Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human
Herpes Virus 3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan
varisela (chicken pox). Virus ini termasuk dalam famili Herpes viridae,
seperti Herpes Simplex, Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus. Herpes
Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster
Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus
tersebut bisa terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan
yang paling umum terlibat. Cabang ini menginervasi hampir semua struktur
okular dan periokular (Hodge, 2000).
B. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk
simetri isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter
150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi.
HZO merupakan reaktivasi dari VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1) (Hodge,
2000).
C. Epidemiologi
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti
serologik mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan
tahunan insidens HZ bervariasi daripada 1.5 3.4 kasus per 1000 orang.
Faktor resiko untuk perkembangan HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang
rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan yang normal. Bagaimanapun,
insidens ini terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata ratanya iaitu
10 kasus per 1000 orang (Hodge, 2000).
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya
berpengaruh pada usia tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data
insiden terjadinya HZO pada populasi Caucasian adalah 131 : 100.000.

Populasi American-Afrika mempunyai insiden 50 % dari Caucasian. Alasan


untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO
disebabkan reaktivasi dari virus laten (Straus, 2009).
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi
yang terinfeksi VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi,
dari 1,5 3, 4 kasus per 1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh
herpes zoster adalah menyusutnya sel mediated dari sistem imun yang
berhubungan dengan perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke
atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup
diperkirakan 10-20 %. Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari
hambatan respon sel mediated imun, seperti pada pasien dengan obat
imunosupresif dan HIV, dan yang lebih spesifik dengan AIDS. Pada
kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster sedikitnya 15x lebih besar
dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO terdapat 10-25 % dari semua
kasus herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik pada pasien herpes zoster
tidak terlihat berhubungan dengan umur, jenis kelamin, atau keganasan dari
ruam kulit (Hodge, 2000).
D. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah (Djuanda,
2011) :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
-Usia tua
-HIV
-Kanker
-Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
-Trauma lokal
-Demam
-Sinar UV
-Udara dingin
-Penyakit sistemik
-Menstruasi

-Stres dan emosi


E. Patogenesis
Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer
(varisela/cacar air) dan sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti
dengan penyakit yang rekuren di kemudian hari (zoster/shingles). Infeksi
primer VZV menular ketika kontak langsung dengan lesi kulit VZV atau
sekresi pernapasan melalui droplet udara. Infeksi VZV biasanya merupakan
infeksi yang self-limited pada anak-anak, dan jarang terjadi dalam waktu yang
lama, sedangkan pada orang dewasa atau imunosupresif bisa berakibat fatal
(Tunsuriyawong, 2015).
Pada anak-anak, infeksi VZV ini ditandai dengan adanya demam,
malaise, dermatitis vesikuler selama 7-10 hari, kecuali pada infeksi primer
yang mengenai mata (berupa vesikel kelopak mata dan konjungtivitis
vesikuler). VZV laten mengenai ganglion saraf dan rata-rata 20 % terinfeksi
dan bereaktivasi di kemudian hari. HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi
ini akibat reaktivasi VZV yang diperoleh selama masa anak-anak (Catron,
2008).

Gambar Morfologi golongan virus DNA & RNA dan patogenesis virus dalam sel target
penderita.

Varisela zoster adalah virus DNA yang termasuk dalam famili Herpes
viridae. Selama infeksi, virus varisela berreplikasi secara efisien dalam sel
ganglion. Bagaimanapun, jumlah VZV yang laten per sel terlalu sedikit untuk
menentukan tipe sel apa yang terkena. Imunitas spesifik sel mediated VZV
bertindak untuk membatasi penyebaran virus dalam ganglion dan ke kulit.
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N.
V. Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai
jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan
daerah torak paling banyak terkena (Tunsuriyawong, 2015).
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan
akhirnya akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal
sebagai tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi
terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda
Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan (Catron, 2008).
F. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain (Djuanda, 2011) :
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)
-

Nyeri lateral sampai mengenai mata

Demam

Malaise

Sakit kepala

Kuduk terasa kaku

Gejala-gejala di atas terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak,


dan timbul 1 - 2 hari sebelum terjadi erupsi.
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral dan penyakit di bagian mata (Ilyas, 2000) :

-Kelopak mata :
HZO sering mengenai kelopak mata. Hal ini ditandai dengan adanya
pembengkakan kelopak mata, dan akhirnya timbul radang kelopak,
yang disebut blefaritis, dan bisa timbul ptosis. Kebanyakan pasien akan
memiliki lesi vesikuler pada kelopak mata, ptosis, disertai edema dan
inflamasi. Lesi pada palpebra mirip lesi kulit di tempat lain.
-Konjungtiva
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada
konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang
disertai timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi
sekunder akibat S. aureus bisa berkembang di kemudian hari.
-Sklera
Skleritis atau episkleritis mungkin berupa nodul atau difus yang biasa
menetap selama beberapa bulan.
-Kornea
Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea
sering disertai dengan keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai
dengan kekebalan tubuh pasien. Komplikasi pada kornea bisa berakibat
kehilangan penglihatan secara signifikan. Gejalanya adalah nyeri,
fotosensitif, dan gangguan visus. Hal ini terjadi jika terdapat erupsi
kulit di daerah yang disarafi cabang-cabang N. nasosiliaris. 7Berbeda
dengan keratitis pada HSV yang bersifat rekuren dan biasanya hanya
mengenai epitel, keratitis HZV mengenai stroma dan uvea anterior pada
awalnya, lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang ada
pseudodendrit linear yang mirip dendrit pada HSV. Kehilangan sensasi
pada kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung
berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh.
- Traktus uvea
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik
penyakit ini bisa menyebabkan glaukoma dan katarak.

-Retina
Retinitis pada HZO digambarkan sebagai retinitis nekrotik dengan
perdarahan dan eksudat, oklusi pembuluh darah posterior, dan neuritis
optik. Lesi ini dimulai dari bagian retina perifer.
G. Diagnosis
Anamnesis
-

Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat


influenza like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang
mungkin berakhir sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash
unilateral menyelubungi daerah kepala, atas kening dan hidung (divisi
dermatome pertama daripada nervus trigeminus) (Djuanda, 2011).

Kira kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri


dermatom sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus
muncul keliatan yang lama kelamaan akan membentuk kluster yang
terdiri daripada papula dan vesikel. Lesi ini akan membentuk pustula dan
seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam masa 5 7 hari
(Tunsuriyawong, 2015).

Pemeriksaan Fisik
-

Periksa

struktur

eksternal/superfisial

dahulu

secara

sistematik

mengikut urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan


sklera.
-

Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang


pandang.

Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi


fotofobia

untuk

menetapkan

kemungkinan

terdapatnya

iritis.

Pengurangan sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba


dengan serat cotton.

Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek


epitel dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.

Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam


segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma

Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal


ialah dibawah 12 15 mmHg) (Ilyas, 2000).

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu (Straus,
2009) :
a.

Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik


Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel
raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi
intranukleus asidofil
b. Pemeriksaaan serologik.
HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang
kadangkala asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi
retrovirus sesuai untuk pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu
muda daripada 50 tahun yang nonimunosupres).
c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.
H. Diferensial Diagnosis
a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama (Siregar,
2005)
-Herpes simplek
-Ulkus blefaritis
b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri
-Tic Douloureux
-Migrain
-Pseudotumor orbita
-Selulitis orbita
-Nyeri akibat sakit gigi
c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea

-Epstein-Barr Virus
-Sifilis
I. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu,
meskipun ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak
berhubungan dengan umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya
tahan tubuh penderita. Ini akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah serangan awal.
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari
pasien tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh
itu semua, terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6
bulan, 28% mengenai mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus
neuropatik.
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan
kelumpuhan nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh
keratitis neuropatik, perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis,
optik neuritis, dan nekrosis retina akut.
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi
dari kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati
dan keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang
memiliki riwayat HZO, 6-14% rekuren.
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik
dan kehilangan penglihatan (Ilyas, 2000).
J. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah
dengan tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody)
dan PCR (jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan
infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus
(Catron, 2008).
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan
Acyclovir (5 x 800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan
pemakaian Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat

mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72


jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis,
stromal keratitis, serta uveitis anterior (Saad, 2011).
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki
bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap
herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian
Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes
zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise

dapat

digunakan

Valacyclovir

intravena.

Untuk

mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan
analgetik oral (Catron, 2008).
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes
zoster oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada
indikasi infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika
hanya mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat
digunakan topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi
topikal, serta dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri
(Saad, 2011).
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di
antaranya Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama
dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan
300 mg sehari sehingga mencapai 1,800 mg sehari (Catron, 2008).
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial.
Antibiotik pada kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin,
merupakan antibakteri spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis
kulit pada penderita di atas termasuk obat imunomodulator yang bekerja
memperbaiki sistem imun (Straus, 2009).
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin
untuk saraf. Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4
kali sehari dan ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat
kumur tantum verde yang berisi benzydamine hydrochloride,8 merupakan anti

inflamasi non steroid lokal pada mulut dan tengggorokan. Penderita di atas
juga mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit dalam
untuk perlindungan kesehatan kulit (Saad, 2011).
Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20
mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis
ganglion (Straus, 2009).
K. Pencegahan
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak
mengusap-usap mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk
menghindari penyebaran gejala. Bagi orang sekitar hendaknya menghindari
kontak langsung dengan penderita terutama anak-anak. Obat-obatan antiviral
seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi utama yang
lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat diberikan
tiga hari pertama munculnya gejala. Berdasarkan rekomendasi dari National
Guidelines Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa ialah 800 mg 5
kali sehari selama 7 sampai 10 hari. Sedangkan antiviral topikal tidak
dianjurkan karena tidak efektif. Antiviral digunakan untuk mempercepat
resolusi lesi kulit, mencegah replikasi virus, dan menurunkan insiden keratitis
stroma dan uveitis anterior (Saad, 2011).
L. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung
pada tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik
karena asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan
visus. Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan anak-anak
dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital diperkirakan ke
arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari komplikasi
ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata
penderita tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang.

Pada kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik (Saad,


2011).
DAFTAR PUSTAKA
Catron, T MD. 2008. Herpes Zoster Ophthalmicus. Western Journal of Emergency
Medicine. Vol (IX)
Djuanda A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Hodge, W. G., 2000, Penyakit Virus, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 336.
Ilyas, Sidarta. 2000. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Saad Shakh MD. 2011. Evaluation and Management of Herpes Zoster
Ophthalmicus from http://www.aafp.org/afp/contents.html
Siregar RS. 2005.Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.Edisi ke2. Jakarta: EGC,;84-7.
Straus SE. 2009. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatol. Gen.
Med. 7th ed.

Anda mungkin juga menyukai