oleh:
Anindita Dena Varissa
1507101030209
Pembimbing:
dr. Saiful Basri, Sp.M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas presentasi kasus ini berjudul Traumatik Optik Neuropati.
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr. Saiful Basri,
Sp.M yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan
dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
1
Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................5
2.1 Anatomi Cavum Orbita....................................................................................5
2.2 Anatomi Saraf Optik........................................................................................6
2.3 Traumatik Optik Neuropati....11
2.4 Epidemiologi..12
2.5 Patofisiologi....13
2.6 Diagnosis....14
2.7 Diagnosis Banding.16
2.8 Pemeriksaan Penunjang.16
2.9 Tatalaksana....16
BAB III LAPORAN KASUS.......18
BAB IV ANALISA KASUS.....23
BAB V KESIMPULAN....25
DAFTAR PUSTAKA. ....26
BAB I
PENDAHULUAN
Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma, sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik. Traumatic optic neuropathy adalah suatu keadaan yang
jarang terjadi dan seringkali tidak diperkirakan, namun menjadi sekuel yang
penting dari sebuah cedera kepala tertutup dan trauma maksilofasial. Kecelakaan
lalu lintas yang disertai cedera kepala tertutup, cedera deselerasi dengan gaya
yang besar, serta trauma maksilofasial dianggap sebagai penyebab terjadinya
Traumatic optic neuropathy. Dampak dari cedera kepala adalah penurunan
kesadaran yang menjadi fokus tatalaksana pada pasien cedera kepala, namun
ketika kondisi pasien mulai stabil, keluhan penurunan tajam penglihatan menjadi
kewaspadaan terjadinya cedera saraf optik(1).
Insidensi kejadian Traumatic Optic Neuropathy bervariasi diseluruh dunia,
yang berdasarkan pada penyebab utamanya terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, tindakan kriminal, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin (2). Di Amerika
Serikat, kasus Traumatic optic neuropathy cukup jarang terjadi, sekitar
1/1.000.000 penduduk(3). Kasus cedera saraf optik, memiliki angka yang cukup
besar di Negara berkembang seperti India yaitu 27% dari seluruh kasus penyakit
mata yang menyebabkan kebutaan. Penelitian yang dilakukan di Inggris
menyatakan 80% pasien Traumatic optic neuropathy merupakan laki-laki dengan
usia rata-rata 34 tahun(4).
Di Indonesia masalah kesehatan mata saat ini adalah masih tingginya
angka kebutaan. Katarak merupakan penyebab kebutaan terbanyak saat ini,
sedangkan penyebab kebutaan mata yang lain termasuk penyakit glaukoma,
tumor, infeksi, dan trauma pada mata. Pada penelitian terakhir yang dilakukan
oleh Lubis (2014) di Medan, menyatakan bahwa 71,4% dari seluruh kejadian
cedera saraf optik disebabkan kecelakaan berkendara, 17,9% karena perkelahian,
dan 10,7% akibat dari terjatuh(3).
Berdasarkan Walsh and Hoyt (2005) menjelaskan bahwa Traumatic optic
neuropathy merupakan cedera yang terjadi pada saraf optik dan menyebabkan
penurunan tajam penglihatan tanpa disertai kelainan pada oftalmoskopik yang
menunjukkan kerusakan struktural pada bola mata atau pada saraf optik ketika
fase akut. Hal serupa diungkapkan kembali oleh Jackson (2016) bahwa pada fase
akut, nervus optikus terlihat normal pada pemeriksaan funduskopi dan tidak
menimbulkan gejala gangguan penglihatan, namun atrofi nervus optikus
seringkali mulai terlihat ketika 3-6 minggu pasca terjadinya trauma(5).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan palatum
Dinding medial terbentuk oleh os ethmoidalis yang setipis kertas dan
menebal saat bertemu dengan os.lacrimal, beberapa tulang lainnya yang
membentuk batas medial adalah os. Maxilla, os. Lacrimalis dan os.
Sphenoid.
Dinding lateral dibentuk oleh prosessus frontalis os.zigomatikum dan os.
Sphenoid
troklear ( di luar cincin Zinn). Di dalam cincin zinn terdapat nervus okulomotor,
abdusens, nasosiliaris, dan optikus, serta arteri ophtalmikus.
2.2 Anatomi Saraf Mata
Saraf Optik merupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1juta
akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke
korteks oksipital. Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi,
yaitu :
Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar area
Regio intraorbital (berada di dalam corong otot)
Regio intrakanalikular (berada didalam kanal optik)
Regio Intrakranial (berakhir di kiasma optikum)
Kumpulan dari saraf optik mempunyai karakteristik yang sama seperti white
matter otak. Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan bagian dari
otak, dan lapisan fibernya dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel Schwann.
Panjang saraf optik bervariasi antara 35 sampai 55 millimeter. Bagian yang dapat
dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf optik regio intraokular(4, 6).
horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75 millimeter. Berbentuk cekung dengan
dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan
vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian(4, 6), yaitu :
Lapisan fiber superfisial
Area prelaminar
Area laminar
Area retrolaminar
b. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Annulus of Zinn
Meningeal Sheaths
c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial
yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang
mengelilinginya terhubung ke kanal periosteum.
d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri
oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf
optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga
membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik melintas kearah posterior
melewati sinus kavernosus dan mencapai kiasma optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum l ateralis.Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.Kiasma
optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi yang sangat
banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12 millimeter dan
panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4 millimeter (4,
6)
posterior
retina
mentransduksikan
gambar
fotokimia
mengubah impuls fotokimia menjadi impuls saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic
disc menghasilkan daerah yang disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma)
yang terletak sekitar fovea.Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan
keadaan pigmen yang masing-masing sensitif terhadap gelombang warna merah,
hijau atau biru.
Signal retina yang berasal dari sel batang dan sel kerucut diproses pertama
kali melalui sel bipolar yang menghubungkan reseptor cahaya ke sel ganglion.
Kebanyakan sel ganglion dapat dibagi menjadi sel parvocellular (Sel P) dan sel
magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah terhadap interpretasi warna dan
mempunyai lapangan reseptor yang kecil dan sensitivitas kontras yang lemah.
Sementara sel M memiliki lapangan reseptor yang luas dan lebih responsif
terhadap cahaya dan pergerakan. Neurotransmitter yang didapati pada retina
adalah glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin(7).
2. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang
menyelubungi seluruh retina. Akson darisaraf optik tergantung dari produksi
metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik molekul maupun
sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang cukup tinggi. Hal ini
menyebabkan sistem transpor aksonal sangat sensitif terhadap kejadian iskemik,
inflamasi, dan proses kompresi.
3. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan
melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus dan
dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan terjadi persilangan impuls
dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial maupun lateral.
4. Traktus optikus
10
11
2.4 Epidemiologi
Insidensi kejadian Traumatic Optic Neuropathy bervariasi diseluruh dunia,
hal ini berdasarkan sebanyak apa penyebab utama nya yang terjadi, seperti
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, tindakan kriminal, jenis pekerjaan, dan jenis
kelamin. Di Amerika Serikat, 0,5%-5% dari seluruh kasus cedera kepala disertai
dengan cedera saraf optik dan 2,5% dari kasus cedera maksilofasial juga disertai
dengan cedera saraf optik. Dari seluruh kejadian cedera saraf optik, 17%-63%
disebabkan oleh karena kecelakaan lalu lintas khususnya terjatuh dari sepeda
motor dan sepeda. Kasus cedera saraf optik, memiliki angka kejadian pada Negara
berkembang dengan 85% pasiennya merupakan laki-laki dengan usia rata-rata 34
tahun(2).
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Lubis (2014) di Medan,
menyatakan bahwa 71,4% dari seluruh kejadian cedera saraf optik disebabkan
12
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya cedera saraf optik dijelaskan secara multifaktorial.
Beberapa peneliti membagi patofisiologi TON kedalam dua mekanisme.
Mekanisme cedera saraf optik dapat dibedakan menjadi cedera langsung dan
cedera tidak langsung. Mekanisme cedera langsung menyebabkan cedera
permanen pada akson saraf optik saat terjadinya tumbukan yaitu berupa
pengikisan akson saraf optik dan vaskularisasinya(1).
Mekanisme cedera tidak langsung menyebabkan kerusakan pada saraf
optik akibat gangguan homeostasis selular. Cedera reperfusi dan iskemia akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi membrane sel lemak yang nantinya akan
menyebabkan munculnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Efek bradikinin yang timbul saat trauma akan menyebabkan pelepasan dari asam
arakidonat pada neuron. Prostaglandin yang dihasilkan oleh asam arakidonat,
radikal bebas dan oksidan lainnya akan memperberat terjadinya iskemia. Pada saat
terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium akan memasuki kompartemen seluler,
sehingga konsentrasi ion ini akan meningkat intraseluler dimana ion ini memiliki
sifat toksin metabolik yang akan menyebabkan kematian sel(10).
Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme dan
pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan dinding
kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya iskemia dan
kerusakan akson(10).
Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf
pusat mendukung bahwa iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam
cedera saraf optik akibat trauma karena iskemia saraf optik akan menyebabkan
kematian sel ganglion retina(10).
Kasus TON indirect terjadi cedera pada akson yang diduga disebabkan
oleh pengikisan yang terjadi secara paksa paksa serabut saraf dan vaskularisasi
13
retina. Beberapa penelitian yang dilakukan pada kasus cedera kepala didaerah
frontal, kekuatan tumbukan akan ditransfer ke area kanal optik dimana selaput
dura pada serabut saraf didalam periosteum kanal optic sangat ketat menyelubungi
serabut saraf, sehingga menjadi landasan pemikiran segmen saraf ini menjadi
rentan terhadap tekanan deformatif dari tulang tengkorak. Keadaan ini
menyebabkan cedera iskemik pada sel-sel ganglion retina dalam kanal optik(10).
2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesa
Anamnesa pada Traumatic optic neuropathy harus didapatkan riwayat
trauma. Trauma yang dialami seringkali diikuti dengan proses penurunan
kesadaran. Diagnosa cedera saraf optik tidak mungkin dicurigai apabila tidak ada
keluhan penurunan tajam penglihatan. Keluhan pandangan kabur dan terganggu
akan didapat setelah pasien sadar pasca trauma. Jika pasien dalam keadaan tidak
sadar, data-data yang berhubungan dengan penegakkan diagnosa TON didapat
dari pihak lain yang memahami keadaan pasien mulai dari sesaat setelah kejadian,
mekanisme trauma, respon terhadap dokter di instalasi gawat darurat, dan
kemungkinan-kemungkinan lain adanya paparan dari benda asing yang berbahaya
ke dalam mata. Riwayat kelainan pada mata sebelum terjadinya trauma perlu
digali agar tidak terjadinya kesalahan dalam diagnosa. Riwayat alergi obat-obatan
dan riwayat imunisasi juga penting untuk diketahui oleh pemeriks(4, 10).
Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Visus
Penilaian visus sangat penting untuk dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan cedera saraf optik. Derajat penurunan visus pada setiap pasien akan
berbeda dengan pasien lainnya apabila dibandingkan sebelum dan sesudah
trauma. Penurunan visus yang signifikan terjadi pada cedera saraf optik tidak
14
15
2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan TON masih merupakan hal yang kontroversial, karena
tidak ada petunjuk yang spesifik untuk menangani kasus tersebut. Penanganan
trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi farmakologi maupun
pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai TON, melaporkan bahwa 0-48%
kasus mempunyai prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami
16
17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: RM
Umur
: 11 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Alamat
: Darussalam
CM
: 1102308
Tanggal Pemeriksaan
: 6 Oktober 2016
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Keluhan tambahan
poli mata RSUDZA oleh orang tua nya dengan keluhan penglihatan buram
pada mata kanan. Keluhan dirasakan sejak pasien sadar dari operasi karena
mengalami kecelakaan dua minggu yang lalu. Keluhan pandangan kabur
dirasakan oleh pasien awalnya pandangan pasien seperti berbayang dan
sekarang pandangan pasien terlihat berawan. Pasien sering merasa sakit
kepala apabila memaksa melihat jarak jauh. Awalnya pasien merupakan
18
pasien rawat jalan yang rutin kontrol ke poli bedah setelah menjalani operasi
pemasangan implant karena fraktur tulang wajah akibat trauma. Pasien
mengeluhkan bola mata pasien berbeda antara kiri dan kanan. Pasien adalah
seorang siswa sekolah dasar. Pasien juga merasa mata kanan nya tidak
mampu melirik kearah samping.
Riwayat penyakit dahulu
memiliki riwayat fraktur zigoma akibat trauma 2 minggu yang lalu. Sebelum
kecelakaan pasien tidak pernah mengalami penurunan fungsi penglihatan
seperti sekarang
Riwayat penyakit keluarga
Status Present
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
Frekuensi Jantung
: 90 x/menit
Frekuensi Nafas
: 20 x/menit
Temperatur
: 37,6 0C
b.
Status Oftalmologis
1. Uji Hiscberg
VOD
:
VOS
19
2. Uji Pursuit
VOD
3. Pemeriksaan Visus
VOD: 5/60
:
VOS
:
VOS: 5/5
OD
OS
Palpebra Superior
Normal
Palpebra Inferior
Edema (+)
Normal
Normal
Superior
Konjungtiva Tarsal Normal
Normal
Inferior
Konjungtiva Bulbi
siliar
(-),
c.
Kornea
COA
Cukup
Cukup
Pupil
Bulat
isokor,
RCL(+), Bulat
isokor,
RCTL(+)
Iris
Kripta jelas
Kripta jelas
Lensa
Jernih
Jernih
Fundus
Foto Klinis
20
RCL
3.5 Resume
Seorang laki-laki usia 11 tahun datang ke poli mata RSUDZA dengan
keluhan adanya penurunan tajam penglihatan sejak mengalami kecelakaan.
Kecelakaan dialami dua minggu yang lalu dan pasien mengalami fraktur tulang
pipi sebelah kanan. Awalnya pada saat kecelakaan pasien belum mengeluhkan
penglihatan menjadi buram. Pasien mengeluhkan peglihatan kabur setelah pasien
sadar setelah selesai operasi, tetapi tidak ada nyeri di sekitar mata atau kepala.
Pasien menjelaskan bahwa pandangan nya menjadi berbayang dan berawan,
sebelum kecelakaan pasien tidak mengalami keluhan demikian. Pasien memiliki
kebiasaan memalingkan wajah apabila melirik benda yang berada disampingnya.
21
3.7 Tatalaksana
3.8 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungsionam
Quo ad Sanactionam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad malam
: Dubia ad bonam
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang laki-laki usia 11 tahun datang ke poli mata RSUDZA dengan
keluhan adanya penurunan tajam penglihatan sejak mengalami kecelakaan.
Kecelakaan dialami dua minggu yang lalu dan pasien mengalami fraktur tulang
pipi sebelah kanan. Awalnya pada saat kecelakaan pasien belum mengeluhkan
22
23
wajah, kekuatan tumbukan akan ditransfer ke area kanal optik dimana selaput
dura pada serabut saraf didalam periosteum kanal optic sangat ketat menyelubungi
sserabut saraf, sehingga menjadi landasan pemikiran segmen saraf ini menjadi
rentan terhadap tekanan deformatif dari tulang tengkorak. Keadaan ini
menyebabkan cedera iskemik pada sel-sel ganglion retina dalam kanal optik.
Pasien mengeluhkan peglihatan kabur setelah pasien keluar dari Rumah
sakit, tetapi tidak ada nyeri di sekitar mata atau kepala. Pasien menjelaskan bahwa
pandangan nya menjadi berbayang dan berawan. Hal serupa demikian dijelaskan
oleh Jackson (2016) bahwa Traumatic optic neuropathy merupakan cedera yang
terjadi pada saraf optik dan menyebabkan penurunan tajam penglihatan tanpa
disertai kelainan pada oftalmoskopik yang menunjukkan kerusakan struktural
pada bola mata atau pada saraf optik ketika fase akut. Jackson (2016) menjelaskan
bahwa pada fase akut, nervus optikus terlihat normal pada pemeriksaan
funduskopi, namun atrofi nervus optikus seringkali mulai terlihat ketika 3-6
minggu pasca terjadinya trauma.
Pasien mengeluhkan penglihatan kabur setelah pasie keluar dari rumah
sakit pasca menjalani operasi rekonstruksi tulang wajah. Pasien di konsulkan ke
poliklinik mata dengan keluhan penurunan tajam penglihatan setelah trauma.
Pasien mendapat terapi farmakoterapi berupa methyl prednisolone 3x4mg.
Pemilihan terapi pada pasien dengan TON dianggap masih kontroversial, karena
baik terapi farmakoterapi maupun pembedahan tidak menunjukkan perbedaan
hasil terapi yang jauh berbeda. Pemberian obat kortikosteroid diharapkan dapat
menekan proses sintesa protein sehingga mediator-mediator inflamasu yang
menyebabkan iskemik saraf optic dapat ditekan proses aktivasi nya.
BAB V
KESIMPULAN
Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan
bersamaan dengan deficit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik. Traumatic optic neuropathy adalah suatu keadaan yang
24
jarang terjadi dan seringkali tidak diperkirakan, namun menjadi sekuel yang
penting dari sebuah cedera kepala tertutup dan trauma maksilofasial. Beberapa
penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf pusat mendukung
bahwa iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera saraf optik
akibat trauma karena iskemia saraf optik akan menyebabkan kematian sel
ganglion retina.
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
penegakan diagnosis dari TON didasarkan atas adanya riwayat trauma.
Pemeriksaan visus, pupil, tes warna, tes lapangan pandang, sensitivitas kontras,
segmen posterior dan tekanan intra ocular harus dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan saraf optik. Pemeriksaan penunjang berupa imaging
merupakan pilihan yang baik untuk mengevaluasi implikasi patologis spesifik
dalam fungsi saraf optik termasuk hematoma selubung saraf optik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
25
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Samardzic K, Samardzic J, Janjetovic Z, Samardzic I, Sekelj S, LaticHodzic L. Traumatic optic neuropathy-to treat or to observe? Acta
Informatica Medica. 2012; 20(2): p.131-2.
14.
Chou PI, Sadun AA, Chen YC, et al. Clinical experiences in the
management of traumatic optic neuropathy. Neuro-ophthalmology. 2006;
16(2): p.325-36.
26