkatkan kreativitas
Kemitraan yang dilakukan diharapkan dapat membuka dan mendorong kreativitas
untukmeningkatkan kualitas dan produktivitas kerja bagi PTK.
D. PRINSIP KEMITRAAN
Dalam melaksanakan program kemitraan antar lembaga, menganut azas-azas sebagai berikut:

1) Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku;


2) Partisipasi/Participation: Semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk
menyatakan pendapat, memutuskan hal-hal yang menyangkut nasibnya dan
bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah disepakati bersama;
3) Percaya/Trust: saling mempercayai dan dapat dipercaya untuk membina kerjasama.
Di sini transparansi menjadi tuntutan dan tidak bisa ditawar;

4) Akseptasi/Acceptable: saling menerima dengan apa adanya dalam kesetaraan.


Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri;
5) Komunikasi/Communication: masing-masing pihak harus mau dan mampu
mengkomunikasikan dirinya serta rencana kerjanya sehingga dapat dikoordinasikan
dan disinergikan;
6) Partnership tidak merendahkan satu dengan yang lain, tetapi sama-masa bersinergi
untuk meningkatkan mutu sekolah;
7) Berdasarkan kesepakatan.
E. STRATEGI KEMITRAAN
Strategi Kemitraan kegiatan pengembangan kerjasama dan kemitraan di SMAN 2 Kota Tangerang
Selatan meliputi:

1. Pembentukan tim kerja.


2. Melakukan analisis kebutuhan satuan pendidikan untuk pengembangan kerjasama
dan kemitraan.
3. Penyusunan naskah kerjasama dan kemitraan satuan pendidikan yang meliputi
program, mekanisme, prosedur,dan bentuk kerjasama dan kemitraan.
4. Melakukan Review, revisi, dan finalisasi naskah kerjasama dankemitraan.
5. Pelaksanaan kerjasama dan kemitraan.
6. Melakukan evaluasi program.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Good Governance
Menurut Rochman dalam Sedarmayanti (2009), good governance merupakan
mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan
penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil (dengan syarat utama efisien)

serta relatif merata. Menurut Sedarmayanti (2009) setiap pelaku good governance memiliki
peran dan tugas masing-masing dalam mencapai tujuan hidup bernegara, yaitu :
a. Negara (state) berperan untuk menciptakan lingkungan politik dan hukum yang
kondusif, Negara berperan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
pelayanan public, penyelenggaraan kekuasaan pemerintah, dan membangun
lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan pada tingkat lokal,
nasional, maupun internasional serta global.
b. Sektor swasta berperan untuk menciptakan pekerjaan dan pendapatan. Peran
sektor swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan dan pembangunan, karena
perannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan kegiatan produktivitas,
penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, pengembangan
usaha dan pertumbuhan ekonomi.
c. masyarakat madani berperan dalam memfasilitasi interaksi sosial dan politik,
menggerakkan kelompok masyarakat, berperan serta dalam kegiatan ekonomi,
sosial dan politik.

2. Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya menawarkan suatu proses
perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada partisipasi, kemampuan dan
masyarakat lokal. Maka masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pelaksanaan, dan
evaluasi program yang mereka lakukan. Hal ini berarti, menempatkan masyarakat sebagai
aktor (subyek) pembangunan dan tidak sekedar menjadikan mereka sebagai penerima pasif
pelayanan saja (Suparjan dan Hempri Suyatna, 2003:24).

Sumodiningrat (1999:44) mengemukakan pemberdayaan masyarakat merupakan


upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan
masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan
dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Menurut Margono (2000:123)
pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa
hingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya
tanpa adanya kesan bahwa perkembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal, masyarakat
harus dijadikan subyek bukan obyek. Sedangkan menurut Sulistiyani (2004:77)
pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses pemberian
daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau
belum berdaya.
Kutut Suwondo (2002:74) mengemukakan dalam pemberdayaan atau empowerment
memiliki tujuan, yaitu : Pertama, meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat
dalam penguatan kelembagaan, organisasi sosial ekonomi melalui sosialisasi, pembinaan,
pelatihan keterampilan. Kedua, mewujudkan masyarakat dengan peran keswadayaan dari
masyarakat

sebagai

pelaku

pembangunan.

Ketiga,

meningkatkan

kesejahteraan,

mengurangi masyarakat miskin dengan mengembangkan sistem perlindungan sosial dan


dukungan bantuan sebagai upaya stimulant.
Sumodiningrat (1999) juga mengemukakan indikator keberhasilan yang dipakai
untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat mencakup :
1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin.
2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduuk miskin
dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
keluarga miskin di lingkungannya.

4. Meningkatkan kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya


usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok,
makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi sosial
dengan kelompok lain. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerataan
pendapatan yang ditandai dengan peningkatan pendapatan keluarga miskin yang
mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.
Inti dari pemberdayaan meliputi 3 hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat
potensi atau daya (empowerment), terciptanya kemandirian (Winarni, 1998:75).
Pemberdayaan masyarakat melalui BKM juga meliputi kegiatan penguatan kapasitas dari
masyarakat itu sendiri. Penguatan kapasitas berfungsi sebagai pembangunan yang
membangun sumber daya manusianya melalui pelatihan-pelatihan. Pelatihan-pelatihan
tersebut diberikan oleh BKM seperti pelatihan keterampilan, dan pengelolaan keuangan.
Pemberdayaan

merupakan

proses

pembangunan,

dalam

melaksanakan

pembangunan melalui proses pemberdayaan yang memiliki tahapan-tahapan, antara lain


(Sulistyani, 2004:8) :
1. Tahapan penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli sehingga mereka membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan,
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peranan di dalam pembangunan.
3. Tahapan peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada
kemandirian.

Tahapan pemberdayaan tersebut meerupakan sebuah proses yang diawali oleh


penyadaran pada potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat dikembangkan, dan
pada tahapan selanjutnya merupakan proses di mana msyarakat belajar mengembangkan
potensi yang dimiliki melalui usaha mereka sendiri, dan pada proses yang ketiga
merupakan proses yang masyarakat telah menyadari dan mampu untuk mengembangkan
potensi mereka sehingga mewujudkan masyarakat yang mandiri.
Dalam program pemberdayaan yang dijalankan, keseluruhan proses mulai dari perencanaan
hingga pelaksanaan tidak hanya dikontrol dan dimonopoli oleh pihak BKM, namun
partisipasi masyarakat lebih diutamakan dalam program pemberdayaan.
Pemberdayaan

merupakan

upaya

untuk

memandirikan

masyarakat

lewat

perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat


senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak
yang diberdayakan dan pihak yang memberdayakan (Sumodiningrat, 1999). Dalam proses
belajar untuk mencapai kemandirian di dalam pemberdayan, Sulistiyani (2004)
memberikan

penjelasan

mengenai

tahapan-tahapan

yang

harus

dilalui

dalam

pemberdayaan.
a. tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar serta peduli
sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
b. tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga
dapat mengambil peran dalam proses pembangunan.
c. tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada
kemandirian.

3. Kemitraan
Menurut Sulistiyani (2004), kemitraan secara etimologis berasal dari kata
partnership yang berasal dari suku kata partner yang berarti kawan, sekutu atau mitra.
Secara definisi, kemitraan adalah suatu bentu kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa
saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang
usaha tertentu atau tujuan tertentu sehingga memperoleh hasil yang lebih baik. Kemitraan
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu melalui model-model dalam penerapan
kemitraan itu sendiri. Menurut Sulistiyani (2004), model-model kemitraan terbagai atas
sebagai berikut :
a. Pseudo partnership (kemitraan semu)
Merupakan persekutuan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, namun tidak
sesungguhnya melalukan kerjasama secara seimbang satu dengan yang lain. Bahkan
ada satu pihak yang belum tentu memahami secara benar akan makna sebuah
kerjasama yang dilakukan, dan untuk tujuan apa itu semua dilakukan serta
disepakati. Ada sesuatu yang unik dari semacam kemitraan ini, bahwa kedua belah
pihak atau lebih sama-sama merasa penting untuk melakukan kerjasama, akan tetapi
pihak-pihak yang bermitra belum tentu mengerti dan memahami substansi yang
diperjuangkan dan manfaatnya apa.

b. Mutualism partnership (kemitraan mutualistik)


Merupakan persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek
pentingnya melakukan kemitraan, yaitu saling memberikan manfaat lebih, sehingga
akan mencapai tujuan secara optimal. Berawal dari pemahaman akan pentingnya
melakukan kemitraan, dua organisasi atau kelompok atau lebih yang memiliki status
sama atau berbeda melakukan kerjasama. Manfaat saling silang antara pihak-pihak

yang melakukan kerjasama dapat diperoleh sehingga memudahkan masing-masing


dalam mewujudkan visi dan misinya, dan sekaligus saling menunjang satu dengan
yang lain.
c. Conjugation partnership (kemitraan melalui peleburan atau penggabungan)
Merupakan kemitraan yang dianalogikan sebagai paramecium. Dua paramecium
melakukan konjungsi untuk mendapatkan energi dan kemudian terpisah satu sama
lain dan selanjutnya dapat melakukan pembelahan diri. Bertolak dari analogi
tersebut, maka suatu organisasi atau kelompok-kelompok, perorangan yang
memiliki kelemahan di dalam melakukan usaha atau kegiatan dapat melakukan
kemitraan dengan model ini.
Kemitraan melalui peleburan dan pengembangan merupakan sebuah persekutuan
antara dua pihak atau lebih yang sama-sama memiliki kelemahan di dalam
melakukan usaha atau mencapai tujuannya. Kedua pihak atau lebih dapat
melakukan konjungsi dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing.
Menurut setiawan (2004:33) misi utama dari kemitraan adalah membantu
memecahkan permaslahan ketimpangan dalam kesempatan berusaha, ketimpangan
pendapatan, dan ketimpangan antar wilayah yang dibangun atas landasan saling
membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan fungsi dan
tanggungjawab yang sesuai dengan kemampuan dan proporsi masing-masing
terlibat.
B. Bentuk kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat
Dalam menghadapi tantangan-tantangan pelayanan public, pemerintah perlu
mengetahui berbagai bentuk/pola kemitraan antar pemerintah, pihak swasta, dan
masyarakat. menurut Mustopadidjaja (dalam Suharyanto, 2005 : 98-102) (suharyanto,
hadryanus. 2005. Administrasi public, entrepreneurship, kemitraan, dan reinventing

government. Yogyakarta : media wacana) bentuk kemitraan dapat diidentifikasikan dalam


beberapa tingkat dan satuan yaitu :
1) kemitraan makro. Kemitraan ini merupakan kontribusi yang bersifat antar sektor
pelayanan public. Kemitraan makro ini dapat dilihat dalam lingkup internasional
dan nasional. Dalam lingkup internasional kemitraan diperlukan untuk
menghadapi era globalisasi yang mengarah kepada sitem ekonomi yang membuka
peluang bagi pemerintah Negara maupun untuk membuka kegiatan usaha di
Negara lain.
2) kemitraan sektoral. Merupakan hubungan kerjasama para agen pembangunan
dalam pelayanan public di masing-masing sektor. Pemerintah mempunyai peran
untuk menyediakan dan pihak swasta diberi kesempatan untuk terlibat dalam
pelayanan public, terutama di wilayah yang mempunyai intensitas kebutuhan dan
tingkat pertumbuhan pelayanan public tinggi serta mempunyai kelayakan ekonomi
(menguntungkan) bagi pihak swasta. Untuk meningkatkan kemitraan sektoral,
peranan yang perlu ditempuh oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
a. meningkatkan pelayanan informasi, termasuk prioritas alokasi dana
pemerintah dalam pelayanan public.
b. memberikan perhatian khusus bagi pengembangan sumber daya yang
dikelola oleh masyarakat dalam skala menengah dan kecil, guna menopang
atau memperkuat struktur ekonomi masyarakat.
c. mendorong kemitraan pembiayaan dalam menanggung beban biaya
pembnagunan sarana dan prasarana pelayanan public, terutama di bidang
sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
d. melakukan identifikasi kegiatan-kegiatan pelayanan public yang penting
namun tidak dijangkau atau tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta.
Hasil identifikasi ditindaklanjuti dengan memberikan pelayanan public
seperti kegiatan lainnya.
3) kemitraan regional. Kemitraan ini ditujukan untuk menghadapi kesenjangan dan
mewujudkan pemerataan pembangunan beserta pelayanan publiknya, dengan

mendorong investasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di wilayah


yang belum berkembang. Perhatian khususn diberikan kepada wilayah yang secara
geografis terpencil, minus, kritis, kantong kemiskinan, dan terbelakang.
Menurut setiawan (2002) (setiawan, bakti. 2002. Materi perkuliahan metode dan
teknik perencanaan. Mpkd ugm (setiawan . 2004, kemitraan berbasis governance (studi
pembngunan pasar kasombi bandung. Tesis map ugm))) terdapat empat bentuk kemitraan,
yaitu :
1. contributory partnership (kemitraan melalui kontribus), yaitu suatu kesepakatan
yang mana sebuah organisasi swasta atau public menyetujui memberikan sponsor
atau dukungan, umumnya berupa dana, untuk beerapa kegiatan yang akan
mempunyai sedikit atau sama sekali efek terhadap proses partisipasi. Sementara
kontribusi dana selalu merupakan hal yang esensial bagi suksesnya kegiatan.
2. operational partnership (kemitraan operasional) merupakan jenis kemitraan dengan
peserta atau mitra melakukan pembagian kerja, tidak hanya dalam pengambilan
keputusan. Penekanannya untuk mencapai kesepatakan atas tujuan yang
diinginkan bersama, kemudian bekerjasama untuk mencapainya. Kerjasama ini
dapat begitu tinggi, pihak yang bermitra saling berbagi sumber daya namun bukan
dana dalam jumlah besar. Kekuasaan utama masih dipegang oleh peserta yang
mempunyai sumber dana yaitu oleh lembaga pemerintahan.
3. consultative partnership, yaitu bentuk kemitraan di mana instansi yang bertugas
mengelola sumber daya atau lingkungan secara aktif mencari masukan dari
pereseorangan, kelompok serta organisasi lain di luar pemerintah. Mekanismenya
melalui pembentukan komite, yang dirancang terutama untuk memberikan saran
pada instansi public tentang isu atau kebijakan khusus. Kontrol jelas masih
dipegang instansi public yang mempunyai kebebasan untuk memilih saran yang
diberikan.
4. collaborative partnership, dalam kemitraan ini terjadi pembagian kekuasaan dalam
pengambilan keputusan yang sesungguhnya. Tujuannya untuk mencapai tujuan

yang diterima oleh semua pihak, inforasi, dana dan tenaga saling dipertukarkan.
Dalam kemitraan ini, masing-masing pihak yang bermitra mempunyai otonomi.
Pemerintah

memberikan

beberapa

kekuasaannya

kepada

organisasi

non

pemerintah.
Dalam pelaksanaan program plpbk, pemerintah memiliki peranan yang sangat
menentukan dalam melakukan pembinaan, pelatihan dan pengawasan program plpbk
terutama pada bkm sebagai motor penggerak keberhasilan program. Begitu juga peran
masyarakat yang cukup penting khususnya dalam melaksanakan program dalam
memberikan partisipasinya.
Pemerintah pusat berperan dalam memberikan arahan kebijakan program serta
memfasilitasi terealisasinya dan bantuan dari world bank kepada masyarakat serta
melakukan pembinaan bagi keberlangsungan program melalui pembinaan secara berjenjang
dari struktur pemerintah yang ada di bawahnya hingga ke tingkat kelurahan. Pemerintah
tingkat provinsi dan kabupaten/kota berperan sebagai tim koordinasi pelaksana program
(TKPP), dan penanggung jawab operasional kegiatan (pjok) berada pada tingkat kota. Di
tingkat kecamatan, camat melakukan kontrol dan pengawasan secara umum pelaksanaan
program serta ikut bertanggung jawab atas keberhasilan program plpbk yang berada di
wilayahnya. Pejabat kelurahan berperan untuk memberikan pembinaan sekaligus
mendorong bagi terwujudnya pemberdayaan masyarakat, memberikan fasilitas yang
dibutuhkan bagi terwujudnya kondisi positif bagi pengembangan kegiatan bkm dan ksm/
panitia kemitraan yang ada dalam program, dan melakukan pengawasan kegiatan bkm dan
ksm/ panitia kemitraan yang ada di wilayahnya, serta bertanggungjawab dalam program
tersebut. Peran masyarkat dalam hal ini masyarakat lokal secara keseluruhan diharapkan
bisa berperan penuh untuk aktif dalam proses pemberdayaan, mendukung kegiatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh bkm.
.

Anda mungkin juga menyukai