Anda di halaman 1dari 30

A.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. N
Tanggal Lahir
: 29 November 2015
Usia
: 5 bulan
Alamat
: Imogiri, Bantul
No.RM
: 020393xx
Tanggal Masuk
: 12 Mei 2016
Tanggal pulang
: 16 Mei 2016 ( jam 16.00)
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
- 7 Mei 2016 (H5SMRS)
Anak batuk ngikil disertai demam dengan suhu 38C kemudian dibawa berobat ke
-

bidan dan diberi obat batuk dan demam.


8 Mei 2016 (H4SMRS)
Anak masih demam naik turun. Malam harinya jam 20.30 anak demam 40C,
orangtua membawa anak ke puskesmas tetapi menurut orangtua tidak mendapat
penanganan yang baik sehingga orangtua menelepon saudara yang merupakan tenaga

medis kemudian diberikan penurun panas melalui dubur.


11 Mei 2016 pagi (H1SMRS)
Anak diare cair sebanyak 4x, muntah, perut kembung. Diare tidak disertai lendir dan

darah.
12 Mei 2016 siang
Anak kejang selama 20 menit disertai demam 39C. Kemudian os dibawa ke RS Nur
Hidayah dan mendapatkan pertolongan pertama untuk kejang. Selanjutnya dirujuk ke
RS. Bethesda.

C. PERJALANAN PENYAKIT

D.

H5SMRS

H4SMRS

Demam
Batuk
Diberi obat
batuk dan
demam

Demam sempat
turun, kemudian
naik hingga
40C.
Diberi obat
penurun panas

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat mondok (-)
Riwayat kejang sebelumnya (-)
E. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan

H1SMRS
(Malam)

HMRS
(Siang)

BAB cair 4x
Muntah
Perut Kembung

Demam 39C
Kejang 20
menit
Dibawa ke RS
Nur Hidayah
Rujuk RSB

- Tidak ada riwayat anggota keluarga yang semasa kecil pernah mengalami kejang
yang serupa.
- Lingkungan sekitar terdapat tetangga pasien sebanyak 2 orang terkena demam
berdarah.
F. Riwayat Alergi
Tidak memiliki riwayat alergi tertentu
Obat ( - )
Makanan ( - )
Susu Sapi ( - )
Suhu & debu ( - )
G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- Pada saat ibu mengandung 6 bulan, ibu mengalami hiperemesis yang mengharuskan
dirawat di rumah sakit. Ibu tidak memiliki riwayat diabetes melitus dan hipertensi.
- Anak lahir cukup bulan (aterm) pada usia kehamilan 36 minggu, lahir spontan dan
langsung menangis ditolong oleh bidan dengan berat badan saat lahir 3,4 kg.

H. Riwayat Menyusui dan Pemberian MPASI


Mendapatkan ASI ekslusif sampai saat ini (os usia 5 bulan)
Belum dilakukan pemberian MPASI
I. Riwayat Tumbuh Kembang
Mengangkat kepala -> 3 bulan
Posisi telentang dan telungkup -> 5 bulan
Kesan tumbuh kembang normal.
J. Riwayat Imunisasi
Orang tua menyatakan pasien sudah mendapatkan imunisasi dasar sampai berusia 5
bulan
Hepatitis B : 3 kali (Pada usia 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan)
BCG
: 1 kali (Pada usia 1 bulan)
DPT
: 2 kali (Pada usia 2 bulan dan 4 bulan)
Kesan Imunisasi Dasar sampai usia 5 bulan : belum lengkap

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran

: buruk
: soporos coma

Vital Sign
- Nadi : 120 kali/menit
- RR : 36 kali/menit
- Suhu : 37,7 derajat C
- BB : 6 kg

STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, ubun-ubun cekung, SI -/-, CA -/-, mata cekung (+),
mukosa bibir kering
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) , massa (-) , nyeri tekan (-).
Thorax
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

: Retraksi (-), pengembangan dinding dada simetris


: Nyeri tekan (-)
: Sonor di kedua lapang paru
: Rhonki +/+, wheezing -/-, suara jantung S1-S2 reguler

Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi

: Tak tampak distensi


: Bising usus meningkat
: Perkusi redup
: Turgor kulit menurun, hepar membesar 3 jari dibawah arcus costae,
undulasi (+) ascites

Ekstremitas

: Akral dingin, perabaan nadi lemah, capilary refil < 2 dtk, petekie (+)
lengan kanan

Tanda Meningeal
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Kernig (-)
DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Kejang demam kompleks
2. Dengue Shock Syndrome
3. Diare Cair Akut dengan dehidrasi berat

DIAGNOSIS BANDING
1. Ensefalitis
2. Meningitis
3. Meningoencephalitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PDL 12/05/2016

Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Segment neutrofil
Limfosit
Monosit
Hematokrit
Eritrosit
RDW
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Golongan Darah

Hasil
11.0 g/dl
14.74 ribu/mmk

Nilai Normal
10.4 15.6
6.0 18.0

0.0 %
0.1 %
50.0 %
27.1 %
13.8 %
34.2 %
4.50 juta/mmk
13.0 %
74.5 fL
24.0 pg
32.2 g/dl
12 ribu/mmk
B

15
01
30 40
48 78
1 11
34.0 48.0
3.70 5.20
11.5 14.5
78.0 102.0
23.0 31.0
32.0 36.0
150 - 450

**LL

PEMERIKSAAN URIN 12/05/2016


Pemeriksaan
Warna
Berat Jenis
pH
Glukosa
Protein
Lekosit Pucat
Sel Gliter
Leukosit gelap
Eritrosit
Epitel
Ca oxalat
Bakteri
Jamur

Hasil

Nilai normal

Kuning
1.015
6.0
Negatif
1+
Negatif
Negatif
1+
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

1.003-1.030
4.5-8.0
Negatif
Negatif

KIMIA DARAH
Elektrolit
Natrium

Hasil
131.6

Satuan
Mmol/L

Nilai rujukan
136 146

Kalium
Clorida
Calcium

3.78
97.4
7.2

L
L

Mmol/L
Mg/dl
Mg/dl

3.5 5.1
98.0 107.0
9.0 11.0

IMUNOLOGI/SEROLOGI
Anti Dengue IgG/IgM
Anti Dengue IgG
Anti Dengue IgM

Hasil
Negatif
Positif

Nilai rujukan
Negatif
Negatif

Pemeriksaan Trombosit dan Hematokrit


(13 Mei 16 Mei 2016)
Tanggal
Trombosit
Hematokrit

13/05
21.000
31.8

CT SCAN

24/05
32.000
30.4

15/05
97.000
34.4

16/05
199.000
34.3

GRAFIK SUHU

38
37.5
37
36.5
36
35.5
35

DIAGNOSIS
1.
2.
3.
4.

Kejang Demam Kompleks (KDK)


Dengue Shock Syndrome (DSS)
Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Berat
Gangguan Elektrolit

TATALAKSANA

Oksigenasi O2 2 - 4L/menit
Resusitasi Cairan dengan Infus RL 10cc/kgBB/jam
BB : 6 kg 60cc/jam
Tetesan Mikro
60 cc x 60 tetes : 60 menit 60 tpm
Penanganan Kejang, belum terpasang IV

Diazepam rektal dengan BB < 10 kg 5 mg. Selanjutnya diberikan

Inj.Phenobarbital 30 mg
Anti Piretik
Paracetamol 10 mg/kgBB 60 mg (puyer)
Penanganan peningkatan TIK
Inj. Dexamethasone 1 mg/kgBB 6mg/kgBB
Rencana transfusi plasma (FFP) 10-20ml/kgBB

EDUKASI
Saat di Rawat Inap
Menjelaskan tentang kondisi sakitnya pasien kepada orang tua
Menjelaskan alasan pasien harus dirawat intensif kepada orang tua
Saat akan Pulang

Menjelaskan untuk kontrol sesuai dengan jadwal yang ditentukan


Menjelaskan untuk selalu memantau kondisi anak apabila terdapat demam berulang

atau gejala lainnya.


Menjelaskan kepada ibu untuk selalu menjaga kesehatan agar dapat memberikan ASI
yang cukup kepada anak.

ENSEFALITIS PADA ANAK


Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya
disebabkan oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga
menyebabkan masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.
Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer (acute viral ensefalitis)
disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan ensefalitis
sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus
saat itu.
ETIOLOGI
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya
bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan
tersering ialah virus. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis
terbanyak adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern and Western Equine, La Crosse,

St. Louis encephalitis. Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (Coxsackie dan
Echovirus), parotitis, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus (CMV).
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah :
1.
Infeksi virus yang bersifat epidemik
a.
Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b.
Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis,
Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer
encephalitis, Murray valley encephalitis.
2.
Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3.
Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru
Japanese B encephalitis yang ditemukan.
PATOGENESIS
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus
dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke
dalam tubuh virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1.
Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan
2.

atau organ tertentu.


Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian

3.

menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.


Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke

4.

organ lain.
Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput
lendir dan menyebar melalui sistem saraf.

MANIFESTASI KLINIS
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran menurun.
Manifestasi klinis tergantung kepada :
1.
Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya : virus
Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri, terutama lobus
temporalis. Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2.
Patogenesis agen yang menyerang.
3.
Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.

Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan


hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar, sebelum kesadaran
menurun, sering mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi,
terdapat jeritan dan perasaan tak enak pada perut.Kejang-kejang dapat bersifat umum
atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala
serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama,
misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala batang otak meliputi
perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola pernafasan. Tanda
rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis.Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,
rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus.Rabies
memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis,
koma pada stadium paralisis. Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai
bentuk akut atau subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang
berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah,
perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang
dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun
sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien
yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang
berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus
dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema.
DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan.
Mulainya sakit biasanya akut, walaupun tanda-tanda dan gejala sistem saraf sentral
(SSS) sering didahului oleh demam akut non spesifik dalam beberapa hari. Pada anak,
manifestasi klinik dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia, sedangkan pada bayi
dapat berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri kepala paling sering pada frontal atau
menyeluruh, remaja sering menderita nyeri retrobulbar. Biasanya terdapat gejala
nausea dan muntah, nyeri di leher, punggung dan kaki, dan fotofobia. Masa prodromal
ini berlangsung antara 1-4 hari kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat
ringannya tergantung dari keterlibatan meningen dan parenkim serta distribusi dan

luasnya lesi pada neuron. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah, perubahan
perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis
fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda
rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan sampai meningen. Selain itu, dapat
juga timbul gejala dari infeksi traktus respiratorius atas (mumps, enterovirus) atau
infeksi gastrointestinal (enterovirus) dan tanda seperti exantem (enterovirus, measles,
rubella, herpes viruses), parotitis, atau orchitis (mumps atau lymphocytic
chotiomeningitis).
2. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan
LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin
berguna untuk memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah satu
minggu.Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas rendah pada lobus temporal,
namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat hari setelah onset.CT-scan tidak
membantu dalam membedakan berbagai ensefalitis virus.
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium
merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu
peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang
terinfeksi dan meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi herpes
virus memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral
dan bilateral.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas lambat
bilateral).Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda EEG:
gelombang delta aktif yang terus-menerus, gelombang delta yang disertai spike
(gelombang paku), dan pola koma alpha. Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG
ditandai adanya gelombang delta yang difus dan gelombang paku tidak menyolok
pada fase akut.Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada
daerah tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi apabila pada CT-scan dan EEG tidak
didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda klinis fokal.
Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah
lobus temporalis
yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simpleks.
3. Laboratorium

Biakan dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar
mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau jaringan otak ;
dari feces untuk jenis enterovirus,sering didapatkan hasil positif.
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan

pleositosis

(yang

didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm3 pada 95% pasien. Pada 48
jam pertama infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel polimorfonuklear,
kemudian berubah menjadi limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa CSS
biasanya dalam batas normal dan jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase chain
reaction) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan serebrospinal
biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody. Pemeriksaan PCR
mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil
postif pada 98% kasus yang telah terbukti dengan biposi otak.Tes PCR untuk
mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan di California.PCR digunakan untuk
mendeteksi virus-virus DNA.Herpes virus dan Japenese B encephalitis dapat
terdeteksi dengan PCR.
PENATALAKSANAAN
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien
koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara
enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap
gangguan asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila
pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial
yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan
dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang baik berupa
drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada pasien ensefalitis yang
mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorokan serta adanya
paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien herpes ensefalitis (EHS)
dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari.
Pada beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes

ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini
Acyclovir IV telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat
pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari.

DENGUE SHOCK SYNDROME


Dengue Hemoragic Fever adalah penyakit demam akut yang ditandai dengan demam
yang tinggi, uji tourniquet positif, manifestasi perdarahan lain berupa petekie, ekimosis,
purpura, perdarahan mukosa, hematemesis atau melena, hepatomegali, trombositopenia,
hemokonsentrasi dan perembesan plasma. Bila kriteria diatas disertai manifestasi kegagalan
sirkulasi berupa nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi (sesuai
umur), kulit dingin dan lembab, dan pasien tampak gelisah maka disebut sebagai DSS.
Virus Dengue merupakan penyebab DHF dan DSS. Virus ini termasuk group B
Arthropod borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Serotipe
Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan nampak berhubungan dengan kasus berat.
Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari sebelumnya
merupakan faktor risiko terjadinya manifestasi DHF yang berat atau DSS. Urutan infeksi
serotipe juga merupakan suatu risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus Den-1 yang
disusul Den-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk
urutan virus Den-3 yang diikuti oleh Den-2 adalah 6% dan Den-4 yang diikuti oleh Den-2
adalah 2%.
Manifestasi klinis DHF ditandai oleh 4 hal, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama
perdarahan kulit, hepatomegali, dan seringkali disertai kegagalan sirkulasi. Patofisiologi
yang penting dan menentukan derajat penyakit adalah

adanya perembesan plasma

hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan trombositopenia.


Kedua jenis kelainan laboratorium tersebut selalu ada pada perjalanan penyakit DHF.
Setelah masa inkubasi 4-6 hari, penyakit ini akan diikuti oleh demam mendadak
tinggi disetai facial flushing dan sakit kepala. Kehilangan nafsu makan, muntah, dan nyeri
pada daerah epigastrium, sering pula disertai nyeri pada perut di bawah lengkung iga sebelah
kanan. Suhu mendadak meningkat sehingga mencapai 40 oC atau lebih. Pada DHF terdapat
perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan

darah vena. Petekie halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan
pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan
yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjunctiva kadang-kadang
ditemukan. Pada masa konvalesen seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan / telapak
kaki.
Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba
memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the
immunological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda
kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi
cepat dan halus. Anak tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam fase syok. Nyeri di
daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan
gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai
prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi halus, cepat, kecil
sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang dan tekanan
sistolik menurun sampai 80mmHg atau lebih rendah .
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Jumlah trombosit <100.000/L ditemukan diantara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma. Hasil laboratorium lain yang sering
ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan urea nitrogen
darah meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit
bervariasi antara leukopenia dan leukositosis. Kadang juga ditemukan albuminuria yang
bersifat sementara.

DIAGNOSA
Dengue Shock Syndrome ditegakkan berdasarkan temuan klinis laboratorik dan radiologi.
Perkembangan menjadi DSS terjadi pada hari ketiga sampai hari keenam dari mulai demam,
dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:
1. 4 kriteria DHF: a. Demam akut

b.

Manifestasi pendarahan : epistaksis, hematemesis, melena dan


pendarahan gusi.

c. Trombositopeni ( < 100.00 / mm3)


d.

2.

Tanda-tanda kebocoran plasma

Kegagalan sirkulasi berupa :


Denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, tekanan darah 20 mmHg, kulit lembab dan
dingin, perubahan status mental, tanda-tanda syok yang jelas terlihat.
WHO tahun 1999 menetapkan diagnosis DHF berdasarkan beberapa gejala klinis dan
laboratorium, yaitu:

Klinis :

1 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,

terus menerus selama 2-7 hari.


2. Pendarahan (termasuk uji bendung) seperti : epistaksis, pendarahan
gusi, hematemesis, hematuria, melena dan hepatomegali.
3. Tanda-tanda syok : nadi kecil atau lemah, cepat dengan tekanan nadi
<20 mmHg, hipotensi disertai gelisah

Laboratorium : a. Trombositopenia (< 100.000 / mm3)


b. Hemokonsentrasi (kadar Hematokrit lebih dari 20% dari normal).
c. Dengue blot kit IgG dan IgM
d. Rotgen thorax didapatkan efusi pleura (foto lateral dekubitus)
e. USG abdomen didapatkan asites
Walaupun tidak semua kriteria di atas dapat ditemukan, naum dengan ditemukan 2

gejala klinis dan 2 temuan laboratorium maka diagnosis DSS sudah bisa ditegakan.
A. Penatalaksanaan
DSS merupakan keadaan darurat dimana diperlukan tindakan yang cepat dan
pengawasan ketat terhadap kondisi pasien. Pada syok terjadi kehilangan plasma yang cepat
dan masif akibat terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga perlu diberikan cairan
pengganti yang adekuat.
Penggantian volume plasma segera

Pemberian cairan pengganti dilakukan segera pada awal terjadinya syok.


Keterlambatan maupun kegagalan terapi cairan dapat memperberat syok dan terjadinya
asidosis sedangkan pemberian cairan yang overload dapat menimbulkan efusi pleura,
kompensasi respiratorik dan gagal jantung kongestif. Kedua hal ini dapat menyebabkan
disfungsi organ multisistem yang berakhir dengan kematian.
Cairan yang diberikan sebagai pengganti kehilangan plasma dalam mengatasi syok
sesuai rekomendasi WHO adalah :
1.

Ringer Laktat atau Ringer Asetat

2.

Dextrosa 5 % (1:2 atau 1:1 dengan cairan fisiologis)

3.

Larutan koloid berupa plasma darah, Dextran 40% atau Albumin 5 %

Koreksi elektrolit dan kelainan metabolik


Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai. Oleh
karena itu kadar elektrolit dan analisa gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur
terutama pada kasus dengan renjatan berulang.
Pemantauan kadar elektrolit dan analisa gas darah ini berguna dalam koreksi elektrolit
dan mengetahui derjat asidosis. Bila asidosis tidak dikoreksi, maka akan terjadi DIC dan
menimbulkan komplikasi lebih lanjut.
Terapi Oksigen
Terapi oksigen 2 liter permenit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat pula pada
anak seringkali menjadi semakin gelisah bila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah
Darah yang sesuai dan telah di cross-match harus dipersiapkan sebagai tindakan
pencegahan bagi semua pasien syok, tapi transfusi darah hanya diindikasikan pada kasus
dengan manifestasi perdarahan yang nyata. Perdarahan internal mungkin sulit diketahui pada
keadaan hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit, misal dari 50% ke 40% tanpa klinis yang
nyata walaupun telah mendapat terapi cairan adekuat, merupakan tanda nyata adanya
perdarahan internal.
Transfusi dengan whole blood merupakan tindakan yang lebih baik, dan jumlah yang
diberikan melebihi konsentrasi sel darah merah normal. Fresh frozen plasma diindikasikan
pada kasus dimana koagulopati menyebabkan perdarahan masif. DIC biasanya terjadi pada
syok yang berat dan sangat berperan pada terjadinya perdarahan masif atau syok yang letal
menyebabkan kematian. Pemeriksaan hematologi perlu dilakukan (protrombin time, partial
tromboplastin time dan trombin time) pada semua pasien dengan syok untuk mengetahui
onset dan berat ringannya DIC.
Pasien dengan kegagalan hepar akut harus diberikan cairan IV untuk mencegah
perpindahan cairan yang dapat menyebabkaan edem otak dan ensefalopati. Koloid diberikan
secepatnya untuk mengoreksi kehilangan plasma. Terapi cairan dan elektrolit dapat mencegah
koma hepatikum yang ringan. Pada kasus dengan penurunan kesadaran yang progresif, dapat
tertolong dengan pemberian transfusi darah.

Monitoring
Pengawasan tanda vital dan pemeriksaan hematokrit sangatlah penting dalam
mengevaluasi pengobatan. Bila pasien mengalami tanda-tanda syok, pasien harus terus
dipantau hingga kemungkinan terjadinya bahaya kematian pada pasien tidak ditemukan lagi.
Hal-hal yang perlu diawasi secara rutin antara lain :
1. Pasien dirawat di ruangan dengan pengawasan intensif.
2. Pemerikasaan tekanan darah, nadi dan nafas setiap 30 menit.
3. Kadar hematokrit atau hemoglobin tiap 2 jam pada 6 jam pertama, kemudian
dianjutkan dengan pemeriksaan setiap 4 jam.
4. Keseimbangan cairan harus terus dijaga. Perlu dilakukan evaluasi terhadap jenis
cairan, frekwensi dan jumlah cairan yang diberikan apakah cukup adekuat untuk
mengatasi syok. Frekuensi dan jumlah urin harus diperhatikan dalam menilai
keseimbangan cairan ini dan bila perlu dilakukan pemasangan kateter.
5. Pemeriksaan analisa gas darah bila keadaan pasien terlihat memburuk.
Kriteria Pemulangan Pasien DHF / DSS :
Beberapa kriteria pemulangan pasien DHF/DSS yaitu :
1. Bebas demam > 24 jam tanpa menggunakan antipiretik.
2. Pemulihan nafsu makan.
3. Gambaran klinis terdapat perbaikan nyata
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari pemulihan syok
6. Hitung trombosit >50.000/mm3 dan terdapat peningkatan
7. Tidak ada gagal nafas

B. Prognosis
Pemantauan terhadap kejadian syok pada DHF selama perawatan merupakan hal
paling penting pada tatalaksana DHF. Prognosis penderita tergantung dari beberapa faktor :
1.

Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat
tidaknya penanganan

Waktu yang diperlukan untuk mengatasi syok menggambarkan prognosis. Makin lama
waktu yang diperlukan untuk mengatasi syok maka semakin buruk prognosis yang
didapatkan.
2.

Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama pemberian infus
dimulai. Bila syok dapat diatasi dengan pemberian cairan secara cepat dalam waktu
jam maka prognosis yang didapatkan lebih baik.

3.

Renjatan yang terjadi selama panas masih berlangsung akan memperburuk prognosis.

4.

Tanda-tanda serebral yang akan memperburuk prognosis.

DIARE CAIR AKUT DENGAN DEHIDRASI BERAT


Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam
dengan/tanpa darah dan/atau lendir. Diare cair akut berlangsung kurang dari 14 hari.
Patofisiologi

1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan villi
gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida disel epitel berlangsung terus
atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam
rongga

usus.

Isi

rongga

usus

yang

berlebihan

akan

merangsang

usus

mengeluarkannya sehingga timbul diare.


3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare
pula. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikro organisme berkembang biak
secara berlebihan (tumbuh lampau atau overgrowth) yang kemudian dapat merusak
mukosa usus, menimbulkan gangguan digesti dan absorpsi, yang kemudian
menimbulkan diare. Gangguan ini dapat terjadi karena rangsangan hormon
prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat memberikan efek langsung
sebagai diare. Serta pengaruh enterotoksin staphilococcus maupun kholera atau
karena ulkus mikro yang invasif oleh Shigella atau Salmonella.

MANIFESTASI KLINIS
Pada Diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut
1. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekwensi lebih dari 3kali sehari
2. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
3. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
4. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran, rasa
haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu ubun-ubun besar
cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, kering atau
tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. Jangan lupa menimbang berat badan.

KRITERIA PENILAIAN DEHIDRASI

Parameter

Ringan

Jenis Dehidrasi
Sedang

Berat

Kehilangan BB pada
bayi
Kehiangan BB pada
anak
Nadi
Tekanan darah

5%

10%

15%

3-4%
normal
normal

10%
sangat meningkat
ortostatik sampai
syok

Keadaan umum
Rasa haus
Mukosa
Air mata
Ubun ubun besar

normal
ringan
normal
ada
normal

Vena jugularis

tampak

6-8%
meningkat ringan
normal untuk ortostatik,
> 10 mmHg turun
gelisah, haus sampai
letargi
sedang
kering
menurun
normal sampai cekung
tak tampak kecuali
dengan
tekanan supraklavikular

Kulit

cubitan cepat
kembali

Berat jenis urin

> 1.020

cubitan lambat kembali


< 2-4 detik
> 1.020, oligo uri

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tinja
1. Dapat disertai darah atau lendir
2. PH asam/basa
3. Leukosit > 5/LBP
4. Biakan dan test sensitivitas untuk etiologi bakteri/ terapi
5. ELISA (bila memungkinkan, untuk etiologi virus)

sangat gelisah
sangat/ tidak bisa Minum
sangat kering
tidak ada, mata cekung
cekung sekali
tak tampak walau dengan
tekanan
supraclavikular
cubitan sangat lambat
kembali
> 4 detik, dingin, sianosis
oligouri sampai anuri

PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE CAIR AKUT


Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru kemudian
menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:
1. Rehidrasi
2. Dukungan nutrisi
3. Supplement zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
A. Tanpa Dehidrasi (Terapi A)
Cairan rehidrasi oralit dengan diberikan 5-10 mL/kgBB setiap diare cair atau
berdasarkan usia,

usia < 1 tahun sebanyak 50-100 mL

usia 1-5 tahun sebanyak 100-200 mL

usia > 5 tahun sebanyak 150 300 mL

Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama. Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri
oralit atau air matang sebagai tambahan. Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu
yang biasa diminum dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air
tajin, air matang, dsb). Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan
dilanjutkan sedikit demi sedikit.
B. Dehidrasi Ringan Sedang (Terapi B)

Cairan rehidrasi oral diberikan sebanyak 75 mL/kgBB dalam 3 jam, namun bila berat
badan tidak diketahui :Rehidrasi parenteral (intravena) diberikan bila anak muntah setiap
diberi minum. Jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan.

Berat badan 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari

Berat badan 10-15 kg : 175 mL/kgBB/hari

Berat badan > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari


Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan sedikit demi sedikit

Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan air masak atau ASI.
Beri oralit sesuai diare tanpa dehidrasi bila pembengkakan telah hilang.
Setelah 3 - 4 jam, nilai kembali keadaan anak kemudian pilih rencana terapi lanjutan sesuai
kondisi anak.
Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah.
Bila ibu pulang sebelum rencana terapi selesai
- Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam 3
- Berikan oralit 6 bungkus untuk persediaan di rumah
- Edukasi perawatan anak di rumah

C. Dehidrasi Berat (Terapi C)

jam di rumah.

Pemberian Zinc
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan
diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.
Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI,
sesudah larut berikan pada anak diare.
Bila anak muntah sekitar setengah jam setelah pemberian obat Zinc, ulangi pemberian
dengan cara memberikan potongan lebih kecil dilarutkan beberapa kali hingga satu dosis
penuh.

Nutrisi
Berikan ASI dan makanan sesuai umur tetap diberikan untuk mencegah kehilangan
berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang.
Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x
sehari), Rendah serat, buah buahan diberikan terutama pisang. (mengandung Kalium)
Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk
membantu pemulihan berat badan.

Antibiotik
Diare berdarah dianjurkan untuk diobati sebagai shigellosis dan diberi antibiotic cefixime 1,5
mg 3 mg/ kg BB/ 2x sehari selama 5 hari. Apabila terdapat amoeba vegetative maka
diberikan metronidazole dengan dosis 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari.

Edukasi
Memberitahukan ibu/pengasuh cara memberikan cairan dan obat di rumah
Motivasi pemberian ASI
Pemberian makanan pendamping ASI dengan benar
Menjaga kebersihan sehari hari seperti menggunakan air bersih, mencuci tangan sebelum
menyiapkan makanan bayi, membuang tinja bayi pada jamban, dan lain lain.

Dehidrasi Hiponatremik dan Hiponatremia


Diagnosis hiponatremia harus dibedakan pada kontek hipovolemia, euvolemia
atau hipervolemia untuk menyatakan apakah rendahnya kadar Natrium benar benar
diikuti kadar Na+ tubuh yang rendah. Gejala dan tanda hiponatremia berhubungan
dengan berat dan cepatnya penurunan kadar Na+ serum. Gejala di sistema syarat
pusat meliputi apatis, mual, muntah, sakit kepala, kejang atau koma. Sedangkan gejala
muskuloskeletal berupa kramp dan lemah. Jadi bayi atau anak dengan dehidrasi
hiponatremik tampak sakit berat, karena kehilangan cairan bersama hiponatremia
yang menyebabkan kegagalan sirkulasi karena pengurangan volume cairan
ekstraseluler yang tidak seimbang. Jika osmolilalitas serum turun maka air akan
masuk kedalam sel menyebabkan disfungsi muskuloskeletal dan sel otak akan
mengalami udem. Otak akan beradaptasi terhadap hiponatremia dengan mendorong
cairan interstisiil kedalam cairan cerebrospinal juga dengan mengubah larutan seluler
terutama dengan kalium dan asam amino. Hal yang penting untuk diketahui pada
keadaan ini adalah bahwa proses rehidrasi jangan terlalu cepat melebihi kemampuan
otak mengatur larutannya. Oleh karena itu pada dehidrasi hiponatremia koreksi
Natrium+ plasma tidak boleh melebihi 10-12 mEq/L perhari untuk menghindari
pertukaran cairan.
Hiponatremia hipovolemia disebabkan terutama karena diare dan muntah
infeksi pada gastroenteritis karena virus. Sedangkan penyebab lain adalah kehilangan
cairan perkutaneus seperti asites, luka bakar, dan peritonitis. Euvolemia hiponatremia
terjadi pada sindrom karena kelainan sekresi antidiuretik hormon (ADH).
Hiponatremia hipervolemia disebabkan oleh keadaan yang berhubungan dengan udem
seperti pada nefrosis, gagal jantung, sirosis dan gagal ginjal. Pengelolaan dehidrasi
hiponatremik didahului dengan pengelolaan dehidrasi secara umum kemudian
dilanjutkan dengan penanganan hiponatreminya dengan menambahkan cairan yang
mengandung garam untuk mengkoreksi kekurangan Na+. Jumlah Na+ yang diberikan
adalah 10-12 mEq/L perhari dan jika perlu 15 mEq/L per hari pada hiponatremia yang
berat.
Rumus kebutuhan Na+ sebagai berikut:
(Kadar Na+ serum kadar Na+ sekarang) x 0.6 x berat badan dalam kg
Perlu ditambahkan Na+ rumatan 3 mEq/L perhari dalam larutan dekstrose 5%. Untuk
kadar Na+ 120-130 mEq/L, jumlah ini harus diberikan dalam waktu 24 jam. Untuk
kadar Na+ dibawah 120 mEq/L, rehidrasi seharusnya diberikan beberapa hari sampai

Na+ mencapai 130 mEq/L dengan ketentuan 10 mEq/hari (misalnya 2 hari untuk
kadar Na+ 110 mEq/L) ditambah kebutuhan Na+ rumatan. Gejala nyeri kepala, letargi
dan disorientasi harus segera ditangani untuk menghindari gejala lebih berat seperti
kejang dan koma akibat perpindahan cairan kedalam sel otak. Pada kasus dengan
gejala yang sangat menonjol koreksi Na+ sangat dibutuhkan dengan cepat. Pemberian
garam hipertonik seperti salin 3% perlu diberikan untuk menaikkan kadar Na 1-2
mEq/ L dalam waktu 1 jam atau mencapai normal dalam waktu 8 jam.

Dehidrasi Hipernatremik dan Hipernatremia


Dehidrasi hipernatremik terjadi apabila jumlah cairan yang keluar lebih
banyak dibanding larutannya atau Na+. Sebetulnya kadar Natrium+ tubuh mungkin
naik atau normal atau bahkan turun, seperti pada hiponatremia, kadar Natrium+ serum
tidak menggambarkan kadar Natrium+ tubuh. Hipernatremia menyebabkan plasma
menjadi
hipertonik, sehingga badan akan merespon dengan mengeluarkan ADH dengan
merangsang rasa haus.
Individu yang tak bisa mengeluarkan atau merespon ADH akan cenderung
mengalami hipernatremia. Gejala yang timbul adalah penurunan kesadaran seperti
letargi atau bingung, iritabel seperti berkedipan, refleks meningkat atau bahkan
kejang, kadang-kadang disertai demam dan kulit teraba lebih tebal.
Hipertonik ekstrasel akan menyebabkan air akan keluar dari sel dan sel akan menjadi
lebih kecil ukurannya. Di otak keadaan ini akan menyebabkan berkerutnya jaringan
arahnoid sampai terjadi perdarahan subarahnoid, intradural atau subdural. Apabila
keadaan hipertonik berlanjut maka sel otak akan beradaptasi dengan mengatur
osmolar intraselluler yang disebut proses produk osmolar idiogenik. Proses
menurunkan gardien osmolar ekstraseluler ke intraseluler dapat melindungi sel dari
penyusutan atau berkerut. Untuk mencegah terjadinya udem otak pada saat dilakukan
koreksi plasma hipertonis, perlu diketahui bahwa peralihan osmoler intraseluler
lambat. Oleh karena itu koreksi hipernatremia harus dilakukan perlahan lahan.
Hipernatremia berat ( Na+ > 160 mEq/L) bisa menyebabkan sekuele (sisa
gejala) yang permanen dengan mortalitas yang tinggi mencapai 10%. Diare yang
tadinya iso atau hiponatremia bisa berkembang menjadi dehidrasi hipernatremia
apabila diikuti dengan panas yang lama, anoreksia, muntah dan masukan cairan yang
tidak adekwat. Pada bayi prematur dengan kemampuan mengatur pemasukan air yang
masih kurang, fungsi ginjal belum sempurna disertai dengan infeksi saluran cerna

serta malabsorpsi sering terjadi hipernatremia. Pada pengelolaan pasien hipovolemia


dengan
hipernatremia pada saat awal dibutuhkan salin normal atau ringer laktat untuk
mengembalikan sirkulasi efektif volume plasma. Albumin 5% atau plasma dapat
dipakai juga. Pasien dengan hipovolemia dan hipernatremia membutuhkan larutan
hipotonik yang terdiri dari garam untuk mengembalikan kadar Na+ 2-5 mEq/kg berat
badan dan mulai dengan rumatan Na+ (3mEq/kg Na+) dalam cairan terdiri dari 20
sampai 40 mmol/L KCl dan 5% glukosa. Untuk kadar Na+ 150-160 mEq/L, maka
volume cairan yang akan diberikan harus dalam periode 24 jam. Osmolaritas cairan
ekstraseluler akan turun lebih cepat dibandingkan dengan otak yang melakukan
osmoler idogenik untuk melindungi osmolaritas intraseluler, maka koreksi Natrium+
tidak boleh melebihi 10 mEq/ L perhari. Untuk kadar Na+ serum > 160 mEq/L, maka
rehidrasi harus dibagi dalam beberapa hari untuk menurunkan kadar Na+ secara 150
mEq/L dengan pemeriksaan 10 mEq/L perhari. Misalnya kadar Na+ 170 mEq/L maka
diperlukan 2 hari.

REFLEKSI KASUS
ENSEFALITIS
DENGUE SHOCK SYNDROME
DCA DENGAN DEHIDRASI BERAT
GANGGUAN ELEKTROLIT

Disusun Oleh :
Gabriela Adventia Utami
42100040
Dosen Pembimbing Klinik
dr. Margareta Yuliani, M.Sc., Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
2016

Anda mungkin juga menyukai