Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata adalah salah satu organ indera yang sangat kompleks dan memiliki fungsi untuk
penglihatan. Mata adalah salah satu organ vital manusia yang tanpanya manusia tidak dapat
beraktivitas dengan baik. Seiring bertambahnya usia, tingkat produktivitas seseorang dan faktor-
faktor predisposisi lainnya dapat mempengaruhi kondisi atau keadaan pada mata.
Pada praktikum fisiologi mata ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui berbagai macam
pemeriksaan pada mata yang meliputi pemeriksaan buta warna, visus, anomali refraksi, dan
kelainan refraksi. Percobaan ini bertujuan untuk penegakan diagnosis dalam proses terapi pada
gangguan mata atau kelainan mata yang diderita oleh pasien.

B. Tujuan Percobaan
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui cara pemeriksaan visus, anomali refraksi, dan
koreksi anomali refraksi
BAB II
DASAR TEORI

A. Tajam Penglihatan atau Visus


Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan
pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam
penglihatan.
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu snellen dan
bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan kemampuan melihat jumlah jari
(hitung jari) ataupun proyeksi sinar.
Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan
kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu. Kemampuan mata
melihat benda atau secara rinci sebuah objek secara kuantitatif ditentukan dengan 2 cara :
1. Sebanding dengan sudut resolusi minimum (dalam busur menit). Ini merupakan tajam
penglihatan resolusi. Disebut juga resolusi minimum tajam penglihatan.
2. Dengan fraksi snellen. Ini ditentukan dengan menggunakan huruf atau cincin landolt atau
objek ekuivalen lainnya.
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan mata
membaca huruf-huruf sebagai ukuran pada jarak baku untuk kartu. Hasilnya dinyatakan dengan
angka pecahan seperti 20/20 jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut.
Tajam penglihatan normal biasanya bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau 20/20
kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti
penerangan umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat
merubah tajam penglihatan.
Dikenal tajam penglihatan perifer merupaka penglihatan tepi yang dilaksanakamn terutama
oleh sel batang yang menempati retina bagian perifer. Tajam penglihatan perifer merupakan
kemampuan menangkap adanya benda, gerakan, atau warna objek di luar garis langsung
penglihatan.
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap
mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian
kiri lalu mencatatnya.
Dengan gambar kartu snellen ditemukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat
membedakan 2 titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh
huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin jauh
huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus
tetap 5 menit.
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter. Karena pada
jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.
( Ilyas, 2004)
B. Buta Warna
Beberapa lapis dibelakang permukaan retina terdapat kombinasi sel-sel batang dan kerucut
yang sangat berperan dalam fungsi penglihatan mata. sel kerucut (kone) bersifat fotopik dan
berperan di siang hari dan peka terhadap warna, sedangkan sel batang (rod) adalah skotopik, dan
peka terhadap cahaya, dan menjadi parameter kepekaan retina terhadap adaptasi gelap-terang.
(Pinel,2009)
Buta warna adalah suatu kondisi ketika sel-sel retina tidak mampu merespon warna dengan
semestinya. Sel-sel kerucut di dalam retina mata mengalami pelemahan atau kerusakan permanen.
A. Klasifikasi buta warna :
1. Trikromasi
Yaitu mata mengalami perubahan tingkat sensitivitas warna dari satu atau lebih sel kerucut pada
retina. Jenis buta warna inilah yang sering dialami oleh orang-orang. Ada tiga klasifikasi turunan
pada trikomasi: Protanomali, seorang buta warna lemah mengenal merah
Deuteromali, warna hijau akan sulit dikenali oleh penderita Trinomali (low blue), kondisi di mana
warna biru sulit dikenali penderita.
2. Dikromasi
Yaitu keadaan ketika satu dari tiga sel kerucut tidak ada. Ada tiga klasifikasi turunan: Protanopia,
sel kerucut warna merah tidak ada sehingga tingkat kecerahan warna merah atau perpaduannya
kurang. Deuteranopia, retina tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau Tritanopia,
sel kerucut warna biru tidak ditemukan.
3. Monokromasi
Monokromasi sebenarnya sering dianggap sebagai buta warna oleh orang umum. Kondisi ini
ditandai dengan retina mata mengalami kerusakan total dalam merespon warna. Hanya warna hitam
dan putih yang mampu diterima retina.
(Kalat,2010)
Metode untuk tes buta warna yang dipakai adalah metode yang ditemukan oleh Dr. Shinobu
Ishihara yaitu metode Ishihara. Berupa lingkaran berwarna yang beberapa diantaranya dirancang
agar ada angka tertentu. Subjek diminta merespon dari masing-masing gambar yang diberikan oleh
pemeriksa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

TES BUTA WARNA

Alat yang digunakan


Ishihara's test for colourblindness, concise edition 1983
Cara Kerja

Disiapkan dua anggota kelompok menjadi naracoba dan pembanding

Diletakkan alat uji pada jarak 75 cm dari naracoba/orang pembanding pada penyinaran matahari
secara tidak langsung yang cukup. Alat diangkat sehingga membentuk sudut tegak lurus dengan
garis penglihatan.

Ditunjukkan gambar no.1 oleh penguji sampai dengan no.14 dan tidak boleh lebih dari 3 detik
naracoba atau pembanding menyebutkan gambar yang dilihat.
VISUS, ANOMALI REFRAKSI, DAN KOREKSI ANOMALI REFRAKSI

Alat : optotip Snellen


Cara Kerja

Ditanyakan tentang ketajaman penglihatan (sebelum diperiksa) terhadap naracoba dan dicatat
jawabannya di lembar kerja.

Ditutup mata kiri naracoba kemudian naracoba mencoba mencoba membaca huruf-huruf optotip
snellen dengan mata kanan. Pembacaan huruf dimulai dari deretan huruf terbesar sampai deretan
huruf yang masih dapat dibaca tanpa kesalahan.

Diulangi percobaan tersebut untuk mata kiri ( mata kanan ditutup)

Dicatat hasilnya pada lembar kerja

*apabila visus naracoba belum menunjukkan nilai 6/6 , ada kemungkinan mata naracoba bukan
emetrop. Untuk menentukan emetrop / tidak , naracoba dipasang lensa sferis positip sebesar 0,5 D.
Jika tetap 6/6 berarti naracoba menderita hipermetrop fakutatif. Apabila kurang dari 6/6 berarti
naracoba mempunyai mata emetrop.
*jika hasil pada cara 2 dan 3 visus tidak 6/6, ada kemungkinan penderita menderita hipermetrop.
Untuk merubah visus 6/6 naracoba diletakkan lensa sferis positip, mula-mula lensa sferis + yang
kuat (dioptri besar), lalu berturut-turut diganti dengan lensa sferis + yang lebih lemah sampai
diperoleh visus 6/6.
*apabila penambahan lensa sferis + tersebut tidak menambah nilai visus, maka kemungkinan
penderita mempunyai mata miop. Untuk merubah nilai diletakkan lensa sferis negatif. Penambahan
dimulai dengan lensa sferis negatif lemah kemudia makin kuat sampai visus mencapai 6/6.
*apabila kedua penambahan lensa (positif dan negatif) visus tidak mencapai 6/6, kemungkinan
naracoba menderita astigmatisma. Kemudian dilakukan uji astigmatisma dengan menggunakan
bagian dari optotip snellen yang berupa garis-garis yang berbentuk seperti jam atau kipas. Untuk
membantu dipasang lensa silindris di depan lensa sferis yang menghasilkan nilai visus terbesar.
BAB IV
DATA & PENGAMATAN

Data Pengamatan

Tes Buta Warna


Naracoba : Yeremia Alpea
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 20 tahun
Pembanding : Roy Kristian Prasetya

Tabel Hasil
NO Terlihat oleh naracoba Terlihat oleh pembanding
1 12 12
2 8 8
3 5 5
4 29 29
5 71 71
6 7 7
7 45 45
8 2 2
9 - -
10 16 16
11 (mengikuti track) (mengikuti track)
12 35 35
13 96 96
14 (mengikuti track) (mengikuti track)
VISUS, ANOMALI KOREKSI, DAN KELAINAN REFRAKSI

Naracoba : Rossy Krisvalentina


Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun

VISUS
Sebelum dikoreksi visus OD = 6/12 , OS = 6/9
Setelah dikoreksi dengan lensa sferis positip 0,5 D
visus OD = 6/20
OS = 6/9
Kesimpulan refraksi OD = emetrop
refraksi OS = emetrop

MIOPI
Setelah dikoreksi dengan lensa sferis negatif 0,5 D
visus OD/OS mencapai visus 6/6 dengan lensa sferis negatif 0,5 D
PEMBAHASAN

Tes Buta Warna


Percobaan tes buta warna dengan menggunakan metode ishihara sudah banyak
digunakan di berbagai negara untuk menentukan apakah seseorang mengalami buta warna atau
tidak. Metode ishihara telah dirancang sedemikian rupa dalam bentuk lingkaran berwarna dan
beberapa diantaranya dirancang terdapat angka tertentu. Pada pemeriksaan tes buta warna naracoba
berhasil menyebutkan semua gambar secara tepat dan dibandingkan juga dengan hasil tes buta
warna pembanding yang memiliki persepsi warna normal. Oleh karena itu naracoba dapat dikatakan
tidak mengalami buta warna. Hal ini disebabkan karena beberapa lapis dibelakang permukaan retina
terdapat kombinasi sel-sel batang dan kerucut yang sangat berperan dalam fungsi penglihatan mata.
Sel kerucut (cone) bersifat fotopik serta berperan di siang hari yang peka terhadap warna (merah,
hijau, biru), sedangkan sel batang (rod) adalah skotopik, yang peka terhadap cahaya, dan menjadi
parameter kepekaan retina terhadap adaptasi gelap-terang. Sel-sel kerucut (konus) didalam retina
mata naracoba tidak mengalami perlemahan atau kerusakan, sehingga naracoba mampu merespon
tes yang diberikan secara tepat dan tanpa hambatan. Pada orang yang memiliki sel kerucut (cone)
yang sensitif untuk tiga warna tersebut dapat dikatakan mengalami buta warna.
Menurut Ganong (2003), buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi
pada pria, tetapi tidak pada wanita. Wanita secara genetis sebagai carrier. Istilah buta warna atau
color blind sebetulnya salah pengertian dan menyesatkan, karena seorang penderita buta warna
tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat bila disebut gejala defisiensi daya melihat
warna tertentu saja atau color vision difiency.
Orang yang mengalami buta warna tidak hanya melihat warna hitam putih saja, tetapi
yang terjadi adalah kelemahan atau penurunan pada penglihatan warna-warna tertentu misalnya
kelemahan pada warna merah, hijau, kuning, dan biru. Buta warna permanen biasanya terjadi
karena faktor keturunan. Sedangkan orang yang tidak mengalami buta warna dapat mengalami buta
warna apabila terjadi faktor-faktor tertentu yang didapat seperti kecelakaan/trauma, adanya penyakit
pada retina, keracunan,dll.
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa pada kasus buta warna yang paling umum,
individu mengalami kesulitan untuk membedakan warna merah dan hijau. Sekitar 8% pria adalah
penderita buta warna merah hijau, sementara penderita wanita hanya 1%.
Visus, Anomali Refraksi, dan Kelainan Refraksi

Pada pemeriksaan visus untuk mendeteksi adanya kelainan refraksi yang dilakukan
terhadap naracoba didapatkan hasil koreksi 0,5 D untuk mata kanan sedangkan mata kiri visus
relatif normal. Maka naracoba mempunyai mata miopi.
Berdasarkan kelainan refraksinya, miopi dibagi menjadi 3 :
1.Miopi ringan --> -0.25 s/d -3.00
2.Miopi sedang --> -3.25 s/d -6.00
3.Miopi berat --> -6.25 atau lebih
Jadi naracoba termasuk ke dalam miopi ringan. Untuk mata kiri naracoba didapatkan visus 6/6 ,
ketajaman penglihatan normal adalah 20/20 atau 6/6 pada jarak sekitar 6 m. Pada mata normal,
bayangan benda yang berjarak lebih dari 6 m akan jatuh tepat pada retina dan mata dalam keadaan
relaks atau tanpa akomodasi. Sehingga bila mata berada dalam keadaan seperti ini dikatakan mata
tersebut dalam keadaan normal.
Pada koreksi kelainan refraksi yang ditemukan adalah naracoba menderita miopi pada
oculus dextra (OD), ini disebabkan karena pembentukan bayangan pada retina naracoba dalam
pemfokusan cahaya sedikit mengalami gangguan. Gangguan yang dialami naracoba terjadi pada
proses konvergensi bola mata. Jika pada mata normal, kemampuan memfokuskan kedua bola mata
pada dua objek yang berbeda dapat dilakukan secara bersamaan pada satu benda, maka pada
naracoba, kemampuan memfokuskan kedua bola mata tidak dapat dilakukan dengan baik, karena
tidak mampu mngearahkan cahaya dari suatu benda agar jatuh pada titik sesuai pada retina kedua
mata.
Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan
gambaran yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas tertinggi
akan fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan penglihatan warna terbaik.
Ketajaman dan penglihatan warna sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi
fisiologis yang berbeda dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan
penglihatan warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur. Cahaya datang dari sebuah
fiksasi objek menuju fovea melalui sebuah bidang imajiner yang disebut visual aksis. Jaringan-
jaringan mata dan struktur-struktur yang berada dalam visual aksis (serta jaringan yang terkait di
dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan yang dibentuk.
Struktur-struktur ini adalah lapisan air mata, kornea, COA (Camera Oculi Anterior),
pupil, lensa, korpus vitreus dan akhirnya retina sehingga tidak akan meleset ke bagian lain dari
retina. Bagian posterior dari retina disebut sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE) yang
berfungsi untuk menyerap cahaya yang masuk ke dalam retina sehingga tidak akan terpantul ke
bagian lain dalam retina. RPE juga memiliki fungsi vital untuk mendaur ulang bahan-bahan kimia
yang digunakan oleh sel-sel batang dan kerucut dalam mendeteksi photon. Jika RPE rusak maka
kebutaan dapat terjadi.
Seperti pada lensa fotografi, visus dipengaruhi oleh diameter pupil. Aberasi optik pada
mata yang menurunkan tajam penglihatan ada pada titik maksimal jika ukuran pupil berada pada
ukuran terbesar (sekitar 8 mm) yang terjadi pada keadaan kurang cahaya. Jika pupil kecil (1-2 mm),
ketajaman bayangan akan terbatas pada difraksi cahaya oleh pupil. Antara kedua keadaan ekstrim,
diameter pupil yang secara umum terbaik untuk tajam penglihatan normal dan mata yang sehat ada
pada kisaran 3 atau 4 mm.
Pada percobaan terhadap naracoba, naracoba mengalami mata miopi, selain itu juga
banyak jenis kelainan refraksi seperti presbiopi (mata tua), hipermetropi, astigmatisma, dll. Hal
yang berhubungan denga berbagai macam jenis kelainan refraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang menyebabkan berbeda-bedanya nilai visus pada setiap orang. Hal ini disebabkan oleh
bermacam-macam faktor seperti :
1. Faktor optik, misalnya keadaan mekanisme pembentukan bayangan di mata
2. Faktor retina, misalnya keadaan sek kerucut
3. Faktor rangsang, termasuk penerangan, terangnya rangsang, kontras antara rangsang, dan
lamanya waktu rangsangan
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui apakah


seseorang mengalami buta warna dapat dilakukan dengan salah satu metode Ishihara. Sel-sel
kerucut (konus) didalam retina mata subjek tidak mengalami perlemahan atau kerusakan, sehingga
subjek mampu merespon tes yang diberikan secara tepat.
Pada pemeriksaan visus dan koreksi adanya kelainan refraksi dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan visus bertujuan untuk mengetahui visus seseorang dan menyesuaikan dengan nilai
baku yang ada. Koreksi terhadap kelainan refraksi ditujukan untuk mengkompensasi kelemahan
visus.
DAFTAR PUSTAKA

Kalat, James W. 2010. Biopsikologi Edisi 9 (Diterjemahkan


oleh Dhamar Pramudito). Jakarta: Salemba Humanika.

Pinel, John P.T. 2009. Biopsikologi Edisi Ketujuh


(diterjemahkan oleh Helly P Soetjipto dan Sri M Soetjipto).
Yogyakarta: Pustaka Pelopor.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran.

Ilyas, Sidharta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbitan FK UI

Anda mungkin juga menyukai