Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

TRAUMATIK OPTIK NEUROPATI


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

oleh:
Anindita Dena Varissa
1507101030209

Pembimbing:
dr. Saiful Basri, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas presentasi kasus ini berjudul Traumatik Optik Neuropati.
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr. Saiful Basri,
Sp.M yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan
dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 17 Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
1

Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................5
2.1 Anatomi Cavum Orbita....................................................................................5
2.2 Anatomi Saraf Optik........................................................................................6
2.3 Traumatik Optik Neuropati....11
2.4 Epidemiologi..12
2.5 Patofisiologi....13
2.6 Diagnosis....14
2.7 Diagnosis Banding.16
2.8 Pemeriksaan Penunjang.16
2.9 Tatalaksana....16
BAB III LAPORAN KASUS.......18
BAB IV ANALISA KASUS.....23
BAB V KESIMPULAN....25
DAFTAR PUSTAKA. ....26

BAB I
PENDAHULUAN

Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma, sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik. Traumatic optic neuropathy adalah suatu keadaan yang
jarang terjadi dan seringkali tidak diperkirakan, namun menjadi sekuel yang
penting dari sebuah cedera kepala tertutup dan trauma maksilofasial. Kecelakaan
lalu lintas yang disertai cedera kepala tertutup, cedera deselerasi dengan gaya
yang besar, serta trauma maksilofasial dianggap sebagai penyebab terjadinya
Traumatic optic neuropathy. Dampak dari cedera kepala adalah penurunan
kesadaran yang menjadi fokus tatalaksana pada pasien cedera kepala, namun
ketika kondisi pasien mulai stabil, keluhan penurunan tajam penglihatan menjadi
kewaspadaan terjadinya cedera saraf optik(1).
Insidensi kejadian Traumatic Optic Neuropathy bervariasi diseluruh dunia,
yang berdasarkan pada penyebab utamanya terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, tindakan kriminal, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin (2). Di Amerika
Serikat, kasus Traumatic optic neuropathy cukup jarang terjadi, sekitar
1/1.000.000 penduduk(3). Kasus cedera saraf optik, memiliki angka yang cukup
besar di Negara berkembang seperti India yaitu 27% dari seluruh kasus penyakit
mata yang menyebabkan kebutaan. Penelitian yang dilakukan di Inggris
menyatakan 80% pasien Traumatic optic neuropathy merupakan laki-laki dengan
usia rata-rata 34 tahun(4).
Di Indonesia masalah kesehatan mata saat ini adalah masih tingginya
angka kebutaan. Katarak merupakan penyebab kebutaan terbanyak saat ini,
sedangkan penyebab kebutaan mata yang lain termasuk penyakit glaukoma,
tumor, infeksi, dan trauma pada mata. Pada penelitian terakhir yang dilakukan
oleh Lubis (2014) di Medan, menyatakan bahwa 71,4% dari seluruh kejadian
cedera saraf optik disebabkan kecelakaan berkendara, 17,9% karena perkelahian,
dan 10,7% akibat dari terjatuh(3).
Berdasarkan Walsh and Hoyt (2005) menjelaskan bahwa Traumatic optic
neuropathy merupakan cedera yang terjadi pada saraf optik dan menyebabkan
penurunan tajam penglihatan tanpa disertai kelainan pada oftalmoskopik yang

menunjukkan kerusakan struktural pada bola mata atau pada saraf optik ketika
fase akut. Hal serupa diungkapkan kembali oleh Jackson (2016) bahwa pada fase
akut, nervus optikus terlihat normal pada pemeriksaan funduskopi dan tidak
menimbulkan gejala gangguan penglihatan, namun atrofi nervus optikus
seringkali mulai terlihat ketika 3-6 minggu pasca terjadinya trauma(5).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Cavum Orbita


Orbita adalah ruang yang berbentuk pyramid dengan empat sisi dan
merupakan tempat bola mata. Basis orbit menghadap anterolateral, sedangkan
apeks menghadap ke posteromedial. Orbita memiliki dinding medial, yang
dibentuk oleh apparatus nasal dan os etmoidalis, serta dinding lateral. Pada bagian
superior, orbit berbatasan dengan sinus frontalis, sedangkan pada inferior sinus
maksilaris. Volume orbit pada orang dewasa adalah sekitar 30 ml. Orbit memiliki
empat permukaan yaitu:

Dinding superior (atap) dibentuk oleh bagian os. Frontalis


Dinding Inferior (basis) dibentuk oleh os. Maksila, sebagian os.zygoma,

dan palatum
Dinding medial terbentuk oleh os ethmoidalis yang setipis kertas dan
menebal saat bertemu dengan os.lacrimal, beberapa tulang lainnya yang
membentuk batas medial adalah os. Maxilla, os. Lacrimalis dan os.

Sphenoid.
Dinding lateral dibentuk oleh prosessus frontalis os.zigomatikum dan os.
Sphenoid

Gambar 2.1 Anatomi Cavum Orbita


Apeks orbita adalah tempat masuknya saraf dan pembuluh darah orbita serta
tempat perlekatan otot ekstrinsik bola mata, kecuali inferior oblik. Pada apeks
terdapat beberapa celah. Fisura orbitalis superior, yaitu celah antara sayap mayor
dan minor os sphenoid, merupakan tempat masuknya nervus lacrimal, frontal, dan

troklear ( di luar cincin Zinn). Di dalam cincin zinn terdapat nervus okulomotor,
abdusens, nasosiliaris, dan optikus, serta arteri ophtalmikus.
2.2 Anatomi Saraf Mata
Saraf Optik merupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1juta
akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke
korteks oksipital. Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi,
yaitu :

Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar area
Regio intraorbital (berada di dalam corong otot)
Regio intrakanalikular (berada didalam kanal optik)
Regio Intrakranial (berakhir di kiasma optikum)

Kumpulan dari saraf optik mempunyai karakteristik yang sama seperti white
matter otak. Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan bagian dari
otak, dan lapisan fibernya dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel Schwann.
Panjang saraf optik bervariasi antara 35 sampai 55 millimeter. Bagian yang dapat
dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf optik regio intraokular(4, 6).

Gambar 2.2 Regio Saraf Optik


a. Regio Intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital maupun
penyakit okular yang didapat. Bagian anterior dapat dilihat dengan pemeriksaan
oftalmoskopi sebagai optic disc. Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran

horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75 millimeter. Berbentuk cekung dengan
dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan
vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian(4, 6), yaitu :
Lapisan fiber superfisial
Area prelaminar
Area laminar
Area retrolaminar
b. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu :

Annulus of Zinn
Meningeal Sheaths

c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial
yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang
mengelilinginya terhubung ke kanal periosteum.
d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri
oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf
optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga
membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik melintas kearah posterior
melewati sinus kavernosus dan mencapai kiasma optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum l ateralis.Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.Kiasma
optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi yang sangat
banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12 millimeter dan
panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4 millimeter (4,
6)

Suplai Darah Saraf Optik

Gambar 2.3 Suplai pembuluh darah saraf optik


Arteri oftalmika membentang dibawah saraf optik.Suplai darah dari saraf
optik berbeda dari satu bagian ke bagian lainnya.Daerah retrolamina disuplai oleh
pembuluh darah pial dan pembuluh darah silier posterior.Daerah lamina disuplai
oleh arteri silier posterior.Daerah prelaminar disuplai oleh arteri silier posterior
dan arteri koroidal.Daerah lapisan fiber disuplai oleh arteri retina medial.Daerah
intraorbital disuplai oleh pembuluh darah pial bagian proksimal dan cabangcabang kecil dari arteri oftalmika.Daerah intrakanalikular disuplai oleh sebagian
besar arteri oftalmika. Daerah intrakranial disuplai oleh cabang utama dari arteri
oftalmika dan arteri karotis interna(4, 6).
Visual Pathway
Jalur visual dapat dibedakan menjadi jalur aferen (sensoris) dan eferen
(motorik). Kerusakan pada jalur aferen akan menyebabkan kehilangan
kemampuan penglihatan. Jalur aferen secara berurutan dimulai dari retina, saraf
optik, kiasma optikum, traktus optikus, dan pada akhirnya akan mencapai
korteks(7).
1. Retina
Segmen

posterior

retina

mentransduksikan

gambar

fotokimia

elektromagnetik menjadi rangsangan impuls. Dimana pada retina terdapat sel


batang yang memiliki jumlah sekitar 80 120 juta sel dan menyebar diseluruh
retina kecuali fovea dan sel kerucut yang memiliki jumlah 5 6 juta sel dengan
penyebaran hanya terpusat pada fovea yang memiliki kemampuan untuk
8

mengubah impuls fotokimia menjadi impuls saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic
disc menghasilkan daerah yang disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma)
yang terletak sekitar fovea.Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan
keadaan pigmen yang masing-masing sensitif terhadap gelombang warna merah,
hijau atau biru.
Signal retina yang berasal dari sel batang dan sel kerucut diproses pertama
kali melalui sel bipolar yang menghubungkan reseptor cahaya ke sel ganglion.
Kebanyakan sel ganglion dapat dibagi menjadi sel parvocellular (Sel P) dan sel
magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah terhadap interpretasi warna dan
mempunyai lapangan reseptor yang kecil dan sensitivitas kontras yang lemah.
Sementara sel M memiliki lapangan reseptor yang luas dan lebih responsif
terhadap cahaya dan pergerakan. Neurotransmitter yang didapati pada retina
adalah glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin(7).
2. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang
menyelubungi seluruh retina. Akson darisaraf optik tergantung dari produksi
metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik molekul maupun
sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang cukup tinggi. Hal ini
menyebabkan sistem transpor aksonal sangat sensitif terhadap kejadian iskemik,
inflamasi, dan proses kompresi.
3. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan
melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus dan
dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan terjadi persilangan impuls
dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial maupun lateral.

4. Traktus optikus

Lateral geniculate nucleus merupakan terminal dari akson yang berasal


dari sel ganglion retina. Bagian ini berada dibawah talamus posterior. Dibagi
menjadi 6 tingkat, yaitu 4 level tertinggi adalah terminal untuk akson sel P yang
mana hal ini untuk meningkatkan sensitivitas dari sel P. 2 tingkat dibagian bawah
merupakan bagian untuk menerima impuls dari sel M untuk mendeteksi gerakan.
Akson yang berasal dari mata kontralateral memiliki terminal di lapisan 1,4 dan 6.
Sedangkan dibagian kolateral berujung pada lapisan 2,3 dan 5.
5. Korteks
Mengikuti sinaps pada nukleus genikularis lateral, akson melintas
kebelakang sebagai radiasi optik di korteks penglihatan primer di dalam lobus
oksipital. Korteks penglihatan primer (area Broadmann 17) tersusun horizontal
sepanjang kalkarin yang membagi permukaan medial lobus oksipital. Penyebaran
optik pada korteks penglihatan primer berada pada lapisan ke 4 dari 6 lapisan
korteks. Lapisan ini yang disebut sebagai lamina granularis interna lebih lanjut
dibagi menjadi 3 bagian kecil yaitu 4A, 4B dan 4C. Input sel P secara umum
berada pada bagian 4C bagian bawah dan input sel M berada pada bagian 4C
bagian atas(7).

Gambar 2.4 Visual Pathway

10

2.3 Traumatik Optik Neuropati


Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik. Traumatic optic neuropathy adalah suatu keadaan yang
jarang terjadi dan seringkali tidak diperkirakan, namun menjadi sekuel yang
penting dari sebuah cedera kepala tertutup dan trauma maksilofasial. Berdasarkan
Walsh and Hoyt (2005) menjelaskan bahwa Traumatic optic neuropathy
merupakan cedera yang terjadi pada saraf optik dan menyebabkan penurunan
tajam penglihatan tanpa disertai kelainan pada oftalmoskopik yang menunjukkan
kerusakan struktural pada bola mata atau pada saraf optik ketika fase akut. Hal
serupa diungkapkan kembali oleh Jackson (2016) bahwa pada fase akut, nervus
optikus terlihat normal pada pemeriksaan funduskopi, namun atrofi nervus optikus
seringkali mulai terlihat ketika 3-6 minggu pasca terjadinya trauma(8).
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab tersering, sekitar 17-63% kasus
Traumatic optic neuropathy disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala
tertutup, cedera deselerasi dengan gaya yang besar, serta trauma maksilofasial
dianggap sebagai penyebab terjadinya cedera saraf optik tidak langsung.
Penyebab tersering terjadinya cedera saraf optik tidak langsung adalah transmisi
benturan di area orbital pada tengkorak menuju saraf optikus(8).
Berdasarkan mekanisme trauma, cedera saraf optik dibagi menjadi cedera
langsung (Direct traumatic optic neuropathy) dan cedera saraf optik tidak
langsung (Indirect traumatic optic neuropathy). Cedera saraf optik langsung
adalah cedera terbuka dimana objek eksternal menembus jaringan lunak sehingga
membentur saraf optik. Cedera saraf optik langsung juga dapat terjadi apabila
fragmen patahan tulang disekitar kanalis optik menusuk bagian saraf optikus, atau
perdarahan intraorbital yang secara langsung akan menekan saraf optik . Dampak
dari cedera saraf optik langsung dapat dikenali dari pemeriksaan oftalmoskopi
dengan gambaran putusnya saraf optik, perdarahan intraorbita, dan emfisema
intraorbita. Cedera tidak langsung terjadi ketika gaya tumbukan melewati tulang
tengkorak dan mencapai saraf optik(7). Pada umumnya, cedera saraf optik tidak

11

langsung terjadi karena gaya tumbukan pada trauma tumpul kepala di


transmisikan ke kanalis optik. Kasus cedera saraf optik tidak langsung diakibatkan
oleh komplikasi dari cedera kepala. Lokasi cedera kepala yang menyebabkan
kebutaan adalah pada area frontal, disekitar rongga orbita, dan jarang sekali di
regio temporal. Dampak dari cedera kepala adalah penurunan kesadaran yang
menjadi fokus tatalaksana pada pasien cedera kepala, namun ketika kondisi pasien
mulai stabil, keluhan penurunan tajam penglihatan menjadi kewaspadaan
terjadinya cedera saraf optik(9).
Berdasarkan letak anatomis, cedera yang melibatkan bagian anterior
dimana arteri retina media memasuki saraf optik sehingga menimbulkan kelainan
pada sirkulasi retina yang berhubungan dengan kemampuan penglihatan.
Turbulensi pada sirkulasi darah retina dapat berhubungan dengan perdarahan
orbital yang mengganggu saraf optik. Cedera yang melibatkan daerah posterior,
berada tepat dibelakang tempat masuknya arteri retina media dan tempat
keluarnya vena retina media, cedera pada area ini tidak menyebabkan kelainan
sirkulasi apapun(7).

2.4 Epidemiologi
Insidensi kejadian Traumatic Optic Neuropathy bervariasi diseluruh dunia,
hal ini berdasarkan sebanyak apa penyebab utama nya yang terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, tindakan kriminal, jenis pekerjaan, dan jenis
kelamin. Di Amerika Serikat, 0,5%-5% dari seluruh kasus cedera kepala disertai
dengan cedera saraf optik dan 2,5% dari kasus cedera maksilofasial juga disertai
dengan cedera saraf optik. Dari seluruh kejadian cedera saraf optik, 17%-63%
disebabkan oleh karena kecelakaan lalu lintas khususnya terjatuh dari sepeda
motor dan sepeda. Kasus cedera saraf optik, memiliki angka kejadian pada Negara
berkembang dengan 85% pasiennya merupakan laki-laki dengan usia rata-rata 34
tahun(2).
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Lubis (2014) di Medan,
menyatakan bahwa 71,4% dari seluruh kejadian cedera saraf optik disebabkan

12

kecelakaan berkendara, 17,9% karena perkelahian, dan 10,7% akibat dari


terjatuh(4).

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya cedera saraf optik dijelaskan secara multifaktorial.
Beberapa peneliti membagi patofisiologi TON kedalam dua mekanisme.
Mekanisme cedera saraf optik dapat dibedakan menjadi cedera langsung dan
cedera tidak langsung. Mekanisme cedera langsung menyebabkan cedera
permanen pada akson saraf optik saat terjadinya tumbukan yaitu berupa
pengikisan akson saraf optik dan vaskularisasinya(1).
Mekanisme cedera tidak langsung menyebabkan kerusakan pada saraf
optik akibat gangguan homeostasis selular. Cedera reperfusi dan iskemia akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi membrane sel lemak yang nantinya akan
menyebabkan munculnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Efek bradikinin yang timbul saat trauma akan menyebabkan pelepasan dari asam
arakidonat pada neuron. Prostaglandin yang dihasilkan oleh asam arakidonat,
radikal bebas dan oksidan lainnya akan memperberat terjadinya iskemia. Pada saat
terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium akan memasuki kompartemen seluler,
sehingga konsentrasi ion ini akan meningkat intraseluler dimana ion ini memiliki
sifat toksin metabolik yang akan menyebabkan kematian sel(10).
Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme dan
pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan dinding
kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya iskemia dan
kerusakan akson(10).
Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf
pusat mendukung bahwa iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam
cedera saraf optik akibat trauma karena iskemia saraf optik akan menyebabkan
kematian sel ganglion retina(10).
Kasus TON indirect terjadi cedera pada akson yang diduga disebabkan
oleh pengikisan yang terjadi secara paksa paksa serabut saraf dan vaskularisasi
13

retina. Beberapa penelitian yang dilakukan pada kasus cedera kepala didaerah
frontal, kekuatan tumbukan akan ditransfer ke area kanal optik dimana selaput
dura pada serabut saraf didalam periosteum kanal optic sangat ketat menyelubungi
serabut saraf, sehingga menjadi landasan pemikiran segmen saraf ini menjadi
rentan terhadap tekanan deformatif dari tulang tengkorak. Keadaan ini
menyebabkan cedera iskemik pada sel-sel ganglion retina dalam kanal optik(10).

2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesa
Anamnesa pada Traumatic optic neuropathy harus didapatkan riwayat
trauma. Trauma yang dialami seringkali diikuti dengan proses penurunan
kesadaran. Diagnosa cedera saraf optik tidak mungkin dicurigai apabila tidak ada
keluhan penurunan tajam penglihatan. Keluhan pandangan kabur dan terganggu
akan didapat setelah pasien sadar pasca trauma. Jika pasien dalam keadaan tidak
sadar, data-data yang berhubungan dengan penegakkan diagnosa TON didapat
dari pihak lain yang memahami keadaan pasien mulai dari sesaat setelah kejadian,
mekanisme trauma, respon terhadap dokter di instalasi gawat darurat, dan
kemungkinan-kemungkinan lain adanya paparan dari benda asing yang berbahaya
ke dalam mata. Riwayat kelainan pada mata sebelum terjadinya trauma perlu
digali agar tidak terjadinya kesalahan dalam diagnosa. Riwayat alergi obat-obatan
dan riwayat imunisasi juga penting untuk diketahui oleh pemeriks(4, 10).
Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Visus
Penilaian visus sangat penting untuk dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan cedera saraf optik. Derajat penurunan visus pada setiap pasien akan
berbeda dengan pasien lainnya apabila dibandingkan sebelum dan sesudah
trauma. Penurunan visus yang signifikan terjadi pada cedera saraf optik tidak

14

langsung, namun keluhan penurunan tajam penglihatan seringkali mulai dirasakan


pasien beberapa minggu setelah trauma(10).
b. Pupil
Trauma optik neuropati dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Pada
kasus trauma optik neuropati unilateral, ditemukan kondisi yang memungkinkan
untuk ditegakkan diagnosis TON karena adanya defisit pupil aferen(10).
c. Warna
Pemeriksaan warna dilakukan untuk menilai sel kerucut yang masingmasing mempunyai sensitivitas spesifik untuk setiap gelombang warna.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan untuk menilai defek kongenital pada ketiga
sel tersebut, namun tidak menutup kemungkinan didapati kelainan defek warna
akibat trauma(10).
d. Lapangan Pandang
Tes lapangan pandang dilakukan pada pasien dengan kesadaran baik dan
mampu berkoordinasi dengan baik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk monitoring
dari masalah oftalmologi dan neurologis. Pada kasus trauma optic umumnya dapat
ditemukan defek lapangan pandang(10).
e. Pemeriksaan Segmen Posterior
Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan dengan menggunakan slitlamp, oftalmoskop direk, dan oftalmoskop indirek. Pemeriksaan menggunakan slit
lamp menjadi pemeriksaan yang sering dilakukan sekarang. Pemeriksaan fundus
yang adekuat akan dapat menilai kelainan sirkulasi retina. Avulsi komplit dan
parsial dari ujung saraf optik dapat menimbulkan cincin perdarahan di daerah
yang cedera. Cedera anterior pada bola mata dimana arteri retina media memasuki
saraf optik dapat menimbulkan gangguan pada sirkulasi retina, termasuk obstruksi
vena dan traumatic anterior ischemic optic neuropathy(10). Kemungkinan
terjadinya perdarahan pada selubung saraf optik posterior sangat mungkin terjadi
pada pasien dengan TON. Hal ini akan menghasilkan sirkulasi retina yang masih
intak namun menyebabkan pembengkakan pada ujung saraf optik.
f. Tonometri
Tonometri menjadi sebuah pemeriksaan objektif untuk menilai tekanan
intraocular yang didasarkan pada banyaknya tenaga untuk meratakan kornea dan
akibat dari perdarahan intraorbita(4, 10).

15

2.7 Diagnosis Banding


Penyebab dari penurunan visus akibat trauma selain TON wajib
diwaspadai. Cedera saraf optik sangat mungkin disertai dengan cedera mata
lainnya. Apabila pada pemeriksaan fisik tidak didapati penurunan visus dan
refleks pupil yang abnormal, kemungkinan terjadinya traumatik optik neuropati
harus tetap dicurigai. Beberapa proses yang dapat menyebabkan penurunan visus
akibat kejadian trauma adalah seperti aneurisma vaskular,inflamasi pada saraf
optik, anterior iskemik optik neuropati, atau penyakit sinus akut yang melibatkan
daerah orbita(11).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan radiologis merupakan
pilihan terbaik untuk mengevaluasi adanya cedera pada saraf optik. Computed
tomography (CT) scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki efek
yang sangat menunjang penegakan diagnosa trauma optik. CT scan dapat
meperlihatkan implikasi patologis spesifik dalam fungsi saraf optik, termasuk
hematoma selubung saraf optic dan dugaan kista araknoid(11).
Penggunaan CT Scan berada jauh diatas MRI untuk melihat garis-garis
fraktur tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan untuk melihat jaringanjaringan lunak yang berada di daerah orbita, salah satunya untuk menilai trauma
kiasma(4, 11).

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan TON masih merupakan hal yang kontroversial, karena
tidak ada petunjuk yang spesifik untuk menangani kasus tersebut. Penanganan
trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi farmakologi maupun
pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai TON, melaporkan bahwa 0-48%
kasus mempunyai prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami

16

perbaikan dengan pengobatan steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami


perbaikan dengan terapi pembedahan untuk dekompresi dari saraf optik(12).
Konservatif
Oftalmologis di Inggris, 65% lebih memfokuskan perbaikan visus dan
kemampuan penglihatan pada pasien TON(12).
Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma
merupakan pilihan utama, hal ini dikarenakan mekanisme kerja kortikosteroid
yang menurunkan proses sintesis protein, sehingga nantinya diharapkan radikal
bebas yang secara patologis dapat merusak sel-sel tubuh dapat dihambat(12).
Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika terjadi penurunan kemampuan penglihatan
setalah dilakukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, namun penanganan
dengan pembedahan masih menjadi terapi empiris untuk trauma optik neuropati.
Salah satu tindakan pilihan yang bertujuan mendekompresi saraf optik adalah
tindakan orbitotomi lateral, dimana dengan jelas tindakan ini mempengaruhi nilai
visus dan pergerakan bola mata setelah operasi dan jarang sekali ditemukan efek
samping dari tindakan ini(12).
Penelitian yang dilakukan oleh Konsensus Trauma Saraf Optik
Internasional adalah penelitian yang bertujuan untuk mengklarifikasi adanya
perbedaan hasil terapi pada berbagai terapi yang di uji coba pada sampel
penelitian tersebut yaitu pasien dengan TON. Penelitian ini dilakukan selama 7
hari setelah trauma dan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok yang tidak
diterapi sama sekali, menggunakan kortikosteroid, dan kelompok dengan terapi
pembedahan. Kesimpulan dari penelitian ini, tidak ada perbedaan yang signifikan
dari pemberian steroid dan terapi pembedahan, sehingga setiap klinisi tetap harus
memutuskan terapi apa yang akan dipilih(13). Penelitian lain oleh Chou, et al
(2006) pada 58 pasien dengan TON menunjukkan perbaikan visus terjadi pada
60% pasien yang menerima terapi pembedahan, 57% pada pasien yang menerima
terapi kortikosteroid, dan 0% pada pasien yang tidak diberikan terapi apapun(14).

17

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: RM

Umur

: 11 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

Alamat

: Darussalam

CM

: 1102308

Tanggal Pemeriksaan

: 6 Oktober 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan utama

: Penglihatan kabur pada mata kanan

Keluhan tambahan

: Bentuk mata tidak sama antara kiri dan

kanan, disertai nyeri kepala


Riwayat penyakit sekarang

: Seorang laki-laki usia 11 tahun datang ke

poli mata RSUDZA oleh orang tua nya dengan keluhan penglihatan buram
pada mata kanan. Keluhan dirasakan sejak pasien sadar dari operasi karena
mengalami kecelakaan dua minggu yang lalu. Keluhan pandangan kabur
dirasakan oleh pasien awalnya pandangan pasien seperti berbayang dan
sekarang pandangan pasien terlihat berawan. Pasien sering merasa sakit
kepala apabila memaksa melihat jarak jauh. Awalnya pasien merupakan

18

pasien rawat jalan yang rutin kontrol ke poli bedah setelah menjalani operasi
pemasangan implant karena fraktur tulang wajah akibat trauma. Pasien
mengeluhkan bola mata pasien berbeda antara kiri dan kanan. Pasien adalah
seorang siswa sekolah dasar. Pasien juga merasa mata kanan nya tidak
mampu melirik kearah samping.
Riwayat penyakit dahulu

: Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Pasien

memiliki riwayat fraktur zigoma akibat trauma 2 minggu yang lalu. Sebelum
kecelakaan pasien tidak pernah mengalami penurunan fungsi penglihatan
seperti sekarang
Riwayat penyakit keluarga

: Tidak ada keluarga pasien yang pernah

mengalami hal yang sama sebelumnya


Riwayat pengobatan

: Pasien tidak menggunakan obat-obatan

untuk mengurangi keluhan di matanya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a.

Status Present

Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Kompos mentis

Frekuensi Jantung

: 90 x/menit

Frekuensi Nafas

: 20 x/menit

Temperatur

: 37,6 0C

b.

Status Oftalmologis
1. Uji Hiscberg
VOD

:
VOS

19

2. Uji Pursuit
VOD

3. Pemeriksaan Visus
VOD: 5/60

:
VOS

:
VOS: 5/5

4. Pemeriksaan Segmen Anterior:


Bagian Mata

OD

OS

Palpebra Superior

Edema (+) Ptosis (-)

Normal

Palpebra Inferior

Edema (+)

Normal

Konjungtiva Tarsal Normal

Normal

Superior
Konjungtiva Tarsal Normal

Normal

Inferior
Konjungtiva Bulbi

Injeksi siliar (-), hiperemis (-), Injeksi


Injeksi Konjungtiva (-)

siliar

(-),

hiperemis (-), Injeksi


Konjungtiva (-)

c.

Kornea

Defek (-), Infiltrat (-)

Defek (-), Infiltrat (-)

COA

Cukup

Cukup

Pupil

Bulat

isokor,

RCL(+), Bulat

isokor,

RCTL(+)

(+), RCTL (+)

Iris

Kripta jelas

Kripta jelas

Lensa

Jernih

Jernih

Fundus

Papil edema (-)

Papil edema (-)

Foto Klinis

20

RCL

3.4 Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan foto funduskopi

3.5 Resume
Seorang laki-laki usia 11 tahun datang ke poli mata RSUDZA dengan
keluhan adanya penurunan tajam penglihatan sejak mengalami kecelakaan.
Kecelakaan dialami dua minggu yang lalu dan pasien mengalami fraktur tulang
pipi sebelah kanan. Awalnya pada saat kecelakaan pasien belum mengeluhkan
penglihatan menjadi buram. Pasien mengeluhkan peglihatan kabur setelah pasien
sadar setelah selesai operasi, tetapi tidak ada nyeri di sekitar mata atau kepala.
Pasien menjelaskan bahwa pandangan nya menjadi berbayang dan berawan,
sebelum kecelakaan pasien tidak mengalami keluhan demikian. Pasien memiliki
kebiasaan memalingkan wajah apabila melirik benda yang berada disampingnya.

21

Pada pemeriksaan funduskopi didapati tanda-tanda iskemik pada pembuluh darah


retina.

3.6 Diagnosis Kerja


Traumatik Optik Neuropati + Parese N.III

3.7 Tatalaksana

Metil prednisolone 4 mg 3x1 tab


P-pred ed 4X1 gtt OD

3.8 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungsionam
Quo ad Sanactionam

: Dubia ad bonam
: Dubia ad malam
: Dubia ad bonam

BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang laki-laki usia 11 tahun datang ke poli mata RSUDZA dengan
keluhan adanya penurunan tajam penglihatan sejak mengalami kecelakaan.
Kecelakaan dialami dua minggu yang lalu dan pasien mengalami fraktur tulang
pipi sebelah kanan. Awalnya pada saat kecelakaan pasien belum mengeluhkan

22

penglihatan menjadi buram. Pasien mengeluhkan peglihatan kabur setelah pasien


sadar setelah selesai operasi, tetapi tidak ada nyeri di sekitar mata atau kepala.
Pasien menjelaskan bahwa pandangan nya menjadi berbayang dan berawan,
sebelum kecelakaan pasien tidak mengalami keluhan demikian. Pasien memiliki
kebiasaan memalingkan wajah apabila melirik benda yang berada disampingnya.
Pada pemeriksaan funduskopi didapati tanda-tanda iskemik pada pembuluh darah
retina.
Berdasarkan teori, kasus cedera saraf optik, memiliki angka kejadian pada
Negara berkembang dengan 85% pasiennya merupakan laki-laki dengan usia ratarata 34 tahun. Dari prevalensi ini, dapat disimpulkan bahwa kasus cedera saraf
optik umumnya dialami laki-laki pada usia produktif dan memiliki jumlah
aktifitas di luar ruangan lebih banyak dibanding populasi perempuan sehingga
umumnya populasi laki-laki lebih sering menggunakan kendaraan untuk
berpergian dan resiko mengalami kecelakaan lebih besar. Berdasarkan penelitian
terakhir, sekitar 17-63% kasus Traumatic optic neuropathy disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
Pasien tidak pernah memiliki keluhan gangguan penglihatan sebelum
terjadi kecelakaan pada pasien. Berdasarkan dari definisi Traumatic Optic
Neuropathy, pada anamnesa harus didapatkan riwayat trauma. Trauma yang
dialami seringkali diikuti dengan proses penurunan kesadaran. Diagnosa cedera
saraf optik tidak mungkin dicurigai apabila tidak ada keluhan penurunan tajam
penglihatan. Keluhan pandangan kabur dan terganggu akan didapat setelah pasien
sadar pasca trauma. Mekanisme yang terjadi saat kecelakaan penting untuk
diketahui secara terperinci karena transmisi benturan pada kepala dapat ditransfer
ke canal optik dimana saraf yang berada di area tersebut sangat rentan terhadap
tekanan deformatif tulang tengkorak sehingga akan menyebabkan cedera iskemik.
Pasien mengalami fraktur pada tulang wajah yaitu os.zygoma namun sudah
di rekonstruksi dan dipasang implant. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat,
0,5%-5% dari seluruh kasus cedera kepala disertai dengan cedera saraf optik dan
2,5% dari kasus cedera maksilofasial juga disertai dengan cedera saraf optik.
Beberapa penelitian yang dilakukan pada kasus cedera kepala didaerah frontal dan

23

wajah, kekuatan tumbukan akan ditransfer ke area kanal optik dimana selaput
dura pada serabut saraf didalam periosteum kanal optic sangat ketat menyelubungi
sserabut saraf, sehingga menjadi landasan pemikiran segmen saraf ini menjadi
rentan terhadap tekanan deformatif dari tulang tengkorak. Keadaan ini
menyebabkan cedera iskemik pada sel-sel ganglion retina dalam kanal optik.
Pasien mengeluhkan peglihatan kabur setelah pasien keluar dari Rumah
sakit, tetapi tidak ada nyeri di sekitar mata atau kepala. Pasien menjelaskan bahwa
pandangan nya menjadi berbayang dan berawan. Hal serupa demikian dijelaskan
oleh Jackson (2016) bahwa Traumatic optic neuropathy merupakan cedera yang
terjadi pada saraf optik dan menyebabkan penurunan tajam penglihatan tanpa
disertai kelainan pada oftalmoskopik yang menunjukkan kerusakan struktural
pada bola mata atau pada saraf optik ketika fase akut. Jackson (2016) menjelaskan
bahwa pada fase akut, nervus optikus terlihat normal pada pemeriksaan
funduskopi, namun atrofi nervus optikus seringkali mulai terlihat ketika 3-6
minggu pasca terjadinya trauma.
Pasien mengeluhkan penglihatan kabur setelah pasie keluar dari rumah
sakit pasca menjalani operasi rekonstruksi tulang wajah. Pasien di konsulkan ke
poliklinik mata dengan keluhan penurunan tajam penglihatan setelah trauma.
Pasien mendapat terapi farmakoterapi berupa methyl prednisolone 3x4mg.
Pemilihan terapi pada pasien dengan TON dianggap masih kontroversial, karena
baik terapi farmakoterapi maupun pembedahan tidak menunjukkan perbedaan
hasil terapi yang jauh berbeda. Pemberian obat kortikosteroid diharapkan dapat
menekan proses sintesa protein sehingga mediator-mediator inflamasu yang
menyebabkan iskemik saraf optic dapat ditekan proses aktivasi nya.

BAB V
KESIMPULAN
Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan
bersamaan dengan deficit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik. Traumatic optic neuropathy adalah suatu keadaan yang

24

jarang terjadi dan seringkali tidak diperkirakan, namun menjadi sekuel yang
penting dari sebuah cedera kepala tertutup dan trauma maksilofasial. Beberapa
penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf pusat mendukung
bahwa iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera saraf optik
akibat trauma karena iskemia saraf optik akan menyebabkan kematian sel
ganglion retina.
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
penegakan diagnosis dari TON didasarkan atas adanya riwayat trauma.
Pemeriksaan visus, pupil, tes warna, tes lapangan pandang, sensitivitas kontras,
segmen posterior dan tekanan intra ocular harus dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan saraf optik. Pemeriksaan penunjang berupa imaging
merupakan pilihan yang baik untuk mengevaluasi implikasi patologis spesifik
dalam fungsi saraf optik termasuk hematoma selubung saraf optik.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Bilyk JR, Joseph MP, editors. Traumatic optic neuropathy. Seminars in


ophthalmology. 2004; 62: p.485-490 .

25

2.

Villarreal PM, Vicente JC, Junquera LM. Traumatic optic neuropathy. I


nternational Journal of Oral & Maxillofacial Surgery. 2000;29(1): p.29-31.

3.

Singman EL, Daphalapurkar N, White H, Nguyen TD, Panghat L, Chang


J, et al. Indirect traumatic optic neuropathy. Military Medical Research.
2016;3(1): p.1-6.

4.

Lubis RR. Traumatic optic neuropathy. Universitas Sumatera Utara


Repository. 2015.

5.

Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic optic neuropathies. Walsh and


Hoyts clinical neuroophthalmology, 5th ed Baltimore: Williams &
Wilkins. 1998; 16(4): p.715-40.

6.

Snell RS. Anatomi Klinik. 6 ed. Jakarta: EGC; 2012.

7.

Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. 8 ed. Jakarta: EGC;


2012.

8.

Warner JE, Lessell S. Traumatic optic neuropathy. International


ophthalmology clinics. 1995; 35(1): p.57-62.

9.

Carta A, Ferrigno L, Salvo M, Bianchi-Marzoli S, Boschi A, Carta F.


Visual prognosis after indirect traumatic optic neuropathy. Journal of
Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2003; 74(2): p.246-8.

10.

Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic optic neuropathy. Survey of


ophthalmology. 1994; 38(6): p.487-518.

11.

Lee AG. Traumatic optic neuropathy. Ophthalmology. 2000; 107(5):


p.814-6.

12.

Saadat SY, Rodriguez E, De la Cruz C, Mundinger GS, Nam A, Manson


PN, et al. Treatment Outcomes following Traumatic Optic Neuropathy.
Supplement to Plastic and Reconstructive Surgery. 2016; 134(1): p.17.

13.

Samardzic K, Samardzic J, Janjetovic Z, Samardzic I, Sekelj S, LaticHodzic L. Traumatic optic neuropathy-to treat or to observe? Acta
Informatica Medica. 2012; 20(2): p.131-2.

14.

Chou PI, Sadun AA, Chen YC, et al. Clinical experiences in the
management of traumatic optic neuropathy. Neuro-ophthalmology. 2006;
16(2): p.325-36.

26

Anda mungkin juga menyukai