Anda di halaman 1dari 10

Ozaena (Rhinitis Atrofi)

{ 19/07/2008 @ 10:08 am } { Uncategorized }


{ Tags: Add new tag, Te }
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa
sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang,
rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan
medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis
atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal
dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.2
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu
penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rinitis atrofi, foetor
ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang
sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang
perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.
Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. 3
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rinitis atrofi.
RINITIS ATROFI
DEFINISI
Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa
hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang
cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk.4,5 Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom
hidung-terbuka, atau ozaena.1
INSIDENSI
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini
muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita,
angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. 2,4 Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh
dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang wanita
usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status
estrogen (faktor hormonal).5,6
KLASIFIKASI

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875)
sebagai berikut:1
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani
dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:1
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.
ETIOLOGI
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.1 Rinitis atrofi primer adalah
rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi
sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.3,4 Rinitis atrofi primer
adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun
pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.1
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90%
rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi
parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%).
Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid,
lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara
berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder.
Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan
superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi
radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma
hidung sebanyak 1%.1
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab
rinitis atrofi: 1,3 ,5
1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain
Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa,
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telah
dilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah

anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap
bersamanya.
2) Defisiensi besi dan vitamin A
Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84%
pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya
hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit
ini.
3) Perkembangan
Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara
maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.
4) Lingkungan
Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida.
5) Sinusitis kronik
6) Ketidakseimbangan hormon estrogen
Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi.
7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
8) Teori mekanik dari Zaufal
9) Ketidakseimbangan otonom
10) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
11) Herediter
Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah
keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
12) Supurasi di hidung dan sinus paranasal
13) Golongan darah
PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi

juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).1,3,5
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.1,3,5
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3
GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama
sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini
akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami
anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial
dari penyakit. 1 Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan
perasaan kering pada hidung.3, 7
Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah : 3, 5
Gejala :
obstruksi hidung (buntu)
sakit kepala
epistaksis pada pelepasan krusta
bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di
sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
Faringitis sikka
Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.
Tanda :

foeter ex nasi
krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung

Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi
terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. 1
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3
a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 3,5,7
apusan hidung .
radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus.
test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.
tes serologi yang lain :
protein Serum.
pemeriksaan Fe serum

pemeriksaan darah rutin


ANA dan anti-DNA antibodi.
CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan
Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun
sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di antara keduanya. Perubahan kavum
hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat
menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran,
atau hipoplastik sinus maksilaris. 1
Pada CT scan dapat ditemukan : 1, 4, 5
penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid
dan proses uncinate.
hipoplasia sinus maksilaris
pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung .
resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada
hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan,
penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti
K. ozaenae dari kultur hidung . 3,4
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut : 2

1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang
wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain
disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain
tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita
PENATALAKSANAAN
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal,
sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal
dan meminimalisir terbentuknya krusta.1
Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal.
Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi
yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi
yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu
dengan lainnya.1
Adapun bahan-bahan itu antara lain:1,3,6
1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
2. Larutan garam dapur
3. Campuran
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl


Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar (rose oil)
atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa
pengobatan topikal rinitis atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan
penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara
berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan
kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.1
Terapi Sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang
biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas
atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan
menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun
penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun
waktu 2 tahun pemakaian.1,6
Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin
A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan
berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid
juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan
kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi
untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan
berkurangnya vaskularisasi di mukosa.1
Terapi Bedah
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien
akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul
meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk
bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah.
Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi
volume rongga hidung dan penutupan nasal 1
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:3
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon,
campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:5
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring
pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat
dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.3,6
PROGNOSIS
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien
yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.3,5
PENUTUP
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of
Otolaryngology 2005
i2. Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 24
i
3. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi, Cermin Dunia Kedokteran 2004;144: 5 7
4. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci 2003;33: 405 407

5.

Anonim. Atrophic Rhinitis.


nour.com/atrophic-rhinitis.pdf.

[online]

tersedia

di

URL:

http://www.yasser-

6. Mangunkusumo, Endang. Infeksi Hidung Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Jakarta, 2003 h.
110 114
7. Michel, Jean Pr. Management Of Chronic Rhinitis, Mp ORL Anglais 2005; 87: 44 58

Anda mungkin juga menyukai