Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu


Perairan Teluk Palabuhan Ratu terletak pada posisi geografis 6o57- 7o07
LS dan 106o22-106o23 BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km.
Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki
hubungan dengan Samudra Hindia. Sistem sungai yang bermuara di perairan
teluk diketahui ada 7 buah yaitu 2 buah golongan besar: S. Cimandiri dan S.
Cibareno dan 5 buah lainnya tergolong sungai kecil: S. Cimaja, CiPalabuhan,
Cidadap, Cibutun dan Ciletuh (LON-LIPI 1975)
Musim sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan
teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih
tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari), diantara
Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan (Wyrtki, 1961) yang
disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat
(September-Oktober)
Kondisi Teluk Palabuhan Ratu banyak dipengaruhi oleh kondisi
oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Wyrtki
(1961) mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhan Ratu sesuai dengan
sifat laut dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September
sampai Desember yang bergerak kearah barat. Selanjutnya dikatakan bahwa
perairan Teluk Palabuhan Ratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim
barat berkisar 29-30oC dan pada musim timur 26-27oC
Pariwono et al. (1988) mengemukaan bahwa pada Bulan September dan
Oktober suhu permukaan laut relatif rendah, yaitu rata-rata 26.57oC sedangkan
pada musim hujan suhu permukaan laut rata-rata naik menjadi 27.78oC padahal
disaat itu laut kurang menerima pemanasan dari matahari, karena tertutup awan.
Hal ini diduga sebagai pertanda bahwa proses upwelling terjadi pada Bulan
Agustus September dan okteber di perairan Teluk Palabuhan Ratu.
Dari hasil penelitian Purba (1995), diacu dalam PRTK & Dep ITK (2004)
diketahui bahwa di lepas Pantai Palabuhan Ratu terjadi upwelling mulai Bulan
Juli, terbukti dengan terlihatnya kelompok massa air yang lebih dingin di sekitar
lepas pantai, diapit oleh massa air yang lebih hangat ke arah pantai dan ke arah
laut lepas. Kelompok massa air dingin ini berasal dari proses upwelling oleh
Ekman Pump yang dibangkitkan oleh angin Muson Tenggara.

Terdapat perbedaan suhu permukaan laut musim timur dan musim barat,
baik di perairan lepas pantai selatan Jawa (S. Hindia) maupun di perairan
Palabuhan Ratu. Levinton (1982) mendapatkan adanya perbedaan suhu
permukaan laut di perairan lepas pantai selatan Jawa, yaitu 28oC (AgustusOktober) dan 29oC (Februari-April). Demikian pula hasil penelitian LON LIPI 1975
di perairan pantai selatan Jawa diketahui adanya perbedaan suhu pada musim
kemarau (28oC) dan musim hujan (29-30)
Hasil penelitian Pariwono et al. (1988) menunjang pernyataan di atas
setelah melakukan pengukuran suhu di perairan Palabuhan Ratu pada bulan
September-Oktober (akhir musim timur) dan bulan November-Desember (awal
musim barat) masing-masing tercatat sebesar 26 dan 28

C. Selanjutnya

dikemukaan bahwa terdapat fenomena perbedaan suhu yang relaif lebih rendah
pada musim timur dibandingkan dengan musim barat menunjukkan adanya
proses upwelling di perairan yang bersangkutan.
Penyebaran suhu vertikal di perairan Teluk Palabuhan Ratu pada
kedalaman 25 meter antara 29.75-28.55 oC (rata-rata 28.43 oC). Perbedaan
tersebut disebabkan terutama adanya pengaruh penyinaran matahari terhadap
peningkatan suhu permukaan perairan teluk (Sanusi dan Atmodipoera, 1993)
Salinitas di perairan Teluk Palabuhan Ratu dipengaruhi oleh keadaan
musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara.
Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan
turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhan Ratu. Namun demikian di
perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada
musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai
salinitas rerata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing
sebesar 32.96 dan 32.33 (Pariwono et al., 1988)
Massa air bersalinitas tinggi ini berasal dari Laut Flores yang memasuki
Laut Jawa seiring dengan pergerakan arus permukaan pada Musim Timur ini
yang menuju ke barat. Menurut Wyrtki (1961), bahwa pada Musim Timur ini di
sekitar Laut Banda dan Selat Makasar bagian selatan terjadii upwelling, sehingga
daerah sekitarnya menjadi subur. Kesuburan perairan tersebut terbawa arus
hingga ke Laut Jawa sehingga mangakibatkan Laut Jawa selama dan sesudah
Musim Timur ini menjadi subur dan akan tersedia makanan bagi ikan dan
pijahannya.

Karakter pasut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan karakter


gelombang, merupakan perambatan dari pengaruh pasut yang terjadi di
Samudera Indonesia. Pasut bersifat campuran dominasi semidiurnal yaitu tinggi
pasang dan surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang dan surut kedua,
terjadi karena perairan teluk berhubungan langsung dengan perairan laut lepas
Samudera Hindia (PRTK & Dep ITK 2004). Gambar 2 menunjukkan grafik
komponen pasut dalam 24 jam di Teluk Palabuhan Ratu.

Gambar 2. Arah Kecepatan Arus dan pasang Surut dalam periode 24 jam di
Teluk Palabuhan Ratu (PRTK & Dep ITK 2004).

2.2 Biologi larva ikan


Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva
ikan yang hidup planktonik, merupakan cabang Ichtyologi yang membahas
tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya
terutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut
Effendie (1978) dan Matarase et al. (1989), meliputi stadia telur dan
perkembangannya, yaitu stadia larva dan juwana (ikan muda). Ikan-ikan pada
stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton, yaitu sebagian

dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum,


1993). Menurut Mantiri (1995), ikan-ikan yang masih berada pada stadia telur
dan larva digolongkan dan di istilahkan sebagai ichthyoplankton. Adapun setelah
dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif
yang sudah masuk dalam kategori nekton.
Ichthyoplankton menurut Mantiri (1995) adalah merupakan organisme
ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, namun ada juga yang
menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juwana yang
masih bersifat planktonis. Selanjutnya dikatakan bahwa istilah Ichthyoplankton
belum terlalu dikenal dan digunakan. Tulisan-tulisan ilmiah yang sudah
menggunakan istilah ini seperti: Able (1978), Brodeur et al. (1985), Boehlert et al.
(1985), Beckley (1986), Ozawa (1986), Brodeur dan Rugen (1994), Mantiri (1993
dan 1995).
Ichthyoplankton sebagai tahapan awal perkembangan, sejak dari stadia
telur menuju larva dan juwana ikan. Russel (1976) mengemukakan bahwa larva
ikan merupakan bentuk atau tingkatan ikan setelah telur menetas dan
menggunakan istilah larva yang merujuk pada larva masih memiliki yolk sac atau
kantung telur dan postlarva untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana.
Stadia ini kemudian berakhir setelah persediaan kuning telur yang ada telah
habis diserap. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap
predator, ketersediaan makanan dan perubahan lingkungan seperti suhu,
salinitas. Dengan demikian tahap ini adalah kondisi yang paling menentukan
kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut.
Menurut Effendie (1978), Perkembangan larva dalam garis besarnya di
bagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya,
prolarva masih mempunyai kantung kuning telur yang terletak di bagian depan
bawah, tubuh masih transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum
diketahui fungsinya. Sirip dada dan ekor sudah ada tapi belum sempurna
bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur tidak
mempunyai sirip perut yang nyata, hanya bentuk tonjolan. Mulut dan rahang
belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem
pernafasan dan peredaran darah belum sempurna dan memperoleh makanan
hanya dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.

Masa postlarva ikan mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai
terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada akhir masa postlarva tersebut secara
morfologis sudah mempunyai bentuk hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal
sudah mulai dapat dibedakan, demikian pula dengan sirip ekor sudah mulai ada
bentuknya. Berenangnya sudah mulai aktif dan kadang-kadang memperlihatkan
sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie, 1978).
Pada perkembangan larva lebih lanjut dijelaskan bahwa sirip ekor
berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebra dan
osteogenesis mengeras dan dengan perubahan pigmentasi badan maka post
larva mencapai tingkat juwana. Pada larva ikan yang baru menetas kuning telur
terletak pada bagian anterior vertebral tubuh, bentuk menonjol dan sering kali
menutupi hampir separuh panjang total tubuh. Mata belum berpigmen, mulut
belum berfungsi dan anal belum terbuka. Selama perkembangan larva, mata
menjadi berpigmen, mulut serta anus

mulai terbuka. Posisi anus dapat

digunakan sebagai karakter identifikasi. Selama perkembangan kuning telur dan


kelenjar minyak digunakan secara bertahap. Ketika kuning telur habis, organorgan yang dibutuhkan untuk mencari dan mengunyah makanan sudah
berfungsi. Pada masa ini larva mengalami masa krisis (Effendie, 1978).
Apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juwana.
Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada beberapa yang mengalami
perubahan bentuk tubuh atau bermetamorphose. Hoar dan Randall (1987)
mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidup akan melalui tiga tahap,
yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur
dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap
transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal,
tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi yaitu:
preflexion, plexion dan postflexion larva.
Pada ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang digunakan
untuk mengenal larva, yaitu:
1. Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan,
lambung dan sirip (khususnya sirip dada)
2. Urutan munculnya sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang.
3. Ukuran larva.
4. Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora)

5. Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak,


sirip yang memanjang dan terubah, sungut pada dagu dan duri pada
preoperculum (Russel, 1976).
Karakter

melanophora

merupakan

ciri

diagnostik

utama

dalam

mengidentifikasi spesies pada stadia postlarva. Kesamaan antar spesies dapat


dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora
berada. Lokasi melanophora biasa terletak di bagian eksternal dari dermis atau
epidermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebra dan
di daerah otocystic (Russel, 1976).
2.3 Distribusi larva ikan
Ichthyoplankton memiliki pola distribusi vertikal berdasarkan migrasinya
yang di bagi atas dua tipe. Migrasi tipe I dikenal sebagai pola distribusi yang lebih
umum yaitu Ichthyoplankton naik ke permukaan pada malam hari. Migrasi tipe II
merupakan pola distribusi yang tidak umum dan merupakan kebalikan dari
migrasi tipe I yaitu Ichthyoplankton naik ke lapisan permukaan pada siang hari.
Pada dasarnya pola distribusi ini sangat di pengaruhi oleh cahaya, namun
predator dapat juga mengubah pola distribusi vertikal Ichthyoplankton (Brodeur
dan Rugen, 1993). Contoh-contoh pola distribusi tipe I seperti yang dilaporkan
Rogers (1940), dan Brodeur et al. (1993). Adapun tipe II dilaporkan oleh Boehlert
et al. (1985).
Demikian halnya ukuran tubuh, peningkatan kemampuan berenang dan
kapasitas perkembangan larva dikatakan merupakan pengontrol posisi vertikal
golongan ini (Fortier dan Leggett, 1983). Secara umum seperti yang
dikemukakan beberapa ahli, distribusi ichthyoplankton di tentukan oleh faktorfaktor tingkah laku seperti pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri,
1995); faktor-faktor fisik seperti sirkulasi air pasang surut (Laprise dan Dodson,
1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978); dan faktor ketersediaan
makanan.

10

2.4 Parameter Fisika


2.4.1 Suhu perairan
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengaturan
seluruh proses kehidupan dan penyebaran organisme, dan proses metabolisme
tejadi hanya dalam kisaran tertentu. Di laut suhu berpengaruh secara langsung
pada laju proses fotosintesis dan proses fisiologi hewan (derajat metabolisme
dan siklus reproduksi) yang selanjutnya berpengaruh terhadap cara makan dan
pertumbuhannya.
Perbedaan penerimaan radiasi matahari setiap wilayah menyebabkan
perbedaan suhu, terkait dengan perbedaan letak geografis lintang. Selain panas
matahari, faktor lain yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah arus
permukaan, keadaan awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama
sekitar estuaria sepanjang garis pantai (Hela dan Laevastu, 1970).
Selain oleh faktor di atas suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh
kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban
udara dan kecepatan angin oleh karenanya suhu permukaan biasanya mengikuti
pola musiman. Seperti contoh pada saat musim pancaroba, angin biasanya
lemah dan permukaan laut akan tenang sehingga proses pemanasan
dipermukaan terjadi sangat kuat. Akibatnya pada musim pancaroba suhu lapisan
permukaan mencapai maksimum (Nontji, 2001).
Perubahan suhu juga dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan
stratifikasi massa air dan hal itu dapat mempengaruhi distribusi. Ikan biasanya
memilih suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik. Aktivitas metabolisme
dan penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh suhu perairan fluktuasi suhu dan
perubahan geografis merupakan faktor penting yang menentukan konsentrasi
dan pengelompokan ikan.
Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), suhu permukaan di perairan
Indonesia berkisar antara 28-30oC dan di daerah upwelling suhunya dapat turun
mencapai 25oC dan secara horizontal suhu permukaan laut di perairan Indonesia
memiliki

variasi

tahunan

yang

rendah,

namun

variasi

tersebut

masih

menunjukkan perubahan musiman. Perubahan ini dipengaruhi oleh posisi


matahari dan pengaruh massa air di daerah lintang tinggi.
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menduga keberadaan organisme dalam suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini
karena sebagaian besar organisme bersifat poikiloterm. Tinggi rendahnya suhu

11

permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi matahari.
Perubahan intensitas cahaya akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu air
laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Suhu
berpengaruh terhadap tingkah laku ikan, mempunyai kisaran tertentu untuk
melakukan pemijahan bahkan dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula
(Gunarso, 1985).
Lawalata (1977), diacu dalam Olii (2003). Menurut Sidjabat (1978),
menyatakan bahwa suhu perairan merupakan suatu faktor lingkungan yang
paling mudah dipelajari dari faktor-faktor lainnya, sebab suhu merupakan suatu
petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan, suhu air laut,
terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang
intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga suhu air laut akan
seiring dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Perubahan
suhu ini dapat terjadi secara: (1) harian, (2) musiman, (3) tahunan, dan (4) jangka
panjang. Selanjutnya Sidjabat (1978) mengatakan bahwa jika suatu perairan
yang homogen dan tenang dipanasi oleh matahari, distribusi suhu secara vertikal
akan menurun eksponensial ke bawah. Apalagi jika tidak ada gangguan pada
perairan ini, keadaan perairan akan selalu stabil karena lapisan yang paling atas
yang lebih panas akan lebih rendah densitasnya dari pada lapisan bawah.
Ikan dapat mendeteksi perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,1 oC.
Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan
mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok
yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sulliva (1954), diacu
dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan
antara lain: 1) sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi
kebutuhan makanan dan laju up take dan pertumbuhan); 2) sebagai modifier dari
aktivitas badan (misalnya laju renang); dan 3) sebagai stimulus saraf.
Reaksi ikan terhadap anomali suhu adalah suatu masalah kompleks.
Asumsi bahwa hampir semua reaksi spesies ikan terhadap anomali lingkungan
muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Sedangkan jangka yang lebih
panjang: musiman dan tahunan, reaksinya harus mencakup beberapa proses
integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian makan melalui migrasi dan
pencarian atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi dan
terhadap rekruitmen (Sulliva 1954, diacu dalam Laevastu dan Hayes 1981).

12

2.4.2 Salinitas
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram
pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur
salinitas di laut, oleh karena itu penentuan nilai salinitas dilakukan dengan
meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida
ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu
kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida.
Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut
terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang
memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan. Salinitas
berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh besar terhadap
kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan toleransi
salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit (stenohaline).
Disamping itu Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa salinitas
berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi, dan kesuksesan reprodukasi dari
ikan.
Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi
fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian
tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan. pengaruh ini berbeda pada
setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, maupun ichthyoplankton.
Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif
stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 o/oo, sedangkan larva ikan biasanya cepat
menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian cenderung
memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik
tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusi
larva ikan (Lignot et al., 2000).
2.4.3 Arus
Arus berperan dalam transportasi ikan dan larva di laut. Adanya arus
yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di
laut. Arus merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan iklim, arus juga
membawa organisme plankton dalam jumlah yang besar dari tempat asalnya
secara periodik (Davis, 1955). Pola aliran arus juga menentukan pola
karakteristik penyebaran nutrien, transport sedimen, plankton, ekosistem laut dan
geomorfologi pantai. Pada daerah teluk, pola aliran air lebih didominasi oleh
pasang surut dan angin.

13

Di daerah teluk, jenis arus yang dibangkitkan oleh gaya pasang surut
sangat dominan dibandingkan dengan arus yang dibangkitkan oleh gaya gesek
angin dengan permukaan air. Dwiponggo (1972) mengemukakan bahwa jenis
jenis ikan tertentu akan bergerak mengikuti arus pada waktu pasang naik kearah
pantai. Laevastu dan Hayes (1981) mengungkapkan bahwa ikan-ikan besar
menggunakan arus untuk mendeteksi medan geoelectrocity bagi perjalanan
migrasi mereka. Ikan demersal juga melakukan hal yang sama yaitu antara arus
pasut dan migrasinya. Arus juga berperan dalam distribusi pemindahan telur,
larva dan ikan kecil selain itu arus merupakan faktor pembatas bagi beberapa
spesies. Karakter arus bervariasi dari tahun ketahun dan berperan penting dalam
migrasi musiman dan siklus hidup dari ikan pelagis dan semi pelagis.
Sverdrup et al. (1972) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar,
yaitu : 1). Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus
ini disebabkan oleh air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air
yang berdensitas kecil atau lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan
sejumlah besar massa air ke tempat lain; 2). Arus yang ditimbulkan oleh angin
yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air kesatu
jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu; 3). Arus yang
disebabkan oleh air pasang. Arus jenis ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke
pantai, atau berputar.
Gerakan massa air dalam sangat berbeda dengan massa air permukaan.
Massa air dalam terisolasi dari angin, oleh karena itu gerakannya tidaklah
bergantung pada angin. Tetapi gerakan massa air dalam sebenarnya terjadi
karena perubahan gerakan air permukaan. Di daerah tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula, gerakan lateral air yang disebabkan oleh angin juga
mengakibatkan air mengalami suatu sirkulasi vertikal atau gerakan ke atas atau
upwelling (Nybakken, 1992).
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan Laevastu dan Hayes (1982)
menyatakan, bahwa: 1) penyebaran ikan oleh arus mengalihkan telur dan anak
anak ikan dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah
pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan
dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai pola
rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya
arus

pasang

surut;

4)

Arus

dapat

secara

langsung

mempengaruhi

pengelompokan makanan atau faktor lain yang membatasinya (suhu); 5) Arus

14

juga mempengaruhi lingkungan alami ikan, dengan demikian secara tidak


langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas
distribusi geografisnya.
Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juwana mulai
dari daerah pembesaran sampai daerah pemijahan dan mungkin berperan
sebagai suatu penjajakan migrasi arus balik dari ikan dewasa mulai dari daerah
pembesaran sampai daerah pemijahan. Anomali arus permukaan dapat
mempengaruhi distribusi larva, juwana dan juga migrasi pemijahan ikan dewasa.
Selain itu, sebaran stok ikan utama biasanya mengikuti sistem arus tertentu.
Arus arus yang besar di laut seluruhnya menyebabkan perubahan
densitas massa air permukaan. Perubahan densitas air laut berhubungan
dengan variasi suhu dan salinitas, yaitu kenaikan suhu menyebabkan penurunan
densitas air laut yang diikuti dengan kenaikan salinitas. Di laut perubahan
salinitas dan suhu biasanya terjadi bersama-sama dan keduanya sangat penting
dalam mengendalikan densitas (Barnes dan Hughes, 1998).
Menurut Hinckley et al. 1991, diacu dalam Olii (2003), arus selalu
berhubungan dengan kedalaman. Perubahan arah arus yang kompleks
susunannya terjadi sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan.
Pada umumnya tenaga angin yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat
membangkitkan timbulnya arus permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar
2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kecepatan arus ini akan berkurang cepat
sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan dan akhirnya angin
menjadi tak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan arus (Hutabarat dan
Evans, 1986). Selanjutnya mengemukakan bahwa pada kedalaman dibawah 100
meter kecepatan arus sangat lambat sehingga Ichthyoplankton di daerah ini
kemungkinan tidak hanyut jauh dari wilayah dimana mereka dipijahkan,
sedangkan pada kedalaman di atas 50 meter dari kolom air, arus semakin cepat
sehingga Ichthyoplankton akan mudah terbawa oleh arus.
2.5. Parameter Kimia
2.5.1 Derajat Keasaman (pH)
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk
mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan
memberikan

petunjuk

terganggunya

sistem

penyangga.

Hal

ini

dapat

menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat


membahayakan kehidupan biota laut. Derajat keasaman (pH) air laut permukaan

15

di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0 8.5.


Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut,
baik secara langsung maupun tidak langsung (Romimuhtarto, 1991).
Derajat

keasaman

merupakan

salah

satu

parameter

penentu

produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi
karena adanya sistem karbondioksida dalam laut, maka air laut mempunyai
kapasitas penyangga (buffer) yang kuat (Nontji, 2001).
2.5.2 Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen
terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya
bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitasnya, kehadiran
pencemar, suhu air dan sebagainya.
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlaurut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen
terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak
(Romimuhtarto, 1991).
Selanjutnya Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa oksigen
terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi
organisme dan proses-proses yang terjadi didalamnya. Hal ini terlihat dari
peranan oksigen selain digunakan untuk aktifitas respirasi organisme air juga
organisme dekomposer dalam proses dekomposisi bahan organik dalam
perairan.
Respirasi

di

perairan

memerlukan

oksigen

dari

dalam

air

dan

menghilangkan limbah karbon dioksida. Insang adalah tempat pertukaran gas


terjadi pada sebagian besar jenis ikan, meskipun ada juga beberapa jenis ikan
yang bernafas melalui kulit. Biasanya laju konsumsi oksigen dapat digunakan
untuk mengukur intensitas metabolismenya. Laju ini dipengaruhi oleh ukuran ikan
dan karakteristik air seperti suhu dan kandungan CO2 (Reddy, 1993).
Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran
makhluk hidup di dalam air. Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali
kali di berbagai lokasi dengan tingkat kedalaman yang berbeda pada waktu yang

16

tidak sama (Sastrawijaya, 2000). Oksigen terlarut merupakan parameter penting


bagi sistem kimia air laut maupun proses biologi perairan laut. Hal ini karena
oksigen diperlukan dalam proses mineralisasi/dekomposisi bakteri dalam
menguraikan

bahan

organik.

Penurunan

oksigen

terlarut

juga

akan

mempengaruhi kehidupan organisme melalui proses respirasi, dan reaksi


oksidasi reduksi terhadap senyawa-senyawa kimia dalam air laut.
2.5.3. Nitrat (NO3)
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu
unsur utama pembentukan protein. Di perairan, nitrogen biasanya ditemukan
dalam bentuk amonia, amonium, nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) serta beberapa
senyawa nitrogen organik lainnya (Wardoyo, 1987).
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
dan amonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap amonia dibandingkan
dengan nitrat karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik
maupun anaerobik (Welch, 1980). Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak dan saat kandungan oksigen tinggi
nitrogen berubah menjadi nitrat.
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan
salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan
tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi diperairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh
ketersediaan nutrient (Welch, 1980).
2.5.4. Fosfat (PO4)
Selain nitrogen, fosfor merupakan nutrien penting bagi pertumbuhan
fitoplankton. Parson et al., (1984) menyatakan bahwa fosfor diperairan berada
dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut
dan fosfor partikulat. Wetzel (1983) menyatakan bahwa orthofosfat merupakan
bentuk senyawa dengan unsur dasar P yang efektif bagi pertumbuhan
fitoplankton. Selanjutnya Grahame (1987) menambahkan bahwa fosfor terlarut
terutama berfungsi sebagai ortofosfat anorganik (PO4-) atau yang secara
sederhana disebut fosfat (PO4). Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa
fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat untuk
pertumbuhannya.

17

Pada perairan alami ikatan senyawa fosfat umumnya berada pada ikatan
Fe dan Al, sedangkan pada perairan basa, fosfat berikatan dengan kation
natrium dan pada perairan netral berikatan dengan kalsium (Prescott, 1973).
Konsentrasi fosfat pada perairan tawar dan laut memiliki kisaran yang hampir
sama yaitu 1 3 mg/l, sementara kisaran fosfat yang optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton adalah 0.09 1.80 ppm (Sunarto, 2001).
Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0,1
ppm. Kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan
kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton (Wardoyo, 1987).
Kadar fosfat yang baik di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan.
Sebagai

indikator

produktivitas

perairan,

keberadaan

fitoplankton

atau

zooplankton dapat diketahui melalui kandungan fosfat ideal yang terkandung di


perairan karena akan menjadi makanan utama bagi larva ikan.

18

Anda mungkin juga menyukai