Ozaena
Ozaena
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875)
sebagai berikut:1
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani
dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:1
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.
ETIOLOGI
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.1 Rinitis atrofi primer adalah
rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi
sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.3,4 Rinitis atrofi primer
adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun
pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.1
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90%
rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi
parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%).
Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid,
lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara
berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder.
Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan
superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi
radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma
hidung sebanyak 1%.1
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab
rinitis atrofi: 1,3 ,5
1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain
Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa,
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telah
dilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah
anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap
bersamanya.
2) Defisiensi besi dan vitamin A
Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84%
pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya
hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit
ini.
3) Perkembangan
Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara
maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.
4) Lingkungan
Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida.
5) Sinusitis kronik
6) Ketidakseimbangan hormon estrogen
Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi.
7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
8) Teori mekanik dari Zaufal
9) Ketidakseimbangan otonom
10) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
11) Herediter
Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah
keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
12) Supurasi di hidung dan sinus paranasal
13) Golongan darah
PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).1,3,5
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.1,3,5
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3
GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama
sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini
akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami
anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial
dari penyakit. 1 Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan
perasaan kering pada hidung.3, 7
Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah : 3, 5
Gejala :
obstruksi hidung (buntu)
sakit kepala
epistaksis pada pelepasan krusta
bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di
sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
Faringitis sikka
Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.
Tanda :
foeter ex nasi
krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung
Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi
terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. 1
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3
a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 3,5,7
apusan hidung .
radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus.
test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.
tes serologi yang lain :
protein Serum.
pemeriksaan Fe serum
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada
hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan,
penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti
K. ozaenae dari kultur hidung . 3,4
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut : 2
1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang
wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain
disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain
tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita
PENATALAKSANAAN
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal,
sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal
dan meminimalisir terbentuknya krusta.1
Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal.
Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi
yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi
yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu
dengan lainnya.1
Adapun bahan-bahan itu antara lain:1,3,6
1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
2. Larutan garam dapur
3. Campuran
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon,
campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:5
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring
pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat
dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.3,6
PROGNOSIS
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien
yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.3,5
PENUTUP
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of
Otolaryngology 2005
i2. Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 24
i
3. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi, Cermin Dunia Kedokteran 2004;144: 5 7
4. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci 2003;33: 405 407
5.
[online]
tersedia
di
URL:
http://www.yasser-
6. Mangunkusumo, Endang. Infeksi Hidung Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Jakarta, 2003 h.
110 114
7. Michel, Jean Pr. Management Of Chronic Rhinitis, Mp ORL Anglais 2005; 87: 44 58