TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat perbedaan suhu permukaan laut musim timur dan musim barat,
baik di perairan lepas pantai selatan Jawa (S. Hindia) maupun di perairan
Palabuhan Ratu. Levinton (1982) mendapatkan adanya perbedaan suhu
permukaan laut di perairan lepas pantai selatan Jawa, yaitu 28oC (AgustusOktober) dan 29oC (Februari-April). Demikian pula hasil penelitian LON LIPI 1975
di perairan pantai selatan Jawa diketahui adanya perbedaan suhu pada musim
kemarau (28oC) dan musim hujan (29-30)
Hasil penelitian Pariwono et al. (1988) menunjang pernyataan di atas
setelah melakukan pengukuran suhu di perairan Palabuhan Ratu pada bulan
September-Oktober (akhir musim timur) dan bulan November-Desember (awal
musim barat) masing-masing tercatat sebesar 26 dan 28
C. Selanjutnya
dikemukaan bahwa terdapat fenomena perbedaan suhu yang relaif lebih rendah
pada musim timur dibandingkan dengan musim barat menunjukkan adanya
proses upwelling di perairan yang bersangkutan.
Penyebaran suhu vertikal di perairan Teluk Palabuhan Ratu pada
kedalaman 25 meter antara 29.75-28.55 oC (rata-rata 28.43 oC). Perbedaan
tersebut disebabkan terutama adanya pengaruh penyinaran matahari terhadap
peningkatan suhu permukaan perairan teluk (Sanusi dan Atmodipoera, 1993)
Salinitas di perairan Teluk Palabuhan Ratu dipengaruhi oleh keadaan
musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara.
Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan
turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhan Ratu. Namun demikian di
perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada
musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai
salinitas rerata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing
sebesar 32.96 dan 32.33 (Pariwono et al., 1988)
Massa air bersalinitas tinggi ini berasal dari Laut Flores yang memasuki
Laut Jawa seiring dengan pergerakan arus permukaan pada Musim Timur ini
yang menuju ke barat. Menurut Wyrtki (1961), bahwa pada Musim Timur ini di
sekitar Laut Banda dan Selat Makasar bagian selatan terjadii upwelling, sehingga
daerah sekitarnya menjadi subur. Kesuburan perairan tersebut terbawa arus
hingga ke Laut Jawa sehingga mangakibatkan Laut Jawa selama dan sesudah
Musim Timur ini menjadi subur dan akan tersedia makanan bagi ikan dan
pijahannya.
Gambar 2. Arah Kecepatan Arus dan pasang Surut dalam periode 24 jam di
Teluk Palabuhan Ratu (PRTK & Dep ITK 2004).
Masa postlarva ikan mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai
terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada akhir masa postlarva tersebut secara
morfologis sudah mempunyai bentuk hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal
sudah mulai dapat dibedakan, demikian pula dengan sirip ekor sudah mulai ada
bentuknya. Berenangnya sudah mulai aktif dan kadang-kadang memperlihatkan
sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie, 1978).
Pada perkembangan larva lebih lanjut dijelaskan bahwa sirip ekor
berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebra dan
osteogenesis mengeras dan dengan perubahan pigmentasi badan maka post
larva mencapai tingkat juwana. Pada larva ikan yang baru menetas kuning telur
terletak pada bagian anterior vertebral tubuh, bentuk menonjol dan sering kali
menutupi hampir separuh panjang total tubuh. Mata belum berpigmen, mulut
belum berfungsi dan anal belum terbuka. Selama perkembangan larva, mata
menjadi berpigmen, mulut serta anus
melanophora
merupakan
ciri
diagnostik
utama
dalam
10
variasi
tahunan
yang
rendah,
namun
variasi
tersebut
masih
11
permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi matahari.
Perubahan intensitas cahaya akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu air
laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Suhu
berpengaruh terhadap tingkah laku ikan, mempunyai kisaran tertentu untuk
melakukan pemijahan bahkan dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula
(Gunarso, 1985).
Lawalata (1977), diacu dalam Olii (2003). Menurut Sidjabat (1978),
menyatakan bahwa suhu perairan merupakan suatu faktor lingkungan yang
paling mudah dipelajari dari faktor-faktor lainnya, sebab suhu merupakan suatu
petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan, suhu air laut,
terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang
intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga suhu air laut akan
seiring dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Perubahan
suhu ini dapat terjadi secara: (1) harian, (2) musiman, (3) tahunan, dan (4) jangka
panjang. Selanjutnya Sidjabat (1978) mengatakan bahwa jika suatu perairan
yang homogen dan tenang dipanasi oleh matahari, distribusi suhu secara vertikal
akan menurun eksponensial ke bawah. Apalagi jika tidak ada gangguan pada
perairan ini, keadaan perairan akan selalu stabil karena lapisan yang paling atas
yang lebih panas akan lebih rendah densitasnya dari pada lapisan bawah.
Ikan dapat mendeteksi perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,1 oC.
Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan
mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok
yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sulliva (1954), diacu
dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan
antara lain: 1) sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi
kebutuhan makanan dan laju up take dan pertumbuhan); 2) sebagai modifier dari
aktivitas badan (misalnya laju renang); dan 3) sebagai stimulus saraf.
Reaksi ikan terhadap anomali suhu adalah suatu masalah kompleks.
Asumsi bahwa hampir semua reaksi spesies ikan terhadap anomali lingkungan
muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Sedangkan jangka yang lebih
panjang: musiman dan tahunan, reaksinya harus mencakup beberapa proses
integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian makan melalui migrasi dan
pencarian atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi dan
terhadap rekruitmen (Sulliva 1954, diacu dalam Laevastu dan Hayes 1981).
12
2.4.2 Salinitas
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram
pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur
salinitas di laut, oleh karena itu penentuan nilai salinitas dilakukan dengan
meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida
ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu
kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida.
Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut
terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang
memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan. Salinitas
berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh besar terhadap
kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan toleransi
salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit (stenohaline).
Disamping itu Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa salinitas
berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi, dan kesuksesan reprodukasi dari
ikan.
Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi
fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian
tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan. pengaruh ini berbeda pada
setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, maupun ichthyoplankton.
Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif
stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 o/oo, sedangkan larva ikan biasanya cepat
menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian cenderung
memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik
tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusi
larva ikan (Lignot et al., 2000).
2.4.3 Arus
Arus berperan dalam transportasi ikan dan larva di laut. Adanya arus
yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di
laut. Arus merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan iklim, arus juga
membawa organisme plankton dalam jumlah yang besar dari tempat asalnya
secara periodik (Davis, 1955). Pola aliran arus juga menentukan pola
karakteristik penyebaran nutrien, transport sedimen, plankton, ekosistem laut dan
geomorfologi pantai. Pada daerah teluk, pola aliran air lebih didominasi oleh
pasang surut dan angin.
13
Di daerah teluk, jenis arus yang dibangkitkan oleh gaya pasang surut
sangat dominan dibandingkan dengan arus yang dibangkitkan oleh gaya gesek
angin dengan permukaan air. Dwiponggo (1972) mengemukakan bahwa jenis
jenis ikan tertentu akan bergerak mengikuti arus pada waktu pasang naik kearah
pantai. Laevastu dan Hayes (1981) mengungkapkan bahwa ikan-ikan besar
menggunakan arus untuk mendeteksi medan geoelectrocity bagi perjalanan
migrasi mereka. Ikan demersal juga melakukan hal yang sama yaitu antara arus
pasut dan migrasinya. Arus juga berperan dalam distribusi pemindahan telur,
larva dan ikan kecil selain itu arus merupakan faktor pembatas bagi beberapa
spesies. Karakter arus bervariasi dari tahun ketahun dan berperan penting dalam
migrasi musiman dan siklus hidup dari ikan pelagis dan semi pelagis.
Sverdrup et al. (1972) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar,
yaitu : 1). Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus
ini disebabkan oleh air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air
yang berdensitas kecil atau lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan
sejumlah besar massa air ke tempat lain; 2). Arus yang ditimbulkan oleh angin
yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air kesatu
jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu; 3). Arus yang
disebabkan oleh air pasang. Arus jenis ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke
pantai, atau berputar.
Gerakan massa air dalam sangat berbeda dengan massa air permukaan.
Massa air dalam terisolasi dari angin, oleh karena itu gerakannya tidaklah
bergantung pada angin. Tetapi gerakan massa air dalam sebenarnya terjadi
karena perubahan gerakan air permukaan. Di daerah tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula, gerakan lateral air yang disebabkan oleh angin juga
mengakibatkan air mengalami suatu sirkulasi vertikal atau gerakan ke atas atau
upwelling (Nybakken, 1992).
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan Laevastu dan Hayes (1982)
menyatakan, bahwa: 1) penyebaran ikan oleh arus mengalihkan telur dan anak
anak ikan dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah
pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan
dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai pola
rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya
arus
pasang
surut;
4)
Arus
dapat
secara
langsung
mempengaruhi
14
petunjuk
terganggunya
sistem
penyangga.
Hal
ini
dapat
15
keasaman
merupakan
salah
satu
parameter
penentu
produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi
karena adanya sistem karbondioksida dalam laut, maka air laut mempunyai
kapasitas penyangga (buffer) yang kuat (Nontji, 2001).
2.5.2 Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen
terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya
bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitasnya, kehadiran
pencemar, suhu air dan sebagainya.
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlaurut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen
terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak
(Romimuhtarto, 1991).
Selanjutnya Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa oksigen
terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi
organisme dan proses-proses yang terjadi didalamnya. Hal ini terlihat dari
peranan oksigen selain digunakan untuk aktifitas respirasi organisme air juga
organisme dekomposer dalam proses dekomposisi bahan organik dalam
perairan.
Respirasi
di
perairan
memerlukan
oksigen
dari
dalam
air
dan
16
bahan
organik.
Penurunan
oksigen
terlarut
juga
akan
17
Pada perairan alami ikatan senyawa fosfat umumnya berada pada ikatan
Fe dan Al, sedangkan pada perairan basa, fosfat berikatan dengan kation
natrium dan pada perairan netral berikatan dengan kalsium (Prescott, 1973).
Konsentrasi fosfat pada perairan tawar dan laut memiliki kisaran yang hampir
sama yaitu 1 3 mg/l, sementara kisaran fosfat yang optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton adalah 0.09 1.80 ppm (Sunarto, 2001).
Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0,1
ppm. Kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan
kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton (Wardoyo, 1987).
Kadar fosfat yang baik di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan.
Sebagai
indikator
produktivitas
perairan,
keberadaan
fitoplankton
atau
18