Makalah DK I Kelompok 5 Keperawatan Anak 2
Makalah DK I Kelompok 5 Keperawatan Anak 2
DISKUSI KELOMPOK 5
TB PARU PADA ANAK
(dengan komplikasi faringitis, otitis media akut dan anemia pada anak)
Disusun oleh :
Kelompok 5
Febri Lianti
(11141040000001)
Luluk Nafisah
( 11141040000006)
( 11141040000010)
Shova Maudina
( 11141040000014)
Innana Syarifah
(11141040000021)
Yoyoh rokayah
(11141040000034)
Puspita Sari
(11141040000040)
Ratih yulianingsih
(11141040000047)
alfiani
(11141040000048)
A KATA PENGANTAR
Puji syukur kami mengucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan kuasa-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah Diskusi Kelompok 1 tentang
penyakit Tb Paru pada Anak (dengan komplikasi faringitis, otitis media akut, dan anemia)
dengan baik. Makalah ini dibuat agar dapat menambah pengetahuan pembaca tentang
penyakit Tb Paru pada Anak. serta hal hal yang terkait dengannya pada modul keperawatan
anak 2.
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca dalam
memperdalam atau menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyakit Tb Paru pada
Anak (dengan komplikasi faringitis, otitis media akut, dan anemia) . Jika terdapat kata
maupun penulisan yang salah, kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat
kami butuhkan agar makalah selanjutnya dapat kami kerjakan lebih baik lagi.
Penyusun
B DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 5
1.1
Latar Belakang.......................................................................................... 5
C
D BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tuberkulosis masih merupakan penyakit yang sangat luas didapat dinegara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Tuberkulosis dibagi menjadi tuberkulosis primer dan tuberkulosis
sekunder. Tuberkulosis primer merupakan infeksi pertama dari tuberkulosis, sedangkan
tuberkulosis sekunder adalah infeksi yang terjadi akibat adanya penyebaran dari kuman
penyebab tuberkulosis primer ke tempat yang lain melalui aliran darah atau kelenjar getah
bening. Faringitis tuberkulosis biasanya merupakan proses sekunder tuberkulosis paru, kecuali
bila infeksi disebabkan oleh kuman tahan asam jenis bovinum.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi
maupun non infeksi. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari sekret hidung dan
ludah orang yang menderita faringitis. 1 Faringitis terbagi atas faringitis akut, faringitis kronis
dan faringitis spesifik. Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil
yang di sebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis
dapat
menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah
faring.F a r i n g i t i s k r o n i s a d a l a h f a r i n g i t i s y a n g t e r j a d i s e t e l a h s e r a n g a n a k u
t y a n g berkali kali.
anak ?
Apa saja komplikasi yang terjadi pada pasien tb paru pada anak?
Bagaimana patofisiologi dari tb paru, faringitis, otitis media akut serta anemia pada
anak?
Bagaimana pengkajian pada tb paru, faringitis, otitis media akut serta anemia pada
anak?
Bagaimana penatalaksanaan medis pada tb paru, faringitis, otitis media akut serta
anemia pada anak?
1.3 Tujuan
Tujuan Khusus
Tujuan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui :
1. Pengertian dari pada tb paru, faringitis, otitis media akut serta anemia pada
anak
2. Mengetahui bagaimana manifestasi pada tb paru, faringitis, otitis media akut
serta anemia pada anak
3. Mengetahui Apa saja komplikasi tb paru pada anak
4. Mengetahui bagaimana patofisiologi pada tb paru, faringitis, otitis media akut
serta anemia pada anak
5. Mengetahui penkajian pada tb paru, faringitis, otitis media akut serta anemia
pada anak
6. Mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan pada pada tb paru,
faringitis, otitis media akut serta anemia pada anak
7. Mengetahuai asuhan keperawatan pada pada tb paru, faringitis, otitis media
akut serta anemia pada anak
E BAB II PEMBAHASAN
F TUBERKULOSIS PARU
2.1 Definisi
Tuberculosis paru adalah : penyakit infeksius terutama menyerang parenchim paru dapat juga
ditularkan ke bagian tubuh lain, termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. ( Brunner &
Suddart, 2002 )
2.2 Etiologi
Tuberculosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1 4 um dan tebal 0,3 0,6 um. Sebagian besar kuman terdiri
dari asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga
disebut bakteri tahan asam. Sifat lain kuman ini adalah aerob yaitu kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan O2 nya. Dalam hal ini tekanan O2 pada bagian apikal paru-paru
lebih tinggi dari bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis. (Soeparman, 1999)
Mereka yang paling beresiko tertular basil adalah mereka yang tinggal berdekatan
dengan orang yang terinfeksi aktif khususnya individu yang sistem imunnya tidak adekuat.
(Corwin, 2001)
2.3 Tanda dan Gejala
Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40 41oC,
Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar, sifat batuk dimulai dari batuk kering
(non-produktif) kemudian setelah muncul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah.
Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
e
Malaise
Gejala maleise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan,
berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam.
Pasien TB paru menampakkan gejala klinis yaitu :
Tahap asimtomatis
Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnansi dan regresi
Eksaserbasi yang memburuk.
Gejala berulang dan menjadi kronik.
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi,
uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk.
Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk
ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas
seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut
menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah
penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk
ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan
hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua
tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama.
Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut
(millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,
sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi
(terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk
dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis
TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional)
dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi
akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis
ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi
pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Rekomendasi pendekatan diagnosis TB pada anak (WHO, 2006)
1. Anamnesis (riwayat kontak erat dengan pasien TB dan gejala klinis sesuai TB)
2. Pemeriksaan fisis (termasuk analisis tumbuh-kembang anak)
3. Uji tuberkulin
4. Konfirmasi bakteriologis, upayakan semaksimal mungkin
5. Pemeriksaan penunjang lain yang relevan (foto toraks toraks, pungsi lumbal, biopsi dan yang
lainnya sesuai lokasi organ yang terkena)
2.5 Pemeriksaan diagnostik (penunjang)
a. Uji tuberkulin
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak dapat dilakukan
penegakan diagnosis TB pada anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular (BTA
positif) merupakan salah satu informasi penting adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu
dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah
membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin atau Mantoux test.
(WHO, 2006) Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari
Staten Serum Institute Denmark dan PPD (Purified Protein Derivative) yang sama dari Staten
yang dikemas ulang oleh Biofarma.
Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux (intrakutan) dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin
dinyatakan positif yaitu:
1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak dengan riwayat
imunisasi BCG diameter indurasinya > 10mm
2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi buruk, keganasan dan
lainnya) diameter indurasinya > 5mm
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap
antigen TB (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, artinya
anak sudah terinfeksi TB. Anak yang terinfeksi TB (hasil uji tuberkulin positif) belum
tentu sakit TB karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang
cukup untuk melawan kuman TB. (Hocaoglu, Erge, Anal, Makay, Uzuner, &
Karaman, 2011) Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka secara klinis anak
(pasien) akan tampak sehat. Keadaan ini disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka
anak akan menjadi sakit TB serta menunjukkan gejala klinis dan radiologis. Uji
tuberkulin relatif mudah dan murah, penelitian menunjukkan bahwa potensi
tuberkulin tetap konstan setelah vial dibuka selama 1 bulan. (KEMENKES, 2013)
b. Pemeriksaan Darah dan Serologis
Selain uji tuberkulin, banyak pemeriksaan darah yang beredar secara komersial dengan tujuan
menilai respons imun tubuh terhadap TB seperti halnya uji tuberkulin. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak lebih unggul daripada uji
tuberkulin. Pemeriksaan Interferon-gamma release assay (IGRAs), meskipun dapat
membedakan infeksi TB alamiah dengan BCG, tetap tidak dapat membedakan antara sakit TB
atau hanya terinfeksi TB. (Mandalakas, Detjen, Hesseling, Benedetti, & Menzies, 2011)
Pemeriksaan IGRA pada anak tidak menunjukkan keunggulan mengingat harganya yang
mahal dan masih rendahnya bukti akurasi pada bayi dan anak. (Chiappini & etal, 2012)
Pemeriksaan lain seperti laju endap darah dan darah perifer untuk melihat limfositosis tidak
direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan serologi yang sering
digunakan secara komersial (PAP TB, MycoDot, ICT, ELISA dan lainnya) tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB, terutama TB
pada anak. (WHO, 2006)
c. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis mengidentifikasi adanya basil tahan asam secara langsung dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan atau metode pemeriksaan lainnya. Upaya untuk
melakukan konfirmasi diagnosis harus dilakukan bahkan di tempat dengan fasilitas terbatas.
Spesimen yang tepat dari organ yang terlibat dievaluasi untuk pemeriksaan bakteriologis yaitu
dengan pulasan langsung (direct smear) untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan
pemeriksaan biakan untuk menumbuhkan kuman TB. (KEMENKES, 2013)
Ada 3 cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sampel spesimen bakteriologis pada
anak:
1. Ekspektorasi
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan pemerisaan
dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan
mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun dan semua anak dengan gejala TB
yang lebih berat.
2. Aspirasi lambung
Aspirasi lambung dengan (sonde lambung) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada
pagi hari.
3. Induksi sputum
Induksi sputum relatif mudah, aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik daripada aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih
dari 1 sampel. Pemeriksaan sampel dari 1 induksi sputum menghasilkan 3 kali nilai positif
yang lebih tinggi daripada aspirasi lambung.13,14 Metode ini aman dan relatif mudah
sehingga bisa dikerjakan pada pasien rawat jalan. Untuk melakukannya diperlukan pelatihan
dan peralatan yang sederhana. (KEMENKES, 2013)
d. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) dapat memberikan gambaran yang khas,
yaitu menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat
pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. Bila pada suatu kasus yang
dicurigai TB ekstraparu dan memerlukan tindakan bedah yang merupakan kesempatan baik
mendapatkan
spesimen,
pemeriksaan
histopatologi
hendaknya
dilakukan.
Idealnya
pemeriksaan histopatologi dilakukan pada spesimen yang diperoleh dengan cara biopsi eksisi.
Bila tidak memungkinkan melakukan biopsi eksisi maka pemeriksaan biopsi aspirasi jarum
halus (fine-needle aspiration biopsy/FNAB) dapat membantu penegakan diagnosis TB pada
anak. (Ligthelm & etal, 2011)
e. Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Selain itu, variabilitas antar pembaca hasil foto toraks cukup besar. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan harus memenuhi kualitas yang baik, dan direkomendasikan
dibaca oleh radiologist yang terlatih membaca hasil Rontgen toraks pada anak. Deskripsi hasil foto
toraks yang bersifat umum seperti bronkopneumonia dupleks, TB masih mungkin perlu disikapi
dengan hati-hati dalam arti harus disesuaikan dengan data klinis dan penunjang lain. Kecuali
gambaran khas seperti milier, deskripsi radiologis saja tidak dapat dijadikan dasar utama diagnosis TB
anak. (KEMENKES, 2013)
f.Pemeriksaan terkini TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan
diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan Nucleic
Acid Amplification Test misalnya Xpert MTB/RIF. WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun
2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF.
Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas dan belum ada rekomendasi khusus
untuk penggunaannya pada anak. Data menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan
mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis,
selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan pasien bukan TB. (Chang &
etal, 2012) Pada pasien anak penggunaan cara ini terbentur masalah klasik yaitu kesulitan
mendapatkan spesimen bakteriologis.
g.Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring
Penggunaan sistem skoring banyak mengundang kontroversi, karena beberapa studi menunjukkan
bahwa sistem skoring cukup baik namun banyak studi lain yang menyatakan banyak kelemahan yang
dimiliki sistem skoring. Bukti yang ada menunjukkan banyak kelemahan sistem skoring. (Edwards &
etal, 2007) Namun demikian, tenaga kesehatan di layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas /
layanan primer seringkali mengalami kesulitan mendiagnosis TB pada Anak. Selain keterbatasan alat
diagnosis, tiadanya tenaga dokter juga menjadi kendala diagnosis TB pada anak. Hal ini menyebabkan
besaran masalah TB pada anak tidak terdata karena tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer
ragu atau kurang peraya diri untuk mendiagnosis TB anak sehingga terjadi under-diagnosis. Di sisi
lain agaknya justru terjadi over-diagnosis TB anak di layanan swasta karena cenderung
menggampangkan. Sistem skoring diagnosis TB Anak yang disusun oleh Pokja TB Anak Kemenkes
RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.20 Anak dinyatakan probable TB
jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA
positif dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak cukup diberikan
profilaksis INH terutama anak balita. Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
- Kejang, kaku kuduk
- Penurunan kesadaran
- Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Sistem skoring diagnosis TB Anak di fasilitas pelayanan kesehatan primer (IDI, 2008)
A. Data pasien
Penyakit TBC biasanya banyak ditemukan pada pasien yang tinggal
di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya
cahaya matahari ke dalam rumah sangat minim.
Tuberculosis pada anak dapat terjadi di usia berapapun, namun usia
paling umum adalah antara 1-4 tahun.
B. Riwayat kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain:
1. Demam: subfebris, febris (40-410C) hilang-timbul.
2. Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
terjadi untuk membuang atau mengeluarkan produksi radang
yang dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulen
(menghasilkan sputum).
3. Sesak napas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
4. Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat
malam.
6. Sianosis, sesak napas, dan kolaps: merupakan gejala atelektasis.
Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernapas dan
jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi
yang sakit tampak bayangan hitam dan diafragma menonjol ke
atas.
7. Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal.
fibrosis
Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan
suara pekak)
ringannya penyakit.
Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
f. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
g. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
h. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan.
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan
berat badan saat itu.
3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus).
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan.
7. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.
2.8 Penatalaksanaan Keperawatan Tb Pada Anak
1. Upaya Preventif
Anak sangat beresiko terkena TB terutama apabila terdapat kontak pasien TB menular
(pasien dewasa atau anak BTA positif). Dengan mengobati setiap pasien TB BTA
positif secara benar, berarti juga mengurangi resiko terjadinya Tb pada anak. Sistem
imunitas pada anak juga mempengaruhi terjadinya infeksi atau sakit TB pada anak,
vaksinasi BCG tidak dapat mengecah terjadinya penyakit TB pada anak, tetapi dapat
encegah timbulnya penyakit TB berat pada anak.
2. Upaya Promkes
- Mulai melihat TB pada anak merupakan bagian dari penyakit keluarga. Anak
terinfeksi Tb dari orang tua atau keluarga yang tinggal serumah. Setiap kasus TB
dewasa terutama BTA positif harus dilakukan pemeriksaan kontak serumah,
terutama anak dibawah 5 tahun. Anak yang sakit TB harus segera didiagnosa dan
terapi OAT sdagan anak tanpa sakit TB, baik terinfeksi maupun sehat yang kontak
serumah dengan pasien TB BTA positif harus dilakukan terapi INH profilaksis.
- Meningkatkan pelayanan TB dengan menjangkau semua masyarakat yang
terdampak TB yaitu kaum urban, pekerja migrant, tahanan dan kaum minoritas
etnic. Dengan cara ini kita dapat menjangkau semua bayi dan anak yang terdapak
TB.
- Intergitas pelayanan kesehatan ibu dan anak, HIV dan TB secara bersama-sama.
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi
telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas
yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.
2.10 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75%
kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap
kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai nonpatogenik karena
tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae
(25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogenpatogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A betahemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat
inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada
anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan
dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak,
yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 3040%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus
akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan
teknik
polymerase
chain
reaction
(PCR)
dan
virus
specific
enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah
pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus.
2.11 Tanda dan Gejala
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di
mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis
media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah
otitis media adhesiva.
2.12 Patogenesis Otitis Media Akut
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan
atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran
Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di
sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Selsel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga(Mansjoer A,2001). Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami
umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan
gangguan pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa
nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang
telinga karena tekanannya (Pracy R, 1983).
2.13 Anamnesa Oma (Otitis Media Akut)
Pasien datang dengan keluhan yang bergantung pada stadium OMA yang
terjadi. Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan
demam serta ada riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit
tidur, tiba-tiba menjerit waktu tidur, bila demam tinggi sering diikuti diare
dan kejang-kejang. Kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
Pada stadium supurasi pasien tampak sangat sakit, dan demam, serta
rasa nyeri di telinga bertambah berat. Bila terjadi ruptur membran
timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun, dan
anak tertidur tenang. Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa
nyeri terdapat pula gangguan pendengaran dan rasa penuh dalam telinga.
2.14 Pemeriksaan Fisik Oma (Otitis Media Akut)
berpenyakit ringan.
Antibiotik lini kedua digunakan bila diperkirakan organismenya resisten terhadap
amoksisilin, yaitu diberikan amoksisilin dengan klavulanat (Augmentin, Sefalosporin
generasi ke dua), sefaklor atau kortimoksazol. Pada anak yang alergi penisilin, dapat
diberikanazitromisin.
a.
b.
c.
d.
sensitifitas
e. Adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika pilihan kedua.
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan terapi tetes
telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis
yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai kembali antibiotika dengan
memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama. Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis
media ulangan menggunakan amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil
mengurangi insiden otitis media sebesar 40-50%.
Terapi Penunjang :
Terapi penunjang dengan analgesik dan antipiretik memberikan kenyamanan khususnya pada
anak. Terapi penunjang lain dengan menggunakan dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid
pada otitis media akut tidak direkomendasikan, mengingat tidak memberikan keuntungan namun
justru
meningkatkan
risiko
efek
samping
Dekongestan
dan
antihistamin
hanya
direkomendasikan bila ada peran alergi yang dapat berakibat kongesti pada saluran napas atas.
Sedangkan kortikosteroid oral mampu mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik
dibandingkan antibiotika tunggal. Penggunaan Prednisone 2x5mg selama 7 hari bersama-sama
antibiotika efektif menghentikan efusi.
H FARINGITIS TUBERKULOSIS
2.16 Definisi
anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Pada Faringitis tuberkulosis: nyeri
hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik.
Faringitis mempunyai gejala dengan karakteristik yaitu demam dengan secara tiba tiba,
terasa nyeri pada tenggorokan, terasa nyeri saat menelan, mual. Faring palatum, tonsil tampak
berwarna kemerahan dan tampak juga adanya pemebengkakan.
1. Riwayat kesehatan
a. Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya; batuk,
pilek, demam.
b. Riwayat alergi dalam keluarga.
c. Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti
malnutrisi.
d. Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan.
e. Ada atau tidak riwayat merokok.
2.20 Pemeriksaan Fisik Faringitis
a. Pernapasan
Kelelahan,
malaise,
insomnia,
penurunan
toleransi
aktivitas,
Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia adalah eritromisin,
cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin klavulanat.
Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan parasetamol atau ibuprofen,
disertai kumur menggunakan larutan garam hangat atau gargarisma khan. Jangan menggunakan
aspirin pada anak-anak karena dapat meningkatkan risiko Reyes Syndrome. Tablet hisap yang
mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat pula disarankan.
Terapi Pendukung :
a.
b.
c.
d.
ANEMIA
2.21 Definisi
adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin protein pembawa
oksigen dalam sel darah merah berada di bawah normal. Dalam kondisi normal, butir-butir darah
merah mengandung hemoglobin, yaitu sel darah merah yang bertugas membawa oksigen serta nutrisi
ke otak dan ke berbagai jaringan dan organ tubuh. Hemoglobin terdapat dalam sel-sel darah merah
dan merupakan pigmen pemberi warna merah. Oksigen ini akan digunakan untuk membakar gula dan
lemak menjadi energy. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kurang darah dapat menyebabkanng
gejala lemah dan lesu yang tidak biasa. Paru-paru dan jantung juga terpaksa kerja keras untuk
mendapatkan oksigen dari darah yang menyebabkan nafas terasa pendek. Walaupun gejalanya tidak
terlihat atau samar-samar dalam jangka waktu lama. Kondisi ini tetap dapat membahayakan jiwa jika
dibiarkan dan tidak diobati. Jika anda mengalami gejala lemah lesu berkepanjangan, sebaiknya
segera periksakan diri ke dokter untuk mengetahui penyebabnya. Anemia biasanya terdeteksi atau
sedikitnya dapat dipastikan setelah pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar sel darah merah ,
hemotokrit dan hemoglobin.
2.22 Tanda dan Gejala
Adapun gejala-gejala dari anemia adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Lemah, lesu, pusing, mudah marah atau sulit konsentrasi atau mudah lupa.
Pucat terutama pada gusi dan kelopak mata atau bawah kuku.
Jantung berdebar nafas pendek.
Sariawan mulut atau lidah, bilur-bilur atau pendarahan tidak biasa.
Mati rasa atau kesemutan di daerah kaki.
Mual dan diare.
Keletihan, mudah lelah bila berolahraga
2.23 Etiologi
Penyebab utama seseorang mengalami anemia, adalah kekurangan zat besi. Difesiensi besi
adalah penyebab anemia paling umum.. Kondisi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui
beberapa tahapan. Mula-mula, simpanan zat besi dalam tubuh menurun, hingga mengurangi produksi
hemoglobin dan sel darah merah secara perlahan. Defesiensi besi dapat terjadi dari pola makan
sehari-hari yang rendah besi. Kurang protein, asam folat, vitamin B12 dari makanan sehari-hari juga
memungkinkan terjadinya anemia, mengingat pentingnya unsure-unsur tersebut dalam pembentukan
sel-sel darah merah. Anemia juga bisa disebabkan hal-hal lain seperti pendarahan kecil tetapi terus
menerus (slow bleeding) seperti akibat wasir, tukak lambung, kanker lambung atau usus dan efek
penggunaan aspirin atau obat-obat nonsteroidal anti inflamasi terus
penyakit yang berhubungan dengan darah seperti leukemia dan infeksi (cacing, malaria). Pecandu
alcohol, perokok, pasien dengan penyakit saluran pencernaan (gastritis, celiac disease atau
crohn’s disease), vegetarian ekstrim, orang lanjut usia dan wanita hamil termasuk yang
beresiko defisiensi besi, akibat gizi buruk atau kurang gizi atau penyerapan gizi kurng baik.
2.22 Anemia
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga kelompok:
1. Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal Pada anemia tipe ini, tubuh
memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak
berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau
kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit
berjalan normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell
anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12, dan
Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan
untuk proses eritropoesis.
2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan terhadap tekanan
sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia
hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain: Keturunan, seperti sickle
cell anemia dan thalassemia Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau
beberapajenis makanan
Autoimun
Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan kimiawi, hipertensi
berat, dan gangguan trombosis Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel
darah merah dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
3. Anemia Akibat Kehilangan Darah Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat
ataupun pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis
umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau
kanker saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan ulkus atau
gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses kelahiran .
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, nomor register, tanggal MRS, diagnose medis.
b. Keluhan utama: biasanya pasien mengeluh lemas, lesu, dan
pusing.
c. Riwayat kesehatan:
Riwayat penyakit sekarang
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC:
Aspiration Control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama ..pasien menunjukkan
keefektifan jalan nafas dibuktikan
dengan kriteria hasil :
Mendemonstrasikan
batuk
efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum,
bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
Intervensi
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral /
tracheal suctioning
Auskultasi suara nafas
sebelum dan sesudah
suctioning.
Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
suctioning
Minta klien nafas dalam
sebelum
suction
dilakukan.
Berikan
O2
dengan
menggunakan nasal untuk
memfasilitasi
suksion
nasotrakeal
Gunakan alat yang steril
sitiap melakukan tindakan
Anjurkan pasien untuk
istirahat dan napas dalam
Mampu
mengidentifikasikan
dan mencegah faktor yang penyebab.
Saturasi O2 dalam batas normal
Foto thorak dalam batas normal
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
setelah
kateter
dikeluarkan
dari
nasotrakeal
Monitor status oksigen
pasien
Ajarkan
keluarga
bagaimana
cara
melakukan suksion
Hentikan suksion dan
berikan oksigen apabila
pasien
menunjukkan
bradikardi, peningkatan
saturasi O2, dll.
Airway Management
Buka
jalan
nafas,
guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Identifikasi
pasien
perlunya pemasangan alat
jalan nafas buatan
Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
Auskultasi suara nafas,
catat
adanya
suara
tambahan
Monitor respirasi dan
status O2
NOC :
comfort level
Setelah
dilakukan
tinfakan
keperawatan selama 1x1 jam Pasien
tidak mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
Intervensi
NIC :
Pain Management
NO
1
Masalah keperawatan
(Diagnosa)
Ketidakseimbangan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh
Tindakan/ intervensi
ds :
fluid intake
- Pasien dapat mudah makan
ibu W mengatakan :
- Tidak sakit tenggorokan saat menelan
- anaknya sudah 2 minggu - BB meningkat atau kembali seperti
susah makan
- sakit
tenggorokan
2
oral
Memberikan maknan dalam porsi
makanan
cukup
yang
sebelum sakit
saat
menelan
Resiko infeksi
daging hewan
Memberikan suplemen zat besi
b.d
penularan
Kriteria hasil :
1) Imun status
- Tidak terjadi penurunan BB
- Penurunan resio infeksi
2) Risk control : infection
-
Control
Orang
2) Medication management :
- Memberikan terapi
-
infeksi
Memberikan
obat
obat
anti
untuk
menginfeksi lainnya
tua
mampu
Kurangnya pengetahuan
b.d
kurangnya
informasi
gejala infeksi
Tujuan : orang tua dapat mengetahui 1) Teaching: disease process :
- Berikan penilaian tentang tingkat
tentang penyakit infeksi
pengetahuan pasien tentang proses
-
penyakit
Menjelaskan
penyakit
Menggambarkan tanda gejala suatu
Kriteria hasil :
1) Knowledge
-
process
Orang tua
prognosis,
diesease
menyakatakan
dan
program
-
melaksanakan
-
dengan benar
Orang
tua
prosedur
mampu -
tepat
Mendiskusikan
kepada
orang
tua
kesehatan
-
3.2 Saran
Oleh karena itu penting untuk memeriksakan orang-orang yang kontak erat dengan penderita
TB paru terutama pada anak karena sistem imun pada anak belum stabil sehingga mudah
untuk terinveksi. Dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru penemuan
penderita dilakukan dengan cara pencarian penderita yang tersangka TB di tengah-tengah
masyarakat baik secara pasif maupun secara aktif, untuk diperiksa riaknya secara mikroskopis
langsung. Oleh karena sangat penting ditemukan penderita sedini mungkin untuk diberi
pengobatan sampai sembuh sehingga tidak lagi membahayakan lingkungannya.
L
M
N
O
P
Q DAFTAR PUSTAKA