Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Community Language Learnign (CLL), tumbuh dari suatu ide untuk


menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Dari berbagai hasil
penelitian dilaporkan bahwa pendekatan ini telah mencapai hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan pendekatan pengajaran yang konvensional.
Para ahli pendekatan ini beranggapan bahwa pada waktu seseorang terjun
ke dalam suatu arena yang baru seperti proses belajar bahasa Inggris dia sebagai
manusia dikodrati dengan berbagai ciri manusiawi pada umumnya. Dalam
lingkungan yang baru di mana dia merasa asing, dia dihinggapi oleh rasa tak aman
(insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan (anxiety), konflik
dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia
untuk maju.
Tugas utama seorang guru, yang dalam pendekatan ini disebut dengan
istilah konselor, adalah menghilangkan atau paling tidak mengurangi segala
perasaan negatif para siswanya. Seorang guru dituntut untuk memiliki sikap yang
fasilitatif, baik dalam menularkan pengetahuannya maupun dalam menolong para
siswa maju dari satu tahap ke tahap yang lain. Sikap ramah-tamah, penuh
pengertian, mengiakan, dan mendukung merupakan kualifikasi yang harus
dimiliki oleh setiap guru.
Dalam tulisan ini, penulis memaparkan model pembelajaran berdasarkan
pendekatan atau metode community language learning dengan harapan
memperkaya wawasan pembaca terutama guru bahasa Inggris sehingga dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran bahasa Inggris yang pada akhirnya
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

B. Community Language Learning


Prinsip dasar CLL adalah guru mengganggap siswanya sebagai whole
person/ pribadi menyeluruh. Whole-person learning maksudnya adalah guru tidak
hanya mempertimbangkan perasaan dan kepandaian siswa, tetapi juga mempunyai
pemahaman tentang perasaan siswa, reaksi fisik, reaksi protektif instingtif, dan
keinginan untuk belajar.
Dalam pendekatan ini, ada enam konsep yang diperlukan untuk
menumbuhkan Learning. Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan,
SARD, yang kepanjangannya adalah Security, Attention-Aggression, RetentionReflection, dan Discrimination.
Security adalah rasa aman pada diri siswa, yang dalam pendekatan ini
disebut dengan istilah klien, maupun pada diri guru. Rasa aman bisa ditemukan
apabila rekan sekelas beserta konselornya menunjukkan sikap kegotongroyongan
dan memberikan kepercayaan kepadanya.
Attention-Aggression adalah mencari keseimbangan antara guru dalam
membina perhatian dan siswa dalam berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Retention dan reflection adalah proses pencerminan diri untuk mengetahui
sampai sejauh mana para siswa telah menguasai materi pelajaran dan masalahmasalah apa yang timbul dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini ada dua
macam refleksi, yaitu refleksi teks dan refleksi pengalaman. Kedua proses refleksi
ini dilakukan pada tiap akhir pembelajaran.
Dalam refleksi teks para siswa mendengarkan kembali percakapan yang
telah mereka lakukan beberapa menit atau jam sebelumnya untuk merenungkan

dan mencamkan kembali arti dan signifikan dari kalimat maupun frase yang telah
mereka buat.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan dari lubuk hati
segala permasalahan psikologis yang dialami tiap siswa selama kelas sebelumnya
berlangsung. Dalam pertemuan seperti ini guru dituntut untuk bisa memberikan
bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa siswa ke arah yang
positif.
Discrimination adalah tahap dimana kesalahan-kesalahan ucapan,
ungkapan, maupun sintaksis tidak perlu dipermasalahkan yang terpenting terjadi
komunikasi dimana pendengar dapat memahami maksud dari pembicara.
Tujuan penggunaan metode ini agar siswa belajar bagaimana
menggunakan bahasa target secara komunikatif. Siswa juga belajar bagaimana
belajar sendiri dan bertanggung jawab untuk hal ini, dan belajar bagaimana belajar
bersama orang lain. Peran utama guru adalah sebagai konselor, artinya guru
mengenali bagaimana ancaman situasi belajar yang baru dapat terjadi pada siswa,
sehingga guru dapat memahami dan memberi dukungan untuk siswanya dalam
usahanya menguasai bahasa.
C. Tahap-Tahap Penguasaan CLL
Ada lima tahap penguasaan dalam pendekatan CLL, yakni Embryonic
Stage, Self-Assertion Stage, Birth Stage, Reversal Stage, dan Independent Stage.
Embryonic Stage adalah suatu tahap di mana ketergantungan siswa pada
gurunya sangat besar. Pada tahap ini, guru bertugas menghilangkan atau
mengurangi perasaaan-perasaan negatif siswa dengan memberikan bimbingan dan
penyuluhan yang layak. Guru menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan

memberi waktu kepada siswa untuk merefleksikan dirinya mengenai


pengalamannya.
Self-Assertion Stage adalah tahap di mana siswa telah memperoleh
dukungan moral dari rekan sekelasnya untuk bersama-sama memakai bahasa
Inggris dan menemukan identitas sebagai penutur bahasa itu. Pada tahap ini siswa
telah mulai berani sedikit-sedikit melepaskan diri dari gurunya dan memakai
bahasa Inggris langsung dengan teman-teman lainnya.
Birth Stage adalah tahap di mana siswa secara bertahap mulai mengurangi
pemakaian bahasa ibunya. Dia telah mulai merasakan kebiasaan dia dalam
memakai bahasa Inggris dan hal ini menimbulkan adanya rasa aman di antara
sesama mereka.
Reversal Stage adalah tahap di mana hubungan siswa dengan gurunya
telah mencapai taraf saling percaya. Masing-masing tidak lagi merasa adanya
hambatan psikologis, dan rasa saling percaya ini terdapat pula di antara sesama
siswa lainnya. Pada tahap keempat ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu
diadakan pertemuan pembelajaran seperti pada tahap pertama, tetapi lebih aktif
dalam percakapan-percakapan yang hidup.
Independent Stage adalah tahap di mana siswa telah menguasai semua
materi pembelajaran. Pada tahap ini siswa memperluas bahasanya Inggrisnya dan
mempelajari pula aspek-aspek sosial dan budaya dari para penutur asli.
D. Teknik Pelaksanaan CLL
Karena dalam CLL hubungan antara siswa dengan guru adalah hubungan
terapeutik antara seorang klien dengan konselornya maka bentuk kelas dan proses
pembelajarannya pun berbeda dengan kelas dan cara yang konvensional. Dalam

CLL yang dianjurkan adalah tiap kelas terdiri dari enam sampai dua belas klien,
dan tiap klien mempunyai seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat
sedemikian rupa sehingga terbentuklah semacam lingkaran. Konselor berada di
belakang klien. Pengaturan lain bisa pula dilakukan dengan, misalnya konselor
berada di ruang lain dan dihubungkan dengan tiap klien melalui media elektronik.
Dalam CLL tidak dipakai suatu teks apapun. Para klien datang untuk
memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka bebas untuk
memilih topik apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu.
Pada akhir pembelajaran, rekaman pembicaraan diperdengarkan untuk
direnungkan dan dihayati. Pada saat ini pula diadakan konseling oleh para
konselor.
Pada kelas berikutnya klien menentukan lagi topik yang akan mereka
bicarakan, dan demikian seterusnya. Dalam CLL dipergunakan alat peraga, tetapi
alat ini bukan hanya sekedar untuk melatih drill dan latihan-latihan lainnya
melainkan untuk mempertinggi rasa percaya pada diri sendiri.
Dengan kata lain communicative language learning merupakan
penggabungan dari belajar inovatif dengan belajar konvensional yakni:
1. Terjemahan. Siswa membisikan pesan yang ia akan ucapkan, guru menerjemahkan
ke dalam bahasa target dan pelajar mengulangi terjemahan guru.
2. Kelompok Kerja. Siswa dapat terlibat dalam tugas-tugas kelompok seperti diskusi
kelompok dengan satu topik, menyiapkan percakapan, menyiapkan ringkasan
topik untuk presentasi ke kelompok lain, menyiapkan sebuah cerita yang akan
disajikan kepada guru dan seluruh siswa.
3. Merekam. Siswa merekam percakapan dalam bahasa target.

4. Transkripsi. Siswa menuliskan ucapan-ucapan dan percakapan mereka lalu


direkam untuk dipraktekkan dan menganalisis bentuk-bentuk linguistic.
5. Analisis. Siswa menganalisis dan mempelajari transkripsi kalimat bahasa target
untuk difokuskan pada penggunaan leksikal tertentu atau pada penerapan aturan
tata bahasa tertentu.
6. Refleksi dan Observasi. Siswa mencerminkan dan melaporkan pengalaman di
kelas mereka atau dalam kelompok. Hal ini terjadi sebagai ungkapan perasaan
satu sama lain dan kepedulian terhadap sesuatu untuk dikatakan dan lain
sebagainya.
7. Mendengarkan. Siswa mendengarkan monolog oleh guru yang melibatkan unsurunsur dari mereka dalam interaksi di kelas.
8. Percakapan bebas. Siswa terlibat percakapan bebas dengan guru atau siswa lain.
Hal ini mungkin termasuk dalam diskusi tentang apa yang mereka pelajari serta
perasaan mereka tentang apa yang telah dipelajari.
E. Contoh Pelaksanaan pembelajaran
1. Satu kelas terdiri dari 6 12 siswa yang duduk dengan membentuk lingkaran.
2. Guru memberi salam, mengenalkan diri dan mempersilakan siswa saling
berkenalan.
3. Guru memberi tahu siswa tentang apa yang akan dilakukan, menjelaskan prosedur
dan menentukan batasan waktu.
4. Guru berdiri di luar lingkaran dari siswa berada.
5. Tape recorder disiapkan untuk merekam ucapan siswa (yang direkam hanya
ucapan bahasa target yang sedang dipelajari yang nantinya akan ditranskripsikan).

6. Siswa melakukan percakapan. Seorang siswa mengucapkan dengan keras pesan


menggunakan bahasa pertama. Guru berdiri dibelakang siswa tersebut.
7. Guru memberikan pesan dalam bahasa target.
8. Siswa mengulangi pesan dengan suara yang keras untuk teman-teman dengan
menggunakan bahasa kedua.
9. Proses ini dilakukan berulang-ulang serta direkam. Dalam proses ini, guru juga
memberi tahu sisa waktu untuk percakapan.
10. Setelah selesai siswa diajak membicarakan tentang perasaan mereka selama
percakapan, guru memahami dan menerima semua yang diungkapkan siswa.
11. Ucapan-ucapan ini dimainkan lagi, diterjemahkan kedalam bahasa pertama.
12. Siswa disuruh membuat setengah lingkaran menghadap papan tulis dan ucapanucapan yang telah direkam tadi di transkripsikan.
13. Pada kegiatan Human ComputerTM, siswa memilih frase mana yang ingin
mereka latih pengucapannya. Guru mengikuti apa yang diinginkan siswa,
mengulangi frase sampai siswa merasa puas dan berhenti.
14. Pada pertemuan yang lain, siswa juga bisa bekerjasama dalam kelompok kecil
(tiga orang).
15. Jika ada kesalahan, guru memberikan koreksi dengan cara mengulangi dengan
benar kalimat yang telah dibuat siswa.
F. Simpulan
Community Language Learning (Komunitas belajar bahasa) merupakan
metode yang paling responsive dari segi sensitivitas untuk pelajar. Tujuan
komunitas ini terhambat oleh jumlah dan pengetahuan sesama peserta didik. Guru
harus sensitif terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua. Guru harus siap

menerima bahkan mendorong para siswa untuk bersifat agresi karena ia berusaha
untuk bebas. Guru mengajar tanpa bahan konvensional tergantung pada topik
siswa untuk memotivasi kelas. Sekelompok peserta didik duduk membentuk
lingkaran dengan guru berdiri di luar lingkaran; siswa berbisik dalam bahasa asli
sedangkan silabus yang menjadikan tujuan menjadi jelas dan evaluasi sulit
dicapai. Hal ini fokus pada kelancaran bukan pada ketepatan yang menyebabkan
kontrol tidak memadai dari bahasa sasaran Manfaat positif dari metode ini yakni
berpusat pada peserta didik dan menekankan sisi humanistik belajar bahasa dan
bukan hanya dimensi bahasanya.
Daftar Rujukan
Christian M.P. Karmadevi dkk. 1996. Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa
Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Community Language Learning. http://www.articledeck.com/Community-LanguageLearning.html. Diunduh 20-09-2011.
Irawan, Prasetya. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk
Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
Juanda, Ahmad. 2007. You Cant Learn Without Goofing. An Error Analysis of Childrens Second
Language Error. Paper Mata Kuliah Error Analysis: PPs UNM.
Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional. Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai