Anda di halaman 1dari 5

TEORI

Compact City
Istilah compact city diperkenalkan pada tahun 1973 oleh George Dantzig dan Thomas L
yang keduanya merupakan matematikawan utopis. Dalam perancangan kota hal ini seringkali
dikaitkan dengan Jane Jacobs dan bukunya berjudul The Death and Life of Great American
Cities (1961) sebagai bentuk kritik terhadap fenomena urban sprawl. Pada awal tahun 1900, Uni
Eropa telah mengembangkan model compact city sebagai bentuk kota yang paling berkelanjutan.
Keunggulan dari compact city yaitu pertama, menghemat sumberdaya dan energi (lahan,
transportasi, polusi, sampah), yang kedua pengkonsentrasian kegiatan di pusat kota untuk
menghindari munculnya kota satelit di sekitar pusat kota. Konsep compact city dikemukakan
untuk menjawab dan sebagai bentuk tidak setuju atas urban sprawl. Dimana karakteristik
compact city sangat bertolak belakang dengan urban sprawl.
Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan
wacana yang diistilahkan sebagai kota kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu
paling penting dewasa ini. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara
bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada
masa depan mereka. Darai debat itu argument-argumen yang kuat sedang dimunculkan bahwa
kota kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan
oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku mereka yang berjudul
Compact City : A Sustainable Urban Form ? buku ini juga sekaligus mengajukan
berbagai opini dan riset dari serangkaian disiplin ilmu, dan memberikan suatu pemahaman dari
debat teoritis dan tantangan-tantangan praktis yang melingkupi gagasan kota kompak ini. Tidak
dipungkiri bahwa gagasan kota kompak didominasi oleh medel dasar dari pembangunan yang
padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur
paling kuat bagi kota kompak adalah komunitas Eropa (Commission of the European
Cummunities).
Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi,
tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks
menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan
pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesderhana itu atau bahkan langsung
berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah Mesti
terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien
transportasi masal, dan dengankekompakan dan ketersediaan interaksi social (Elkin et.al., 1991,
p.12).
Namun demikian dalam kota kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan
urban containment yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran secara
sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunanpembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan.

Oleh karena itu promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal), kenyamanan
berlalu lintas, berjalan kaki dan bersepeda adalah sering dikutip sebagai solusi (Elkin et.al., 1991,
Newman, 1994). Lebih lanjut melalui perencanaan efisiensi penggunaan jalan, yang
dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga
dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; owens, 1992).
Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (Fasilitas-fasilitas) dan yang
secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan social (Houghton and Hunter,
1994).Menerapkan secara penuh gagasan kota kompak bagi perencanaan kota-kota di Indonesia
jelas masih membutuhkan kajian, studi dan riset tersendiri.
Bagaimanapun konsep kota kompak bukanlah konsep yang kaku dan sederhana yang
menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik
kota dan hudaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa kota kompak juga perlu
dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk
perubahan kota (urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien. Namun ada hal yang
sudah pasti yakni jika kita melihat kota-kota besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan
Surabaya, adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara
horisontal tanpa batas yang jelas.
Pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga
akibat perkembangan kota Jakarta seperti kota Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dll. Banyak
pegawai yang tinggalnya di Jakarta tetapi tinggalnya di kota-kota pinggiran tersebut hal ini sudah
dipastikan adany inefisiensi waktu, tenaga, dana, sumber-sumber energy dan lain-lain. Maka
membangun kota yang padat dan vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan
kota Jakarta dan kota-kota lainnya di masa yang akan datang.Inefisiensi itu lebih diperparah lagi
ketika perkembangan kota-kota besar itu belum diiringi denga penyediaan transportasi masal
yang representatif dan memadai.
Bagi kota-kota besar di Indonesia, dalam hal ini penyediaan transportasi public misalnya
busway, monorail dan berbagai jenis mode transportasi masal jelas sesuatu yang tidak bisa di
tawar-tawar lagi. Kemacetan di kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena
bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera di akhiri. Pada akhirnya
konsumsi energi khususnya minyak BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan juga bisa
sangat terkurangi.
Terdapat banyak definisi dari kota kompak. Burton (2000)dalam tulisannya menyatakan
pendekatan kota kompak adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk
permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan
memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman.
Pada awal tahun 1900, Uni Eropa telah mengembangkan model kota kompak sebagai
bentuk kota yang paling berkelanjutan. Keunggulan dari kota kompak yaitu pertama, menghemat
sumberdaya dan energi (lahan, transportasi, polusi, sampah), yang kedua pengkonsentrasian
kegiatan di pusat kota untuk menghindari munculnya kota satelit di sekitar pusat kota. Jelas
mengapa negara-negara maju seperti Uni Eropa sudah begitu memprioritaskan kepada

penghematan energi, perubahan sistem transportasi, dll. Karena di negara maju, biaya bukanlah
menjadi kendala. Maka model kota kompak mudah untuk diwujudkan.
Roychansyah (2005) menyebutkan 6 faktor penting sebagai atribut kota kompak yaitu:
pemadatan populasi, pengkonsentrasian kegiatan, intensifikasi transportasi publik, ukuran
optimal kota, kesejahteraan sosial-ekonomi dan proses menuju kota kompak. Keenam atribut
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika ada salah satu komponen
tidak memenuhi syarat maka suatu kota belum bisa dikatakan sebagai kota kompak. Ciri kota
kompak menurut Dantzig & Saaty (1978) paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek yaitu bentuk
ruang, karakteristik ruang, dan fungsinya.
Sebenarnya kota kompak merupakan konsep tradisional bagi negara-negara Eropa yang
sudah diterapkan sejak abad pertengahan (wall cities). Indikasi umumnya yaitu pembangunan
yang intensif, terdapat pemisah antara lahan terbangun dengan non-terbangun seperti benteng
yang diterapkan pada zaman dahulu namun sekarang digunakan green buffer atau sejenisnya,
lalu ukuran kota yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Dibalik kelebihan yang tertera
diatas ada beberapa kelemahan dari kota kompak seperti: upaya pengurangan pergerakan
horisontal justru meningkatkan pergerakan vertikal seperti lift, eskalator yang tidak hemat
energi; suhu panas yang ditimbulkan gedung-gedung tinggi; daya dukung lingkungan yang
menampung beban berat akibat kepadatan dipaksakan.
Livable City
Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman
dan tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), kota yang layak huni adalah kota yang
dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat. Menurut
Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan pembangunan
sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat sosial untuk
realisasinya. Dalam mewujudkan konsep Livable City harus didukung dengan sustainable city,
agar perencanaan ruang kota dapat terwujud sesuai rencana. Dalam konteks keberlanjutan adalah
kemampuan untuk mempertahankan kualitas hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat kota saat
ini maupun masa depan.
Livable City adalah kota dimana ruang umum yang merupakan pusat kehidupan sosial
dan fokus keseluruh masyarakat (Salzano,1997). Menurut Evan (2002), konsep Livable City
digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas
hidup membutuhkan fisik maupun habitat sosial untuk realisasinya. Konsep Livable City juga
sangat berkaitan dengan lingkungan. Livable City harus berkesinambungan dengan sistem
ekologi dan kenyamanan hidup bagi masyarakat kota. Pemulihan ekologi dapat memperbaiki
lingkungan dalam Livable City dan sustainability. Livable City harus menciptakan dan menjaga
lingkungan yang bersih.
Pengertian Livable City dari perspektif orang-orang adalah kota yang layak huni dimana
masyarakat kota dapat mencari pekerjaan, melayani kebutuhan dasar termasuk air bersih dan
sanitasi, memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, hidup dalam
komunitas yang aman dan lingkungan yang bersih. Dapat dikatakan bahwa Livable City

merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal
dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik (fasilitas
perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas
ekonomi, dll).
Dalam mewujudkan kota yang layak huni atau Livable City harus mempunyai prinsipprinsip dasar. Prinsip dasr ini haru dimiliki oleh kota-kota yang inggin menjadikan kotanya
sebagai kota layak huni dan nyaman bagi masyarakat kota. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip
dasar untuk mewujudkan Livable City:
1. Menurut Lennard (1997), prinsip dasar untuk Livable Cityadalah:
a. Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air
bersih, listrik).
b. Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman
kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah).
c. Tersedianya ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi.
d. Keamanan, Bebas dari rasa takut.
e. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya.
f. Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik.
2. Menurut Douglass (2002), dalam Livable City dapat dikatakan bertumpu pada 4 (empat)
pilar, yaitu:
a. Meningkatkan sistem kesempatan hidup untuk kesejahteraan masyarakat.
b. Penyediaan lapangan pekerjaan.
c. Lingkungan yang aman dan bersih untuk kesehatan, kesejahteraandan untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
d. Good governance.
Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini, diantaranya
adalah :
a. Americas Most Livable Communities, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota
di Amerika Serikat.
b. Urban Construction Management Company, UCMC IBRD (World Bank), yang menilai
tingkat sustanabiliy kota-kota di dunia.
c. International Center For Sustainable Cities, Vancouver Working Group Discussion, yang
menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Kanada.
d. Indonesia Most Liveable City Index2011 oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP),
yang menilai tingkat kenyaman hidup kota-kota di Indonesia.

Evans, Peter. 2002. Livable Cities? The Politics


Sustainability.University of California Press, Berkeley.

of

Urban

Livelihood

and

Wheeler, Stephen M . 2004. Planning For Sustainability, Creating Livable, Equitable, And
Ecological Communities. New York. Routledge.

De Roo, G. and Miller, D. (2000) . Compact City and Sustainable Urban Development

Anda mungkin juga menyukai