Anda di halaman 1dari 11

ANOTASI BIBLIOGRAFI

CURRICULUM CITIZENSHIP EDUCATION


PENGEMBANGAN KURIKULUM PKn
Oleh:
Malyen Sharly Sapulette
13705251031
Jurusan Pascasarjana Ilmu Pendidikan Sosial
Konsentrasi Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Yogyakarta

James Arthur & Jon Davison. (2000). Social literacy and citizenship education in the school
curriculum. The Curriculum Journal, 11 (1): 9-23
Artikel yang dipaparkan oleh James dan Jon ini membahas tentang dimensi sosial
pendidikan kewarganegaraan. Sebagai bagian dari kurikulum di sekolah, dimensi sosial
diharapkan masyarakat dapat memperbaiki perilaku anak-anak dan mengajarkan mereka
tentang nilai-nilai yang berarti baik perilaku. Karena, diasumsikan bahwa perkembangan
sosial murid merupakan bagian dari aspirasi sekolah. Program pendidikan pribadi dan
sosial, bersama-sama dengan pendidikan kewarganegaraan, selalu menekankan berbagai
keterampilan sosial dan keterampilan ini seluruhnya mulai diperkenalkan dan dibangun
sepanjang tahun di sekolahan. Akal dan kemampuan individu untuk mengambil keputusan
secara sosial produktif tidak berkembang dengan sendirinya; sebaliknya, mereka
memerlukan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan. Oleh karena itu, anak-anak perlu
diberi kesempatan untuk mengalami hubungan sosial secara langsung sehingga mereka
dapat menjalankan nilai-nilai yang dimuat dalam wacana dan dengan demikian menjadi
warga negara yang aktif informasi dan diperdayakan secara etis.
Alan Smith. (2003). Citizenship Education in Northern Ireland: beyond national identity?.
Cambridge Journal of Education, 33 (1): 15-31
Artikel ini menjelaskan komitmen dan kepercayaan pembangunan yang terdapat di Belfast
(Jumat Agung). Perjanjian dan penerapannya untuk mengembangkan konsep
kewarganegaraan yang melampaui dua nasionalisme utama yang ada di Irlandia Utara.
Pengenalan kurikulum pendidikan kewarganegaraan di semua sekolah di Irlandia Utara
adalah salah satu cara untuk mendasari komitmen jangka panjang untuk politik demokrasi
sebagai bagian dari proses perdamaian yang rapuh. Namun, konsep kewarganegaraan
memerlukan pertimbangan cermat dalam masyarakat di mana ada kesetiaan yang berbeda
yang menimbulkan pertentangan atas status konstitusional masa depan masyarakat itu
sendiri. Baik identitas nasional Inggris atau Irlandia memberikan dasar 'patriotik' model
kewarganegaraan yang dapat diterima di semua sekolah.
Mike Bottery. (2003). The End of Citizenship? The Nation State, Threats to its Legitimacy, and
Citizenship Education in the Twenty-rst Century. Cambridge Journal of Education, 33 (1):
101-122
1

Artikel ini berpendapat bahwa kewarganegaraan merupakan sebuah konsep yang memiliki
sejarah panjang yang patut dihormati, namun sekarang ini konsep secara relatif baru,
terutama konstruksi yang diciptakan 2-300 tahun lalu untuk meningkatkan status dan
pengaruh dari calon negara bangsa Barat. Dihasilkan untuk menanamkan populasi yang
berbeda keyakinan bahwa kesetiaan utama tidak harus ke wilayah maupun seorang raja,
tetapi bisa untuk sesuatu yang ada, yang lebih besar dari ukuran yang diperdebatkan dan
komposisi, negara bangsa. Namun karena pengaturan waktu dalam politik, dan ada variasi
seperti dalam praktek, ada peningkatan kesadaran dari sifatnya sebagai konstruksi yang
dapat didekonstruksi. Maka, status dari konsep kewarganegaraan saat ini mengalami
ketimpangan setidaknya pada sebagian keabsahan oleh mereka yang menghuni perbatasan
sebagai bangsa suatu negara. Namun tulisan ini berpendapat bahwa tidak hanya ada
kesadaran yang lebih besar dari yang arti kesempatan, tetapi ada juga kekuatan di dunia
pada umumnya yang saat ini membatasi kekuasaan dan mengancam legitimasinya. Maka,
yang menjadi pertanyaan pada artikel ini, apakah negara dari sebuah bangsa dapat
menanamkan kesetiaan pada penduduknya, dan menjadi fokus utama untuk membentuk
demi kewarganegaraan di masa depan. Pertanyaan lebih lanjut yang kemudian diajukan
yaitu seperti apa bentuk masa depan organisasi akan menghasilkan legitimasi yang lebih
besar dan apa bentuk kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan mungkin akan
lebih menonjol di tahun-tahun mendatang.
Elizabeth Criddle, Lesley Vidovich & Marnie O'Neill. (2004). Discovering democracy: an
analysis of curriculum policy for citizenship education. Westminster Studies in Education, 27
(1): 27-41
Di dalam artikel ini ketiga penulis mengkaji tentang analisis kebijakan kurikulum
pendidikan kewargangeraan yang menekankan pada analisis proses kebijakan daripada
pengukuran hasil belajar, karena siswa dan orang tua tidak terlibat langsung sebagai
responden. Dan ketiga penulis ini juga mempelajari dampak kebijakan kurikulum
demokrasi pada hasil belajar dari Negara Australia. Karena, secara umum analisis
kebijakan pendidikan kewarganegaraan bersangkutan dengan negara-negara lain, terutama
dengan meningkatnya kekhawatiran tentang identitas nasional di era globalisasi.
Tan Tai Wei & Chew Lee Chin. (2004). Moral and citizenship education as statecraft in
Singapore: a curriculum critique. Journal of Moral Education, 33 (4): 597-606
Artikel yang dibuat oleh kedua penulis merupakan uraian tinjauan umum
Kewarganegaraan dan Pendidikan Moral Civics and Moral Education (CME) kurikulum
ini telah dikembangkan dan sedang digunakan di Singapura pada sekolah dasar, menengah
dan pra-universitas. Hal ini penting untuk membedakan, pendidikan awal, moral dan
kewarganegaraan dari nilai-nilai dan pelatihan kewarganegaraan sebagai instrumen
ketrampilan negarawan. Pendidikan moral harus melibatkan pencarian, pemahaman dan
hidup yang tulus dengan kebenaran moral. Dan sekarang, kewajiban moral timbul dalam
semua aspek kehidupan seseorang, karena itu merupakan aspek yang berkaitan dengan
kewarganegaraan. Oleh karena itu pendidikan moral harus mencakup pendidikan
kewarganegaraan. Semua warga negara seharusnya memiliki pendidikan moral dan hidup
dengan nilai-nilai moral sebagai cara menghargai hidup, terlepas dari kegunaan pertanyaan.

Harriet Marshall. (2005). Developing The Global Gaze In Citizenship Education: Exploring The
Perspectives Of Global Education NGO Workers In England. International Journal of
Citizenship and Teacher Education, 1 (2): 76-92
Harriet Marshall dalam artikelnya ini mengacu pada bidang pendidikan global di Inggris
yang terdiri dari berbagai individu dan organisasi yang bekerja untuk penggabungan
persoalan global dan nilai-nilai keadilan sosial global kedalam sekolahan. Artikel ini
mempertimbangkan pandangan dari 32 pendidikan global NGO (Non-Governmental
Organisation) di Inggris yang bekerja untuk mencantumkan dimensi global di sekolah,
sebagian ada yang bekerja dengan Citizenship Curriculum yang baru. Rancangan
penelitian ini berusaha untuk menemukan bagaimana aktivis di bidang ini bertujuan untuk
mengarahkan dan menyebarkan pengetahuan melalui pendidikan (khususnya dalam
konteks memprakarsai pendidikan kewarganegaraan yang baru). Dalam rangka untuk
menyoroti teladan ilmu mendidik dan perspektif diluar pendidikan formal yang bekerja
untuk mempengaruhi kurikulum. Persoalan pendidikan kewarganegaraan, batas kurikulum
dan kritis pedagogi dianggap sebagai eksplorasi agar bagaimana pendidik global dapat
membuat konsepsi bagi pelajar global dan guru global. Sebagai tema antar cabang ilmu
pengetahuan pendidikan global telah mengembangkan hubungan yang kuat dengan
pendidikan kewarganegaraan dan telah ada sejumlah sebutan untuk pendidikan
kewarganegaraan global. Namun tulisan ini berpendapat bahwa dasar pengetahuan yang
belum jelas dan pesan pedagogik campuran antara pendidikan global dan pendidikan
kewarganegaraan global dapat menjadi masalah bagi program pelatihan guru dan guru
yang bekerja dalam pedagogi berbasis kinerja tendensi sekolah.
Jasmine Boon-Yee Sim & Murray Print. (2005). Citizenship Education and Social Studies in
Singapore: A National Agenda. International Journal of Citizenship and Teacher Education,
1(1): 58-73
Dalam artikel ini penulis mengkaji tentang Studi Sosial dalam Pendidikan Kewarganegraan
di Singapura. Dalam tahap awal pelaksanaan, dapat dipastikan bahwa studi sosial adalah
keberangkatan dari program pendidikan kewarganegaraan masa lalu. Studi Sosial dalam
menekankan perkembangan pemikiran siswa, merupakan langkah penting dalam
kurikulum terang sejarah konservatif pendidikan kewarganegaraan di Singapura, dan ini
mengandung implikasi pada pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah. Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan bentuk, tujuan dari sekolah umum menurut sejarah dalam
masyarakat, seperti yang terjadi di Singapura. Pengenalan Studi Sosial sebagai pelajaran
wajib dan diuji pada sekolah menengah di Singapura pada tahun 2001 mencerminkan
bahwa pendidikan kewarganegaraan terus menerus diingat untuk memenuhi kebutuhan
nasional. Oleh karena itu, studi sosial telah menjadi subjek utama negara untuk pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks pendidikan nasional.
Kathy Bickmore. (2005). Teacher Development for Conflict Participation: Facilitating Learning
for Difficult Citizenship Education. International Journal of Citizenship and Teacher
Education, 1 (2): 1-16
Artikel ini secara khusus mengkaji tentang hal terkait pengembangan-peluang profesional
guru untuk mendukung mereka dalam memberikan kemudahan mengajar pendirian
perdamaian kewarganegaraan. Peluang pembelajaran profesional seringkali dibuat singkat,
membagi-bagi kesempatan, terutama pada waktu guru sukarelawan pulang sekolah: ini
3

sangat membatasi potensi mereka untuk mendorong pembelajaran dialogis kritis pada
pokok-pokok sulit praktek pendidikan kewarganegaraan.
Michelle D. Deardorff, Thandekile R. M. Mvusi, Leslie Burl McLemore & Jeffrey Kolnick.
(2005). The Fannie Lou Hamer National Institute on Citizenship and Democracy: Engaging a
Curriculum and Pedagogy. The History Teacher, 38 (4): 441-453
Pada artikel ini keempat penulis mencoba membahas tentang Kurikulum Kewarganegaraan
dan Demokrasi di Hamer Institute. Inti dari kurikulum Hamer Institute adalah keyakinan
mengenai ilmu pengetahuan terbaru tentang perkembangan kewarganegaraan dan
demokrasi yang diintegrasikan ke dalam K-12 kurikulum nasional. Fokusnya adalah secara
konsisten pada kelompok-kelompok bangsa yang terorganisir telah berhasil menuntut agar
pintu kebebasan terbuka lebar untuk memasukkan Amerika ke dalam janji demokrasi. Dan
menggunakan pendekatan pedagogis agar siswa mengalami pembelajaran yang ditekankan
pada "melakukan" agar mereka memiliki ketrampilan saat diajarkan atau belajar.
Tasneem Ibrahim. (2005). Global citizenship education: mainstreaming the curriculum?.
Cambridge Journal of Education, 35 (2): 177-194
Dalam artikel penulis membahas tentang mainstreaming the curriculum?. Pendidikan
Kewarganegaraan menyediakan sarana yang melaluinya kewarganegaraan dunia dapat
menjadi hak bagi semua siswa dalam kerangka pembelajaran yang didasarkan pada hak
asasi manusia, keadilan sosial dan partisipasi demokratis. Pengenalan Kewarganegaraan ke
dalam kurikulum nasional sebagai subjek hukum pada tingkat menengah memberikan
kesempatan untuk pengembangan keterampilan dan nilai-nilai tertentu dalam konteks
pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Pengakuan bahwa
pendidikan kewarganegaraan bukan hanya tentang pengembangan pengetahuan dan
keterampilan bagi masyarakat yang demokratis tetatpi juga membutuhkan pembentukan
nilai dan sikap terkait memberikan kesempatan bagi guru dan siswa untuk menjadi terlibat
dalam pembahasan makna tentang pendidikan kewarganegaraan. Namun, fokus utama dari
program Citizenship pada pengetahuan dan pemahaman dan keterampilan meremehkan
penekanan Oxfam pada sentralitas nilai dan sikap orang-orang muda untuk bekerja lebih
adil, merata dan berkelanjutan dunia. Ini disebut pendekatan holistik untuk pendidikan
global yang lebih dari 'penghapusan perbatasan nasional' sebagai hasil kurikulum.
Yusef Waghid. (2005). Action as an Educational Virtue: Toward a Different Understanding of
Democratic Citizenship Education. Educational Theory, 55 (3): 322:342
Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menunjukkan bahwa tindakan penuh kasih dan
imajinatif memungkinkan untuk memperpanjang beberapa dimensi dasar pendidikan
kewarganegaraan demokratis, khususnya dengan membentuk kembali pemahaman tentang
uraian pembahasan dan pengakuan tentang perbedaan dengan yang lain. Penulis
berpendapat bahwa upaya untuk menumbuhkan kewarganegaraan demokratis di sekolah
dan universitas tidak bisa fokus hanya pada mengajar siswa melalui model konvensional
tapi juga uraian pembahasan dan kepekaan terhadap perbedaan dan keberbedaan. Penulis
juga menyarankan bahwa siswa harus diajarkan apa artinya bertindak dengan kasih sayang
dan imajinatif karena tindakan tersebut memiliki potensi untuk memajukan perdamaian
masyarakat, yang penting untuk membangun hubungan kepedulian, keadilan, dan
kepercayaan di universitas dan sekolah. Pada akhirnya, pendekatan semacam itu dapat
4

menghasilkan agenda yang


kewarganegaraan demokratis.

berbeda

dan

lebih

menjanjikan

untuk

pendidikan

Audrey Osler & Hugh Starkey (2006). Education for democratic citizenship: a review of
research, policy and practice 19952005. Research Papers in Education, 21 (4): 433-466
Makalah ini mengkaji peran Education for Democratic Citizenship (EDC) dalam
menjawab tantangan politik ini, pengaturan perkembangan kebijakan nasional baik dalam
konteks Eropa maupun internasional dan menjelajahi konsensus internasional yang terus
berkembang serta HAM sebagai prinsip dasar dari EDC. Penelitian mengidentifikasi
beberapa tema kunci, seperti keragaman dan kesatuan; kewarganegaraan global dan
kosmopolitan; anak-anak sebagai warga negara; sekolah yang demokratis; pemahaman
kewarganegaraan dan demokrasi siswa; peran pelengkap dari sekolah dan masyarakat;
Kewarganegaraan Eropa; dan pelaksanaan praktis EDC di tingkat sekolah.
David Gillborn. (2006). Citizenship Education As Placebo: Standards, Institutional Racism
And Education Policy. Education, Citizenship & Social Justice, 1(1): 1-16
Dalam artikel penulis mengkaji dengan kritis mengenai bukti rasisme kelembagaan dalam
sistem pendidikan Inggris dan berpendapat bahwa kemajuan pendidikan kewarganegaraan,
sebagai solusi untuk masalah ini, bertindak sebagai placebo dalam hal niat dan hasil
kebijakan. Pendidikan Kewarganegaraan sekarang menjadi komponen yang dibutuhkan
kurikulum nasional yang harus diajarkan oleh semua sekolah yang didanai negara di
Inggris. Hal ini terus disorot oleh para pembuat kebijakan sebagai pembaharuan utama
untuk memajukan kohesi sosial pada umumnya, dan kesetaraan ras pada khususnya. Pada
saat yang sama, bagaimanapun, pemerintah terus mengikuti apa yang dinamakan 'standar'
agenda yang menekankan hirarki sekolah berdasarkan kinerja siswa dalam
mempertaruhkan hasil tes yang tinggi dan memajukan peningkatan seleksi yang diketahui
merugikan Black Students. Akibatnya, strategi kebijakan utama pendidikan itu sendiri
dinyatakan sebagai rasisme menurut definisi pemerintah sendiri. Dalam konteks ini bahwa
memajukan pendidikan kewarganegaraan dapat dilihat sebagai placebo (kematian)
kebijakan publik, yaitu berpura-pura memberikan pengaruh tindakan untuk kelembagaan
rasisme tetapi pada kenyataannya, tanpa hakekat atau pengaruh.
Kathleen Knight Abowitz. (2006). Contemporary Discourses of Citizenship. Review of
Educational Research Winter, 76 (4): 653690
Artikel ini menyajikan kerangka konseptual untuk wacana saat ini yaitu membangun
makna kewarganegaraan dalam budaya Barat kontemporer, khususnya Amerika Serikat
dan mempertanyakan pandangan kehidupan politik di negara-negara demokrasi Barat yang
dimajukan oleh wacana dominan kewarganegaraan K-12 di sekolah. Dengan menggunakan
analisis wacana ini, penulis meneliti teks-teks yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan
pendidikan kewarganegaraan dari 1990-2003, mengidentifikasi tujuh kerangka yang
berbeda meskipun tumpang tindih. Pendukung Republik Kewarganegraan dan Kaum
Liberal merupakan kerangka kerja yang paling berpengaruh dalam membentuk pendidikan
kewarganegaraan saat ini; lima hal yang paling aktif dalam menentang medan praktek
kewarganegaraan dalam arena politik hidup.

Mark Evans. (2006). Educating for Citizenship: What Teachers Say and What Teachers Do.
Canadian Journal of Education, 29 (2): 410-435
Dalam artikel ini, guru pedagogi pendidikan kewarganegaraan di Kanada dan Inggris
diselediki sebagai objek penelitian ini untuk mengetahui bagaimana praktek pedagogis
diterapkan diberbagai metode pengajaran, pendekatan penilaian, dan pertimbangan
lingkungan kelas. Pemilihan dan kecenderungan tersendiri dicatat dalam kaitannya dengan
tujuan diberikan prioritas dan praktek yang digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran
siswa. Kecenderungan melintasi berbagai perspektif kurikuler (misalnya transmisi,
transaksional, dan transformasional), mengistimewakan (dan pengabaian) tujuan
pembelajaran kurikuler tertentu dan menandakan tingkat ambiguitas antara apa yang guru
katakan dan apa yang guru lakukan.
Robert Pinet. (2006). The Contestation of Citizenship Education at Three Stages of the LINC
4&5 Curriculum Guidelines: Production, Reception, and Implementation. Revue Tesl Du
Canada, 24 (1): 1-20
Dalam artikel ini penulis menganalisis proses pembuatan kurikulum LINC 4 & 5 Garis
Pedoman Kurikulum (TCDSB, 1999) melalui tiga tahap: dari produksi, melalui
penerimaan, pelaksanaan. Tahap produksi diselidiki dengan membandingkan penjelasan
dari dua anggota Advisory atau Komite Spesialis yang membantu mempersiapkan
dokumen. Tahap penerimaan diutamakan pada tingkatan analisis tematik Garis Pedoman.
Tahap implementasi diselidiki melalui wawancara dengan lima guru LINC (Language
Instruction for Newcomers to Canada) saat ini atau sebelumnya, yang membahas
bagaimana mereka menggunakan atau penggunaan Garis Pedoman sebagai bagian dari
penggunaan kurikulum.
Robert Lawy & Gert Biesta. (2006). Citizenship-As-Practice: The Educational Implications of
an Inclusive and Relational Understanding of Citizenship. British Journal of Educational
Studies, 54 (1): 34-50
Artikel ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan hubungan antara wacana
terkait yang menganjurkan pandangan sampai dengan hubungan kewarganegaraan sebagai
praktek dalam lingkungan sosial-ekonomi dan politik, dan budaya yang khas. Selama
beberapa tahun terakhir telah terjadi perbaharuan minat mengenai pertanyaan
kewarganegaraan dan khususnya hubungannya dengan anak-anak muda. Hal ini telah
bersekutu dengan wacana pendidikan di mana pertanyaan lebih ditekankan pada sesuatu
yang berkaitan dengan 'hasil' bukan dengan 'proses'. Dari penelitian ini penulis
menyimpulkan bahwa program pendidikan yang sesuai akan menghormati hak status
kewarganegaraan setiap orang dalam masyarakat, termasuk anak-anak dan kaum muda.
Wolfgang Althof & Marvin W. Berkowitz. (2006). Moral education and character education:
their relationship and roles in citizenship education. Journal of Moral Education, 35 (4): 495518
Artikel ini memuat tentang apa itu pendidikan karakter?. Para peneliti berpandangan
bahwa sisi lain dari Pendidikan karakter yaitu menjalankan keseluruhan program mandiri
untuk modul pada program akademik dengan kegiatan ekstra kurikuler dan sebagai budaya
seluruh sekolah, manajemen perilaku dan/atau model perbaikan. Persekutuan Pendidikan
Karakter menunjukkan bahwa pendidikan karakter harus menjadi bagian dari semua aspek
6

kehidupan sekolah. Misalnya, di Amerika Serikat pendidikan karakter adalah bagian dari
kurikulum ilmu sosial dan/atau kursus kewarganegaraan yang berdiri sendiri sebagai
program KKN, dan bahkan terdapat di luar struktur jam sekolah.
Halleli Pinson. (2007). At the Boundaries of Citizenship: Palestinian Israeli
Citizens and the Civic Education Curriculum. Oxford Review of Education, 33
(3): 331-348
Artikel ini sebagian didasarkan pada disertasi penulis yang menggunakan 13 pejabat
Kementerian dan 20 siswa muda Israel Arab-Palestina sebagai moderator. Artikel ini
membahas mengenai ketegangan antara pencantuman dan pengeluaran dan antara
universalisme dan partikularisme karena mereka muncul dari kurikulum pendidikan
kewarganegaraan resmi di Israel. Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa gambaran dan
posisi warga Palestina dalam wacana resmi pendidikan kewarganegaraan. Analisis ini
menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di Israel yang terbaik merupakan sikap
ambivalen yang terperangkap dalam ketegangan antara pencantuman dan pengeluaran.
James A. Banks. (2008). Diversity, Group Identity, and Citizenship Education in a Global Age.
Educational Researcher, 37 (3): 129-139
James Bank dalam artikel ini menilai bahwa siswa mengalami demokrasi di ruang kelas
dan sekolah ketika perubahan pendidikan kewarganegaraan diimplementasikan. Akibatnya,
mereka lebih mampu menginternalisasi kepercayaan demokrasi dan nilai-nilai dan untuk
memperoleh pengenalan dan tanggung jawab budaya. Sekolah secara keseluruhan,
termasuk pengetahuan yang disampaikan dalam kurikulum, perlu diperbaharui untuk
melaksanakan perubahan pendidikan kewarganegaraan. Ketimpangan dan stratifikasi
dalam masyarakat yang lebih luas ditantang dan tidak direproduksi dalam perubahan dan
demokrasi ruang kelas dan sekolah. Perubahan Pendidikan kewarganegaraan membantu
siswa untuk mengembangkan budaya, nasional, regional, dan pengenalan global dan untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memajukan keadilan
sosial di masyarakat, bangsa, dan dunia.
Tristan McCowan. (2008). Curricular transposition in citizenship education. Theory and
Research in Education, 6 (2): 153-172
Artikel ini mengajukan kerangka teoritis, yang menunjuk sebagai 'perubahan kurikuler',
untuk memahami tugas kompleks mewujudkan cita-cita normatif kewarganegaraan melalui
pendidikan. Kerangka kerja ini menyoroti empat tahap dalam proses pendidikan: cita-cita
dan aspirasi yang mendasari sebuah inisiatif; program kurikuler yang dirancang untuk
mencapainya; pelaksanaan program dalam praktek; dan dampaknya pada siswa. Lompatan
antara tahap ini melibatkan pergerakan antara tujuan dan sarana dan antara cita-cita dan
kenyataan sangat meragukan. Ide-ide ini dieksplorasi dalam konteks kasus empiris:
Pemilih program masa depan di Brasil. Pemisahan diamati pada berbagai tahap
khususnya, kurangnya 'harmoni' antara tujuan dan sarana, dan kurangnya kepemilikan
inisiatif guru dalam proses implementasi - mengarah ke perbedaan antara tujuan awal dan
efek yang sebenarnya.
Avril Keating. (2009). Nationalizing the post-national: reframing European citizenship for the
civics curriculum in Ireland. Journal of Curriculum Studies, 41 (2): 159-178
7

Artikel ini memaparkan tentang European Citizenship. Apakah inisiatif pendidikan


kewarganegaraan Eropa berdampak pada kurikulum tingkat nasional dan bagaimana
konsep kewarganegaraan Eropa didefinisikan dan dibangun dalam program pendidikan
kewarganegaraan nasional?. Pertanyaan-pertanyaan ini diselidiki dengan menggunakan
kualitatif, metode sosio-historis melalui studi kasus perbaikan kurikuler di Republik
Irlandia. Kasus ini menggambarkan bahwa telah terjadi perluasan secara bertahap
memperdalam di mana warga negara Eropa dihubungkan dalam kurikulum Irlandia.
Namun, ini tetap menjadi gambaran yang sempit bagi kewarganegaraan Eropa, yang
dimana akhirnya membatasi pengaruh yang kuat pada kewarganegaraan nasional dan
harapan kewarganegaraan Eropa.
Andrew S. Hughes, Murray Print & Alan Sears. (2010). Curriculum capacity and citizenship
education: a comparative analysis of four democracies. Compare: A Journal of Comparative
and International Education, 40 (3): 293-309
Didalam artikel ini para penulis menguraikan tentang perkembangan terakhir pendidikan
kewarganegaraan dalam empat demokrasi Barat terkemuka - Australia, Kanada, Inggris
dan Amerika Serikat; masing-masing dengan keberhasilan dan kekurangan tersendiri.
Selain kesamaan ada perbedaan kontekstual penting yang berdampak pada pengembangan
kebijakan dan implementasi. Australian, Kanada, dan Amerika Serikat adalah negara
federasi sementara Inggris adalah negara kesatuan, di mana pendidikan merupakan
kekuasaan konstitusional negara bagian atau provinsi. Hanya persekolahan Inggris yang
mengendalikan pusat dan bahkan ada kontrol lokal melalui otoritas pendidikan setempat.
Namun, penerapan kurikulum nasional yang terpusat di Inggris membuat perbedaan yang
signifikan, bagaimana inisiatif kurikuler dapat dikembangkan dan diimplementasikan?.
Semakin terdesentralisasi kontrol kurikulum, semakin kecil kemungkinan bahwa respon
kolaboratif nasional untuk kebutuhan kurikuler akan ditemukan.
Wiel Veugelers. (2011). Theory and Practice of Citizenship Education. The Case of Policy,
Science and Education in the Netherlands/Teora y prctica de la educacin en la ciudadana.
Poltica, ciencia y educacin en los Pases BajosRevista de Educacin, nmero extraordinario.
Fecha de aceptacin, 1(4): 209-224
Dalam artikel ini penulis menganalisis mengenai beberapa tema yang berperan dalam
pembahasan dan menghubungkannya dengan penelitian pendidikan kewarganegaraan.
Perhatian khusus akan diberikan kepada perbedaan dalam mendefinisikan konsep
kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan, pengenalan budaya lain, dan sekolah
sebagai tempat latihan. Bagian kedua menganalisis pengembangan pendidikan
kewarganegaraan dan kemungkinan di dua tingkat kebijakan: pemerintah, dan sekolah.
Pada tingkat pemerintahan, penulis akan mempertimbangkan: wacana kebijakan
pendidikan; kebijakan kurikulum; masyarakat sipil; otonomi sekolah; perbedaan antara
sekolah, dan wacana pedagogis. Di tingkat sekolah penulis akan menganalisis tempat
pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum, kepemilikan guru, pendekatan pedagogisdidaktis dan pandangan siswa tentang pendidikan kewarganegaraan.
Mavis B. Mhlauli (PhD). (2012). The Role of Education on Citizenship Development in
Africa. British Journal of Arts and Social Sciences, 4(1): 104-115

Artikel ini membahas peran pendidikan dan sekolah pada khususnya, untuk pengembangan
warga dalam benua Afrika. Secara historis, pendidikan kewarganegaraan selalu dianggap
sebagai konsep Barat dalam benua Afrika (Ali, 2008; Mautle, 2000). Hal ini diperburuk
dengan pandangan sempit bahwa pendidikan kewarganegaraan baru sebagai pendekatan di
sekolah sering berorientasi Barat. Gambaran dari teori pasca kolonial, penulis berpendapat
bahwa meskipun pendidikan dan sekolah pada khususnya telah memainkan peran penting
dalam pengembangan masyarakat di Afrika selama era pasca kemerdekaan, pendidikan
kewarganegaraan bukanlah konsep baru. Penulis lebih menginterogasi upaya dan inisiatif
pemerintah Afrika dalam mendorong kewarganegaraan melalui sekolah. Pendidikan
kewarganegaraan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari fokus pendidikan antara
negara-negara tersebut dan sekolah juga menjabat sebagai agen perubahan sosial. Hal ini
dicontohkan oleh proyek-proyek nasional yang berbeda sebagaimana tercantum dalam
kebijakan pendidikan yang meliputi antara lain; akses ke pendidikan, kebijakan bahasa,
sistem pengetahuan adat dan Africanization dari kurikulum sekolah agar relevan dengan
kebutuhan nasional. Penulis menyimpulkan bahwa inisiatif ini adalah usaha yang disengaja
dan ditujukan terhadap pembangunan kewarganegaraan untuk memberikan anak-anak
jenis pendidikan tertentu yang ideal bagi pembangunan nasional dalam negara-negara
berkembang. Oleh karena itu, penulis menyarankan bahwa pengajaran pendidikan
kewarganegaraan melalui studi sosial di sekolah dasar harus dikonsepkan kembali untuk
mencerminkan konteks lokal dan cara-cara mereka mengetahui untuk mendekonstruksi
narasi utama yang sering abstrak dan berorientasi barat.
Snodia Magudu. (2012). Citizenship Education in Zimbabwe: Challenges and Prospects.
Journal of Educational and Instructional Studies in The World, 2 (4): 179-187
Dalam artikel ini Snodia mengkaji tentang Citizenship Education in Zimbabwe. Upaya
untuk memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum lembaga
pendidikan seperti sekolah dasar, menengah dan kejuruan serta ketiga universitas di
Zimbabwe telah berlangsung sejak tahun 1980. Penelitian kualitatif ini mempelajari
tantangan yang muncul dari mengajar pendidikan kewarganegaraan melalui kurikulum
sejarah sekolah menengah di negera ini. Dua puluh tiga guru Sejarah (9 perempuan dan
laki-laki 14) berpartisipasi dalam penyelidikan ini. Temuan menunjukkan bahwa tantangan
yang berkaitan dengan pendidikan kewarganegaraan di negara ini berasal dari konteks
yang sedang diajarkan dan pengaruh yang terkandung didalamnya, dan isi dari kurikulum
pendidikan kewarganegaraan. Akibatnya mata pelajaran dipandang sebagai upaya untuk
mengindoktrinasi kaum muda.
Catherine Barrue & Virginie Albe. (2013). Citizenship Education and Socioscientic Issues:
Implicit Concept of Citizenship in the Curriculum, Views of French Middle School Teachers.
Science & Education, 22(5):10891114
Catherine dan Virginie mengkaji makalah ini dilihat dari pada pandangan guru dan
kontribusi mereka terhadap pendidikan kewarganegaraan melalui topik sosial ilmiah yang
dijelaskan dalam kurikulum nasional. Dari analisis ini terdapat pandangan guru yang
berbeda mengenai pendidikan kewarganegaraan yang digarisbawahi: berdasarkan norma
pendidikan kewarganegaraan berhubungan dengan kesopanan dan aturan dan pendidikan
kewarganegaraan yang bebas untuk mengembangkan keterampilan siswa 'seperti mencari

dan mengevaluasi informasi, argumentasi dan berpikir kritis untuk memungkinkan siswa
membangun pendapat mereka sendiri dan ikut berpartisipasi dalam debat publik.
Eyiuche Ifeoma Olibie, PhD. (2013). Toward a Functional Citizenship Education Curriculum in
Nigerian Colleges of Education for Sustainable Development in the 21st Century. American
International Journal of Contemporary Research, 3 (8): 95-102
Penelitian oleh Eyiuche Ifeoma ini menunjukkan bahwa sejalan dengan kewarganegaraan
global, siswa Sekolah Tinggi Pendidikan di Anambra Negara Nigeria telah
mengidentifikasi kebutuhan untuk memasukkan berbagai unsur kewarganegaraan,
keterampilan, penyusunan dan pokok-pokok pendidikan kewarganegaraan. Ini akan disebut
sebagai pembenahan kurikulum untuk memasukkan komponen yang dianggap tidak
terdapat didalamnya. Oleh karena itu merupakan tugas berat bagi para pengembang
kurikulum dan pelajaran umum unit perguruan tinggi pendidikan untuk merancang
pengalaman belajar konten yang akan membantu memasukkan pokok-pokok kontemporer
untuk fungsional pendidikan kewarganegaraan. Ini akan memastikan bahwa Nigeria
menjadi masyarakat yang berkelanjutan.
Sigauke, A. T. (2013). Citizenship Education in the Social Science Subjects: An Analysis of the
Teacher Education Curriculum for secondary schools. Australian Journal of Teacher Education,
38 (11):126-139
Artikel ini membahas sifat kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan yang
ditawarkan dalam program pendidikan ilmu sosial guru di lembaga pendidikan guru di
Australia. Analisis ini menggunakan sepuluh silabus mata pelajaran ilmu sosial untuk
mengetahui bagaimana guru pre-service dilatih tentang mengajar pendidikan
kewarganegaraan di sekolah ketika mereka lulus. Karena, Pendidikan Kewarganegaraan
secara luas diakui sebagai bagian penting dari kurikulum sekolah karena berbagai alasan.
Bagi anak-anak muda, diasumsikan bahwa kewarganegaraan yang baik dapat dipelajari
melalui kurikulum sekolah dan ini berarti bahwa guru harus benar-benar memahami apa
maksud kewarganegaraan dan bagaimana memberikan pengetahuan ini kepada siswa.
Dewa Bagus Sanjaya. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi dan Tantangan
Global. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No.2 TH. XXIX: 326-340
Penulis dalam artikel ini menyatakan bahwa, untuk memperkokoh kedudukan Pendidikan
Keawarganegaraan dipandang perlu adanya pencitraan, seperti misalnya mahasiswa tanpa
mengambil mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tidak akan mungkin menjadi
sarjana. Sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada saat ini mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan telah mengarah pada paradigma humanistik yang mendasarkan pada
asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Hal-hal yang mengindikasikan ke arah paradigma tersebut, tampak dari
silabus atau substansi kajian, evaluasi, dan strategi pembelajaran mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Sementara itu, untuk mengantisipasi tuntutan perubahan global
diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengemas dan mengisi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) perguruan tinggi dengan kesadaran dan sikap kritis dari mahasiswa
untuk menangkal dampak negatif globalisasi.
Daftar Jurnal dalam Anotasi Bibliografi ini:
10

American International Journal of Contemporary Research


Australian Journal of Teacher Education
British Journal of Arts and Social Sciences
British Journal of Educational Studies
Cambridge Journal of Education
Canadian Journal of Education
Compare : A Journal of Comperative and International Education
Education, Citizenship and Social Justice
Educational Researcher
Educational Theory
Fecha de Aceptacin
International Journal of Citizenship and Teacher Education
Journal of Curriculum Studies
Journal of Educational and Instructional Studies in the World
Journal of Moral Education
Oxford Review of Education
Research Paper in Education
Review of Educational Research Winter
Revue Tesl Du Canada
Science and Education
The Curriculum Journal
The History Teacher
Theory and Research in Education
Westminster Studies in Education
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja

11

Anda mungkin juga menyukai