Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

PELAHIRAN DENGAN TINDAKAN FORSEP

Prodi S1 Keperawatan Reguler VB

STIKes PERTAMEDIKA

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ekstrasi forcep atau ekstrasi cunam adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan dengan suatu tarikan forcep yang dipegang dikepalanya. Forcep atau cunam
obstetric dirancang untuk mengeluarkan janin. Forcep sejati pertama kali dirancang pada
akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17
Riwayat Cunam obstetric teramat panjang, sekitar tahun 1500SM sudah terdapat
tulisan bahasa sansekerta yang mengulas tentang alat ini. cunam obstetric modern yang
digunakan untuk janin hidup diperkenalkan pertama kali oleh Peter Chemberlan (1600)
dan setelah itu dikenal lebih 700 jenis cunam obstetric. William Smelle memberikan
penjelasa tentang rincian cunam obstetric sesuai dengan lengkungan kepala dan
lengkungan panggul. Joseph Deelee membuat modifikasi dari cunam obstetric.
Pada tahun 1980, beberapa penelitian menunjukkan bahwa persalinan cunam
tengah seringkali menimbulkan efek samping jangka panjang terhadap anak. Faktor ini
menyebabkan banyak ahli obstetric yang semakin enggan menggunakan persalinan
ekstrasi cunam.
Insiden pelahiran dengan tindakan bervariasi sesuai dengan letak geografisnya.
Notzon (1991) melaporkan berkurangnya angka pelahiran pervaginam dengan tindakan
baik di AS maupun Skotlandia, tetapi di Norwgia angka tersebut meningkat. Di AS
terdapat perbedaan regional yang cukup besar dalam angka pelahiran dengan tindakan.
Angka sesio sesaria berkurang, tetapi ekstrasi vakum melebihi pelahiran forsep di seluruh
AS kecuali di bagian selatan. Frekuensi pelahiran dengan tindakan, termasuk pelahiran
pervaginam dengan tindakan, mungkin juga berkaitan dengan usia ibu. Dalam sebuah
kajian terhadap lebih dari 24.000 kasus pada wanita berusia 40 tahun lebih, Gilbert dkk
melaporkan angka yang lebih tinggi untuk sesio sesaria dan pelahiran pervaginam dengan
tindakan pada wanita berusia 40 tahun atau lebih dibandingkan dengan mereka yang
berusia 20-29 tahun. Sebagian besar tindakan forsep dan vakum adalah tindakan pada
pintu bawah panggul atau forsep rendah yang tidak banyak beresiko bagi ibu dan
janinnya.
Di setiap institusi, insiden akan bergantung pada sikap yang diambil staf pada
umumnya, jenis analgesi dan anastesi yang digunakan untuk persalinan dan pelahiran
serat paritas populasi. Zahniser dkk menganalisa data dari the National Hospital

Discharge Survey untuk meneliti kecenderungan pemakaian forcep, ekstrasi vakum dan
sesio sesaria. Angka sesio sesaria meningkat 48% sedangkan tindakan forsep berkurang
sebesar 43%. Learmen tahun 1998 melaporkan data selama 8 tahun berikutnya, pelahiran
pervaginam dengan tindakan tetap sekitar 10-12%. Pada tahun 1994 angka ini hampir
terbagi secara merata antara forcep dan vakum. Curtin dan Park melaporkan bahwa
pemakain forsep terus menurun sementara ekstrasi vakum terus meningkat. Baru-baru ini
di Marco (2000) mencatat adanya penurunan angka pelahiran pervaginam dengan
tindakan disertai peningkatan parallel sesio sesaria.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan forcep?
2. Apakah tujuan dari tindakan ekstrasi forsep?
3. Apa sajakah jenis dari forsep?
4. Apa sajakah syarat-syarat dalam melakukan ekstrasi forsep?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada tindakan forsep?
6. Keadaan yang bagaimana yang menjadi indikasi dilakukannya forsep?
7. Keadaan yang bagaimana yang menjadi kontraindikasi dilakukannya forsep?
8. Apa sajakah yang menjadi komplikasi dari tindakan forsep?
9. Bagaimana prosedur yang dilakukan pada tindakan forsep?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami apa yang dimaksud dengan forsep.
2. Memahami tujuan dari tindakan ekstrasi forsep.
3. Memahami jenis-jenis dari forsep.
4. Memahami syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan ekstrasi forsep.
5. Memahami penatalaksanaan pada tindakan forsep.
6. Memahami keadaan yang menjadi indikasi tindakan forsep.
7. Memahami keadaan yang menjadi kontraindikasi forsep.
8. Memahami komplikasi yang muncul akibat tindakan forsep.
9. Memahami prosedur yang dilakukan dalam tindakan pelahiran dengan forsep.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Ekstrasi forcep atau ekstrasi cunam adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan dengan suatu tarikan forcep yang dipajang dikepalanya. Forcep atau cunam
obstetric dirancang untuk mengeluarkan janin. Forcep sejati pertama kali dirancang pada
akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17.
Cunam/forsep terdiri dari 2 sendok, sendok kanan dan kiri. Sendok kanan/forsep
kanan adalah cunam yang dipegang di tangan kanan penolong dan dipasang di sebelah
kanan ibu. Sendok kiri/forsep kiri adalah cunam yang dipegang di tangan kiri penolong
dan dipasang di sebelah kiri ibu. Pemasangan cunam sendok kiri dan kana harus
dikerjakan secara terpisah.

1. Daun cunam : bagian yang dipasang di kepala janin saat melakukan ekstrasi
forsep. Terdiri dari 2 lengkungan (curve) yaitu lengkungan kepala janin (cephalic
curve) dan lengkung panggul (cervical curve). Daun cunam ada yang berlubang
(Fenestrated) dan tidak berlubang (solid).
2. Tangkai cunam : adalah bagian yang terletak antara daun cunam dan kunci cunam.
Tangkai/leher cunam ada yang berlubang (cunam Simpson) dan tertutup (cunam
Kielland)
3. Pemegang cunam : bagian yang dipegang penolong saat melakukan ekstrasi.

Ukuran dan bentuk forcep sangat beragam tetapi pada dasarnya alt ini terdiri atas
dua sendok (branch) yang bersilangan. Setiap sendok memiliki 4 komponen : daun,
tangkai, kunci dan pegangan. Setiap daun memiliki 2 lengkung, kepala dan panggul.
Lengkung kepala disesuaikan dengan kepala janin dan lengkung panggul disesuaikan
dengan jalan lahir. Sebagian alat berlubang pada daunnya sehingga dapat memegang
kepala janin dengan erat. Lengkung kepala harus cukup besar untuk memegang kepala
janin dengan erat tanpa menekannya. Lengkung panggul sedikit banyak bersesuaian
dengan sumbu jalan lahir tetapi bentuknya cukup bervariasi antara satu alat dengan alat
lainnya. Beberapa forsep yang sering digunakan antara lain : forsep Kielland, Tucker
Lane dan forsep Simpson.

Forsep Kiellland

Forsep McLane

Forsep Simpson

B. TUJUAN TINDAKAN EKSTRASI FORCEP


Forsep digunakan sebagai ekstraktor, rotator atau keduanya. Fungsi terpenting
adalah ekstrasi walaupun terutama pada posisi oksiput lintang atau posterior forsep dapat
sangat berguna untuk melakukan rotasi. Secara umum, forsep Simpson digunakan untuk

melahirkan janin yang kepalanya mengalami moulage, seperti yang sering dijumpai pada
wanita nulipara. Instrument Tucker-McLane sering digunakan untuk janin dengan kepala
membulat yang lebih sering dijumpai pada multipara.
Namun pada sebagian besar kasus kedua instrument tersebut dapat digunakan.
Pada beberapa keadaan forsep yang lebih khusus seperti instrument Kielland mungkin
lebih dibutuhkan misalnya pada sebagian kasus kemacetan lintang dalam dengan kepala
janin melintang jauh di dalam panggul dengan oksiput dibawah spina. Apabila tidak jelas
terdapat disproporsi sefalopelvik dan kontraksi uterus tidak adekuat, kemacetan lintang
kadang-kadang dapat diatasi dengan stimulasi oksitosin, atau secara garis besar dapat
dijelaskan dalam beberapa fungsi berikut :
1. Traksi : yaitu menarik anak yang tidak dapat lahir spontan yang disebabkan oleh
karna satu dan lain hal
2. Koreksi : yaitu merubah letak kepala dimana ubun-ubun kecil di kiri atau di kanan
depan atau sesekali UUK kiri atau kanan belakang menjadi UUK depan (dibawah
simfisis pubis)
3. Kompresor : untuk menambah moulage kepala.
C. KLASIFIKASI PERSALINAN EKSTRASI FORCEP
Klasifikasi yang paling sesuai dan mutakhir untuk tindakan forcep adalah
klasifikasi yang awalnya diajukan pada tahun 1998 dan dipertegas pada tahun 2000 oleh
the American Collage of Obstetricians and Gynecologist. Klasifikasi ini juga digunakan
untuk pelahiran dengan vakum. Klasifikasi ini menekankan dua faktor resiko terpenting
bagi ibu dan janin : station dan rotasi. Ditekankan bahwa station saat ini diukur dalam cm
(0 - +5) dan bukan untuk membagi panggul (outlet forcep), rendah (low forcep) dan
tengah (mid forcep). Tindakan forcep tinggi (high forcep) adalah tindakan pemasangan
instrument sebelum kepala cakap (engaged) dan tidak dilakukan pada obstetric modern.
Rotasi yang lebih besar daripada 45 derajat biasanya lebih sulit daripada yang derajatnya
lebih kecil. Atau dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. High Forcep : forcep yang dilakukan pada saat kepala janin belum masuk pintu atas
panggul (floating). Saat ini tidak dilakukan lagi karena sangat berbahaya bagi janin
ataupun ibunya. SC lebih direkomendasikan.
2. Mild Forcep : forcep yang dilakukan pada saat kepala janin sudah masuk PAP
(engaged), namun belum mencapai dasar panggul. Saat ini tidak dilakukan lagi. SC
ataupun vakum lebih direkomendasikan.

3. Low forcep : forcep yang dilakukan pada saat kepala sudah mencapai dasar penggul,
cara ini yang masih sering dipakai hingga saat ini.

Klasifikasi Persalinan Ekstrasi Cunam Berdasarkan Desensus dan Putar


PaksiDalam
PROSEDUR
Ekstrasi cunam OUTLET

KRITERIA
Kulit kepala terlihat pada introitus
tanpa

melakukan

tindakan

memisahkan labia
Tengkorak kepala sudah mencapai

dasar panggul
Sutura sagitalis berada pada diameter
anteroposterior; oksiput berada di

Ekstrasi cunam LOW

kanan atau kiri depan atau di posterior


Kepala janin berada pada perineum
Putar paksi dalam tidak lebih dari 45

derejat
Bagian terendah kepala berada pada
station lbh dr sama dengan +2 dan

tidak di dasar panggul


Putar paksi dalam kurang dr sama
dengan 45derajat (oksiputkirir atau
kanan depan dapat menjadi oksiput
anterior; oksiput kiri atau kanan

Ekstrasi cunam MID PELVIC

belakang menjadi oksiput posterior)


Putar paksi dalam >45derajat
Station diatas +2cm, tetapi kepala

Ekstrasi cunam HIGH

sudah engeged
Tidak termasuk dalam kriteria

D. SYARAT DALAM MELAKUKAN EKSTRASI FORCEP


Terdapat paling tidak 6 syarat agar penggunaan forsep berhasil :
1. Kepala harus cakap. Pembentukan kaput suksedanum yang luas dan moulage dapat
menyebabkan station kepala janin sulit dipastikan. Apabila penentuan station sulit
dilakukan perlu disadari bahwa forsep rendah mungkin sebenarnya adalah tindakan
forsep tengah yang sulit. Forsep jangan digunakan sampai ketinggian kepala cukup
rendah agar prosedur terjamin aman.
2. Presentasi janin harus puncak kepala atau muka dengan dagu di anterior
3. Posisi kepala janin harus diketahui dengan pasti sehingga forsep dapat dipasang di
kepala dengan tepat.
4. Serviks harus membuka lengkap sebelum forsep dipasang. Apabila janin harus
dilahirkan sebelum serviks membuka dengan lengkap, diindikasikan untuk sesio
sesaria.
5. Sebelum pemasangan forsep, selaput ketuban harus dipecahkan agar kepala janin
dapat dipegang erat dengan daun forsep.
6. Harus tidak ada disproporsi antara ukuran kepala dan ukuran PAP atau pintu tengah
panggul.
Cara pemasangan cunam dibedakan menjadi 2 yaitu pemasangan sefalik dan
pelvic. Pada pemasangan sefalik, cunam dipasang biparietal atau sumbu panjang
cunam sejajar dengan diameter mento-oksiput kepala janin. Pemasangan sefalik
adalah cara yang palng aman baik untuk ibu maupun untuk janin. Sedangkan pada
pemasangan pelvic pemasangannya dalam keadaan sumbu panjang sejajar dengan
sumbu panjang panggul. Pemasangan cunam dikatakan sempurna jika :
1. Forsep terpasang biparietal kepala, atau sumbu panjang forsep sejajar dengan sumbu
diameter mento-oksiput kepala janin, melintang terhadap panggul.
2. Sutura sagitalis berada di tengah kedua daun forsep yang terpasang, dan tegak lurus
dengan cunam.
3. Ubun-ubun kecil berada kira-kira 1cm diatas bidang tersebut.

E. PENATALAKSANAAN PADA TINDAKAN FORSEP


Penggunaan forsep dalam beberapa posisi janin mempengaruhi penggunaan forsepnya.
Bentuk forsep yang akan digunakan harus disesuaikan dengan posisi janin sehingga
penatalaksanaan tindakan tersebut menjadi tepat.

1. Rotasi forseps kielland pada oksiput lintang


Kielland (1916) menemukan forseps dengan daun sempit seperti bayonet yang ia
klaim mudah di pasang di samping kepala pada posisi oksiput lintang dan
mengalahkan semua model lain sebagai rotator. Forseps kieland memiliki kunci
luncur dan hampir tidak memiliki lengkung panggul pada tiap pegangan terdapat
sebuah tombol kecil yang menunjukkan arah oksiput. Station janin harus di pastikan
dengan akurat setinggi, atau lebih baik dibawah, spina iskiadika. Seringkali, pada
kasus-kasus seperti ini kepala janin sudah mengalami moulage hebat, dan kaput
suksedaneum telah turun di bawah spina iskiadika sehingga memberikan kesan salah
bahwa kepala telah cakap walaupun sebenarnya oksiput masih di atas spina.
Pemasangan forseps pada kedaan ini di klasifikasikan sebagai forseps tinggi dan
sebaiknya jangan di lakukan. Terdapat dua metode pemasangan daun anterior. Pada
metode pertama, daun anterior di masukkan pertama kali dengan lengkung kepala
mengarah ke atas setelah cukup jauh masuk ke dalam rongga uterus, daun di balik
180 derajat untuk menyesuaikan lengkung kepala dengan kepala janin. Kieland juga
menguraikan metode kembara

(wandering) atau luncur (gliding) pada

pemasanga daun anterior saat uterus berkontraksi kuat dan segmen bawah uterus
teregang dan tipis. Pada metode kembara atau luncur, daun anterior dimasukkan di
sisi panggul di atas alis atau muka ke posisi anterior, dan pegangan daun di jaga
dekat dengan bokong ibu yang berlawanan selam di lakukan manuver. Daun kedua di
masukkan di sebelah posterior dan keduanya di kunci.
Karena sebagian besar kasus yang layak di lakukan rotasi forseps kieland adalah
kasus kemacetan lintang dalam kepala janin terletak jauh di dalam panggul dengan
oksiput di bawah ketinggian spina iskiadika rotasi biasanya di lakukan dengan
membebaskan kepala janin dari panggul oleh tekanan ringan ke atas. Dari sation
yang agak tinggi ini, rotasi di tuntaskan. Kepala jangan di dorong terlalu tinggi
sehingga terlepas dari panggul karena dapat terjadi prolaps tali pusat.
Pada studi awal, rubin dan coopland (1970) meringkaskan pengalaman mereka
dengan 1000 kasus rotasi forseps kielland. Separuhnya adalah oksiput posterior dan
separuh lainnya oksiput lintang. Rotasi berhasil di lakukan pada 970 kasus. Terdapat
8 kematian perinatal, termasuk 4 dengan anomali serius. Cedera pada bayi saat itu
umumnya dianggap ringan namun, terdapat 27 cedera yang sekarang tidak lagi

dianggap ringan, termasuk 7 bayi dengan fraktur tengkorak.

Tan dkk. (1992)

melaporkan hasil yang lebih terkini, berupa 137 pelahiran dengan forseps kieland
tengah panggul. Indikasi umum adalah pemanjangan kala 2 (73%), gawat ibu (13%),
atau gawat janin (10%). Penyulit pada ibu antara lain laserasi sebesar 12%, dan
perdarahan sebesar 12%, 3% diantara 137 wanita mendapat transfusi darah. Penyulit
pada neonatus antara lain sefal hematom sebanyak 9%, dan 1 bayi dengan
kelumpuhan saraf fasialis serta 1 dengan Erbs palsy C5pada study selanjutnya oleh
krivak dkk (1999), 55 pelahiran yang menggunakan rotasi kielland di bandingkan
dengan 213 forseps non rotasional. Jain dkk. (1993) meneliti kecenderungan
pelahiran dengan kemacetan lintang dalam sejak tahun 1970-1970. Forseps kielland
di gunakan pada 44% kasus tahun 1970, tetapi pada tahun 1990 forseps ini tidak di
gunakan sama sekali. Pelahiran pada tahun 1970 menggunakan baik rotasi manual
(63%), rotasi kielland (44%), maupun seksio sesarea (11%).pada tahun 1990,
penatalaksanaan berupa seksio sesarea (42%), rotasi manual (31%), atau ekstrasi
vacum (27%). Walaupun jumlah total wanita yang mengalami kemacetan lintang
dalam sedikit hanya 11 dari 25 bayi yang lahir dengan forseps kielland, 8
memerlukan perawatan di unit perawatan neonatus intensif. 2 mengalami
kelumpuhan saraf facialis dan 2 mengalami fraktur tulang parietal kanan. Yang
penting, apabila janin pertama kali di rotasi secara manual dan kemudian di
keluarkan dengan forseps, tidak terjadi cedera. Sebagai perbandingan, 3 yang di
lahirkan dengan seksio sesarea mengalami asfiksia saat lahir.
Berdasarkan alasan alasan di atas di banyak sentra, rotasi forseps untuk posisi
oksiput lintang persisten biasanya tidak di lakukan. Pengecualian adalah kasus kasus
yang berkaitan dengan kemacetan lintang dalam akibat kegagalan rotasi karena
relaksasi otot-otot levator ani akibat analgesia epidural
2. Forseps untuk presentasi muka
Pada presentasi muka dengan dagu mengarah ke simfisis (mentum anterior),
kadang-kadang forseps digunakan untuk pelahiran pervagina. Daun forseps
dimasukkan ke samping kepala di sepanjang diameter oksipitomentalis dengan
lengkung panggul mengarah ke leher. Dilakukan traksi ke bawah sampai dagu
muncul di bawah simfisis. Kemudian, dengan gerakan keatas, muka secara perlahan

dikeluarkan dengan kemunculan hidung, mata, alis, dan oksiput secara berurutan
melewati batas anterior perineum. Forseps seyogyanya jangan digunakan pada
presentasi mentum posterior, pelahiran pervagina tidak mungkin dilakukan pada
keadaan ini.
3. Posisi Oksiput Anterior Kanan
Pada posisi kanan, daun dimasukkan dengan cara serupa tapi dari arah
berlawanan, karena pada posisi ini telinga kanan janin adalah telinga posterior,
tempat daun pertama harus dipasang dengan tepat. Setelah kedua daun terpasang di
samping kepala, pegangan dan tangkai sendok kiri terletak di atas yang kanan.karena
itu, forceps tidak langsung mengunci. Namun, penguncian dapat secara mudah
dilakukan dengan memutar sendok kiri mengelilingi yang kanan agar kunci berada di
posisi yang benar.
4. Posisi Oksiput Lintang
Apabila oksiput berada dalam posisi lintang, forceps dimasukkan dengan cara
serupa, yaitu daun pertama dipasang ditelinga posterior dan yang kedua diputar kea
rah anterior,ke posisi yang berlawanan dengan daun pertama. Pada keadaan ini ,
salah satu daun terletak di depan sacrum dan yang lain di belakang simfisis. Forceps
konvenional Simpons atau Tuker-McLane atau salah satu modifikasi, atau forceps
khusus Kielland dapat digunakan
5. Rotasi dari posisi anterior dan lintang
Apabila terletak anterior oblik, oksiput secara bertahap akan berputar spontan
ke simfosis publis saat dilakukan traksi. Namun, apabila terletak lintang, diperlukan
gerakan forceps yang memutar agar oksiput mengarah ke anterior. Arah putaran,
tentu saja, bervariasi sesuain posisi oksiput. Diperlukan rotasi berlawanan dengan
arah jarum jam dari sisi kiri ke garis tengah apabila oksiput mengarah ke kiri, dan
pada arah yang berlawanan apabila mengarah ke sisi kanan panggul. Kadang-kadang,
apabila forceps digunakan pada posisi lintang dengan panggul yang mendatar
anteroposterior (platipeloid) , jangan mencoba melakukan rotasi sampai kepala janin
mencapai atau mendekati dasar panggul. Upaya rotasi anterior yang terlalu dini pada
keadaan di atas dapat menyebabkan cidera pada janin dan ibu. Apapun posisi awal

kepala, kelahiran, pelahiran akhirnya dilakukan dengan traksi ke arah bawah sampai
oksiput tampak divulva ; tindakan selanjutnya dituntaskan seperti diterangkan di atas.
Saat melakukan traksi sebelum kepala muncul di vulva, dapat digunakan 1 atau 2
tangan. Berat tubuh operator jangan digunakan untuk melakukan traksi.
6. Posisi Oksiput Posterior
Kadang-kadang di perlukan pelahiran dengan segera apabila ubun-ubun kecil
(oksiput) mengarah ke salah satu sinkron dosis sakroilaika, yaitu pada posisi oksiput
posterior kanan dan oksiput posterior kiri. Apabila dibutuhkan pelahiran pada salah
satu posisi di atas, kepala sering menekuk tidak sempurna. Pada sebagian kasus, saat
tangan di masukkan ke dalam vagina untuk mencari telinga posterior, oksiput
berputar secara spontan kea rah anterior menunjukkan bahwa rotasi manual kepala
janin dapat dilakukan dengan mudah.
7. Rotasi Manual
Satu tangan dengan telapak mengarah ke atas di masukkan ke dalam vagina,
kemudian ke empat jari menyentuh bagian samping kepala janin yang akan di dorong
ke arah posisi anterior, sementara ibu jari berada pada sisi kepala yang berlawanan.
Pada posisi oksiput posterior kanan, tangan kiri digunakan untuk memutar oksiput ke
arah anterior sesuai arah jarum jam; tangan kanan digunakan untuk posisi oksiput
posterior kiri. Pada awal rotasi kepala mungkin perlu di longgarkan sedikit ke atas
jalan lahir, tetapi kepala jangan sampai terlepas dari pegangan setelah oksiput
mencapai posisi anterior, persalinan dapat dibiarkan berlanjut, atau yang lebih sering
dilakukan ekstraksi forceps untuk pelahiran. Mula-mula satu daun dimasukkan ke
sisi kepala yang di pegang oleh jari untuk membantu mempertahankan oksiput di
posisi anterior kemudian daun yang lain segera dimasukkan dan bayi dapat
dilahirkan.
8. Rotasi Forseps
Forceps Tucker-McLane, simposon, atau kielland dapat digunakan untuk
memutar kepala janin. Oksiput oblik dapat diputar 45 derajat ke posisi posterior atau
135 derajat ke posisi anterior. Apabila rotasi dilakukan dengan forceps TuckerMcLane atau simposon, maka kepala harus di fleksikan, tetapi hal ini tidak harus
dilakukan pada pemakaian forceps keilland karena forceps ini memiliki lengkung

panggul yang lebih lurus. Dalam memutar oksiput ke anterior dengan forceps Tucker
McLane atau simposon lengkung panggul, yang semula mengarah ke atas.
F. INDIKASI TINDAKAN EKSTRASI FORCEP
Indikasi tindakan forsep dibedakan menjadi indikasi relative dan absolute. Berikut
ini adalah indikasi relative tindakan forsep :
1. Menurut Dee Lee, forsep dilakukan secara efektif asal syarat untuk melakukan
ekstrasi terpenuhi.
2. Menurut Pinard, hampir sama dengan pendapat Dee Lee, namun ibu harus dipimpin
mengejan selama 2 jam.
Indikasi absolute pada tindakan forsep antara lain :
1. Indikasi ibu : ekstrasi harus dilakukan pada ibu-ibu dengan keadaan pre-eklampsia,
eklampsi, ibu dengan penyakit jantung, paru
2. Indikasi janin : pada keadaan gawat janin (indikasi gawat janin untuk pelahiran
dengan bantuan forsep atau vakum antara lain prolaps tali pusat, pemisahan plasenta
premature, dan pola frekuensi DJJ yang tidak meyakinkan. Pada kasus pola frekuensi
DJJ yang tidak meyakinkan, perlu diterangkan pola frekuensi DJJ tersebut serta
ketinggian aplikasi forsep yang direncanakan dalam catatan tertulis yang jelas).
3. Indikasi waktu : pada kala 2 yang lama (kala 2 yang berlangsung lebih dari 3 jam
dengan analgesia regional dan lebih dari 2 jam tanpa analgesia regional pada wanita
nulipara. Pada wanita para, keadaan ini diindikasikan untuk terminasi persalinan
semata-mata karena alasan pada pihak ibu. Dengan demikian, percepatan kala dua
atas alasan ibu umumnya harus dilakukan dengan forsep pintu bawah panggul atau
forsep rendah).
G. KONTRAINDIKASI TINDAKAN FORCEP
1. Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul)
2. Janin sudah lama mati sehingga kepala tidak bulat dan keras lagi sehingga kepala
sulit dipegang dengan forcep
3. Kepala masih tinggi (ukuran terbesar kepala belum melewati PAP)
4. Pembukaan belum lengkap
Dalam literature yang lain dijelaskan beberapa hal yang menjadi kontraindikasi
dalam pelahiran tindakan dengan forsep, yaitu :
1. Terdapat kontra-indikasi berlangsungnya persalinan pervaginam.
2. Pasien menolak untuk tindakan ekstrasi cunam obstetric
3. Presentasi dan posisi kepala janin tidak dapat ditentukan dengan jelas.

4.
5.
6.
7.

Kegagalan ekstrasi vakum.


Fasilitas pemberian analgesia yang memadai tidak ada.
Fasilitas peralatan dan tenaga pendukung tidak memadai
Operator tidak kompeten.

H. PROSEDUR DALAM MELAKUKAN FORSEP


1. Persiapan dalam ekstrasi forsep dibagi menjadi persiapan ibu, janin, dan dokter (tenaga
kesehatan).
a. Persiapan ibu
* Litotomi set
* Cunam
* Vulva dicukur
* Kandung kemih dikosongkan
* Infuse bila diperlukan
* Narkose
* Gunting episiotomy
* Hecting set
* Uterotonika
b. Persiapan janin
* Kain bersih
* Alat resusitasi
c. Persiapan untuk dokter
* Alat untuk pelindung diri
* Ilmu pengetahuan yang cukup
2. Prosedur dalam melakukan forsep antara lain
a. Membayangkan forsep sebelum dipasang
Setelah persiapan selesai, penolong berdiri di depan vulva, memegang kedua
cunam dalam keadaan tertutup dan membayangkan bagaimana cunam terpasang pada
kepala.
b. Memasang forsep
Pada pasien ini UUK janin adalah UUK kanan depan, jadi forsep yang dipasang
adalah forsep kiri terlebih dahulu, yaitu forsep yang dipegang tangan kiri penolong
dan dipasang di sisi kiri ibu. Forsep kiri dipegang dengan cara seperti memegang
pensil, dengan tangkai forsep sejajar dengan paha ibu, sambil 4 jari tangan kanan
penolong masuk ke dalam vagina. Forsep secara perlahan dipasang dengan bantuan
ibu jari tangan kanan. Jadi, bukan tangan kiri yang mendorong forsep masuk ke
dalam vagina. Setelah forsep kiri terpasang asisten membantu memegang forsep kiri
tersebut agar tidak berubah posisi. Dan penolong segera memasang forsep kanan
yaitu forsep yang dipegang oleh tangan kanan penolong dan dipasang di sisi kanan

ibu. Forsep kanan dipegang seperti memegang pensil dengan tangkai forsep sejajar
dengan paha kiri ibu, sambil 4 jari tangan kiri penolong masuk ke dalam vagina.
Forsep dipasang dengan tuntunan ibu jari tangan kiri penolong. Setelah forsep
terpasang, dilakukan penguncian.
c. Penguncian Forsep
Penguncian dilakukan setelah forsep terpasang. Bila penguncian sulit dilakukan,
jangan dipaksa tapi periksa kembali apakah pemasangan telah benar dan dicoba
dengan pemeriksaan ulang. Apabila forsep kiri yang dipasang duluan, maka
penguncian dilakukan secara langsung dan bila forsep kanan yang dipasang duluan
maka forsep dikunci tidak langsung.
d. Pemeriksaan Ulang
Setelah forsep terpasang dan terkunci, dilakukan pemeriksaan ulang, apakah
forsep telah terpasang dengan benar dan tidak ada jalan lahir/jaringan yang terjepit.
e. Traksi Percobaan
Setelah yakin tidak ada jaringan yang terjepit, maka dilakukan traksi percobaan.
Penolong memegang pemegang forsep dengan kedua tangan, sambil jari telunjuk dan
tengah kiri menyentuh kepala janin, lalu dilakukan tarikan. Apabila jari telunjuk dan
tengah tangan kiri tidak menjauh dari kepala janin, berarti forsep terpasang baik dan
dapat segera dilakukan traksi definitive. Apabila jari telunjuk dan tengah tangan kiri
menjauh dari kepala janin, berarti forsep tidak terpasang dengan baik, dan dapat
dilakukan pemasangan ulang.
f. Traksi Definitif
Traksi definitive dilakukan dengan cara memegang kedua pemegang forsep dan
penolong melakukan traksi. Traksi dapat dilakukan hanya menggunakan otot lengan.
Arah tarikan dilakukan sesuai bentuk panggul. Pertama dilakukan cunam ke bawah,
sampai terlihat oksiput sebagai hipomoklion, lalu tangan kiri segera menahan
perineum saat kepala meregang perineum. Kemudian dilakukan traksi ke atas hanya
dengan menggunakan tangan kanan sambil tangan kiri menahan perineum.
Kemudian lahirlah dahi, mata, hidung, dan mulut bayi.
g. Melepaskan Cunam
Setelah kepala bayi lahir, maka cunam dilepaskan dan janin dilahirkan seperti
persalinan biasa.

I. KOMPLIKASI TINDAKAN EKSTRASI FORSEP


Konsekuensi segera rotasi forceps tengah telah di kaji pada beberapa peneliti yang
laporannya mencakup studi-studi berkontrol. Chiswick dan James (1979) mengkaji
morbiditas dan mortalitas neonatus pada pelahiran dengan forceps kielland dibandingkan
dengan kelompok kontrol setara yang lahir spontan . trauma lahir terbukti pada 15% bayi
yang lahir dengan forceps. Kematian neonatus, paling sering akibat robekan tentorium,
terjadi pada 3 diantara 86 bayi yang lahir dengan forceps, dan 2 diantaranya dilahirkan
dengan seksio sesarea darurat setelah upaya melahirkan dengan bantuan alat gagal. Studistudi terbaru tentang forceps kielland sudah di bahas sebelumnya. Hughey dkk. (1978)
membandingkan 458 tindakan forceps tengah dengan 17 seksio sesarea. Membandingkan
wanita yang melahirkan dengan seksio sesarea di pilih apabila serviknya telah mengalami
pembukaan lengkap dan oksiput gagal berputar ke posisi anterior dari posisi lintang atau
posterior. Dengan menggunakan indeks morbiditas perinatal, hasil yang kurang
memuaskan yaitu 30% dijumpai pada janin yang di lahirkan dengan forceps tengah,
sedngkan pada di lahirkan denganseksio sesarea tidak di jumpai morbiditas. Bowes (1980)
membandingkan hasil akhir pada janin yang di lahirkan dengan forceps tengah yang di
lahirkan dengan seksio sesarea atau ekstraksi vakum. Morbiditas di jumpai pada 14
diantaranya 71 persalinan forceps tengah (20%) dibandingkan dengan 2 diantaranya 37
seksio sesarea (5%) dan 3 trauma janin pada 15 ekstraksi vakum (20 pasien ).
Dalam menginterpretasikan hasil berbagai penelitian di atas, kita perlu
membandingkan beberapa faktor. Pertama dan utama, studi-studi tersebut di lakukan
sebelum klasifikasi forceps di refisi pada tahun 1988; dengan demikian, forceps tengah
(midforceps) tidak di definisikan dengan jelas dan mencakup semua pelarian dari station
yang relative tinggi (0 - +1), serta rotasi yang sulit. Kedua pelahiran pervagina spontan
bukan merupakan kontrol yang sesuai untuk forceps tengah seperti pada penelitian oleh
chiswick dan james (1979).
Karena meningkatnya morbiditas ibu dan neonates akibat forceps tengah
dibandingkan dengan forceps rendah, maka persalinan forceps tengah jarang digunakan
saat ini. Menurut American college of obstetricians and gynecologist (2000),tindakan
forceps tengah, termasuk persalinan dengan rotasi, layak di ajarkan dan di lakukan pada

keadaan yang tepat dan oleh orang yang terlatih. Secara garise besar tindakan forsep dapat
berakibat di bawah ini :
1. Komplikasi pada janin
a. Hematom pada kepala
b. Perdarahan dalam tengkorak
c. Perdarahan dalam corpus
vitrium mata

d. Luka lecet pada kepala


2. Komplikasi pada ibu :
a. Rupture uteri
b. Shock
c. Perdarahan postpartum
d. Pecahnya varises dari vagina

Terdapat kontroversi yang cukup dalam mengenai keterkaitan antara perlahiran


dengan forsep dan morbididtas jangka panjang pada neonatus. Dari semua aspek
penggunaan forsep tidaka ada yang lebih menimbulkan silang pendapat daripada
kemungkinan menimbulkan penurunan tingkat kecerdasan (IQ). Masalah ini belum
dtuntaskan dan kemungkinan akan tetap demikian karena banyak variable yang
mempengaruhi intelegensia. Broman dkk melaporkan bahwa bayi baru lahir dengan forsep
tengah memiliki skor IQ pada usia 4 tahun yang sedikit lebih tinggi daripada anak yang
lahir spontan. Apabila tidak dilakukan dengan benar pelahiran dengan forsep dapat
merugikan ibu dan janinnya. Jelaslah bahwa resiko terbesar terjadi pada tindakan forsep
tengah sejati dan yang memerlukan rotasi lebih dari 45 derajat. Sebagian besar penelitian
melaporkan morbidilitas yang bermakna dilakukan saat angka seksio masih sekitar 5
persen.
Dampak meluasnya penggunaan analgesia epidural terhadap insiden pelahiran
forceps rendah dan tengah tidak dapat diabaikan. Sebagian besar kasus terjadi akibat
kurannya gaya ekspulsif ibu melawan otot panggul yang relaksasi . walaupu pada aksus ini
perlu disediakan waktu lebih lama kala dua, pada sebagian wanita dan kasus tertentu
diindikasikan kelahiran lebih cepat. rotasi forceps rendah untuk kelainan persalinan akibat
analgesial epidural besar kemungkinan lebih amandari pada tuindakan lebih sama pada
wanita dengan oersalina lebihlama atau macet di panggul tengah yang tidak berkaitan
dengan analgesia konduksi.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah awal dalam proses asuhan keperawatan yang terdiri
dari 3 kegiatan : pengumpulan data yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesa
- Biodata mencakup identitas klien serta suami yang terdiri dari:
* nama jelas dang lengkap, bila perlu ditanyakan nama panggilan sehari*

hari.
Umur dicatat dalam tahun sebaiknya tanggal lahir klien juga dicatat
berguna untuk mengantisipasi diagnosa masalah kesehatan atau tindakan
yang akan dilakukan.

Alamat perlu dicatat untuk mempermudah hubungan bila mendesak,


misalnya ibu yang dirawat memerlukan bantuan keluarga. Dengan adanya
alamat tersebut keluarga klien dapat segera dihibungi, demikian juga
alamat dapat memberikan petunjuk tentang keadaan lingkungan tempat

tinggal klien.
Pekerjaan perlu dicatat untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pekerjaan

dengan permasalahan kesehatan klien dan juga pembiayan.


Agama perlu dicatat karena sangat berpengaruh dengan kesehatan, dengan
mengetahui agama klien, akan mempermudah tenaga kesehatan untuk

melakukan pendekatan dalam pemberian tindakan yang komprehensif.


Pendidikan perlu dicatat untuk memberikan gambaran karena tingkat
pendidikan akan memepengaruhi sikap atau perilaku kesehatan seseorang.
Status perkawinan perlu ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan
pengaruh status perkawinan terhadap masalah kesehatan klien.

2. Keluhan Utama
Keluhan yang mungkin dapat terjadi dan dirasakan ibu post forsep yaitu
ibu mengeluhkan mules-mules pada perut atau ibu merasa sakit pada luka jahitan
perineum, adanya pengeluaran lochia, rubra, merah, jumlah lebih banyak dari
keadaan fisiologis, ibu merasa pusing, nyeri ulu hati dan penglihatan kabur.
3. Riwayat Obstetri
Riwayat obstetric yang perlu dikaji antara lain :
* Riwayat haid
Riwayat yang perlu dikaji adalah menarche, siklus teratur atau tidak,
lamanya menstruasi, banyaknya darah yang keluar, mestruasi terakhir,
*

dismenorhea. Hal yang perlu ditanyakan juga adalah usia kehamilan.


Riwayat kehamilan dan persalinan yang lalu
Yang perlu ditanyakan kepada klien yang pernah hamil adalah
menentukan faktor resiko. Riwayat kehamilan yang lalu dengan preeklampsia atau tidak. pada klien yang pernah melahirkan tanyakan tempat
persalinan, cara melahirkan, BB saat anak lahir, PB saat anak lahir, usia
anak saat ini, kelainan saat nifas, dan riwayat meneteki. Yang perlu di
tanyakan juga adalah tempat, tanggal, jam persalinan, penolong, jenis

persalinan serta masalah-masalah yang timbul selam proses persalinan.


Riwayat kehamilan sekarang

Yang perlu ditanyakan adalah para abortus, usia kehamilan, tempat


pemeriksaan kehamilan, frekuensi pemeriksaan kehamilan, kelainan yang
dialami saat kehamilan, penggunaan obat atau jamu. Sewaktu usia
kehamilan 20 minggu atau lebih apakah mengalami kenaikan tekanan
darah, bengkak pada wajah, tungkai, tangan, pusing, nyeri ulu hati, dan
penglihatan kabur serta apakah ibu pernah mengalami kejang selama
*

kehamilan.
Riwayat keluarga berencana
Perlu dicatat bagi ibu yang pernah mengikuti program keluarga berencana.
Hal ini penting diketahui untuk mengetahui apakah kehamilan yang
sekarang memang direncanakan atau tidak. jenis kontrasepsi yang
digunakan, lamanya menggunakan alat kontrasepsi dan rencana setelah
kehamilan.

4. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan yang perlu dikaji antara lain :
* Riwayat penyakit yang pernah dialami atau sedang dialami
Apakah klien mempunyai penyakit turunan, menular atau menahun.
* Perilaku kesehatan
Tanyakan tanggapan klien terhadap minuman keras, merokok, personal
*

hygiene, obat-obatan yangs erring diminum.


Riwayat kesehatan keluarga
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh
penyakit keluarga terhadap gangguan kesehatan klien maupun bayinya
antara lain penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, keturunan

kembar dan Koch pulmonum.


5. Keadaan psikososial
Yang dikaji adalah bagaimana sikap klien terhadap interaksi yang
dilakukan dengan pertugas kesehatan, bagaimana rencana meneteki bayi, rencana
perawatan bayi, dirawat sendiri atau dirawat keluarga. Juga perlu dikaji
pengetahuan ibu tentang kesehatan setelah melahirkan meliputi mobilisasi sedini
mungkin, perawatan payudara, kebersihan diri khususnya daerah genitalia. Fungsi
psikososial khususnya peran suami dalam mendukung kesembuhan klien.
6. Riwayat adat dan kebiasaan

Yang perlu dikaji adalah kebiasaan adat keluarga dalam pertolongan persalinan
dan pasca persalinan, demikian juga adat yang lain yang ada hubungannya dengan
kesehatan klien dan janinnya.
7. Pola pemenuhan kebutuhan nutrisi
Perlu ditanyakan pemenuhan nutrisi selama di rumah sakit apakah klien
menghabiskan porsi yang dikonsumsi, kalau tidak apakah klien dibawakan
makanan dari rumah. Tanyakan juga kebiasaan makan di rumah selama hamil
biasanya berapa kali dalam satu hari, berapa piring dalam satu kali makan, jenis
makanan yang berpantang selama hamil. Hal ini perlu dipertanyakan karena
kebiasaan makan mempengaruhi proses pemulihan kesehatan klien. Untuk klien
8.

dengan post eklamsi nutrisi yang diperlukan adalah diit rendah garam.
Aktifitas
Ditanyakan kemampuan aktifitas klien selama dirumah sakit apakah
mengalami hambatan atau tidak, karena pada ibu nifas post eklamsi mobilisasi
dini dapat mulai dilakukan saat keadaan klien berangsur membaik kira-kira 12-24
jam post partum. Mobilisasi dini dapat dimulai dengan tidur terlentang, lalu
miring kanan kiri, serta belajar duduk pada hari kedua, hari ketiga belajar berjalan

dan hari keempat atau kelima sudah boleh pulang.


9. Istirahat dan tidur
Selama di rumah sakit apakah klien dapat memenuhi kebutuhan istirahat
dan tidurnya yaitu kira-kira 7-8 jam sehari. Berapa jam klien tidur dalam sehari,
bila tidak dapat tidur ditanyakan apakah sebabnya, apakah menimbulkan
gangguan atau tidak.
10. Kebersihan diri
Selama melahirkan apakah dapat melakukan atau mandi sendiri di kamar
mandi atau masih diseka. Tanyakan kapan ganti pembalut, berapa kali dan jumlah
perdarahan.
11. Pola eliminasi alvi dan urin
a. Apakah selama dirumah sakit klien sudah buang air kecil, kalau belum
mengapa. Karena pada klien dengan post operatif vaginam selama proses
persalinan, kandung kemih mendapat tekanan sehingga dapat mengakibatkan
gangguan eliminasi urin, tanyakan pula apakah disertai rasa nyeri atau tidak,
dan buang air kecil sudah harus terjadi secara spontan pada 8 jam post partum.
b. Apakah sudah buang air besar atau belum, karena pada post partum BAB sudah
harus terjadi pada hari ke 2-3 post partum, kalau belum mengapa, kalau sudah

bagaimana konsistensi dan warnanya, tanyakan juga kebiasaan buang air besar
dirumah, karena kebiasaan buang air besar yang tidak tiap hari kadang tidak
menimbulkan gangguan.
12. Pola persepsi
a. Bagaimana penerimaan klien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap
proses persalinan.
13. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran yang di peroleh dari pengamatan dan pemeriksaan umum pada
klien saat pengkajian. Apakah klien terlihat pucat atau segar, apakah klien
sadar penuh dan dapat beradaptasi dengan keadaan sekitarnya.
b. Tanda-tada vital
Hal yang di periksa adalah tekanan darah, suhu rektal/axiler, denyut nadi dan
pernafasan
c. Tinggi badan dan berat badan
Dapat di periksa apabila keadaan memungkinkan , apabila klien masih tertidur
tidak perl di cantumkan atau di ukur
d. Pada pemeriksaan fisik yang perlu di perhatikan adalah :
- Muka : pucat, terdapat cholasma gravidarum atau tidak, ekspresi wajah
-

serta terdapat edema atau tidak


Mata
: conjungtiva warna pucat atau tidak, terdapat ikterus atau tidak
Mulut : terdapat stomatitis atau tidak pada gigi terdapat caries atau tidak

serta kebersihannya.
Leher : pembesaran kelenjar tiroid ada atau tidak, pembesaran vena

jugularis ada atau tidak


Dada
: bentuk dada simetris atau tidak, pembesaran payudara, keras,

lembek, bentuk puting susu, serta colostrum keluar atau belum.


Perut
:
o Inspeksi : ada atau tidak bekas luka SC, striae, linea
o Palpasi : TFU secara normal pada hari pertama post partum
setinggi pusat serta kontraksi uterus untuk mengetahui proses
involusi.
o Genitalia:Inspeksikebersihan lochia rubra, warna merah, bau serta

banyaknya
Perineum
: terdapat bekas episotomi, banyaknya jahitan, edema, atau
ada tidaknya infeksi atau tidak serta luka tampak kering atau basah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan vascular berlebihan


- Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam dapat
-

mendemonstrasikan kestabilan atau perbaikan keseimbangan cairan


Kriteria hasil :
* TTV stabil (dalam batas normal)
* Pengisian kapiler cepat
* Tinjau ulang catatan kehamilan dan persalinan atau kelahiran, perhatikan
faktor-faktor penyebab atau pemberat pada situasi hemoragi (misal

laserasi, fragmen palcenta tertahan, sepsis)


Intervensi
a) Kaji dan catat jumlah, tipe, dan sisi perdarahan timbang dan hitung pembalut
simpan bekuan dan jaringan untuk di evaluasi oleh dokter
R/ Membantu dalam membuat rencana perawatan yang tepat dan
memberikan kesempatan untuk mencegah atau membatasi terjadinya
komplikasi.
b) Kaji lokasi uterus dan derajat kontraktilitas uterus
R/
Membantu dalam membuat rencana perawatan yang tepat dan
memberikan kesempatan untuk mencegah atau membatasi terjadinya
komplikasi
c) Perhatikan hipotensi atau takikardi, perlambatan pengisian kapiler, atau
sianosis dasar kuku, membrane mukosa, dan bibir.
R/ Derajat kontraktilitas uterus membantu dalam diagnosa banding.
Peningkatan kontraktilitas miometrium dapat menurunkan kehilangan darah.
d) Pantau parameter hemodinamik, seperti tekanan vena sentral atau tekanan
baji arteri pulmonal, bila ada.
R/
Tanda-tanda ini menunjukkan hipovolemik dan terjadinya syok
perubahan pada tekanan darah tidak dapat di deteksi sampai volume cairan
menurun sampai 30-50%. Sianosis adalah tanda ahir dari hipoksia.
e) Lakukan tirah baring dengan kaki di tinggikan 20-30 derajat dan tubuh
horizontal.
R/ Pengubahan posisi yang tepat meningkatkan aliran balik vena, menjamin
persediaan darah ke otak dan organ vital lainnys lebih besar.
f) Pertahankan aturan puasa saat menentukan status atau kebutuhan klien.
R/ Mencegah aspirasi isi lambung dalam kejadian dimana sensorium
berubah dan atau intervensi pembedahan diperlukan.
g) Kolaborasi mulai infuse 1 atau 2 IV dari cairan isotonic atau elektrolit
dengan kateter 18 g atau melalui jalur vena central.

R/ Perlu untuk infuse cepat atau multiple dari cairan atau produk darah untuk
meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah pembekuan.
h) Berikan darah lengkap produk darah (misal plasma, kreopresipitat,
trombosit) sesuai indikasi.
R/ Membantu menentukan beratnya masalah dan efek dari terapi.
i) Berikan obat-obatan sesuai indikasi : oksitosin, magnesium sulfat, heparine,
terapi antibiotic, natrium bikarbonat.
R/ Antibiotic bertindak secara profilaktik untuk mencegah infeksi atau
mungkin di perlukan untuk infeksi di sebabkan atau di perberat pada
subinvolusi uterus atau hemoragic.
j) Pantau pemeriksaan lab sesuai indikasi : Hb dan Ht, kadar pH serum,
trombosit, pasang kateter urinarius indwelling.
R/ Membantu dalam menentukan jumlah kehilangan darah. Setiap ml darah
membawa 0,5 mg Hb. Pada syok lama, hipoksia jaringan, dan asidosis dapat
terjadi sebagai respon terhadap metabolisme anaerobic

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive kerusakan kulit penurunan Hb


pemajanan terhadap pathogen.
- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x 24 jam diharapkan
-

resiko infeksi tidak terjadi


Kriteria Hasil :
Intervensi :
a) Pantau ulang kondisi atau faktor resiko yang ada sebelumnya.
R/ Kondisi dasar ibu seperti diabetes atau hemoragik menimbulkan potensi
resiko infeksi atau penyembuhanluka yang buruk. Infeksi dapat
memperlambat penyembuhan luka.
b) Kaji terhadap tanda atau gejala lain infeksi( misalnya Peningkatan suhu, nadi
jumlah sel darah putih, atau bau garing warna rabas pada vagina. Berikan
perawatan perineal sedikitnyasetiap 4 jam).
R/ Menurunkan resiko infeksi asenden
c) Lakukan persiapan kulit praoeratif, sesuai protocol
R/ Menurunkan resiko kontaminasi kulit memasuki insisi menurunkan resiko
infeksi pasca operasi.
d) Dapatkan kultur darah, vagina, dan plasenta sesuai indikasi.
R/ Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi dan tingkat keterlibatan.

e) Catat hemoglobin (Hb) dan Hemaktrokit (Ht) catat perkiraan kehilangan


darah selama prosedur pembedahan.
R/ Resiko infeksi pasca melahirkan dan penyembuhan buruk meningkat bila
kadar Hb rendah dan kehilangan darah berlebihan.
f) Berikan antibiotic spectrum luas parental pada praoperasi.
R/ Antibiotik profilaktik dapat dipesankan untuk mencegah terjadinya proses
infeksi

3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan trauma jaringan, perubahan motilitas, efekefek obat atau penurunan sensasi pasca dilakukan tindakan forsep
- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pasien bebas dari resiko
-

cedera.
Kriteria Hasil :
Intervensi :
a) Tinjau ulang catatan persalinan, perhatikan frequensi berkemih, haluaran,
penampilan, dan waktu berkemih pertama.
R/ Dapat menandakan retensi urine atau menunjukan keseimbangan cairan
atau dehidrasi pada klien yang sedang bersalin.
b) Pantau haluaran dan warna urine setelah insersi kateter indwelling.
Perhatikan adanya darah dan urine.
R/ Menunjukan tingkat hidrasi, status sirkulasi dan kemungkinan trauma
kandung kemih
c) Kolaborasi: dapatkan specimen urine untuk analisis rutin, protein, dan berat
jenis.
R/ Resiko meningkat pada klien bila proses infeksi atau keadaan hipertensif
ada.
d) Singkirkan benda-benda sekitar klien yang berbahaya
R/ penurunan sensasi post forsep diatasi dengan memberikan lingkungan
yang amat bagi klien
e) Tingkatkan mobilisasi bertahap
R/ keadaan klien yang sudah memadai/stabil dianjurkan untuk segera
mobiliasasi agar mencegah terjadinya konstipasi atau gangguan pencernaan
yang lain.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ekstrasi forcep atau ekstrasi cunam adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan dengan suatu tarikan forcep yang dipegang dikepalanya. Forsep digunakan
sebagai ekstraktor, rotator atau keduanya. Terminasi persalinan dengan menggunakan
forsep selama dilakukan dengan aman diindikasikan untuk semua keadaan yang
mengancam ibu dan janin dan besar kemungkinan akan hilang setelah janin dilahirkan.
B. SARAN
Penulis menyarankan agar percobaan pelahiran dengan bantuan alat yang dilakukan
secara hati-hati dapat digunakan sebagai alternatif terhadap seksio sesarea pada persalinan
kala 2 yang memanjang akibat persalinan tak maju dipanggul tengah. Bahwa tindakan
forceps pintu bawah panggul dan forceps rendah dengan rotasi 45 derajat atau kurang dapat
dilakukan dengan aman (bagi ibu maupu janin) apabila petunjuk dasar diperhatikan dengan
cermat.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. 2004. Jakarta: EGC


Cunningham, F. Gary, Dkk. 2005. Obstetri Wiliam. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. Rencana Perawatan Maternal/bayi, edisi 2. 2001. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. 2006. Jakarta: Yayasan Bina pustaka
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai