dan mencamkan kembali arti dan signifikan dari kalimat maupun frase yang telah
mereka buat.
Refleksi pengalaman dimaksudkan untuk mengeluarkan dari lubuk hati
segala permasalahan psikologis yang dialami tiap siswa selama kelas sebelumnya
berlangsung. Dalam pertemuan seperti ini guru dituntut untuk bisa memberikan
bimbingan dan pengarahan psikologis yang akan membawa siswa ke arah yang
positif.
Discrimination adalah tahap dimana kesalahan-kesalahan ucapan,
ungkapan, maupun sintaksis tidak perlu dipermasalahkan yang terpenting terjadi
komunikasi dimana pendengar dapat memahami maksud dari pembicara.
Tujuan penggunaan metode ini agar siswa belajar bagaimana
menggunakan bahasa target secara komunikatif. Siswa juga belajar bagaimana
belajar sendiri dan bertanggung jawab untuk hal ini, dan belajar bagaimana belajar
bersama orang lain. Peran utama guru adalah sebagai konselor, artinya guru
mengenali bagaimana ancaman situasi belajar yang baru dapat terjadi pada siswa,
sehingga guru dapat memahami dan memberi dukungan untuk siswanya dalam
usahanya menguasai bahasa.
C. Tahap-Tahap Penguasaan CLL
Ada lima tahap penguasaan dalam pendekatan CLL, yakni Embryonic
Stage, Self-Assertion Stage, Birth Stage, Reversal Stage, dan Independent Stage.
Embryonic Stage adalah suatu tahap di mana ketergantungan siswa pada
gurunya sangat besar. Pada tahap ini, guru bertugas menghilangkan atau
mengurangi perasaaan-perasaan negatif siswa dengan memberikan bimbingan dan
penyuluhan yang layak. Guru menjelaskan aktivitas apa yang diharapkan dan
CLL yang dianjurkan adalah tiap kelas terdiri dari enam sampai dua belas klien,
dan tiap klien mempunyai seorang konselor. Pengaturan meja dan kursi dibuat
sedemikian rupa sehingga terbentuklah semacam lingkaran. Konselor berada di
belakang klien. Pengaturan lain bisa pula dilakukan dengan, misalnya konselor
berada di ruang lain dan dihubungkan dengan tiap klien melalui media elektronik.
Dalam CLL tidak dipakai suatu teks apapun. Para klien datang untuk
memulai kelasnya dengan duduk melingkari meja dan mereka bebas untuk
memilih topik apa saja yang akan mereka bicarakan hari itu.
Pada akhir pembelajaran, rekaman pembicaraan diperdengarkan untuk
direnungkan dan dihayati. Pada saat ini pula diadakan konseling oleh para
konselor.
Pada kelas berikutnya klien menentukan lagi topik yang akan mereka
bicarakan, dan demikian seterusnya. Dalam CLL dipergunakan alat peraga, tetapi
alat ini bukan hanya sekedar untuk melatih drill dan latihan-latihan lainnya
melainkan untuk mempertinggi rasa percaya pada diri sendiri.
Dengan kata lain communicative language learning merupakan
penggabungan dari belajar inovatif dengan belajar konvensional yakni:
1. Terjemahan. Siswa membisikan pesan yang ia akan ucapkan, guru menerjemahkan
ke dalam bahasa target dan pelajar mengulangi terjemahan guru.
2. Kelompok Kerja. Siswa dapat terlibat dalam tugas-tugas kelompok seperti diskusi
kelompok dengan satu topik, menyiapkan percakapan, menyiapkan ringkasan
topik untuk presentasi ke kelompok lain, menyiapkan sebuah cerita yang akan
disajikan kepada guru dan seluruh siswa.
3. Merekam. Siswa merekam percakapan dalam bahasa target.
menerima bahkan mendorong para siswa untuk bersifat agresi karena ia berusaha
untuk bebas. Guru mengajar tanpa bahan konvensional tergantung pada topik
siswa untuk memotivasi kelas. Sekelompok peserta didik duduk membentuk
lingkaran dengan guru berdiri di luar lingkaran; siswa berbisik dalam bahasa asli
sedangkan silabus yang menjadikan tujuan menjadi jelas dan evaluasi sulit
dicapai. Hal ini fokus pada kelancaran bukan pada ketepatan yang menyebabkan
kontrol tidak memadai dari bahasa sasaran Manfaat positif dari metode ini yakni
berpusat pada peserta didik dan menekankan sisi humanistik belajar bahasa dan
bukan hanya dimensi bahasanya.
Daftar Rujukan
Christian M.P. Karmadevi dkk. 1996. Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa
Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Community Language Learning. http://www.articledeck.com/Community-LanguageLearning.html. Diunduh 20-09-2011.
Irawan, Prasetya. 2005. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk
Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
Juanda, Ahmad. 2007. You Cant Learn Without Goofing. An Error Analysis of Childrens Second
Language Error. Paper Mata Kuliah Error Analysis: PPs UNM.
Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional. Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.